Pelajaran Seks Dengan Tanteku Binal
Kuda Betina
Cerita ini terjadi saat aku masih berusia 16
tahun, dan masih bersekolah di salah satu SMA di Medan. Namaku Chris, aku
peranakan Canada-Chinese. Papaku berasal dari Canada, dan Mamaku Chinese
Indonesia. Kata teman-teman wajahku sih lumayan ganteng, ehmm. Tinggiku 180 cm,
nggak begitu tinggi dibandingkan dengan Papa yang 185 cm.
Aku lahir di Canada, tapi sewaktu
umur 10 tahun, Papa ditugaskan ke Medan, Indonesia. Jadi aku juga ikut, dan
bersekolah di sana. Mula-mula terasa asing juga kota ini bagiku. Tapi lama
kelamaan aku juga dapat terbiasa. Terus terang, pemikiranku lebih condong
kepada pemikiran-pemikiran Timur, mungkin karena didikan Mama yang keras.
Biarpun di negara-negara Barat sudah biasa terjadi hubungan seks remaja, namun
aku belum pernah melakukannya dengan pacarku, well… at least pada saat itu.
Hari kedua di Jakarta, aku minta
diantar oleh supir ke rumah Tante Anne. Rumahnya terletak di salah satu
kompleks perumahan di Jakarta Selatan. Sebelumnya Mama sudah menelepon dan
memberitahukan kepadanya bahwa aku akan datang pada hari itu.
“Hai… wahh sudah besar sekali kamu
sekarang yah Chris… sudah nggak tanda lagi Tante sama kamu sekarang… hahaha”,
seingatku kira-kira begitulah katanya sewaktu pertama kali melihatku setelah
sekian tahun nggak jumpa.
Wajahnya masih saja sama seperti
yang dulu, seakan dia tidak bertambah tua sedikitpun. “Oh yah… tuh supirnya
disuruh pulang saja Chris… ntar kamu bawa saja mobil Tante kalau mau pulang”,
aku pun mengiyakan, dan menyuruh pulang supirnya.
“Wah… besar sekali rumahnya yah
Tante”, kataku sewaktu kami memasuki ruang tamu. Aku dengar dari Mama sih,
katanya suaminya Tante Anne ini anak salah seorang konglomerat Jakarta, jadi
nggak heran kalau rumahnya semewah ini. Setelah itu kami ngobrol-ngobrol, dia
menanyakan keadaan Mama, Papa dan kakek. Tante Anne juga sudah lama tidak
bertemu dengan Mama. Lumayan lama kami ngobrol, setelah itu dia mengajakku
untuk makan malam.
“Makan dulu yuk Chris… tuh sudah
disiapin makanannya sama si Ning”, katanya menunjuk ke pembantunya yang sedang
menghidangkan makanan di meja makan.
“Kita nggak nunggu Om Joe?” aku menanyakan suaminya.
“Oh… nggak usah, Om mu nggak pulang malam ini katanya”,
“Oh… ok deh”, kataku sambil beranjak ke ruang makan. Rumah sebesar ini cuma dihuni sendirian dengan pembantunya. Berani juga Tanteku ini.
“Kita nggak nunggu Om Joe?” aku menanyakan suaminya.
“Oh… nggak usah, Om mu nggak pulang malam ini katanya”,
“Oh… ok deh”, kataku sambil beranjak ke ruang makan. Rumah sebesar ini cuma dihuni sendirian dengan pembantunya. Berani juga Tanteku ini.
“Kamu berani pulang entar Chris? sudah malem loh ini”, katanya sambil melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan jam 7 lewat 30 menit.
“Ah berani kok Tante…”
“Hmm… mending kamu tidur di sini saja deh malem ini… tuh ada kamar kosong di atas.”
“Umm… iyah deh… ntar aku telepon ke Kakek kalau gitu”, dalam hati, aku mengira bahwa Tanteku ini menyuruhku menginap karena dia takut sendirian di rumah, sama sekali tidak ada pikiran negatif dalam otakku sewaktu aku mengiyakan tawarannya.
Sehabis makan, aku pun menelepon ke
rumah kakek, dan memberitahu bahwa hari ini aku menginap di rumah Tante Anne.
“Oh iyah… kalau kamu mau mandi air
panas, pakai saja kamar mandi Tante. Ntar kamu pakai saja bajunya Om Joe. Yuk
sini!”
“He… eh”, aku mengangguk sambil mengikutinya. Kamar mandi yang dimaksud terletak di dalam kamarnya.
“He… eh”, aku mengangguk sambil mengikutinya. Kamar mandi yang dimaksud terletak di dalam kamarnya.
Kamarnya benar-benar mewah dan
besar. Dengan tempat tidur ukuran double di tengah-tengah ruangan, mini theatre
set, dan sebuah kamar mandi di sudut ruangan.
“Nih… coba… bisa pakai nggak kamu?”
dia memberikan T-shirt dan celana pendek kepadaku.
“Bisa kayaknya”, aku pun mengambil pakaian itu dan membawanya ke kamar mandi. Sehabis dari kamar mandi, aku sempat sedikit kaget melihat Tante Anne. Dia mengenakan baju tidur tipis, tidur tengkurap di atas tempat tidur.
“Bisa kayaknya”, aku pun mengambil pakaian itu dan membawanya ke kamar mandi. Sehabis dari kamar mandi, aku sempat sedikit kaget melihat Tante Anne. Dia mengenakan baju tidur tipis, tidur tengkurap di atas tempat tidur.
Kelihatan dengan jelas celana
dalamnya, tapi aku tidak melihat tali BH di punggungnya. Terangsang juga aku
melihat pemandangan seperti itu. Kelihatannya ia tertidur saat menonton TV.
TV-nya masih menyala. Aku berjalan ke arah TV, bermaksud mematikannya. Melihat
adegan panas yang sedang berlangsung di TV, mendadak aku terdiam pas di depan
TV. Kulihat ke belakang, Tante Anne masih tidur. Aku berdiri menonton dulu,
sekedar iseng. 5 menit lagi ah baru kumatikan, begitu pikiranku saat itu.
“Hey…” saat aku sedang asyik
menonton, tiba-tiba terdengar teguran halus Tante Anne, diikuti oleh tawa
tertahannya. Aku benar-benar malu sekali waktu itu. Aku berbalik ke belakang
sambil tersenyum malu-malu. Waktu aku berbalik, kulihat Tante Anne sudah duduk
tegak di atas tempat tidur. Samar-samar terlihat puting susunya dari balik baju
tidurnya yang tipis.
“Kirain Tante sudah tidur… hehe”,
kataku asal-asalan sambil berjalan hendak keluar dari kamar.
“Chris… bisa tolong pijitin badan Tante? Pegel nih semua”, terdengar suara helaan nafas panjang, dan suara kain jatuh ke lantai.
“Chris… bisa tolong pijitin badan Tante? Pegel nih semua”, terdengar suara helaan nafas panjang, dan suara kain jatuh ke lantai.
Saat aku berbalik hendak menjawab,
kulihat Tante Anne sudah kembali tidur tengkurap di tempat tidur, tapi kali ini
tanpa baju tidur, satu-satunya yang masih dikenakannya adalah celana dalamnya.
“Ya…” hanya itu saja yang bisa
keluar dari mulutku. Aku pun berjalan ke arah Tante Anne. Sedikit canggung,
kuletakkan tanganku di atas bahunya. “Engghh…” terdengar dia mengerang
perlahan.
“Om Joe kapan pulangnya Tante?” kuatir juga aku ketahuan oleh suaminya.
“Emm… mungkin minggu depan… nggak tau deh… kalau Om mu sih… jarang di rumah.
“Om Joe kapan pulangnya Tante?” kuatir juga aku ketahuan oleh suaminya.
“Emm… mungkin minggu depan… nggak tau deh… kalau Om mu sih… jarang di rumah.
Mungkin seminggu pulang sekali”,
dalam hatiku merasa kasihan juga kepada Tante Anne. Pantas saja dia merasa
kesepian. “Fhhuuuhh…” kembali terdengar helaan nafas panjang. “Kamu sudah punya
pacar Chris?” tanyanya memecah keheningan.
“Yah… di Medan.”
“Hehehe… cantik nggak Chris?” Tante Anne memang dari dulu senang bercanda.
“Hehehe… cantik nggak Chris?” Tante Anne memang dari dulu senang bercanda.
Sangat berbeda dengan ibuku yang
kadang bersikap agak tertutup, Tante Anne adalah penganut kebebasan Barat. Aku
hanya tersenyum saja menjawab pertanyaannya. “Turun dikit Chris!” aku pun
menurunkan pijatanku dari bahu ke punggungnya. “Kamu duduk saja di atas pantat
Tante… supaya bisa lebih kuat pijitannya.”
Aku yang semula mengambil posisi
duduk di sampingnya, sekarang duduk di atas pantatnya. “Unghh… berat kamu”,
mendengus tertahan dia waktu kududuk di atasnya.
“Hehehe… tapi katanya suruh duduk di
sini”, cuek saja aku melanjutkan pijatanku. Penisku sudah terasa menegang sekali,
sesekali kutekan kuat-kuat penisku ke pantat Tante Anne. Walaupun aku masih
memakai celana lengkap, namun sudah terasa nikmat dan hangat sewaktu penisku
kutekan ke pantatnya.
“Iiihh… nakal ya… bilangin Mama kamu
lho”, katanya sewaktu merasakan penisku menekan-nekan pantatnya.
“Sudah belom Tante? sudah cape nih”, kataku setelah beberapa menit memijat punggungnya.
“Iyah… kamu berdiri dulu deh… Tante mau balik”, aku berdiri, dan Tante Anne sekarang berbalik posisi. Sekarang aku bisa melihat wajahnya yang cantik dengan jelas, payudaranya yang masih kencang itu berdiri tegak di hadapanku. Puting susunya yang merah kecoklatan terlihat begitu menantang. Aku sampai terbengong beberapa detik dibuatnya.
“Sudah belom Tante? sudah cape nih”, kataku setelah beberapa menit memijat punggungnya.
“Iyah… kamu berdiri dulu deh… Tante mau balik”, aku berdiri, dan Tante Anne sekarang berbalik posisi. Sekarang aku bisa melihat wajahnya yang cantik dengan jelas, payudaranya yang masih kencang itu berdiri tegak di hadapanku. Puting susunya yang merah kecoklatan terlihat begitu menantang. Aku sampai terbengong beberapa detik dibuatnya.
“Hey… pijit bagian depan dong
sekarang”, katanya.
Aku duduk di atas pahanya, kuremas
dengan lembut kedua payudaranya. Lalu kupuntir-puntir puting susunya dengan
jari-jariku. “Ihh… geli… hihihihi…” dia cekikikan. Aku benar-benar sudah tidak
bisa mengendalikan nafsuku lagi.
Sekarang ini yang ada dalam otakku
hanyalah bagaimana memuaskan Tante Anne, memberinya kepuasan yang selama ini
jarang ia dapatkan dari suaminya. Rasa kasihan akan Tante Anne yang telah lama
merindukan kehangatan laki-laki bercampur dengan nafsuku sendiri yang sudah
menggelora. Aku menarik celana dalamnya dengan agak kasar. Kulihat dia hanya
diam saja sambil memejamkan matanya pasrah.
Kuakui inilah pertama kalinya aku
melihat wanita telanjang secara nyata. Tapi agaknya aku tidak begitu canggung,
sepertinya aku melakukan semuanya dengan begitu alamiah. Tante Anne membuka
lebar kedua pahanya begitu celana dalamnya kulepas. Kulihat dengan jelas
vaginanya dengan bulu-bulu halus yang dicukur dengan rapi membentuk segitiga di
sekitarnya. “Sudah sering beginian yah kamu Chris?” tanyanya heran juga melihat
aku begitu mantap.
“Ehh… nggak kok… baru sekali Tante”,
nafasku sudah memburu, kata-kata pun sudah sulit kuucapkan dengan tenang.
Kulihat nafas Tante Anne juga sudah mulai memburu, berkali-kali ia menarik
nafas panjang untuk menenangkan diri. “Jilatin dong Chris!” katanya memelas.
Mulanya aku ragu-ragu juga, tapi
kudekatkan juga kepalaku ke vaginanya. Tidak ada bau tidak enak sama sekali,
Tante Anne rajin menjaga kebersihan vaginanya aku kira. Kujulurkan lidahku
menjilati dari bawah menuju ke pusar. Beberapa menit aku bermain-main dengan
vaginanya. Tante Anne hanya bisa mengerang dan menggelinjang kecil menahan
nikmat. Kulihat ia meremas sendiri buah dadanya dan memuntir-muntir sendiri
puting susunya.
Aku berdiri sebentar, melepaskan
semua pakaianku. Bengong dia melihat penisku yang 18 cm itu. Aku cuma tersenyum
kepadanya, dan melanjutkan menjilati vaginanya. Beberapa saat kemudian ia
meronta dengan kuat.
“aahh… ohh God… aargghh…” bagaikan
gila, dia menjepit kepalaku dengan pahanya, lalu menekan kepalaku supaya
menempel lebih kuat lagi ke vaginanya dengan dua tangannya. Aku susah bernafas
dibuatnya.
“Lagi… arghh… clitorisnya Chriss… ssshh… yah… yah… lagi… oooohh…” semakin menggila lagi dia ketika aku mengulum clitorisnya, dan memainkannya dengan lidahku di dalam mulut. Aku memasukkan lidahku sedalam-dalamnya ke dalam lubang vaginanya.
“Lagi… arghh… clitorisnya Chriss… ssshh… yah… yah… lagi… oooohh…” semakin menggila lagi dia ketika aku mengulum clitorisnya, dan memainkannya dengan lidahku di dalam mulut. Aku memasukkan lidahku sedalam-dalamnya ke dalam lubang vaginanya.
Bau cairan kewanitaan semakin keras
tercium. vaginanya benar-benar sudah basah. Tiba-tiba dia menjambak rambutku
dengan kuat, dan menggerakkan kepalaku naik turun di vaginanya dengan cepat dan
kasar. Lalu ia menegang, dan tenang. Saat itu juga aku merasa cairan hangat
semakin banyak mengalir keluar dari vaginanya. Aku jilati semuanya.
“Ohh… God… bener-benar hebat kamu
Chris… lemas Tante… aahh… nggak kuat lagi deh untuk berdiri… shitt… sudah lama
nggak begini”, dia terbujur lemas setelah 1/2 jam yang melelahkan itu. Aku cuma
tersenyum. Perlahan kutarik kedua kakinya ke tepi tempat tidur, kubuka pahanya
selebar-lebarnya dan kujatuhkan kakinya ke lantai.
Vaginanya sekarang terbuka lebar.
Nampaknya ia masih terbayang-bayang atas peristiwa tadi dan belum sadar atas
apa yang kulakukan sekarang padanya. Begitu ia sadar penisku sudah menempel di
bibir vaginanya.
“Ohh…” ia cuma bisa menjerit
tertahan. Lalu ia pura-pura meronta tidak mau. Aku juga tidak tahu bagaimana
cara memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Aku sering lihat di film-film, dan
mereka melakukannya dengan mudah. Tapi ini sungguh berbeda. Lubangnya sangat
kecil, mana mungkin bisa masuk pikirku. Tiba-tiba kurasakan tangan Tante Anne
memegang penisku dan membimbing penisku ke vaginanya.
“Tekan di sini Chris… pelan-pelan
yah… punya kamu gede banget sih”, pelan ia membantuku memasukkan penisku ke
dalam vaginanya. Belum sampai seperempat bagian yang masuk ia sudah menjerit kesakitan.
“Aahh… sakitt… oooh… pelan-pelan Chris… aduuh….” tangan kirinya masih menggenggam penisku, menahan laju masuknya agar tidak terlalu deras. Sementara tangan kanannya meremas-remas kain sprei, kadang memukul-mukul tempat tidur.
“Aahh… sakitt… oooh… pelan-pelan Chris… aduuh….” tangan kirinya masih menggenggam penisku, menahan laju masuknya agar tidak terlalu deras. Sementara tangan kanannya meremas-remas kain sprei, kadang memukul-mukul tempat tidur.
Aku merasakan penisku diurut-urut di
dalam vaginanya. Aku berusaha untuk memasukkan lebih dalam lagi, tapi tangan
Tante Anne membuat penisku susah untuk masuk lebih ke dalam lagi. Aku menarik
tangannya dari penisku, lalu kupegang erat-erat pinggulnya. Kemudian kudorong
penisku masuk sedikit lagi. “Aduhh… sakkkitt… ooohh… ssshh… lagi… lebih dalam
Chriss… aahh”, kembali Tante Anne mengerang dan meronta.
Aku juga merasakan kenikmatan yang
luar biasa, tak sabar lagi kupegang erat pinggulnya supaya ia berhenti meronta,
lalu kudorong sekuatnya penisku ke dalam. Kembali Tante Anne menjerit dan
meronta dengan buas. Aku diam sejenak, menunggu dia supaya agak tenang. “Goyang
dong Chris”, dia sudah bisa tersenyum sekarang. Aku menggoyang penisku keluar
masuk di dalam vaginanya. Tante Anne terus membimbingku dengan menggerakkan
pinggulnya seirama dengan goyanganku. Lama juga kami bertahan di posisi seperti
itu. Kulihat dia hanya mendesis, sambil memejamkan mata.
Tiba-tiba kurasakan vaginanya
menjepit penisku dengan sangat kuat. Tubuh Tante Anne mulai menggelinjang,
nafasnya mulai tak karuan, dan tangannya meremas-remas payudaranya sendiri.
“Ohh… ooohh… Tante sudah mau keluar
nih… sshh… aahh”, goyangan pinggulnya sekarang sudah tidak beraturan. “Kamu
masih lama nggak Chris? Kita keluar bareng saja yuk…. aahh”, tak menjawab, aku
mempercepat goyanganku. “Aahh… shitt… Tante keluar Chrisss… ooohh… gile”, dia
menggelinjang dengan hebat, kurasakan cairan hangat
keluar membasahi pahaku. Aku semakin
bersemangat menggenjot. Aku juga merasa bahwa aku bakal keluar tidak lama lagi.
“Aahh… sshh…” kusemprotkan saja
cairanku ke dalam vaginanya. Lalu kucabut penisku, dan terduduk di lantai.
“Kamu hebat… sudah lama Tante nggak pernah klimaks.”
“aah… capek Tante.”
“Mandi lagi yuk… lengket-lengket nih jadinya”, ia berjalan ke kamar mandi dan aku mengikutinya.
“Kamu hebat… sudah lama Tante nggak pernah klimaks.”
“aah… capek Tante.”
“Mandi lagi yuk… lengket-lengket nih jadinya”, ia berjalan ke kamar mandi dan aku mengikutinya.
Kami saling membersihkan tubuh di
bawah siraman shower. Setelah mandi, kami tidur-tiduran tanpa busana,
berciuman, sambil ngobrol macem-macem. VCD porno yang tadi sudah habis rupanya.
Tante Anne menggantinya dengan VCD yang lain.
“Eh… yang ini bagus loh Chris”, lalu
ia menghidupkannya. Filmnya tentang seorang gadis yang diperkosa, sedikit sadis
menurutku, tapi sangat merangsang sekali. “Tante sudah lama kepengen coba yang
seperti itu Chris… kalau
Om mu sih… nggak ada seninya… taunya
cuman goyang, nembak, tidur… susah juga hahaha… kamu mau coba nggak?” dia
tersenyum melihatku.
“Hehehe… terserah…”
“Ok!” lalu ia berjalan ke lemarinya. Sewaktu ia membukanya, aku terkejut juga melihat begitu banyak Sex Stuff seperti vibrator, tali, handcuff, dan banyak lagi.
“Wah… banyak amat peralatannya Tante”, kataku bercanda.
“He eh… yah beginilah… soalnya Om kamu jarang pulang sih. Tante kan butuh seks juga. Yah… terpaksa harus bermain dengan fantasi sendiri.”
“Hehehe”, aku cuma tertawa kecil. Kulihat ia mengambil tali dari lemari.
“Nih… kerjain Tante seperti yang di film itu dong Chris!” ia melemparkan tali itu kepadaku dan berjalan ke arah tempat tidur.
Tempat tidur itu bergaya Eropa
pertengahan, mempunyai pagar rendah berjeruji di sisi atas dan bawah. Ia
memegang pagar berjeruji itu. Aku mengikat tangannya di jeruji itu, ia sekarang
membungkuk membelakangiku dengan tangan terikat. Aku berjongkok dan mulai
menjilati vaginanya untuk pemanasan.
“Sssh… oouhh…” kembali kudengar
erangannya. Setelah beberapa saat vaginanya mulai basah. “Pakai vibrator
Chris!” aku berjalan ke lemari dan mengambil vibrator yang berbentuk seperti
penis manusia itu. Hati-hati kumasukkan vibrator itu ke dalam vaginanya, lalu
kugeser switch ke posisi “low”. Terdengar vibrator itu mulai berdengung halus.
“Ouuh… aahh…” kelihatannya Tante
Anne sangat menikmati permainan.
Tempo permainan sangat lambat kali
ini. Ia menggelinjang sedikit mengiringi dengungan halus vibrator. Sambil
sebelah tanganku memegangi vibrator supaya tidak lepas dari vaginanya, aku
memberinya tepukan di paha, memberinya tanda agar ia membuka pahanya
selebar-lebarnya. “Jilat anus Tante Chris!” kembali ia memberi komando. Aku
mulai menjilati pahanya yang putih dan jenjang, perlahan berpindah ke anus.
Bosan menjilati anusnya, aku
berdiri, memeluknya dari belakang, dan meremas payudaranya dengan sebelah
tanganku yang masih bebas. Beberapa saat kemudian ia orgasme. Lalu ia
menyuruhku memasukkan penisku ke dalam lubang anusnya. Aku sempat terkejut mendengarnya.
Menurutku pasti akan sakit sekali penisku dijepit oleh lubang anusnya. Tetapi
Tante Anne terus-terusan meminta dengan suara yang memelas.
“Tante sudah pernah nyoba?” tanyaku
ragu-ragu.
“Pernah… pakai vibrator… cobain saja deh… lebih sempit loh di sini… Tante kepingin nyoba dimasukin 2 lubang sekaligus.”
“Ok!” aku kembali membungkuk, kujilat bagian sekitar anusnya untuk melicinkannya.
“Pernah… pakai vibrator… cobain saja deh… lebih sempit loh di sini… Tante kepingin nyoba dimasukin 2 lubang sekaligus.”
“Ok!” aku kembali membungkuk, kujilat bagian sekitar anusnya untuk melicinkannya.
Kulihat Tante Anne merintih-rintih
ketika vibrator kugoyang agak cepat, tetapi ia tidak bisa banyak meronta karena
tangannya masih terikat kuat ke jeruji tempat tidur. Setelah merasa jalan masuk
cukup licin aku pun mengambil ancang-ancang, kugesek-gesekkan dulu kepala
penisku di sekitar anusnya.
“Yahh.. langsung saja Chriss”, Tante
Anne yang sudah tidak sabar, memundur-mundurkan pantatnya agar penisku bisa
segera masuk ke dalam lubang anusnya.
Kutarik vibrator yang masih saja
berdengung itu dari belakang, supaya pantat Tante Anne makin menempel ke kepala
penisku. Akibatnya vibrator itu melesak makin dalam ke vaginanya Tante Anne.
“Aahh… ooohh… sshh…” semakin
menggila saja dia. Pelan kudorong kepala penisku ke dalam lubang anusnya.
Kepala penisku terasa sedikit pedih,
aku menghentikan dorongannya sejenak. “Oooohh… yahh… terussss… deeper Chriss….”
“Sssshh… oooohh…” aku hanya bisa
mendesis menahan pedih yang bercampur nikmat ketika penisku masuk kira-kira
setengah bagian ke dalam lubang anusnya.
Menurutku masuk melalui lubang anus
tidak begitu nikmat, karena tidak ada cairan yang melicinkannya. Tapi kulihat
Tante Anne bagaikan sedang terbang sekarang. Nikmat sekali katanya. Kukira itu
karena dua lubangnya sedang terisi. Tante Anne terus saja menggoyang-goyang
pinggulnya kebelakang supaya penisku dapat masuk lebih dalam ke dalam lubang
anusnya. Aku tidak dapat menahan lagi goyangannya, kubenamkan sekuat tanaga
penisku ke dalam anusnya.
Rasanya seperti penisku sedang di
massage dengan kuat di dalam. Tanpa sadar, karena menahan nikmat tanganku
menggoyang-goyangkan vibrator itu dengan kencang. Tempo permainan berubah menjadi
liar sekarang. Tangan Tante Anne mencengkeram jeruji tampat tidur dan
menggoyangnya karena nikmat yang tak terkira. Aku mencoba menggoyang penisku di
dalam anusnya. Memang sedikit pedih karena kurangnya cairan pelicin di dalam
anusnya, tapi aku tidak peduli lagi. Sesekali kugunakan tangan kiriku untuk
meremas payudaranya yang tergantung-gantung itu. Beberapa saat kemudian aku
merasa mau orgasme.
“Aahh… oouuhh… Tante sudah mau
keluar belum?” tanyaku dengan nafas memburu.
“Engggh… sssssh… iyah…”
“Engggh… sssssh… iyah…”
Kurasakan Tante Anne semakin
menggila menggoyang pinggulnya. Kemudian dia tubuhnya menegang, kemudian
terkulai lemas. Aku pun merasa maniku sudah di ujung-ujungnya. Kupercepat
goyangan, kuremas payudaranya dengan kasar, dan kukocok vibratornya lebih cepat
lagi. Kulihat Tante Anne menjerit-jerit, tapi ia tak bisa berbuat banyak karena
tangannya terikat dengan kuat.
“Arrrgghh… ooohh…” seiring dengan
eranganku, kusemprotkan maniku ke dalam anusnya. Kali ini kurasakan maniku
keluar banyak sekali. Lalu kucabut penisku dari dalam anusnya, dan kucabut
vibrator dari vaginanya.
Sekilas kulihat vagina dan anusnya
merah sekali dan sedikit membengkak. Kubuka ikatan tangannya dan dia memeluk
serta menciumiku. Lalu kami berdua tertidur di lantai.




Post a Comment