Jilat
Lagi Memekku, Mas!
Aku baru saja merekrut
sekretaris baru karena sekretarisku yang lama sudah malas-malasan dan kurang
profesional, apalagi setelah dia menikah. Oh ya, hampir lupa, aku bekerja di
sebuah perusahaan swasta yang sedang naik daun, tepatnya di sebuah bank swasta.
Tak kuduga, sekretaris baruku itu memang bukan saja masih perawan, tapi rajin,
pintar dan yang paling penting lagi adalah bodinya yang montok dan parasnya
yang cantik, dengan kulit putih bersih tanpa cela. Dari pandangan mata pertama
kali ketika kuwawancarai aku langsung terpikat dan dari sorot matanya serta
sikapnya terhadapku, aku juga faham jika dia suka padaku.
Wah, cocok deh,
rasanya pada minggu pertama hari-hari di kantor begitu indah dan rasanya sangat
cepat berjalan. Namanya Indah Ningsih Purwati, oh… rasanya kerjaku tambah
bersemangat. Setiap kali dia datang ke kamar kerjaku membawa surat atau
minumanku, aku mulai menancapkan busur-busur asmaraku dari mulai menggenggam
tangannya, mencium hidung dan keningnya tetapi masih cukup sopan, jangan sampai
dia kaget atau marah. Tapi aku yakin, dia pun ingin diperlakukan demikian
karena ternyata dia tak menolak bahkan kerjanya semakin rajin dan cekatan
bahkan tak pernah bolos (termasuk ketika datang matahari, eh datang bulan).
Kupikir tak apa, malah
aku senang, toh aku belum mau pakai, yang penting bisa mencium bibirnya,
hidungnya, keningnya dan dari hari ke hari kami semakin tenggelam dalam asmara.
Ketika itu, tahun 1982, dia sudah punya pacar bahkan pacarnya terus memintanya
untuk segera menikah. Herannya, menurut pengakuannya, dia semakin benci dan
tidak berniat nikah dengan pacarnya itu. Weleh-weleh- weleh, rupanya jerat
cintaku telah merasuki jiwanya.
Sampai suatu hari (3
bulan kemudian), aku memberanikan diri untuk mengajaknya pergi ke luar kota di
hari minggu, karena tidak mungkin kami mencurahkan cinta kasih kami di kantor.
Dia setuju dan berjanji untuk menungguku di sebuah pasar swalayan tak jauh dari
rumahnya. Maka ketika mobil kami meluncur di toll Jagorawi menuju Bogor dan
kemudian ke Pelabuhan Ratu Sukabumi, hati kami semakin berbunga-bunga sebab
kami akan dapat mencurahkan segalanya tanpa takut diketahui orang atau pegawai
lain di kantor maklum kedudukanku sebagai kepala cabang bank swasta terkemuka
di samping sudah beristeri dan beranak dua.
“Ning….” kataku pelan
ketika mobilku keluar pintu toll.
“Ada apa Pak?” Ningsih menjawab manis, sambil melirikku.
“Sekarang jangan panggil bapak, panggil saja Papah, biar nanti orang mengira kita ini suami-isteri. ” Dia mencubit pahaku sambil tersenyum manja, dan tangannya kutahan untuk tetap memegang pahaku, dia mendelik manja tapi juga setuju.
“Pah… kamu nakal deh”, sambil mencubit sekali lagi pahaku. Wah, rasanya aku seperti terbang ke langit mendengar Ningsih mengatakan “Papah” seperti yang kuminta.
Sebaliknya, aku pun
mulai saat itu memanggil Ningsih dengan sebutan “Mamah” dan kami saling memagut
cinta sepanjang perjalanan ke Pelabuhan Ratu itu, laksana sepasang sejoli yang
sedang mabuk cinta atau pengantin baru yang akan ber-“honey-moon” , sehingga
tak terasa mobilku sudah memasuki halaman Hotel Samudera Beach. Pelabuan Ratu
yang berada di tepi Samudra Hindia dengan ombaknya yang terkenal garang.
Laksana suami isteri, aku dan Ningsih masuk dan menuju “reception desk” untuk
check-in minta satu kamar yang menghadap ke laut lepas. Petugas resepsi dengan
ramah dan tanpa rewel (mungkin karena aku ber-Mamah-Papah dan terlihat sebagai
suami isteri yang sangat serasi, sama ganteng dan cantiknya) segera memberikan
kunci kamar, sambil minta seorang room-boy mengantar kami ke ruangan hotel di
lantai tiga kalau aku tak salah.
Segera kututup pintu
kamar, di-lock sekaligus dan pesan supaya kami tidak diganggu karena mau
beristirahat. Aku dan Ningsih duduk berhadapan di pinggir tempat tidur sambil
tersenyum mesra penuh kemenangan. Akhirnya, angan-angan yang selalu kuimpikan
untuk berdua-duaan dengan Ningsih ternyata terlaksana juga. Kukecup hidungnya,
keningnya, telinganya, Ningsih menggelinjang geli. Kusodorkan mulutku untuk
meraih mulutnya, dia terpejam manja dan ketika bibir kami bersentuhan dan
kuulurkan lidahku ke bibirnya, ternyata dia langsung menyedot dan melumat
lidahku dalam-dalam.
“Ooohhgghh, Paahh”,
Ningsih mulai terangsang dan merebahkan badannya, aku segera saja menggumulinya
dan menaiki badannya, Ningsih melenguh dan terpejam, kemaluanku bergesekan
dengan selangkangannya dan bau harum parfumnya semakin merangsang nafsuku.
“Paahh, kita buka pakaiannya dulu, nanti lecek.” Oh, harum sekali mulutnya, kulumat habis wajahnya, kupingnya, jidatnya dan mulutnya.
“Paahh, bandel nih, kita buka dulu bajunya!” Aku masih terengah-engah menahan nafsuku yang membara, kemaluanku semakin menegang menggesek selangkangannya.
“OK Mahh… yuuk dibuka dulu.”
“Paahh, kita buka pakaiannya dulu, nanti lecek.” Oh, harum sekali mulutnya, kulumat habis wajahnya, kupingnya, jidatnya dan mulutnya.
“Paahh, bandel nih, kita buka dulu bajunya!” Aku masih terengah-engah menahan nafsuku yang membara, kemaluanku semakin menegang menggesek selangkangannya.
“OK Mahh… yuuk dibuka dulu.”
Karena sudah sama-sama
ngebet, kami saling membukakan pakaian dan setelah T-Shirt-nya kulepas,
terlihat sepasang gunung menyembul putih, dan mulus sekali. Kami berpandangan
setelah tak selembar benang pun menempel. Kudekap Ningsih yang mulus, putih,
harum itu, kujilati semuanya sambil berdiri, sementara kemaluanku sudah tegang
memerah, apalagi ketika Ningsih mulai meraba dan meremas batang kemaluanku.
Kutelentangkan dia di tempat tidur. Oh… betapa mulusnya badan Ningsih, sempurna
sekali seperti bidadari. Pinggulnya yang montok, buah dadanya yang putih
kencang dengan puting merona merah dan kemaluannya yang dijalari rambut
kemaluan yang tidak terlalu lebat jelas menampakkan bentuknya yang sempurna
tanpa cacat, dan kelentit yang merah terlihat rapi dan belum menonjol keluar
karena memang Ningsih masih perawan.
Kujilati dari ujung
kaki sampai ujung jidatnya yang mulus, naik ke atas, berhenti lama di bawah
kemaluannya. Kumainkan lidahku di antara selangkangannya, Ningsih melenguh,
terus kukulum-kulum kemaluannya, klitorisnya yang merah dan beraroma harum,
tambah lama tambah merambah ke dalam lubang kemaluannya yang merah.
“Ogghh, Paahh,
geliii.., terusss Pahh, ogghh, tapi jangan terlalu dalam Pahh…, saakiiit.”
“Yaa, sayanggg”, sambil terus lidah dan mulutku mengulum kemaluan dan kelentitnya yang mulai terasa agak asin karena cairan kemaluan Ningsih mulai keluar.
“Ogghh, Paah…, adduuhh, Paahh, gelii, Pahh, Mamah kayaak maauu… ogghh.” Aku terus menjilati seluruh kemaluannya dengan membabi buta, kuhirup seluruh cairannya yang wangi itu, sekali-kali lubang pantatnya kujilati dan Ningsih menggelinjang dan merintih setiap kali kujilat pantatnya.
“Yaa, sayanggg”, sambil terus lidah dan mulutku mengulum kemaluan dan kelentitnya yang mulai terasa agak asin karena cairan kemaluan Ningsih mulai keluar.
“Ogghh, Paah…, adduuhh, Paahh, gelii, Pahh, Mamah kayaak maauu… ogghh.” Aku terus menjilati seluruh kemaluannya dengan membabi buta, kuhirup seluruh cairannya yang wangi itu, sekali-kali lubang pantatnya kujilati dan Ningsih menggelinjang dan merintih setiap kali kujilat pantatnya.
Penisku semakin tegang
dan keras, urat-uratnya terlihat jelas menegang, aku tahan terus supaya tidak
ejakulasi duluan. Aku ingin memuaskan Ningsihku yang tentunya baru merasakan
kenikmatan surga dunia ini bersama lelaki yang dicintainya.
“Paahh, eemmggghh..,
teruss… Paahh, geellii…, oooggghh…, Pappaahh jaahhaatt!” aku masih saja terus
melumat, memamah, menggigit-gigit kecil lubang kemaluan dan klitorisnya yang
merah dan beraroma wangi, dan pantat Ningsih semakin cepat naik turun
sepertinya mau agar lidahku semakin masuk ke lubang kemaluannya.
“Paahh, naik Paahh, udaahh donnkk, Mamahh nggak tahaan”, sambil menarik tanganku.
“Paahh, naik Paahh, udaahh donnkk, Mamahh nggak tahaan”, sambil menarik tanganku.
Matanya terpejam ayam,
buah dadanya yang putih, mulus dan mengkel terlihat naik turun. Aku menaiki
badannya dan penisku yang sudah seperti besi terasa menggesek bulu kemaluannya
dan menempel hangat disela-sela kemaluannya yang semakin basah oleh ludahku dan
cairan vaginanya. Kuremas dan kuhisap buah dadanya, kukulum puting susunya yang
merah muda, terasa sedap dan manis. Ningsih menggelinjang dan semakin melenguh.
“Maahh, masukin yaa,
penis Papah”, dia mengangguk sambil tetap terpejam. Kubidikan penisku yang
sudah keras itu kelubang kemaluannya, dan kujajaki sedikit-sedikit lubangnya,
maklum Ningsih masih perawan, aku tak ingin menyakitinya.
“PPPaahh, masukkaan cepatt… Mamah nggak tahan Paah aahh…” Kutancapkan penisku lebih dalam, Ningsih merintih nikmat, pantatku naik turun untuk mencari lubang kemaluannya yang masih belum tertembus penis itu, Ningsih terus menggoyangkan pantatnya naik turun sambil terus merintih.
“Maahh, penis Papahh udahh masuukk, oogghh mahh, vaginanya lezat, menyedot-nyedottt. .. penis…” aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa, karena disamping Ningsih masih perawan, vaginanya juga punya keistimewaan yang sering disebut “empot-empot ayam” itu.
“PPPaahh, masukkaan cepatt… Mamah nggak tahan Paah aahh…” Kutancapkan penisku lebih dalam, Ningsih merintih nikmat, pantatku naik turun untuk mencari lubang kemaluannya yang masih belum tertembus penis itu, Ningsih terus menggoyangkan pantatnya naik turun sambil terus merintih.
“Maahh, penis Papahh udahh masuukk, oogghh mahh, vaginanya lezat, menyedot-nyedottt. .. penis…” aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa, karena disamping Ningsih masih perawan, vaginanya juga punya keistimewaan yang sering disebut “empot-empot ayam” itu.
Tambah lama, penisku
tambah melesak jauh ke dalam vagina Ningsih dan ada beberapa tetes darah
sebagai tanda keperawanannya diberikan kepadaku, boss-nya, kekasih barunya. Oh,
betapa bahagianya hati ini.
“Paahh, saakkiitt,
Paahh, tapi enaak, oooggghh.. Paahh, terus, goyang paahh…, oooghh, cepeetiinn
paahh…” Aku semakin mempercepat goyangan pantatku naik turun dan penisku sudah
bisa masuk semuanya ke lubang kemaluan Ningsih.
Aku bangun dan duduk
sambil kupeluk Ningsih untuk duduk berhadap-hadapan dengan tidak melepaskan
penisku. Ningsih duduk di pangkuanku dengan kaki melonjor ke belakang pantatku.
Penisku terus menancap di vaginanya dan Ningsih mulai menaik-turunkan
pantatnya.
“Paahh, oggghh… pahh”,
sambil melumat bibirku dan menggigitnya.
“mmaahh,oogghh, aememmhh… maahh, goyang terusss…, Papah mau keluarrrr.” Ningsih semakin beraksi menaik turunkan pinggulnya yang bahenol dan putih bersih dan aku pun meladeninya dengan menaik-turunkan pantat dan penisku semakin kencang juga.
“Pppaahh… Papahh harus tanggung jawab yaa, kalau Ningsih hamil”, ucapnya di sela-sela nafasnya yang semakin ngos-ngosan.
“mmaahh,oogghh, aememmhh… maahh, goyang terusss…, Papah mau keluarrrr.” Ningsih semakin beraksi menaik turunkan pinggulnya yang bahenol dan putih bersih dan aku pun meladeninya dengan menaik-turunkan pantat dan penisku semakin kencang juga.
“Pppaahh… Papahh harus tanggung jawab yaa, kalau Ningsih hamil”, ucapnya di sela-sela nafasnya yang semakin ngos-ngosan.
“Ningsiha… emmhhggg, sayang Pappaahh… biarin mengandung anak Papaah”, manjanya. Aku mengangguk saja sebab aku sangat mencintainya.
“Paahh… oogghh… emmgghh… Ningsiha mauuu… keluaarrr… oomhh.” “Papahh.. jugaa… sayanggg…. “jawabku sambil telentang agi sedangkan Ningsih tetap nongkrong berada di atas badanku dan vagina serta pantatnya naik turun semakin cepat melumat habis batang penisku.
“Paahh… Mamahh… oooghh… sssakittt, oooggghh… tapiii.. ennaakk”, ketika kubalikkan badannya dan kutancapkan penisku dari belakang.
Kugenjot terus penisku
keluar masuk lubang kemaluannya sambil kuremas-remas pinggulnya yang mulus dan
montok seperti gitar itu, Ningsih semakin merintih, aku juga semakin
tersengal-sengal menahan nafasku dan penisku yang semakin liar. Waktu sudah
berjalan sekitar 50 menit sejak kami masuk kamar. Kuat juga pikirku, mungkin
berkat latihan yogaku yang cukup teratur, sehingga bisa menahan emosi dan cukup
nafas. Aku memang rada jago juga dalam bermain asmara di ranjang.
“Terruusss.. . Paahh…
eemmhh… ogghh… Paahh… Paahh, ggghh… Mamahh maaooo keluaarr… oogghh… bareng
Paahh.” Kucabut dulu penisku dan Ningsih kuminta untuk telentang kembali dan
lantas kutindih lagi sebab aku ingin menatap dan menciumi wajah kekasihku
ketika kami sama-sama ejakulasi.
Kutancapkan kembali
penisku ke vaginanya yang terlihat semakin memerah, kujilati dulu lendir-lendir
di kemaluannya sampai lumat dan kutelan dengan nikmat. Dia menggeliat,
“Cepat dong masukan
lagi penisnya Pah!” dan,
“Bbbleess”, oh nikmat sekali rasanya vagina perawanku tercinta ini.
Aku seperti di
awang-awang, saling mencintai dan dicintai. Kugoyang terus pantatku semakin
lama semakin kencang dan penisku keluar masuk vaginanya dengan gagah, Ningsih
terus melenguh kenikmatan sambil tangannya memilin-milin puting susuku semakin
membawa nikmat. Ningsih semakin menggila goyangannya mengimbangi keluar masuk
penisku ke vaginanya, penisku terasa disedot-sedot dan dijepit dengan daging
lunak yang ngepres sekali. Keringat kami semakin bercucuran dan semakin
membangkitkan gairah cinta, kemudian tiba pada puncak gairah cinta dan surga
dunia kami yang paling indah, paling berkesan sekali disaksikan laut kidul, dan
kami berdua serempak berteriak dan mengejang,
“Paahh… Maahh… oogghh…
mauuu keluuuarrr.. . ogghh… baarrrreeengg. .. yuuu…, oooghh… sayaang.” Kami
sama-sama mengejang, mengerang, merengkuh apa pun yang bisa direngkuh, sebuah
klimaks dua manusia yang saling mencintai dan baru dipertemukan, meskipun sudah
agak telat karena aku sudah berkeluarga.
Sejak itu, aku terus
memadu kasih kapan dan di mana saja (kebanyakan di luar kota) sampai Ningsih
kawin dan keluar dari perusahaanku. Anak-anaknya adalah anak-anakku juga bahkan
wajahnya mirip wajahku dan kadang-kadang kami masih bertemu memadu kasih karena
kami tidak bisa melupakan saat-saat indah itu. Kapan akan berakhir
perselingkuhan ini, kami tidak tahu sebab cinta kami sangat mendalam.
Ningsih telah keluar
dari kantor cabang bank yang kupimpin di bilangan Slipi, karena dia dipaksa
kawin dengan seorang laki-laki yang tidak dicintainya. Namun sebagai anak yang
patuh sama orang tua, terpaksa harus mengikuti keinginan orangtuanya dan ikut
bersama suaminya setelah itu ke Bandung, karena suaminya bertugas di kantor
pajak Jawa Barat. Sebulan sebelum menikah dia kuajak ke Singapore untuk operasi
selaput dara, karena aku tidak ingin Ningsihku bermasalah dengan suaminya pada
malam pengantinnya.
Kami menginap di
sebuah hotel di kawasan Orchard Road yang ramai dan penuh pertokoan selama tiga
malam dan satu malam lainnya aku menungguinya di Rumah Sakit Elizabeth yang
terkenal dan langsung ditangani oleh dr. Lie Tek Shih, spesialis operasi
plastik, kenalan lama saya. Malam sebelum operasi selaput dara, kami
menumpahkan seluruh kasih sayang semalam suntuk di hotel bintang empat itu, dan
malam itu merupakan malam yang ke 24 (karena Ningsih rajin mencatat setiap
pertemuan kami) kami memadu kasih dan terlarut dalam kebersamaan yang tiada
tara sejak yang pertama di “Samudera Beach” Pelabuhan Ratu.
“Papah”, Ningsih
bersender manja di dadaku di kamar hotel itu.
“Apa sayang?” jawabku sambil mencium rambutnya yang harum.
“Mamah… Mamah nggak mau kawin dan meninggalkan Papah”, rengeknya manja.
“Memangnya kenapa sayang?” jawabku sambil mengusap sayang payudaranya yang putih ranum.
“Mamah nggak cinta sama calon suami pilihan Bapak, lagi pula Mamah nggak mau meninggalkan Papah sendirian di
Jakarta.” Matanya terlihat mulai berkaca-kaca,
“Mamah sangat sayaang sekali sama Papah, Mamah cintaa sekali sama Papah, Mamah tak rela tubuh dan segala milik Mamah dijamah dan dimiliki orang lain selain Papah, achh… kenapa Tuhan mempertemukan kita baru sekarang? setelah Papah punya isteri dan anak?” Ningsih terus bergumam sambil membelai dadaku dan sesekali mempermainkan puting susuku yang semakin keras.
“Mahh, sudahlah, itu
sudah diatur dari sananya begitu, kalau dipikir, Papah pun nggak rela kamu
dijamah laki-laki lain, Papah tak kuasa membayangkan bagaimana malam
pengantinmu nanti, tapi semuanya sudah akan menjadi kenyataan yang tidak
mungkin kita robah.” Aku menciumi seluruh mukanya dengan segenap kasing sayang,
seakan kami tidak ingin terpisahkan, air mata kami berlinangan campur menjadi
satu dalam kesenduan dan kemesraan yang tak pernah berakhir setiap kali kami
memadu kasih.
“Papaahh, nikmatilah
Ningsihmu sepuasmu Pahh, sebelum orang lain menjamah tubuhku.” Ningsih menarik
tanganku ke buah dadanya dan merebahkan badannya ke kasur empuk sebuah
double-bed. Aku beringsut mendekatinya, sambil kurebahkan badanku di samping
tubuhnya yang putih mulus dan seksi itu. Kuusap-usap penuh mesra dan kasih
sayang buah dadanya yang putih ranum dengan putingnya yang merona merah.
Kujulurkan mulut dan lidahku ke puting buah dada kirinya yang menurutnya cepat
membuat rangsangan berahinya timbul.
“Paahh…, gelliii…
sayaang… oooggghh, Paahh…, naikin Mamaahh… Paahh…” Matanya merem ayam dan
dadanya semakin turun naik.
“Iyyaa, yaanng…” aku segera menindihi badannya, dan penisku mulai kembali tegang.
“Iyyaa, yaanng…” aku segera menindihi badannya, dan penisku mulai kembali tegang.
Tiba-tiba Ningsih
membalikkan badannya dan mendadak merenggangkan kedua kakiku. Tak sampai satu
menit, Ningsih sudah mengulum penisku yang semakin mengeras dan mengkilat
kepalanya sampai batangnya amblas semua ke dalam mulutnya.
“Oogghh, Paahh, sudah
assiiinnn, Papah sudah ngiler nih, tapi nikmat kok, Mamah suka?” Aku semakin
merem melek,
“Ogghh, Mmaahh, geellii, sayaang, nikmaatt, ogghh.” Ningsih mengenyot biji pelirku dan menggigit-gigit sayang, hingga aku menggelinjang geli dan nikmat.
Ningsih memang pintar,
hebat, telaten dan cantik. Aku terkadang tak suka dan tak rela dia nanti
ditiduri dan dijamah lelaki lain, walaupun itu suaminya. Aku terpikir untuk
menggodanya.
“Mah, apa nanti
suamimu juga dijilati begini?” Ningsih berhenti melumat dan menjilat penis dan
buah pelirku sejenak. Matanya mendelik dan mencubit pantatku keras sekali.
“Jangan menyakiti hati Mamah ya Pah, Mamah sumpah nggak akan seperti ini, seperti main sama Papah, meskipun nanti lelaki itu resmi jadi suamiku”, Ningsih iseng mengusap-usap penisku penuh sayang sambil nyerocos lagi.
“Jangan menyakiti hati Mamah ya Pah, Mamah sumpah nggak akan seperti ini, seperti main sama Papah, meskipun nanti lelaki itu resmi jadi suamiku”, Ningsih iseng mengusap-usap penisku penuh sayang sambil nyerocos lagi.
“Percaya dech pah, Ningsih cuma cinta sama Papah, paling-paling kalau main nanti sama dia sekedar karena kewajiban, biar saja kayak gedebong pisang.”
“Benar ya Mah, Papah nggak rela kalau kamu main sama dia dirasain, terus ikut goyang dan melenguh, Papah pasti merasakannya” , kataku menimpali.
“Nggak bakal sayang, Mamah hanya manja dan menikmati semua kalau ngewe sama Papah, percaya dech sayang.” Ningsih kembali naik di atas badanku dan penisku terus diusap-usapnya dan sesekali dikocoknya persis di bagian kepalanya, sehingga langsung tegang dan berdiri perkasa menampakkan otot-ototnya.
Ningsih mengangkat
sedikit pantatnya ke atas dan menyelipkan penisku yang semakin perkasa ke
lubang kemaluannya yang mulai basah dan licin. Penisku nggak begitu panjang
memang, paling sekitar 15 sentimeter, tapi kerasnya seperti besi, dan Ningsih
selalu menikmati klimaks dengan sangat bahagia bahkan bisa berkali-kali klimaks
dalam setiap kali berhubungan denganku. Pantatnya mulai bekerja naik turun dan
pantatku juga mengimbanginya dengan menekan-nekan ke atas, sehingga Ningsih
semakin merem melek keasyikan.
“Ppaahh, aagggghh…
terus teken sayaang… Mamaahh eennnaakk adduuhh Paahh.., oogghh.., Mamaahh,
cintaa.. yaangg…” Selalu saja Ningsih nyerocos mulutnya kalau lagi keasyikan
vaginanya melumat penisku.
Vaginanya mulai lagi
menyedot-nyedot penisku dengan “empot ayamnya” yang tak bisa kulupakan.
“mmaahh…. ooogghh…
aduuhh, Maahh, nikmaat, sayaang.. teruuuss Maahh, goyaanng.” Aku mulai
merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Kuremas-remas buah
dada dan putingnya, hingga dia kegelian dan semakin kencang menaik-turunkan
pantatnya, sampai bunyi gesekan penis dan vaginanya semakin terdengar. Ningsih
membalikkan badannya dan membelakangiku tapi dengan posisi tetap di atas
tubuhku tanpa mengeluarkan penisku dari kemaluannya. Aku paling bernafsu kalau
melihat pantat Ningsih yang putih mulus dan bahenol turun naik di depan mataku
sambil vaginanya terus menghisap-hisap batang penisku sampai amblas semuanya ke
dasar kemaluannya. Tiba-tiba,
“Pppaahh, oggghh,
Papaahh, Mamahh maooo keluaarr…. ooghh… Papaahh… aa.. aa… aagghh aaggghh,
Mamaahh duluaannn Pahh….” Ningsih terkulai lemas sambil menyubit keras pantatku
dan berbalik kembali menindih tubuhku, sambil memegang penisku yang masih
berdiri tegak dan belepotan lendirnya.
“Bandel nich… ayo cepeten masukin lagi, Mamah yang di bawah!” perintahnya manja sambil menciumi wajahku. Kedua tubuh kami mandi keringat, rasanya puas sekali setiap bersetubuh dengan Ningsihku sayang.
Aku tersenyum puas,
aku memang nggak egois, biar Ningsihku dulu yang terkulai lemas menikmati
klimaksnya, aku bisa menyusul kemudian dan Ningsih selalu melayaniku dengan
penuh kasih sayang dan kesabaran. Kubalikkan tubuhnya, kujilati dengan kulumat
lendir-lendir di vaginanya, kujilat, kugigit sayang klitoris dan vaginanya, dia
menggelinjang kegelian. Kutelan semua lendir Ningsihku, sementara itu penisku
masih berdiri tegak.
“Cepat masukin
penisnya sayang, Mamah mau bobo nich.., lemas, ngantuk”, kicaunya. Setelah
kubersihkan vaginanya dengan handuk kecil, kumasukkan lagi penisku, aduh
ternyata lubang vaginanya menyempit kering lagi, menambah nikmat terasa di
penisku.
“Mmaahh, eennaak… Maahh, oogghh, sempit lagi Maahh…” sambil terus kutekan ke atas dan ke bawah penisku.
“Mmaahh, eennaak… Maahh, oogghh, sempit lagi Maahh…” sambil terus kutekan ke atas dan ke bawah penisku.
Aku sedikit mengangkat
badanku tanpa mencabut penisku yang terbenam penuh di vagina Ningsih, kemudian
kaki kanan Ningsih kuangkat ke atas dan aku duduk setengah badan dengan tumpuan
kedua dengkulku. Ningsih memiringkan sedikit badannya dengan posisi kaki
kanannya kuangkat ke atas. Dengan posisi demikian, kusodok terus penisku ke
luar dan ke dalam lubang vaginanya yang merah basah. Ningsih mulai melenguh
kembali dan aku semakin bernafsu menusukkan penisku sampai dasar vaginanya.
“Ooggghh, Maahh,
ooogghh.. nikmat sekali sayang”, lenguhku sambil memejamkan mataku merasakan
kenikmatan vagina Ningsih yang menyut-menyut dan menyedot-nyedot.
“Paahh.. Mamah enaak lagi, ooogghh… Paahh”, dia mulai melenguh lagi keenakan.
Aku semakin
bersemangat menusukkan penisku yang semakin tegang dan rasanya air maniku sudah
naik ke ujung penisku untuk kusemburkan di dalam kemaluan Ningsih yang hangat
membara. Kubalikkan tubuhnya supaya tengkurap dan dengan bertumpu pada kedua
dengkulnya aku mau bersenggama dengan doggy style, supaya penisku bisa
kutusukkan ke vaginanya dari belakang sambil melihat pinggul dan pantatnya yang
putih dan indah. Dalam posisi senggama menungging begitu, aku dan Ningsih
merasakan kenikmatan yang sangat sempurna dan dahsyat. Apalagi aku merasakan
lubang vaginanya semakin sempit menjepit batang penisku dan sedotannya semakin
menjadi-jadi.
“Paahh… teruuuss
genjoott.. Paahh…” Ningsih mulai mengerang lagi keenakan dan pantatnya semakin
mundur maju sehingga lubang vaginanya terlihat jelas melahap semua batang
penisku.
“Blleesss, shhoottt… bleesss… srooottt, sreett crreeckkk… ” gesekan penisku dan vaginanya semakin asyik terdengar bercampur lenguhan yang semakin nyaring dari dua anak manusia yang saling dilanda cinta.
“Maahh, ooggghh… adduuuhh, Yaangg… emghh, Papah enaakk, ooghh!” aku tergoncang-goncang dan dengkulku semakin lemas menahan kenikmatan dan nafsuku yang semakin menggelegak.
“Blleesss, shhoottt… bleesss… srooottt, sreett crreeckkk… ” gesekan penisku dan vaginanya semakin asyik terdengar bercampur lenguhan yang semakin nyaring dari dua anak manusia yang saling dilanda cinta.
“Maahh, ooggghh… adduuuhh, Yaangg… emghh, Papah enaakk, ooghh!” aku tergoncang-goncang dan dengkulku semakin lemas menahan kenikmatan dan nafsuku yang semakin menggelegak.
Sementara itu
keringatku semakin bercucuran membasahi kasur meskipun AC cukup dingin di kamar
hotel itu.
“Paahh, ooogghh,
teruuusss tusuuk Paahh…” Ningsih merintih-rintih ke asyikan, kelihatannya akan
klimaks lagi.
Rupanya Ningsih nggak
mau tahu kalau posisi persetubuhan saat itu akan berakhir 2-1 untuk
kemenanganku, dan entah akan menghasilkan skor berapa sampai pagi hari nanti,
soalnya mumpung ketemu sebelum dia dikawinkan. Ningsih memintaku untuk
telentang lagi dan sementara dia berada jongkok di depanku, sehingga vaginanya
yang merah basah sampai ke bulu-bulunya terlihat jelas di depan mataku. Aku
memberi kode agar Ningsih mendekatkan vaginanya ke mukaku. Sesaat kemudian
vaginanya sudah ditindihkan di mulutku dan kulumat habis cairan asin bercampur
manis yang ada di selangkangan dan mulut vagina dan bulunya. Kujilati habis dan
kutelan dalam-dalam. Ningsih melenguh keasyikan sambil menggoyangkan pinggulnya
ke atas ke bawah dan membenamkan vaginanya ke mukaku.
“Paahh…, ooghh,
Paahh…, nikmaatt, yaangg… teruusss, aduuuhh…, ooggghh, eemmhh, gilaa…, emmhh”,
mulai ramai lagi dia dengan lenguhannya yang semakin menambah semangatku untuk
terus melumat, menjilat, menggigit-gigit kecil kemaluan dan klitorisnya,
lidahku terus menggapai-gapai ke dalam kemaluannya dan sesekali menjilat lubang
pantatnya, sehingga dia menggeliat dan melenguh keenakan. Lenguhan Ningsih
kalau sedang senggama itu tak bisa kulupakan sampai saat ini.
Ningsihku adalah
isteriku yang sesungguhnya, meskipun secara resmi tidak dapat dilakukan karena
keadaan kami masing-masing. Terkadang kami bingung apakah cinta kasih kami akan
terus tanpa akhir sampai takdir memisahkan kami berdua? Ningsih kembali kuminta
celentang, karena sudah kebiasaanku kalau aku klimaks harus melihat wajahnya
dan mendengar lenguhannya di depan mataku, dan rasanya semua perasaan cintaku
dan spermaku tumpah ruah di dalam vaginanya kalau aku ejakulasi sambil berada
di atas tubuhnya yang mulus montok, terkadang sambil meremah buah dadanya yang
putih padat.
Kumasukkan lagi segera
penisku yang sekeras besi dan berwarna coklat mengkilap itu kelubang vaginanya,
“Blleeeessss. ” Aku
sudah tak tahan lagi menahan gumpalan spermaku di ujung penisku.
Kugenjot penisku
keluar masuk vaginanya sampai ke ujung batang penisku, sehingga rambut kemaluan
kami terasa bergesekan membuat semakin geli dan nikmat rasanya. Kuangkat kaki
kanan Ningsih ke atas, sehingga aku semakin mudah dan bernafsu memaju mundurkan
pinggulku dan penisku, Ningsih meringis dan melenguh keenakan.
“Paahh… teruuss Paahh…
oogghh, penis Papah eaakk… ooggghh, eeemmhh… emmhh… aduuuhh.” Keringat kami
semakin bercucuran membasahi sprei, masa bodoh sudah bayar mahal ini.
Aku semakin bernafsu
menyodok dan menarik batang penisku dari vagina Ningsih yang semakin licin tapi
tetap sempit seperti perawan.
“Oooggghh… Maahh…
ooggghh… Maahh… ikut goyang dong Sayaang…, oooghh… Papaahh maauu keluuuaarr..
.” aku semakin gila saja dibuatnya, keringat semakin bercucuran, nikmat dan
nikmat sekali setiap bersetubuh dengan Ningsihku sayang.
Air maniku rasanya
tinggal menunggu komando saja untuk disemprotkan habis-habisan kelubang vagina
Ningsih.
“Paahh, aduuuhh,
bareng yuuu.. Paahh… Mamah mmoo keluaarr lagi”, Ningsih minta aku menindihnya
dan menciumnya.
Segera kutimpa dia
dari atas sambil melumat mulut, bibir dan lidahnya.
“Ooogghh… yuu…
baraeeng.. Paahh… aiiaaogghh.. . aduhh.. yuu Maahh.. Paahh…” badan kami saling
meregang, berpelukan erat seakan tak mau lepas lagi.
Air maniku
kusemprotkan dalam-dalam ke lubang vagina Ningsih, rasanya nggak ada lagi
tersisa. Kami terkulai lemas dalam pelukan hangat dan puas sekali. Sesekali
penisku kutusukan ke dalam vaginanya, Ningsih menggelinjang geli dan melenguh
“Paahh… udaahh… Mamahh geli…” matanya terpejam puas. Kuciumi dia, kubersihkan
lagi vaginanya dengan jilatan lidah dan mulutku, ketimbang pakai handuk.
Vaginanya tetap harum, manis dan wangi laksana melati.
Sepulang dari
Singapore, aku dan Ningsih masih selalu bertemu di beberapa motel di Jakarta
dan sekitar Botabek. Aku seakan tidak rela melepas kekasihku untuk dikawinkan
dengan lelaki lain. Tapi memang tidak ada jalan lain, sebab meskipun Ningsih
telah menyatakan keikhlasannya untuk menjadi isteri keduaku, namun aku juga
sangat cinta keluarga terutama anak-anakku yang masih butuh perhatian. Ningsih
sangat maklum hal itu, namun dia juga tidak bisa menolak keinginan orangtuanya
untuk segera menikah mengingat hal itu bagi seorang wanita adalah sesuatu yang
harus mempunyai kepastian karena usianya yang semakin meningkat. Waktu itu
Ningsih sudah berusia hampir 26 tahun dan untuk wanita seusia itu pantas untuk
segera berumah tangga.
Tanpa terasa hari pernikahan
Ningsih sudah tinggal tersisa satu bulan lagi, bahkan undangan pesta pernikahan
sudah mulai dicetak, dan dia membeNingsihhukan aku bahwa resepsi pernikahannya
akan diselenggarakan di Balai Kartini. Hatiku semakin merasa kesepian, dari
hari ke hari aku semakin sentimentil dan sering marah-marah termasuk kepada
Ningsih.
Aku begitu tak rela
dan rasanya merasa cemburu dan dikalahkan oleh seorang laki-laki lain calon
suami Ningsih yang sebenarnya tidak dia cintai. Tapi itulah sebuah kenyataan
pahit yang harus kutelan. Itulah adat ketimuran kita, adat leluhur dan moyang
kita. Barangkali kalau aku dan Ningsih hidup di sebuah negara berkebudayaan
barat, hal ini tidak bakalan terjadi, sebab Ningsih bisa menentukan pilihannya
sendiri untuk hidup bahagia bersamaku di sebuah flat tanpa bisik-bisik tetangga
dan handai-taulan di sekitar kita.
Tanpa terasa pula aku
sudah menjalin cinta dan berhubungan intim dengan Ningsih hampir empat tahun
lamanya, seperti layaknya suami isteri tanpa seorang pun yang mengetahui dan
hebatnya Ningsih tidak sampai mengandung karena kami menggunakan cara kalender
yang ketat sehingga kami bersenggama jika Ningsih dalam keadaan tidak subur.
Pada suatu sore,
Ningsih meneleponku minta diantarkan untuk mengukur gaun pengantinnya di sebuah
rumah mode langganannya di kawasan Slipi. Kebetulan aku sedang agak rindu pada
dia. Kujemput dia di sebuah toko di Blok M selanjutnya kami meluncur ke arah
Semanggi untuk menuju ke Slipi. Di mobil dia agak diam, tidak seperti biasanya.
“Ning, kok tumben nggak
bersuara”, kataku memecah hening.
Dia menatap mukaku
perlahan, tetap tanpa senyum. Air matanya terlihat samar di pelupuk matanya.
“Mah, kenapa sayang?
kok kelihatannya bersedih”, kataku sekali lagi.
Dia tetap menunduk dan
air matanya mulai meluncur menetes di tanganku yang sedang mengelus mukanya.
“Bertambah dekat hari
pernikahanku, aku bertambah sedih Pah”, ujarnya.
“Mamah membayangkan malam pengantin yang sama sekali tidak Mamah harapkan terjadi dengan lelaki lain. Sayang sekali kamu sudah milik orang lain. Kenapa kita baru dipertemukan sekarang?” Ningsih berceloteh setengah bergumam. Aku merasa iba, sekaligus juga mengasihani diriku yang tidak mampu berbuat banyak untuk membahagiakannya.
Kugenggam tangannya
erat-erat seolah tak ingin terlepaskan. Tanpa terasa, mobilku sudah memasuki
pekarangan rumah mode yang ditunjukan Ningsih. Hampir setengah jam aku menunggu
di mobil sambil tiduran, mesin dan pendingin mobilku sengaja tak kumatikan.
Laser disk dengan lagu “Love will lead you back” mengalun sayup menambah
suasana sendu yang menyelimuti perasaanku. Aku dikejutkan Ningsih yang masuk
mobil dan membanting pintunya. Setelah berada di jalan raya kutanya dia mau ke
mana lagi dan dia menjawab terserahku. Kuarahkan mobilku kembali ke jembatan
Semanggi dan belok kiri ke jalan Jenderal Sudirman dan masuk ke Hotel Sahid.
Sementara aku mengurus check-in di Reception Desk, Ningsih menungguku di lobby
hotel. Kemudian kami naik lift menuju kamar hotel di lantai dua.
“Pah, Mamah serahkan
segalanya untukmu, Mamah khawatir sebentar lagi Mamah dipingit, nggak boleh
keluar sendirian lagi, maklum tradisi kuno kejawen masih ketat.” Tanpa malu-malu
lagi karena kami memang sudah seperti suami isteri, dia membuka satu persatu
pakaian yang melekat di badannya sehingga kemontokan tubuhnya yang tak bisa
kulupakan terlihat jelas di hadapanku. Tanpa malu-malu pula dia mulai
memelorotkan celana panjang sampai celana dalamku, sehingga batang penisku yang
masih tiduran terbangun. Tanpa menungguku membuka baju dan kaus singlet,
Ningsih sudah membenamkan batang penisku ke mulutnya dan melumatnya
dalam-dalam. Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa dan batang penisku
mulai mengembang besar dan keras seperti besi.
“Ogghh… Maahh…, isep
terus yaang oooghh, aduuuuhh… gelli”, aku mulai melenguh nikmat dan Ningsih
semakin cepat mengulum penisku dengan memaju-mundurkan mulutnya, penisku
semakin terasa menegang dan aliran darah terasa panas di batang penisku dan
Ningsih semakin semangat melumat habis batang penisku. “Oggghh, Paahh, enaakkk
asiiin.. Paahh.” Wah, batang penisku makin terasa senut-senut dan tegang sekali
rasanya cairan spermaku sudah berkumpul di ujung kepala penisku yang semakin
merah mengkilat dikulum habis Ningsih. Aku minta Ningsih menghentikan
hisapannya dulu, kalau tidak rasanya spermaku sudah mau muncrat di mulutnya.
“Ooogghh, Maahh, sudah
dulu doong, Papaahh moo… keluaar!” Ningsih menuruti eranganku dan beranjak
rebah dan telentang di tempat tidur. Aku mengambil nafas dalam-dalam untuk
menahan muncratnya spermaku. Aku ikut naik ke tempat tidur dan kutenggelamkan
mukaku ke tengah selangkangannya yang mulus putih tiada cela tepat di depan
kemaluannya yang merekah merah. Kujulurkan lidahku untuk kemudian dengan
meliuk-liuk memainkan kelentitnya, turun ke bawah menjilat sekilas lubang
pantatnya. Ningsih melenguh kegelian dan mulai menaik-turunkan pantatnya yang
putih dan gempal.
Kutarik ke atas
lidahku dan kujilat langit-langit vaginanya yang mulai basah dan terasa manis
dan asin. Kutegangkan lidahku agar terasa seperti penis, terus kutekan lebih
dalam menyapu langit-langit vagina Ningsih. Ningsih semakin memundur-majukan
pinggulnya sehingga lidahku menembus lubang vaginanya semakin dalam. Aku
sebenarnya ingat bahwa hasil operasi selaput daranya tempo hari di Singapore
bisa jebol lagi, tapi aku tak peduli kalau kenikmatan bersenggama dengan
Ningsih telah memuncak ke ubun-ubunku.
“Paahh… ooghh…
wooowww… ooghh.. paahh, terus paahh… enaakkk… paahh lidahnya kayaak kontoooll…
” Goyangan pinggul Ningsih semakin menggila, aku pun tambah semangat membabi
buta memainkan lidah dan mulutku melumat habis vagina dan klitorisnya sampai
cairan Ningsih semakin banyak mengalir.
Kuhisap dan kutelan
habis cairan vagina Ningsih yang asin manis itu sehingga lubang vaginanya
selalu bersih kemerahan. Ningsih terus menyodok-nyodokkan vaginanya ke mukaku
sehingga lidahku terbenam semakin dalam di lubang vaginanya, sampai mulai
terasa pegal rasanya lidahku terus kutegangkan seperti penis.
“Paahh… sudah naik
sayaang, Mamah sudah nggak tahan, masukkan penisnya sayang.” Ningsih menarik
tanganku ke atas supaya aku segera menaikkan badanku di atas badannya.
Penisku memang sudah
terasa panas dan tegang sekali. Ningsih tak sabar memegang penisku dan
menuntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah karena lendir kemaluan
bercampur ludahku. Maka
“bleeess”,
“Ogghh… Paahh… tekan terus sayaang, Mamah udaahh rinduu… oogghh emmgghh… Paah… terus goyaag sayaang…. ooghh..” Pantat Ningsih mulai bergerak naik turun dengan liar dan penisku sebentar masuk sebentar keluar dari lubang vaginanya yang menyedot-nyedot lagi.
Kunaikkan kaki
kanannya dan dengan posisi setengah miring dan posisiku setengan duduk aku
sodok vagina Ningsih dari belakang. Aku semakin bernafsu kalau melihat pantat
dan pinggul Ningsih yang putih. Penisku semakin ganas dan tegang menyodok
mantap vaginanya dari belakang.
Ningsih membalikkan
tubuhnya sehingga menungging membelakangiku dan penisku tak kucabut dari
vaginanya.
“Paahh.. teruuss
dooong, Mamaah nikmaa… ogghh… teruuusss… sodoook sayaang… ogghh… Paahh….
aaoggghh… uuuggghh…” Pantatnya semakin menggila mundur maju dan aku pun semakin
menggila menyodokkan penisku sampai rasanya mau patah.
Memang setiap senggama
sama Ningsih rasanya habis-habisan. Kutumpahkan semua kemampuan dan
keperkasaanku untuk membahagiakan Ningsihku. Dia pun demikian, tidak ada yang
tersisakan kalau kami bersenggama. Harus habis-habisan supaya puas. Keringat
kami membanjiri sprei hotel seperti habis mandi.
“Mmaahh… oooghh,
teruuusss goyaang… oooggghh.. Maahh… Papaahh mooo keluaarr… gila Maahh…
vaginanyaa.. . oooghh… nikmaat… sekalii…” Aku mulai ribut dan Ningsih melenguh
semakin panjang. Mungkin tamu kamar sebelah mendengar lengkingan dan lenguhan
kami.
Masa bodoh!
“Pahh… emmghh… oogghh…
Paapaahh… adduuuhh.. Paahh… adduuhh… Mamaahh… mmooo kelluuaarr.. . emmggg…
addduhh… Paahh aduuhh… Paahh… adduuhh”, Kugenjot terus penisku keluar masuk,
vagina Ningsih yang semakin banjir dengan cairan vaginanya, terus kugenjot
penisku sampai pegel aku tak peduli. Keringat kami terus membanjiri sprei.
Kuminta Ningsih
telentang kembali karena dengkulku mulai lemas. Dia tersenyum sambil tetap
memejamkan matanya. Oh, cantiknya bidadariku, rasanya ingin kukeluarkan seluruh
isi penisku untuknya. Ningsih baru sadar bahwa hasil operasi selaput daranya
mungkin jebol lagi. Ningsih bilang masa bodoh, yang penting semuanya telah
diberikan buat Papah. Biar saja suaminya curiga atau marah atau bahkan kalau
mau cerai sekalipun kalau tahu dia nggak perawan lagi. Kali ini kami nggak
menunggu waktu ketika Ningsih sedang tidak subur, karena Ningsih ingin
mengandung anakku dan orang tidak akan curiga karena Ningsih akan punya suami.
Memang kasihan nasib suami Ningsih nanti, tapi bukan salah kami karena dia
merebut cinta kami, ya kan ?
“Cepat pah masukan
lagi ach… jangan mikirin orang lain!” Tuh kan betapa dia nggak ambil peduli
tentang hari pernikahannya dan calon suaminya, sebab bagi dia akulah suami
sesungguhnya dalam hati sanubarinya. Bleess…, “Ooogghh… Paahh, enaak… Paahh…
aaoogghh.. uuhhgg.. uuughh… genjot terus Paah”, Aku tekan penisku
sekuat-kuatnya sampai tembus semuanya ke lubang paling dalam vaginanya sampai
terasa mentok.
“Ooogghh… mmaahh… nikmaattt… istrikuu… sayaangg… oooggghh… aagghh… eemmgghh…” aku setengah berdiri lagi dengan tumpuan ke dua dengkulku dan kurenggangkan kedua kaki Ningsih, kusodokkan terus penisku keluar masuk vaginanya, bleeesss… sreeett… blleeess… sreeet…, vaginanya menimbulkan suara yang semakin memancing gairah kami berdua.
“Ooogghh… mmaahh… nikmaattt… istrikuu… sayaangg… oooggghh… aagghh… eemmgghh…” aku setengah berdiri lagi dengan tumpuan ke dua dengkulku dan kurenggangkan kedua kaki Ningsih, kusodokkan terus penisku keluar masuk vaginanya, bleeesss… sreeett… blleeess… sreeet…, vaginanya menimbulkan suara yang semakin memancing gairah kami berdua.
Ningsih memejamkan dan
mengigit-gigit bibirnya dan mencakar-cakar punggung dan tanganku ketika mulai
meregang.
“Ooooggghh.. .
Paappaahh… emmggg… ooggghh… aduuuhh… Mamaah moo keeluuuuarr. . oooghh.. Paahh…
teruuuss… saayyaang, keluuaarriiinn barreenng oogghh”,
“Hayyyoo… Maahh… oogghh… hayoo… baarr… ooghh… reenng… Maahh… ooooghh”, teriakanku tak kalah serunya.
“Hayyyoo… Maahh… oogghh… hayoo… baarr… ooghh… reenng… Maahh… ooooghh”, teriakanku tak kalah serunya.
Kami menggelepar, meregang,
mengejang bersama-sama, serasa nafasku mau copot dan Ningsih melenguh panjang
sambil merasakan cairan air maniku tertumpah ruah di lubang kemaluannya, terasa
nikmat dan hangat katanya. Biasanya sehabis merasakan klimaks yang sangat
dahsyat Ningsih selalu memukul dan mencubit sayang badanku, terus kelelahan mau
tidur sehingga terbaring lunglai dengan keringat bercucuran. Aku selalu memeluk
dan menciumi keningnya, hidungnya, mulutnya, rambutnya sampai ke pantatnya,
biasanya dia menggelinjang dan marah-marah karena geli. Jika Ningsih sudah
terpuaskan dan tertidur, aku rasanya lelaki yang sangat berbahagia di dunia
ini. Sekian dulu (Akan kusambung setelah Ningsih kawin seminggu, tambah seru
deh!).
Telah seminggu Ningsih
menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya. Resepsi pernikahannya di Balai
Kartini cukup meriah, dan aku datang dengan isteriku untuk menyampaikan
selamat. Ketika aku menyalaminya, dia tertegun dan terasa agak kikuk dan serba
salah, aku pun merasakan hal yang sama. “Terima kasih ya Pak”, katanya hampir
tak terdengar. Di hatiku berkecamuk seribu macam pikiran, tapi kuusahakan untuk
tetap wajar. Ningsihku begitu cantik dan anggun dengan pakaian pengantinnya.
Aku membayangkan bahwa sebentar lagi Ningsih kekasihku, isteriku, yang beberapa
tahun telah memadu cinta denganku akan menjadi isteri orang.
Meskipun kutahu bahwa
dia tetap mencintaiku, tapi secara resmi dia akan menjadi isteri orang lain,
tentu tidak akan sebebas dulu ketika dia masih single. Sebentar lagi Ningsih
akan tidur berdua-duaan dengan lelaki lain, mungkin untuk selamanya, karena aku
pun tak ingin dia menjadi janda dan kalau Ningsih menjadi janda tentu akan
menjadi gunjingan orang. Tidak, aku tak rela Ningsihku menjadi gunjingan orang.
Sekilas aku berpikir untuk mengakhiri saja hubunganku dengan Ningsih, karena
dia telah menjadi isteri orang, tapi apakah bisa semudah itu aku melupakannya?
Dunia rasanya sepi dan kejam, dan aku melangkah gontai meninggalkan pesta
perkawinannya yang masih penuh tawa dan canda teman-teman dan keluarganya.
Beberapa hari setelah
pernikahannya aku membenamkan diri dengan pekerjaanku, siang dan malam
kusibukkan diriku dengan pekerjaan dan mengurus anak-anaku. Aku tak mau
membayangkan, dan memang tak sanggup membayangkan sedang apa Ningsih beberapa
hari setelah pernikahannya. Aku cemburu, marah, masgul, gundah jika
membayangkan dirinya sedang bersenang-senang dengan suaminya yang tentunya
sudah tak sabar ingin menikmati kemontokan dan kemulusan tubuh Ningsih, yang
sudah resmi jadi isterinya. Aku membayangkan Ningsih telanjang bulat bersama
suaminya, manja, bersenggama bebas tanpa takut oleh siapapun dan melenguh mesra
seperti ketika bersenggama denganku.
Tiba-tiba aku sangat
benci padanya, aku menganggap Ningsih nggak setia padaku, Ningsih telah
mengkhianati cintaku, buktinya dia mau saja digilir oleh lelaki lain. Apakah
itu yang namanya cinta dan kesetiaan? Aku bertekad untuk menjauhinya mulai
sekarang, dan aku tak akan menerima teleponnya. Ningsih memang berjanji akan
meneleponku paling lambat satu minggu setelah dia menikah dan sebelum ikut
suaminya pindah ke Bandung.
Tidak! aku tak akan
menerimanya jika dia meneleponku, biar dia tahu rasa, aku tak mau bekas orang
lain. Benar saja, pada hari kelima setelah kawin dia meneleponku.
“Pak, ada telepon”,
kata sekretarisku yang baru, pengganti Ningsih.
Anehnya, meskipun dia
berparas lumayan, aku tak tertarik sama sekali dengan sekretaris baruku itu.
Aku memang bukan type “hidung belang” yang sekedar mau iseng bercumbu dengan
perempuan. Aku hanya jatuh hati dua kali seumur hidupku, kepada isteriku dan
kepada Ningsih.
“Pak, kok melamun, ada
telepon dari Ibu Ningsih, katanya bekas sekretaris bapak”, sekretaris baruku
kembali mengagetkan lamunanku.
“Ooh.. ya… ya.. sebentar Reni…, emh.. dari siapa? Ningsih? bilang saja Bapak sedang ke luar kantor ya!” aku mengajari dia bohong.
“Lho, Pak, kenapa? kan kasihan Pak, katanya penting sekali, dan besok Ibu Ningsih mau pindah ke Bandung”
Reni, sekretaris
baruku itu mulai mendesakku untuk menerima saja telepon Ningsih itu. Aku
sejenak merasa bingung, aku rasanya masih benci tapi juga sangat rindu sama
Ningsih, apalagi kata Reni besok akan jadi pindah mengikuti suaminya yang bekerja
di Bandung.
Setelah berfikir
sejenak…
“OK, Reni, sambungkan
ke sini!” dan aku agak gugup untuk kembali berbicara dengan Ningsih, untuk
kembali mendengar suaranya, Ningsih yang sekarang sudah menjadi isteri orang
lain.
“Hallooo…, siapa nich?”, kataku agak malas.
“Papah, ini Ningsih Pah, Papah kok gitu sih?” jawab Ningsih di ujung sana.
“Oh, Nyonya Prayogo, saya kira Ningsih Prameswara kawanku”, kataku menggoda.
“Nggak lucu ah…, Mamah sekarang tanya serius, apa Papah mau nemui Mamah nggak sebelum besok Mamah pindah ke
“Hallooo…, siapa nich?”, kataku agak malas.
“Papah, ini Ningsih Pah, Papah kok gitu sih?” jawab Ningsih di ujung sana.
“Oh, Nyonya Prayogo, saya kira Ningsih Prameswara kawanku”, kataku menggoda.
“Nggak lucu ah…, Mamah sekarang tanya serius, apa Papah mau nemui Mamah nggak sebelum besok Mamah pindah ke
Bandung?”, jawabnya lagi setengah mengancam.
Aku bingung juga
ditanya begitu, sebab jauh di dalam hatiku sebenarnya aku rindu berat sama
Ningsih, tapi kebencian dan kekesalan masih menempel erat di benakku.
Beberapa jenak, aku
nggak bisa menjawab sampai Ningsih nyerocos lagi.
“Mamah ngerti, Papah
masih kesal dan benci sama Mamah, tapi kamu kan sudah setuju kalau Mamah
terpaksa harus kawin, demi kebaikan hubungan kita dan demi menjaga nama baikmu
juga. Papah, dengar! Mamah sudah seminggu nggak menstruasi lagi sampai
sekarang. Ingat hubungan kita di Hotel Sahid terakhir kali? Sudahlah, nanti
Mamah ceNingsihkan lebih lengkap, sekarang mau nggak jemput Mamah di toko biasa
di Blok M? Soalnya mumpung si Yudi pulang agak larut malam” Nama suaminya memang
Yudi Prayogo dan hanya selisih dua tahun dengan Ningsih, katanya sih ketemu di
kursus Inggris LIA.
Hatiku mulai melunak
mendengar pengakuannya dan serta merta aku menyetujui untuk menjemputnya di
Blok M. Aku memarkir mobilku di tempat parkir yang agak memojok dan sepi,
maklum kami harus semakin berhati-hati, karena Ningsih sudah menjadi isteri
orang. Ningsih segera hafal melihat mobilku dan setelah Ningsih duduk di
sampingku, segera kukebut lagi keluar Blok M menuju ke utara melewati
Sisingamangaraja, Sudirman, naik jembatan Semanggi terus memutar ke jalan
Jenderal Subroto dan dengan cepat masuk ke halaman parkir Hotel Kartika
Chandra. Ningsih terlihat lebih cantik, sedikit gemuk dan tambah bersih dan
putih mukanya. Rambut dan bulu-bulu halus di sekitar jidatnya terlihat hilang,
mungkin karena dikerok oleh perias pengantinnya.
Dia mengenakan celana
panjang merah dan T-Shirt putih kembang-kembang ditutupi blazer warna hitam.
Terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Banyak yang nyangka dia
keturunan Tionghoa, padahal Jatul. Tahu jatul? Jatul itu “Jowo Tenan” atau
“Jawa Tulen”. Ibunya dari Purwokerto dan bapaknya dari Surakarta , katanya sih
masih kerabat Kesultanan Surakarta, masih trah langsung Raja Paku Bowono.
Setelah check-in sebentar, aku sudah berdua-dua dengan Ningsih di kamar hotel,
dan untuk pertama kalinya aku berduaan dengan isteri orang. Ada perasaan
berdosa menyelinap di hatiku. Tapi semuanya menjadi hilang karena betapa
besarnya cintaku pada Ningsih. Juga sebaliknya, jika Ningsih tak mencintaiku,
mana mungkin dia beReni bertemu dengan lelaki lain padahal dia baru kawin lima
hari lalu?
“Papah, Ningsih sedang
mengandung janin anakmu, biasanya tanggal lima minggu lalu Mamah menstruasi
ternyata nggak keluar sampai sekarang”, Ningsih menambahkan keterangannya tadi
di telepon, dan aku semakin cinta dan sayang rasanya. Tapi tetap saja ingin
menggodanya dan mengetes cintanya padaku.
“Oh, ya, hampir lupa, gimana dong bulan madunya kemarin, ceNingsihin dong Ning! pasti seru dan rame dengan lenguhan.
“Oh, ya, hampir lupa, gimana dong bulan madunya kemarin, ceNingsihin dong Ning! pasti seru dan rame dengan lenguhan.
Dan apa suamimu nggak
ribut tanya perawanmu kaya Farid Hardja?” Ningsih mendelikkan matanya dan
mencubit pahaku keras sekali.
“Percaya atau tidak
terserah Papah, yang pasti nggak ada lenguhan, nggak ada goyangan, persis kaya
gedebong pisang. Si Yudi memang sempat marah-marah karena mungkin Mamah
ternyata begitu dingin dan nggak gairah. Tapi memang nggak bisa dipaksakan.
Mamah hanya bergairah kalau bersenggama dengan Papah. Dia nggak nanya tuh,
kenapa nggak ada darah perawan Mamah di sprei, ah.. sudah.. sudah! nggak usah
tanya gitu-gituan lagi. Nanti malah berantem terus. Pokoknya Mamah sayaang
benar sama Papah, nggak ada duanya deh”.
Seperti bisa dia mulai
mencopoti pakaianku satu persatu, sampai CD-ku dia pelorotin juga. Begitu di
buka CD-ku, penisku langsung bergerak liar dan setengah tegang begitu tersentuh
tangan halus Ningsih. Tak buang waktu lama, Ningsih melemparkan semua
pakaiannya ke lantai karpet sampai terlihat bodinya yang seksi, putih mulus
dengan puting susu yang semakin ranum. Mungkin pengaruh dari kehamilannya
meskipun baru beberapa hari mengandung anakku. Penisku yang masih setengah
tertidur langsung dikulumnya ke dalam mulutnya dan dihisapnya dalam-dalam,
padahal aku masih berdiri seperti patung dengan bersandar ke tembok. Dengan
ganas dia menghisap, menggigit dan menyedot penisku dalam-dalam sampai penisku
mentok ke langit-langit mulutnya. Tak lama penisku langsung tegang dan memerah
dan mengkilap bercampur ludahnya.
“Ooooggghh.. . Maahh….
terus Maahh… jilaat…. ooogghh…” Aku mulai terangsang dan kenikmatan setiap
penisku dihisapnya. Ningsih memang suka sekali menjilat dan menghisap penisku,
tapi ketika kutanya apakah dia juga menghisap penis suaminya, dia bilang
amit-amit, nggak nafsu katanya.
Mulut Ningsih pindah
menghisap dan menjilat penisku, dia juga senang menggigit-gigit dua bakso
penisku, sampai aku kesakitan campur geli dan nikmat bukan kepalang.
“Ooooghh… Maahh…
jangan digigit, Papah sakiiittt”. Aku minta Ningsih berhenti dulu mengulum
batang penisku, aku juga sudah rindu untuk menjilat vagina dan klitorisnya.
Kuminta Ningsih
tiduran di pinggir tempat tidur empuk itu dengan kaki terjuntai ke bawah,
dengan begitu aku bisa duduk di tengah-tengah selangkangannya. Vagina dan
klitorisnya terlihat jelas kalau begitu. Oh, begitu indah dengan warna merah
jambu klitoris dan lubang vaginanya terlihat jelas di hadapan mukaku. Kujilat
dengkul dan pahanya, terus merayap kujilati selangkangannya yang mulus,
sesekali kujilatkan lidahku ke lubang pantat, klitoris dan lubang vaginanya,
Ningsih melenguh-lenguh tertahan.
“Oooghh, Papaahh…
eeemghh, aduuuhh…, teruuuss… Paahh… oooghh… enaakkk.” Kalau Ningsih sudah mulai
melenguh begitu aku semakin bernafsu untuk terus menjilat, mengigit dan
menyedot-nyedot klitoris dan lubang vaginanya sambil menyedot air maninya yang
mulai meleleh keluar dan lubang vaginanya.
Oh, nikmat… manis dan
sedikit asin, kaya kuah asinan Bogor . Kukeraskan lidahku supaya semakin tegang
dan kutusukkan ke dalam lubang vaginanya, Ningsih semakin melenguh keenakan,
karena mungkin lidahku terasa seperti penis menyodok-nyodok semakin ke dalam
lubang vaginanya. Cairan vaginanya semakin banyak keluar dan kuhisap dan
kutelan dengan nikmat. Kadang-kadang rambut kemaluan Ningsih ada yang putus dan
ikut termakan.
“Paahh…. ooooghh….
Paahh…, enaakkk, teruuuusss.. .. Paahh… ooooggghh… aduuuhh”, Ningsih semakin
ramai, barangkali suaranya terdengar tamu di sebelah atau room-boy yang sedang
lewat.
Kujilatkan lidahku ke
lubang pantatnya berkali-kali Ningsih bergelinjang kegelian.
“Papaahh… geliiii…”
penisku menggesek pahanya yang mulus sehingga semakin tegang. “Paahh… penisnya
geli tuch di paha Mamah, udahan dulu ngisepnya sayang…., kesini deh, cium Mamah
dan masukin penisnya.”
Kuhentikan jilatan
lidahku, memang sudah mulai pegal juga menegangkan lidahku hampir seperempat
jam. Kugeserkan badanku ke atas, sejajar dengan tubuh Ningsih dan sambil
kulumat mulutnya dalam-dalam kugesekan penisku ke vaginanya yang basah, oh…
betapa nikmatnya. Kukulum dan kugigit lidahnya. Ningsih menjeNing tertahan,
kemudian kujulurkan juga lidahku dan dia balas menggigit lidahku dengan
bernafsu. Aku gantian teriak, sampai keluar sedikit air mata. Untung
kenang-kenangan kalau Ningsih di Bandung katanya. Kujilati kupingnya, jidatnya,
hidungnya, matanya sampai Ningsih menggelinjang- gelinjang ketika kujilati dan
kugigit kupingnya. “Tuuuuhh.. Paah lihat, sampai merinding, “katanya manja.
“Paahh, masukin penisnya Paahh, Mamah sudah rinduuu.”
Ningsih melenguh
manja. Ningsih merenggangkan selangkangannya untuk membuka lubang vaginanya
lebih lebar lagi. Penisku yang tambah keras nyasar-nyasar di lubang vaginanya
setelah menembus bulu-bulu vaginanya yang mulai basah dan
“Bleesssss.. .”
Ningsih berteriak keenakan sambil menggigit bibirku.
“Paahh…, ooogghh…, pelaan pelaannn… doongg.” Matanya terpejam, nafasnya yang harum dan bau mulutnya yang wangi masuk semua terhirup oleh hidungku.
“Paahh…, ooogghh…, pelaan pelaannn… doongg.” Matanya terpejam, nafasnya yang harum dan bau mulutnya yang wangi masuk semua terhirup oleh hidungku.
Kutarik dan kutekan
penisku semakin kuat dan sering, keringatku semakin bercucuran, mungkin berkat
bir hitam cap kucing yang kuminum sebelum bermain dengan Ningsih tadi. Ningsih
juga semakin mengencangkan goyangan pinggul dan pantatnya turun naik sampai aku
merasakan kepala penisku mentok di ujung lubang vaginanya.
“Paappaahh.. ..
ooogghh… teruuusss, cumbu Mamaah Paahh…, Mamaahh cintaa, Mamaahh.. sayyy…
oooghh.. aduuhh… aanggg.” Ningsih semakin ramai mengerang dan melenguh tak
peduli suaranya akan didengar orang.
Kuminta Ningsih
menungging setelah kucabut penisku. Ningsih menurut dan wow! aku selalu semakin
bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul Ningsih yang mulus dan seksi. Sambil
setelah jongkok, aku menyodokan penisku dari belakang setelah membuka lubang
vaginanya sedikit dengan tanganku dan,
“Bleeeeezzzz” ,
Ningsih berteriak keenakan. “aaggghh, oooghh… Paahh… terus genjot Paahh…
wooowww… enaakkk Paahh…” aku semakin mengencangkan sodokan penisku.
Ningsih melenguh,
merintih dan teriak-teriak kecil sementara itu keringat kami semakin bercucuran
membasahi seprei. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa setiap mempraktekkan
berhubungan badan dengan gaya “doggy style” sehingga spermaku mulai meleleh
keluar, semakin meramaikan bunyi gesekan penisku dengan vagina Ningsih. Ningsih
semakin menunggingkan pantatnya sehingga penisku semakin amblas di dalam
vaginanya. Rasanya air maniku sudah mengumpul di kepala penisku menunggu
dimuntahkan habis.
“Maahh… oooghh….
aduuuhh… Maahh, vaginanya enaakk…, punya Papah yaa sayaang….” Ningsih menjawab
sambil merintih
“Iyaa… sayaangg, semuanya punya Papaahh.” Kusodokkan penisku semakin dalam.
“Maahh…. adddduuhh… . Papaahh… moooo keluaarr! cabut dulu ya Maahh…” Ningsih setuju dan segera telentang kembali.
Aku segera
menggumulinya dari atas badannya, kulumat pentil buah dadanya. Ningsih
kenikmatan dan minta penisku segera dimasukan kembali ke vaginanya. Dia minta
aku merasakan kenikmatan bersenggama dengannya, sampai nanti bertemu lagi di
Bandung dengan segala cara. Kumasukan kembali penisku ke vaginanya yang semakin
basah dengan cairan sperma kami yang sudah bercampur satu.
“Bleeessszzz,
crroockkk… chhooozkk… breesszz… crrrockkk… . bunyinya semakin gaduh.
Ningsih semakin
membabi buta menggoyang dan menaik-turunkan pinggulnya dan aku juga demikian.
Kutekan dan kucabut penisku yang panas dan keras ke lubang vaginanya. Ingin
rasanya kutumpahkan semua sperma dan spermaku ke lubang vagina dan rahim
Ningsih supaya anakku semakin sehat dengan tambahan vitamin dan mineral dari
sperma bapaknya. Supaya kegantengan dan kepintarannya juga turun ke anakku yang
ada di dalam rahim Ningsih. Tiba-tiba kami merasakan kenikmatan yang sangat
luar biasa, kami meregang dan melenguh bersama-sama merasakan sorga dunia yang
tiada taranya, meregang, meremas dan memeluk erat-erat dua badan anak manusia
yang saling mencinta dan seakan tak mampu terpisahkan. Ningsih mengejang
badannya dan menggigit bibir dan lidahku, pinggulnya terangkat sambil
berteriak.
“Papaahh…. oooghh…
Mamaah… ooghh, keluaar… sayaangg”, sambil mencubit dan mencakar punggungku.
Mendengar lenguhan dan
teriakan ejakulasi Ningsih, aku pun mulai tak tahan menahan desakan air maniku
di kepala penisku dan sambil menekan dalam-dalam penisku di vaginanya aku
berteriak sambil mengejang, kugigit lidahnya,
“Maahh… oooggghh…
Papaahh… jugaa….. keeelluuuaarrr. … oooghh…. sayaanggg… . nikmaattt.” Kami
tertidur sejenak sambil berpelukan dengan mesra dan tersenyum puas, waktu sudah
menunjukkan jam delapan lewat lima menit, berarti kami bermain selama hampir
dua jam lamanya.
Oh, betapa nikmat dan
puasnya. Aku memeluk dan menciumi Ningsih erat-erat seolah tak ingin berpisah
dengan kekasihku dan isteriku tercinta, karena besok dia sudah akan pindah ke
Bandung. Ningsih berjanji untuk membeNingsihhukan nomor telepon rumahnya di
Bandung dan aku diminta untuk datang paling tidak seminggu sekali.
Sudah satu bulan
berlalu, sejak pertemuanku terakhir dengan Ningsih di Jakarta. Aku terkadang
sangat rindu dengannya, tapi kutahan perasaanku dengan menyibukkan diriku pada
pekerjaan yang semakin menumpuk sejak aku mempimpin cabang Slipi. Maklum, para
pengusaha nasabah bank dimana aku bekerja semakin banyak saja, hal ini karena
keberhasilan marketing-ku. Aku sengaja bekerja all-out siang malam, dengan
menjamu langgananku sambil makan malam dan karaoke.
Aku ingin melupakan
Ningsihku yang sekarang sudah jadi isteri orang, tapi bayang-bayang kemesraan
selama beberapa tahun dengannya seperti suami isteri tak mudah rupanya untuk
dilupakan begitu saja. Sekretarisku yang baru memang cantik, lebih muda dan
menarik, tapi anehnya aku sama sekali tak tertarik dengannya, barangkali memang
aku bukan tipe lelaki “play-boy” yang gampang gonta-ganti pasangan. Cintaku
sudah direbut oleh Ningsih tanpa peduli bahwa dia sudah menjadi isteri orang.
Tapi aku tak menyesali pertemuan dengan Ningsih, aku tetap mencintainya dengan
sepenuh hati.
Oh, rupanya aku
melamun terlalu lama, sehingga aku merasa malu ketika sekretarisku Reni masuk
membawa setumpuk dokumen.
“Pak, kok melamun?”
sapanya ramah, sambil tersenyum manja.
“Ah, oohh… eng.. nggak.. kok”, kataku tergagap.
“Pak, dokumen-dokumen ini perlu segera ditanda-tangani Bapak, sebab nanti siang Pak Yusuf Pramono akan mengambilnya” , kata Reni lagi.
“Ah, oohh… eng.. nggak.. kok”, kataku tergagap.
“Pak, dokumen-dokumen ini perlu segera ditanda-tangani Bapak, sebab nanti siang Pak Yusuf Pramono akan mengambilnya” , kata Reni lagi.
“Okay, tinggalkan saja
dulu, nanti saya panggil lagi kamu setelah kutandatangani” , kataku datar.
Reni menaruh beberapa
map “feasability study” untuk beberapa proyek pabrik konveksi yang mengambil
kredit dari bank dimana aku bekerja. Dia keluar ruanganku dengan lirikan
matanya yang semakin manja. Ah, boleh juga tuh cewek pikirku, bodinya cukup
montok, hitam manis dengan buah dada yang terlihat menonjol besar keluar dari
blousenya. Tapi setiap aku kepingin iseng-iseng menggoda Reni bayangan wajah
Ningsih selalu berkelebat di depan mataku, seakan mengingatkan janji dan
kesetiaanku. Ah, kamu mau menang sendiri Ning! gumamku dalam hati, sedangkan
kamu nikmat-enakan dengan suamimu.
Aku selalu
membayangkan Ningsih telanjang bulat setiap malam dengan suaminya dan bermain
cinta di ranjang berdua, tanpa takut ketahuan orang, tanpa takut diganggu orang
karena memang suami-isteri sah dan lupa pada diriku. Kemudian pada akhir
klimaks-nya Ningsih melenguh dan meregang sambil memuji sayang suaminya, sama
seperti dilakukannya padaku. “Uuh! kamu memang nggak setia Ningsih! kamu tega
meninggalkan aku sendirian di Jakarta , sedangkan kamu nikmat-enakan tiap malam
ngentot dengan suamimu. Kamu bilang nggak cinta, tapi lama lama kamu suka juga
dimasukin penisnya! Brengsek kamu Ningsih!!! dan bodohnya aku tetap saja setia
menunggu barang bekasan lelaki lain.”
Sekretarisku masuk
lagi ke ruang kerjaku, ada apa pikirku, belum dipanggil kok masuk lagi.
Jangan-jangan dia memang sudah kegatelan mau kucumbu. Aku sudah mempunyai
pikiran buruk untuk menggodanya untuk mengobati kekesalanku pada Ningsih dan
aku hampir yakin bahwa dia pun pasti menginginkan aku berbuat sesuatu yang
mengasyikan padanya.
“Ada apa lagi?” kataku
pura-pura tetap berwibawa seperti biasanya.
“Anu, Pak.. ada telepon dari Ibu Ningsih, Bandung!” katanya mengandung curiga.
“Hah, Ningsih! Ada apa lagi dia, mau ceNingsih asyik-masyuk pengantin barunya dengan si Yudi itu?” pikirku dalam hati.
“Anu, Pak.. ada telepon dari Ibu Ningsih, Bandung!” katanya mengandung curiga.
“Hah, Ningsih! Ada apa lagi dia, mau ceNingsih asyik-masyuk pengantin barunya dengan si Yudi itu?” pikirku dalam hati.
“Cepat, sambungin ke sini!” jawabku cepat dan spontan.
Heran, setiap kudengar
nama dia, apalagi akan mendengar suaranya setelah hampir sebulan tidak ketemu,
kebencian dan cemburuku pada suaminya seperti mendadak hilang tak berbekas.
Sekretarisku bergegas keluar kembali untuk menyambungkan saluran telepon dari
Ningsih, terlihat raut mukanya agak ditekuk. Aku yakin dia nggak begitu suka
jika Ningsih telepon, mungkin juga cemburu, karena dia tahu aku punya hubungan
khusus dengan bekas sekretarisku itu.
“Hallo, Papah, ini
Mamah, apa khabar sayang?” suara Ningsih di seberang sana terdengan merdu di
kupingku.
“Baik saja kok, kamu gimana?” kataku datar.
“Pah, Mamah sangat rindu deh, kapan Papah mau ke Bandung?” jawabnya lagi.
“Baik saja kok, kamu gimana?” kataku datar.
“Pah, Mamah sangat rindu deh, kapan Papah mau ke Bandung?” jawabnya lagi.
Tiba-tiba timbul
pikiranku untuk menggodanya, sekaligus menumpahkan kekesalan dan kecemburuanku.
“Ah, masa sih kamu kangen saya, kan tiap malam ada teman sekasur, nikmat lagi, nggak takut ketahuan orang, tiap jam, tiap saat mau mainkan tinggal buka celananya, penisnya gede lagi, pasti kamu melenguh keenakan!” jawabku nyerocos seenaknya dan rasanya plong hatiku setelah mengatakannya.
“Papah, kok gitu sih? Papah jahat deh, Mamah nggak nyangka Papah bicara begitu, padahal setiap detik, setiap hari Mamah rindu padamu!” ungkapnya dengan nada agak tinggi. Aku terdiam, nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“Ah, masa sih kamu kangen saya, kan tiap malam ada teman sekasur, nikmat lagi, nggak takut ketahuan orang, tiap jam, tiap saat mau mainkan tinggal buka celananya, penisnya gede lagi, pasti kamu melenguh keenakan!” jawabku nyerocos seenaknya dan rasanya plong hatiku setelah mengatakannya.
“Papah, kok gitu sih? Papah jahat deh, Mamah nggak nyangka Papah bicara begitu, padahal setiap detik, setiap hari Mamah rindu padamu!” ungkapnya dengan nada agak tinggi. Aku terdiam, nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“Pah, kamu masih mau denger Mamah nggak?” Ningsih berkata lagi.
“Pah, Mamah interlokal nih, jadi mesti menghemat, Mamah kan isteri pegawai kecil, mesti ngiNing, masih mau dengar nggak?”
“Iya, iya, aku masih dengar kok, terus saja ngomong, aku dengerin”, kataku sekenanya.
“Papah kok gitu sih, Papah kelihatannya nggak rindu sama Mamah? ya sudah, Mamah tutup teleponnya ya!” serunya mulai emosi. Aku masih saja mau menggodanya, rasanya kesal dan cemburuku belum hilang betul.
“silakan, memangnya siapa yang telepon duluan?” lanjutku lagi.
“Oh, gitu ya, kamu memang egois, kamu nggak mau ngerti, mau menang sendiri, kamu selalu mengungkit perkawinanku, padahal semuanya terjadi bukan karena mauku.
Kenapa dulu Papah
nggak beRani mengawini Mamah? Jawabnya karena Papah sudah punya anak, isteri
dan kedudukan tinggi. Apakah itu bukan egois namanya? Tapi Mamah tetap
menyintaimu dengan sepenuh hati, apa Papah pikir Mamah juga nggak cemburu,
bertahun-tahun mencintai laki-laki yang sudah jadi suami orang? Apa Mamah harus
jadi perawan tua dan hanya selingan kamu?”
Terdengar suaranya
mulai keras dan terbata-bata, mungkin menahan tangis.
“Ya sudah, Mamah nggak
bakalan telepon Papah lagi, biarlah Mamah menanggung rindu dan mencintai Papah
sampai mati, Mamah nggak akan ganggu Papah lagi kalau memang sudah tidak
dibutuhkan! Tapi kamu mesti ingat Pah, bahwa bayi di kandungan Mamah adalah
anakmu, bayi ini adalah darah dagingmu, kamulah yang membentuk dan menjadikan janin
anakmu ini, si Yudi bukan bapaknya yang sesungguhnya, dia nggak tahu bahwa aku
sudah mengandung benih anakmu ketika kawin.”
Ningsih terdengar
menutupi kesedihannya dengan omelan panjang yang memerahkan kupingku. Ah, dasar
perempuan, kalau sudah merajuk dan mengamuk, hatiku selalu luluh dengan
perasaan cintaku kepadanya, cintaku yang memang sangat mendalam dan tidak bisa
terlupakan, apapun yang terjadi dan bagaimanapun status Ningsih sekarang yang
sudah menjadi Nyonya Yudi Prayogo. Aku takut Ningsih segera menutup teleponnya,
makanya segera kularang dia.
“Mah, tunggu! jangan
tutup dulu teleponnya, oke…oke… , maafkan Papah, Papah juga rindu, Papah
sayang, Papah selalu mencintaimu, kamu dengar itu sayang?” aku menyerocos tak
terkendali, menumpahkan perasaanku yang sesungguhnya.
“Ya sudah, tak apa, Mamah selalu memaafkan kamu, sekarang catat nomor telepon Mamah dan Mamah tunggu kamu di Bandung segera kalau Papah masih sayang Mamah, mumpung si Yudi lagi tugas seminggu ke Malang!” perintah Ningsih.
Kucatat nomor
teleponnya dan aku berjanji untuk segera datang ke Bandung menemuinya, kasihan
Ningsihku kesepian dan sangat merindukanku. Aku janji untuk datang hari Jumat
sore dengan kereta Parahyangan dan menginap di Hotel Kumala Panghegar. Aku
sengaja tidak bawa mobil dan sopirku sebab bisa berabe nanti kalau sopirku tahu
aku masih berhubungan dengan Ningsih.
Pada Jum’at sore aku
sudah tiba di stasiun kereta api Bandung dan temanku kepala cabang di Bandung
telah siap menjemputku di stasiun.
“Gila lu Zen, kau
rupanya masih juga berhubungan sama Ningsihmu itu!” katanya sambil menepuk
bahuku, setelah kami bertemu di stasiun.
Aku hanya tersenyum
saja. Togar Sihombing temanku itu memang satu-satunya sejawatku yang mengetahui
hubungan intimku dengan Ningsih, sejak Ningsih masih menjadi sekretarisku.
“Hati-hati kamu Zen,
di sini kamu lagi bertamu, nanti ditangkep satpam suaminya tau rasa kau!”
katanya meledek.
Karena rahasiaku dan
Ningsih memang sudah di tangannya, aku tak sungkan-sungkan meminta supaya Togar
bisa jemput Ningsihku dari rumahnya di daerah Pasir Kaliki dan dibawa ke kamar
hotelku. Aku suruh dia mengatur segalanya, termasuk keamanan hotel Kumala
Penghegar, agar aku bisa tenang dan santai dengan Ningsihku semalam suntuk,
bahkan kalau bisa sampai minggu pagi.
Kira-kira satu
setengah jam aku menunggu di kamar hotel, pintu diketuk dari luar dan waktu
kubuka pintu kamarku, ternyata Ningsihku sudah berdiri sendirian. Dia tersenyum
manis dengan lipstik merah tua tipis, kontras dengan mukanya yang putih mulus.
Badannya semakin bersih dan montok, mungkin pengaruh kandungannya yang jalan
dua bulan, sehingga buah dadanya terlihat semakin membesar dan pinggulnya
semakin bulat berisi. Terlihat perutnya sedikit membesar dan itu semakin
membangkitkan gairahku.
Kata orang, wanita yang
sedang hamil dua atau tiga bulan itu sedang cantik-cantiknya dan akan sangat
menggemaskan laki-laki yang melihatnya, apalagi dalam keadaan polos. Kuraih
tangannya dan kutarik dia ke kamarku. Setelah mengunci kamar dengan
double-locked, kupeluk dan kucium dia dengan penuh kerinduan, Ningsih membalas
hangat. Kuminta air liurnya seperti biasa ketika kami berciuman dan kutelan
dalam-dalam ludahnya yang tetap wangi itu. Baru aku sadar untuk menanyakan
kawanku Togar, setelah Ningsih melepaskan ciumanku yang menggebu-gebu sehingga
terengah-engah kehabisan napas.
“Kemana si batak itu?”
tanyaku.
“Dia pulang dulu katanya, setelah mengantar Mamah sampai ke pintu kamarmu”, jawab Ningsih. Tahu betul tuh batak satu.
“Kok, Papah kelihatan kurusan? katanya lagi sambil memandangiku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Masa? barangkali kurus mikirin kamu. Apa khabar sayang? senang ya hidup di Bandung?” dia merebahkan badannya di pelukanku, sehingga aku terdorong rebah ke ranjang karena Ningsih semakin berat badannya.
“Apa kabarnya suamimu? Kok punya isteri cantik ditinggal-tinggal terus”, godaku muncul lagi.
“Ah, sudahlah, nggak usah nanya dia, namanya juga pegawai rendahan, harus mau ditugaskan ke mana saja.” Jawab Ningsih.
“Dia pulang dulu katanya, setelah mengantar Mamah sampai ke pintu kamarmu”, jawab Ningsih. Tahu betul tuh batak satu.
“Kok, Papah kelihatan kurusan? katanya lagi sambil memandangiku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Masa? barangkali kurus mikirin kamu. Apa khabar sayang? senang ya hidup di Bandung?” dia merebahkan badannya di pelukanku, sehingga aku terdorong rebah ke ranjang karena Ningsih semakin berat badannya.
“Apa kabarnya suamimu? Kok punya isteri cantik ditinggal-tinggal terus”, godaku muncul lagi.
“Ah, sudahlah, nggak usah nanya dia, namanya juga pegawai rendahan, harus mau ditugaskan ke mana saja.” Jawab Ningsih.
“Pah, Mamah kangen dan rindu banget deh”, katanya lagi sambil berbalik menindih tubuhku. Oh, Ningsihku semakin bahenol saja badannya, dan buah dadanya yang semakin montok menekan dadaku.
“Hati-hati dengan perutmu sayang, nanti anak kita kejepit.” Ningsih tak peduli, dia terus merangsek dan menciumi seluruh mukaku dan kupingku sehingga seluruh tubuhku merinding dibuatnya.
“Oooohh… Papah, Mamah gemes dan rindu deh!” ujarnya sambil menjulurkan lidahnya yang harum ke bibirku, tentu saja kusambut hangat dan segera menghisap lidahnya dalam-dalam sambil kugigit sayang.
Ningsih melotot manja,
“aachh… sakiiitt dong
Paahh!” Kukulum lagi lidahnya dan kusedot sambil memejamkan mataku, Ningsih
mulai melenguh bahagia sambil sekali lagi menumpahkan liurnya untuk kuhisap dan
kutelan dalam.
Kubalikkan badannya
pelan-pelan karena Ningsih sedang berisi, dan segera saja kubuka pakaiannya.
Ningsih diam saja dengan mata terpejam. Kulempar satu persatu roknya, blousnya,
blazernya, dan terakhir celana dalamnya. Oh, Ningsihku semakin montok dan
menggairahkan. Pahanya, betisnya yang putih bersih, ditumbuhi bulu-bulu halus,
pinggulnya semakin montok berisi dan vaginanya dengan bulu-bulu hitam tipis
kemerahan semakin menggairahkan. Kujilati badannya mulai dari ujung kaki, naik
ke betis, paha dan bermuara di selangkangan dan vaginanya. Ningsih mulai
menggeliat-geliat kegelian.
“Paahh, ooogghh Mamah
rindu jilatanmu seperti ini, oooogghh.” lenguhan Ningsihku baru lagi kudengar
setelah dua bulan tidak ketemu. “Papah buka pakaiannya dong!” kata Ningsih
mulai nggak sabar. Aku segera menanggalkan seluruh pakaian yang melekat dan
ketika CD-ku kulepas, penisku langsung mencuat keluar dengan tegang.
Ningsih tersenyum
manja dan langsung menyergap penisku dengan kuluman mautnya.
“Paahh… Mamah rindu
penis iniiii, eeeemmggghh enaakkk Paahh, kok sudah assiinn?” Mulutnya
menyedot-nyedot penisku sambil mundur maju, aku merasakan kenikmatan luar
biasa. Ningsih mengigit-gigit batang penisku yang mulai menegang seperti kayu.
“Maahh, ooogghh
teruusss oooggghh, tapi jangaann oooghh, keras-keras gigitnya!” aku mulai
merem-melek keasyikan.
Ningsih semakin
kencang menghisap-hisap penisku sambil memejamkan matanya, sementara
buah-dadanya berayun-ayun ketika dia menaik-turunkan mulutnya sampai batang
penisku masuk semua di mulutnya.
“Paah, sudah keluar
lendirnya, asiiiin!” sambil menelan cairan penisku, dan hisapannya semakin
menjadi-jadi di kepala penisku sambil menghisap-hisap lendir penisku.
“Eeeemmhh… enaak Paahh.” Aku semakin merem melek sambil menggapai buah dadanya,
dan ketika tanganku berhasil meraihnya, kuremas-remas buah dadanya yang semakin
kenyal dan kupilin putingnya yang kemarahan seperti buah delima matang.
“Maahh.. ooogghh…
udaahh duluuu yaang, Papah nggak tahaannn… oooghh.” Aku menggelinjang kuat
ketika hisapannya semakin asyik di kepala penisku.
“Sekarang giliran Mamah yang tidur.” Ningsih telentang pasrah, kedua kakinya kurenggangkan, kuusap-usap perutnya yang mulai kelihatan sedikit buncit mengandung anakku.
cerisex.net–>cerita
seks terbaru
Kubenamkan mukaku di
selangkangannya sambil kujilat kedua selangkangannya dan dengan cepat kujilat
pula lubang duburnya. Ningsih selalu nggak tahan kalau kujilat lubang
pantatnya. Dia menggelinjang kegelian sambil merintih.
“Aduuuhh, Papah
jahaat!” Kumainkan klitorisnya dan lubang vaginanya dengan lidahku dan kukeluarkan
ludahku membasahinya sehingga terasa semakin nikmat ketika kuhisap cairan
vaginanya yang sudah mulai keluar bercampur ludahku. Asin, manis dan gurih.
Kutelan dalam-dalam. Ningsih mulai menaik-turunkan pinggulnya kegelian.
“Paahh, eeemmggghh..
.. ooogghh, teruuusss… Paahh, lidahnya kayak kontoool.” Dia terus melenguh
seperti biasanya, dan lenguhannya ini yang tak bisa kulupakan.
Lidahku yang tegang
semakin kujulurkan ke dalam lubang vaginanya, kumainkan klitorisnya dengan lidah
digetarkan, Ningsih menggelinjang hebat. Rongga-rongka vaginanya kulumat dan
kujelajahi dengan lidahku, sementara bibirku melumat kelentitnya yang memerah.
“Oooooghh… Papaahh…
nikmaat… teruuusss Paahh! Ningsih menaik-turunkan pantatnya semakin tinggi, sehingga
lidahku seperti penis menancap dalam di vaginanya.
“Aduuhh… Paahh… oooogghh… Paahh, Mamaahh… oogghh… enaakkk!” mulai deh Ningsih melenguh panjang.
“Paah, hayo naik deh, Mamah sudah nggak tahan, masukin cepet penisnya sayaang!” Ningsih semakin melebarkan selangkangannya dan menggapai badanku.
“Aduuhh… Paahh… oooogghh… Paahh, Mamaahh… oogghh… enaakkk!” mulai deh Ningsih melenguh panjang.
“Paah, hayo naik deh, Mamah sudah nggak tahan, masukin cepet penisnya sayaang!” Ningsih semakin melebarkan selangkangannya dan menggapai badanku.
Aku bangun dan
menidurinya dengan hati-hati karena sekarang Ningsih sedang berbadan dua.
penisku sudah keras seperti batu dan mengangguk-ngangguk gagah mencari mangsa.
penis pun tahu bahwa kesukaannya ada di depannya, vagina Ningsih memang sudah
tak asing lagi buat penisku sehingga begitu bersentuhan saja langsung mengeras
bukan main. Seperti batu! Dan Ningsih memang nggak bakal lupa dengan
keperkasaan penisku yang mulai dikenalnya sejak dia perawan, untuk pertama kali
menikmati penis lelaki.
Kugesekan penisku di
pahanya, Ningsih kegelian, dan memberikan kode supaya langsung ditancapkan ke
vaginanya yang sudah menganga, basah, hangat dan mulai menyedot-nyedot mencari
mangsa. Kubenamkan kepala penisku sedikit demi sedikit, oh hangatnya vagina
Ningsih dan vaginanya mulai bereaksi menyedot-nyedot, empot-ayamnya mulai main.
Kutarik lagi penisku, sehingga pinggul Ningsih ikut naik karena sudah tidak
sabar ingin melumat penisku. Kubenamkan lagi batang penisku perlahan, Ningsih
menaikkan pinggulnya ke atas, sehingga batang penisku setengah ditelan
vaginanya. Pinggulnya diputar-putarkan sambil mengeluarkan jurus
“empot-ayamnya” .
“Oooogggghh, Mamaahh…
uughhgghh… nikmaattt aduhh.” Desahanku membuat Ningsih semakin semangat menaik-turunkan
pinggulnya, hingga batang penisku semakin amblas ditelan vaginanya yang tetap
saja sempit.
“Paahh tekaannnn Paahh… Mamaahh… oogghh… nikmaattt sekalii.” Pinggul Ningsih dan badannya semakin bahenol dan seksi, perutnya yang sedikit membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi.
“Paahh tekaannnn Paahh… Mamaahh… oogghh… nikmaattt sekalii.” Pinggul Ningsih dan badannya semakin bahenol dan seksi, perutnya yang sedikit membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi.
Kuganjal pantatnya
dengan bantal dan aku setengah duduk dengan bertumpu pada dengkul menggenjot
penisku keluar masuk vagina Ningsih yang semakin naik ditopang bantal sehingga
seluruh rongga vaginanya terlihat jelas.
“Bleeesss… creekkkk….
bleeees… creeekkk, gesekan dahsyat penis dan vaginanya yang empot ayam semakin
ramai saja. Daging vaginanya terlihat seperti terbawa ketika kucabut batang
penisku saking sempitnya. Dan “empot-ayam” -nya dikeluarkan kalau senggama
dengan aku saja katanya, sedangkan dengan suaminya tetap seperti layaknya
“gedebong pisang”.
“Paah…, aduuhh, Paahh.., kontoolnya ooghh, Mamaahh… nggaak tahaan… Paahh!” Ningsih seperti nggak ingat sedang hamil, badannya bergetar, pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan merasakan kenikmatan penisku yang perkasa.
“Paah…, aduuhh, Paahh.., kontoolnya ooghh, Mamaahh… nggaak tahaan… Paahh!” Ningsih seperti nggak ingat sedang hamil, badannya bergetar, pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan merasakan kenikmatan penisku yang perkasa.
“Paahh… ooghh…. eemmghh… oozzzhh… aauugghh… eeemmhh… teruuzshh… tusuuukk…. Paahhghh”, lenguhan itu yang sangat kudambakan. Aku seperti lelaki yang sangat dibutuhkan Ningsihku, tidak ada lelaki lain yang bisa memuaskannya lahir batin.
Aku semakin gila
menyodokkan penisku keluar masuk vagina Ningsih, kuangkat kaki kirinya ke atas
dan kutenggelamkan seluruh batang penisku sampai terasa mentok di ujung lubang
vaginanya.
“Oooogghh… apaahh…
uughhzz… Papaahh… nikmaatt… ooghh…. teruss… aduuuuhh… teruuss, Mamaahh… maooo…
keluaarr!” Ningsih berteriak-teriak keras sekali sambil seluruh badannya
bergetar dan bergoyang, keringat kami bercucuran seperti habis mandi membasahi
sprei.
“Paahh, kenapa dicabut?” Ningsih mendelik waktu penisku mendadak dicabut dari lubang vaginanya. Ningsih tersenyum lagi ketika kuminta dia menungging, supaya kami bisa bermain dengan “doggy style”. Wow, pinggulnya yang putih mulus semakin berisi dan bahenol saja menambah nafsuku semakin menjadi, ketika Ningsih menungging.
Kuhisap dan kujilat
lendir vaginanya dari belakang, sekalian lubang pantatnya, Ningsih melenguh
panjang. Dia memang paling geli kalau dijilat lubang pantatnya.
“Papaahh…. aduhh….
Mamaahh, nggak tahaan doongg… Cepat masukin penisnyaa!” teriak Ningsih sambil
menunggingkan pantatnya, sehingga terlihat vaginanya yang merah jambu dan
sedikit basah itu.
Penisku yang lagi
tegang-tegangnya kuarahkan ke lubang vaginanya seperti mengarahkan meriam “Si
Jagur” siap menembak tank-tank belanda. Dan…
“Bleeeesszzhh. ..”
penisku menyeruak ke dalam “gua kenikmatan dunia” Ningsihku. Ningsih kembali
melenguh panjang. “Paahh… oooggghh…, teruuss kocookk sayaang!” Aku mulai
menarik dan membenamkan batang penisku keluar masuk lubang vaginanya yang
terasa semakin sempit dan menyedot-nyedot kalau bersenggama dengan “doggy
style” kesukaan kami berdua.
“Oooggghh… Maahh, Papah enaakkk… ooooggghh… hhzzz… aahzzoogghh. .. duuh…. Maahh… aa… duuhh gilaa… yaangg, teruuss goyaang.. cakeeep!” Ningsih memundur-majukan pantat dan pinggulnya semakin cepat sehingga bed kamar hotelku berdeNing-deNing bunyinya.
“Oooggghh… Maahh, Papah enaakkk… ooooggghh… hhzzz… aahzzoogghh. .. duuh…. Maahh… aa… duuhh gilaa… yaangg, teruuss goyaang.. cakeeep!” Ningsih memundur-majukan pantat dan pinggulnya semakin cepat sehingga bed kamar hotelku berdeNing-deNing bunyinya.
Keringat kami jatuh
bercucuran. Nikmat sekali rasanya bersenggama dengan kekasihku tersayang ini.
Jiwa raga kami rasanya bersatu-padu.
“Aduuuhh… Papaahh…
ooggghh… enaakkk… Paahh, teruusss Paahh genjot… teruuuss… aahh… lebih kenceng,
oooggghh… aahhzzzzhh.. . duhh”, badan Ningsih berguncang-guncang keras,
goyangan pinggul dan pantatnya tambah menggila dan lubang vaginanya seakan mau
melumat habis dan mematahkan batang penisku.
Air maniku rasanya
sudah mengumpul di kepala penisku, siap disemprotkan kapan saja kalau mau, tapi
aku mau agar Ningsihku dulu yang klimaks supaya dia puas. Belum tentu kami bisa
ketemu seminggu sekali, padahal dia pernah bilang bahwa kalau kami bisa kawin
mungkin bisa berhubungan badan setiap malam, karena penisku terasa nikmat
sekali rasanya katanya suatu hari sambil melumat lendirku yang keluar di
mulutnya, dan Ningsih nggak geli menelan semua air maniku.
“Paahh… Mamaahh… ooggghh…
Paahh… aaduuhh… oggzz… giillaa…. aahh.. ooogghh… Mamaahh…. ooghh… Maauu
keluaarrr!”
“Tungguu sayaangg.. Mamaah berbalik dulu telentang lagi”, perintahku, kami sudah hampir mencapai orgasme.
Kucabut penisku,
Ningsih kemudian telentang dengan kedua kaki dibuka lebar. Vagina dan lubang
pantatnya kubersihkan dulu dengan jilatan lidahku penuh nafsu. Kutelan habis
cairan vaginanya yang asin, wangi dan gurih itu. Dia menggelinjang sambil
bergumam
“Aduuuhh, ooogghh,
Papah jahaat!” sambil tersenyum manja dan matanya merem-melek.
“Cepetan masukin lagi penisnya Paahh, Mamah sudah nggak tahan nih!” Aku segera menaiki tubuhnya dengan hati-hati takut kandungannya tertekan dan anakku kesakitan.
“Cepetan masukin lagi penisnya Paahh, Mamah sudah nggak tahan nih!” Aku segera menaiki tubuhnya dengan hati-hati takut kandungannya tertekan dan anakku kesakitan.
Kuarahkan lagi batang
penisku yang sudah merah legam seperti batu dibakar untuk siap bertempur sampai
titik darah putihku terakhir, demi untuk Ningsihku tersayang. Dan…
“Bleeezzzhh” dan
Ningsih melenguh panjang sekali
“Oooogghh Paahh.. kocookkkhh yangghhzz..” Kutarik cepat penisku sampai kepalanya nongol ke permukaan vaginanya dan seketika itu juga kubenamkan habis batang penisku ke lubang vaginanya sampai terasa mentok.
“Oooogghh Paahh.. kocookkkhh yangghhzz..” Kutarik cepat penisku sampai kepalanya nongol ke permukaan vaginanya dan seketika itu juga kubenamkan habis batang penisku ke lubang vaginanya sampai terasa mentok.
Ningsih melenguh
panjang.
“Oooggghh Paahh
aduuuhh gilaa nikmaat.” Kucabut lagi batang penisku tiba-tiba dan kubenamkan
lagi kuat-kuat ke dalam vaginanya, dengan style agak miring, terkadang dari
lubang sebelah kanan, terkadang masuk dari lubang sebelah kirinya, membuat
Ningsih terbuai kenikmatan luar biasa.
“Ooooowww ooogghh aahh Papahh enaakkhh duhh ampuunnn duuhh ooghhz…. Paahhzz!” teriakannya melengking-lengking , seperti nggak peduli kalau ada yang dengar. Aku semakin bernafsu, keringatku bercucuran, penisku terasa semakin tegang dan mau meledak dan terasa panas sekali seperti gunung mau memuntahkan laharnya.
“Ooooowww ooogghh aahh Papahh enaakkhh duhh ampuunnn duuhh ooghhz…. Paahhzz!” teriakannya melengking-lengking , seperti nggak peduli kalau ada yang dengar. Aku semakin bernafsu, keringatku bercucuran, penisku terasa semakin tegang dan mau meledak dan terasa panas sekali seperti gunung mau memuntahkan laharnya.
“Maahh.. ooghhzz Maahh Nonooknya gilaa empot ayaamm!”
“Goyaanggg teruusss oogghh yuuu bareeeng keluariiin Maahhggzz!
Kami semakin menggila
saja, aku menusukkan batang penisku dan mencabutnya setiap “setengah detik”
sekali, dan goyangan pantat dan pinggul Ningsih semakin menjadi-jadi. Tempat
tidur semakin ramai berdeNing-deNing, keringat kami bercucuran seperti mandi
sambil bersenggama, atau bersenggama sambil mandi, bercampur menjadi satu
menambah kenikmatan dan rasa menyatu yang bukan main indahnya. Ningsih semakin
menggila, mengelepar-gelepar keasyikan, matanya merem-melek. Kucium dan kulumat
seluruh wajahnya, bibirnya, jidatnya, ludahnya kusedot dalam-dalam. Ningsih
menggigit lidahku keras sekali sampai aku menjeNing kesakitan.
Itu tandanya Ningsihku
mau ejakulasi dan klimaks. Kukuatkan agar cairan air sorgaku nggak muncrat dulu
sampai Ningsihku mencapai klimaksnya. Tiba-tiba…
“Paahh oooggghh
aduuuhh Maamah keluuaarr ooghh aduuhh gilaa ooowwwhzz aahh Papaahh.. uuughh
uughh uuugghh”, dia sekali lagi menggigit lidahku sampai berdarah barangkali,
sambil mencubit keras pahaku, itu memang kebiasaannya kalau meregang menahan
klimaks luar biasa.
Aku tak peduli apapun
yang dilakukan Ningsihku demi kepuasan kekasihku ini. Aku terus menggenjotkan
penisku semakin gila dan rasanya sudah nggak tahan lagi menahan spermaku
muncrat di vaginanya yang kusayangi. Ningsih sudah kepayahan rupanya, katanya
vaginanya terasa ngilu kalau dia keluar duluan dan aku masih semangat
menggenjotkan penisku keluar masuk vaginanya.
“Cepeeet dooong yaang
aach Mamaah capeee”, katanya dan akhirnya… “Ooogghh.. Maahh.. Papah jugaa
keluaarrr… ooooghh.. oooghh… oooghh.. Mamaahh… aduuuuhh eemmhhzz! Kami
sama-sama meregang, mengejang, mendelik, menggelepar, seakan jiwa raga kami
terbang ke angkasa luas nan indah, ke alam surgawi dunia fana entah sampai
kapan kami akan memagut cinta, tapi rasanya memang sulit berpisah.
Kupeluk dan kucium
Ningsihku yang terkulai puas dengan senyuman tersungging di bibirnya yang merah
muda tanpa gincu. Kulumat lagi bibirnya habis-habisan, dia melenguh manja
dengan mata tertutup letih tanda puas yang luar biasa.
“Paahh, Mamah cinta…
jangan tinggalin Mamah ya sayaang!” Aku mengangguk saja karena aku pun sangat
mencintainya.
Kemudian Ningsih dan
aku rupanya tertidur pulas dalam keadaan berpelukan mesra dan bugil dan penisku
masih sedikit menancap di vaginanya. Kulihat jam tanganku sudah menunjukan jam
dua pagi. Hawa dingin kota Bandung dan ketika aku tersadar bahwa kekasihku
masih tergolek mesra di pelukanku dengan telanjang bulat, nafsuku mulai bangkit
kembali dan penisku sedikit demi sedikit mulai menegang dan keras kembali.
Kubangunkan Ningsihku,
dia terbangun kami sama-sama berciuman kembali walaupun belum gosok gigi. Tapi
cinta mengalahkan segalanya, semuanya terasa indah dan harum wangi. Ningsih
juga kemudian terangsang kembali dan kami bersenggama lagi habis-habisan sampai
jam empat pagi sampai seluruh badan terasa lemas dan lunglai. Nggak apa, kami
makan apa saja yang membuat tubuh segar kembali dengan memesan ke Room Service.
Hari Sabtu pagi sampai
siang hari kami terus tidur berpelukan mesra, pintu kamar terus berstatus “DO
NOT DISTURB” sebab ada dua sejoli yang sedang memagut kasih, dan sampai Minggu
pagi kami terus bercinta dan bersetubuh tak bosan-bosannya sampai tujuh kali.
Minggu siang sekitar jam 12.00 Togar datang sesuai janji untuk mengantarkan
Ningsih pulang, sambil mendropku di stasiun kereta api. Oh, setianya Batak satu
ini, benar-benar kawan sejati dia. Dia cuma cengar-cengir penuh arti ketika
bersalaman di stasiun dan berpisah denganku.
Dari mobil, Ningsih
melambaikan tangan dan menempelkannya di bibirnya. “Hati-hati kau bawa dia
kawan, dia sedang mengandung anakku, cari jalan yang mulus!” perintahku pada
Togar. “Siap boss, akan kulaksanakan perintahmu!” katanya tegas. Batak ini
memang tegas dan kasar, tapi hatinya sangat lembut dan baik. Sekali lagi aku
berpelukan dengan Togar, sebelum Kijangnya yang membawa Ningsih hilang dari
pandanganku.
Aku berjanji pada
Ningsih untuk sesering mungkin datang ke Bandung, tak peduli apakah si Yudi
keluar kota atau tidak sebab cinta kami begitu indah. –




Post a Comment