Latest Movie :
Recent Movies

Tante Ani..Guru Seksku

Tante Ani..Guru Seksku



Umurku sekarang sudah 30 tahun. Sampai sekarang aku masih hidup membujang, meskipun sebenarnya aku sudah sangat siap kalau mau menikah. Meskipun aku belum tergolong orang yang berpenghasilan wah, namun aku tergolong orang yang sudah cukup mapan, punya posisi menengah di tempat kerjaku sekarang. Aku sampai sekarang masih malas untuk menikah, dan memilih menikmati hidup sebagai petualang, dari satu wanita ke wanita yang lain. Kisahku sebagai petualang ini, dimulai dari sebuah kejadian kira-kira 12 tahun yang lalu.

Waktu itu aku masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Agus, sahabatku di sekolah. Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall ‘X’ sekedar menghilangkan kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan. Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang di desa). Jalan ke Mall ‘X’ dari rumah Agus melewati tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan seperti biasa. Aku mulai gelisah, karena biasanya Agus selalu tepat janji. Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke rumah Agus, memastikan dia sudah berangkat atau belum (waktu itu HP belum musim bro, paling juga pager yang sudah ada, tapi itupun kami tidak punya).

“Sialan.. telkom ini, barang rongsokan di pasang di sini!,” gerutuku karena telpon koin yang kumasukkan keluar terus dan keluar terus. Setelah uring-uringan sebentar, akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Agus. Keputusan ini sebenarnya agak konyol, karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh dari Mall ‘X’ tujuan kami, belum lagi kemungkinan bersimpang jalan dengan Agus. Tapi, kegelisahanku mengalahkan pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada penjual di warung kalau-kalau Agus datang, aku langsung menyetop angkot dan menuju ke rumah Agus.

Sesampai di rumah Agus, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Agus (Papa, Mama dan adik-adik Agus, serta kadang pembantunya) pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Agus keluar dari pintu samping.
“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah?” tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah Agus, begitu juga sebaliknya Agus sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Agus, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Agus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.

“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante Ani, mama Agus yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante Ani lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante Ani lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante Ani tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante Ani masih berdiri di depan pintu.
“Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”

“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Agus ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin,” jawab Tante Ani. “Emangnya Agus nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit terheran-heran. Tidak biasanya Tante Ani menyebutku dengan “kamu”. Biasanya dia menyebutku dengan “nak Didik”.
“Kok bengong!” Tanya Tante Ani membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante Ani meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.

“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu.. bau,” kata Tante Ani sambil tersenyum. Setelah itu Tante Ani dan pembantunya masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja untuk.

Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya Tante Ani nampak keluar dari ruang tengah. Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an namun badannya masih bagus. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante Ani tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante Ani tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.

“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante Ani lagi. Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata Tante Ani sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Agus, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya?” Tanya Tante Ani.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen.”
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata Tante Ani.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante Ani tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.

“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante Ani nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.

“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante Ani memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.

Setelah beberapa menit, Tante Ani menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante Ani setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Ani yang keluar lagi dari ruang tengah.

“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan. “Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar lebih enak,” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang disuruh Tante Ani. Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Ani duduk di belakangku sambil mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante Ani sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante Ani kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante Ani membuka kaosku.
Setelah itu Tante Ani kembali memijitku. Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan punggungku. Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang payudara Tante Ani.

Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante Ani.

“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku itu. Tante Ani seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku. Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa melihat dan merasakan Tante Ani mengelus penisku dari luar CD-ku.
Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan. Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul keluar dan Tante Ani sudah menggenggamnya sambil sesekali membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi mainan Tante Ani.
Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut Tante Ani, sementara tangannya naik turun mengocok batang penisku. Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang. Aku merasakan Tante Ani melepaskan penisku dari mulutnya, tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.
“Sssshhhh.. creettt… creett… ” Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mani ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante Ani berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante Ani, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante Ani lagi.
Setelah itu aku lihat Tante Ani melepas T-Shirtnya, kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya. Aku terus terbelalak melihat pemandangan seperti itu. Dan Tante Ani seperti tidak peduli kemudian meluruskan posisi ku, kemudian dia mengangkang duduk di atasku. Selanjutnya aku merasakan penisku digenggam lagi, kali ini di arahkan ke selangkangan Tante Ani.

“Sleppp…. Aaaaahhhhh… ” suara penisku menembus vagina Tante Ani diiringi desahan panjangnya. Kemudian Tante Ani bergerak turun naik dengan cepat sambil mendesah-desah. Mulutnya terkadang menciumi dada, leher dan bibirku.
Ada beberapa menit Tante Ani bergerak naik turun, sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak lama kemudian…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh…….. ,” Tante Ani melenguh panjang, bersamaan dengan teriakanku yang kembali merasakan puncak yang kedua kali. Setelah itu Tante Ani terkulai, merebahkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pundakku.
“Terima kasih Dik…,” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.
Sejak kejadian itu, aku mengalami syok. Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit membayangkan seandainya Agus mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai terjadi pada diriku, aku mulai sering menyendiri dan melamun.

Namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan lain yang menghinggapi aku. Aku sering terbayang-bayang Tante Ani dia telanjang bulat di depanku, terutama waktu malam hari, sehingga aku tiap malam susah tidur. Selain seperti ada dorongan keinginan untuk mengulangi lagi apa yang telah Tante Ani lakukan padaku.
Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh paman dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Agus. Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Situasi seperti itu berlangsung sampai seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk sekolah. Akibat dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim sepakbola sekolahku, karena kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti latihan-latihan berat.
Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku berjalan sendirian di trotoar sepulang sekolah. Aku menuju halte yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di depan sekolahku juga ada halte untuk bus kota, namun aku memilih halte yang lebih sepi agar tidak perlu menunggu bus bareng teman-teman sekolahku.
Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku dikejutkan mobil yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku. Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya Agus. Setelah memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir. Tante Ani yang mengendari mobil itu, dan sendirian.

“Dik, cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang lain,” panggil Tante Ani sambil membuka pintu depan sebelah kiri. Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante Ani lebih keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan Tante Ani, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.” kata Tante Ani sambil langsung menjalankan mobilnya.

Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit melihat Tante Ani beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Agus,” Tanya Tante Ani tiba-tiba.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Agus?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Agus nggak pernah dijemput,” jawab Tante Ani.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.

Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante Ani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di sebuah komplek pertokoan Tante Ani melambatkan mobilnya sambil melihat-lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong. Setelah memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh dari pusat pertokoan, Tante Ani mengajak aku turun.
Setelah turun, Tante Ani langsung menyetop taksi yang kebetulan sedang melintas. Terlihat dia bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian langsung memanggilku supaya ikut naik taksi. Setelah masuk taksi, Tante Ani memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong supaya diam, kemudian dia menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan matanya, entah kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran sebuah hotel di pinggiran kota.
“Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada kamar nganggur yang habis dipakai tamu kantor tante. Nanti tante nyusul,” kata Tante Ani memberikan kunci kamar hotel sambil setengah mendorongku agar keluar.
Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung mencari petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke resepsionis. Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor seperti yang tertera di kunci. Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, namun hanya duduk-duduk saja di situ.
Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di pintu kamar, ternyata Tante Ani. Dia langsung masuk dan duduk di pinggir ranjang.
“Agus bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?!” tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada agak tinggi.
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Agus,” Tante Ani menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante Ani terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,” kataku.

“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil sesenggukan. “Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu,” kata Tante Ani, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”

Akhirnya Tante Ani cerita panjang lebar tentang rumah tangganya. Tentang suaminya yang sibuk mengejar karir, sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur. Tentang kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan suaminya, serta beratnya menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.
“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa, tante nggak sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu kemarin. Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah tahu masalah tante. Sekarang kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin taksinya,” kata Tante Ani lirih sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan dompet.
“Nggak.. nggak usah tante.. ” aku mencegah. “Saya belum mau pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam kesedihan.” Entah pengaruh apa yang bisa membuatku seketika bisa bersikap gagah seperti itu. Aku hampiri Tante Ani, aku elus-elus kepalanya. Hilang sudah perasaan sungkanku padanya. Tante Ani kemudian memeluk pinggangku dan membenamkan kepalanya dalam pelukanku.
Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante Ani. Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya dari airmata yang masih mengalir. Pelahan kucium keningnya. Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami sudah saling bertemu. Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut, aku cukup lancar juga mengikuti naluri kelelakianku.
Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama makin liar. Aku mulai mengusap punggung Tante Ani yang masih memakai baju lengkap, dan kadang turun untuk meremas pantatnya. Tante Ani pun melakukan hal yang sama padaku.

Tante Ani sepertinya kurang puas bercumbu dengan pakaian lengkap. Tangannya mulai membuka kancing baju seragam SMU-ku, kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku. Kemudian dia melepaskan pelukanku dan berdiri. Pelan-pelan dia membuka pakain luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH. Meskipun aku sudah melihat Tante Ani telanjang, tapi pemandangan yang sekarang ada di depanku jauh membuat nafsuku bergejolak, meskipun masih tertutup CD dan BH. Aku langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah dinding, sampai kepala Tante Ani membentur dinding, meski tidak begitu keras.
“Ah, pelan-pelan doonnng,” kata Tante Ani manja diiringi desahannya desahannya.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante Ani, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante Ani tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku. Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante Ani itu dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.

Setelah itu Tante Ani membantuku membuka pengait BH-nya yang ada di belakang. Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka BH-nya. Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua buah dada Tante Ani yang cukup besar itu, sedang Tante Ani mulai mengelus dan kadang mengocok penisku yang sudah sangat tegang.
Kemudian tante setengah menjambak Tante Ani mendorong kepalaku di arahkan ke buah dadanya yang sebelah kiri. Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap dan jilati mengikuti naluriku.
“Aaaaahh….. oooouhghhh… ” desahan Tante Ani makin keras sambil tangannya tak berhenti mempermainkan penisku.

Beberapa kali aku isap puting susu Tante Ani bergantian, mengikuti sebelah mana yang dia maui. Setelah puas buah dadanya aku mainkan, Tante Ani mendorong tubuhku pelan ke belakang. Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke arah ranjang. Sampai di pinggir ranjang, Tante Ani sengaja menjatuhkan dirinya sehingga sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya, sementara kakinya dan kakiku masih menginjak lantai. Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian aku bantu sehinggap Tante Ani kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.
Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi pemandangan di depanku. Tante Ani yang telentang dengan nafas memburu dan mata agak saya menatapku. Gundukan di selangkangannya yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang, seperti menyembul didukung oleh kakinya yang masih menjuntai ke lantai. Bibir vaginanya nampak mengkilap terkena cairan dari dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa menilai dan membanding-bandingkan buah dada, mana yang kencang, bagus dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang bisa aku perhatikan).
“Sini sayaangg.. ,” panggil Tante Ani yang melihat aku berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya. Aku menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Tapi, Tante Ani menahanku. Nampak dia menggeleng sambil memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah. Terus didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang vaginanya. Setelah itu Tante Ani berusaha agar mulutku menempel ke vaginanya. Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan sangat asing bagiku, aku agak melawan.

Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia bangun. Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya tubuhku. Sempat aku melihat bibirnya tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di atas mulutku.

“Bleepp… ” aku agak gelagapan saat vagina Tante Ani ditempel dan ditekankan di mulutku. Tante Ani memberi isyarat agar aku tidak melawan, kemudian pelan-pelan vaginanya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya mendesis-desis tidak karuan. Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari vagina Tante Ani, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya. Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku sehingga masuk ke lubang vagina Tante Ani.
“Oooohhh… sssshhh… pinter kamu sayang… oh… ” gerakan Tante Ani makin cepat sambil meracau. Tiba-tiba, dia memutar badannya. Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan yang luar biasa setelah penisku masuk ke mulut Tante Ani. Aku merasakan kepala penisku dikulum dan dijilatinya, sambil tangannya mengocok batang penisku. Sementara itu, vaginanya masih menempel dimulutku, meskipun gesekannya sudah mulai berkurang. Sambil menikmati aku mengelus kedua pantat Tante Ani yang persis berada di depan mataku.
Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante Ani mulai berputar dan bergeser. Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku yang tegak.
“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku menancap sempurna di dalam vagina Tante Ani diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.

Tante Ani bergerak naik turun sambil mulutnya meracau tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah Tante Ani, kali ini aku tidak pasif. Aku meremas kedua buah dada Tante Ani yang semakin menambah tidak karuan racauannya. Rupanya, aksi Tante Ani itu tidak lama, karena kulihat tubuhnya mulai mengejang. Setengah menyentak dia luruskan kakinya dan menjatuhkan badannya ke badanku.
“Ooooooooohhh…. Aaaaaaaaahhh….. ” Tante Ani ambruk, terkulai lemas setelah mencapai puncak.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk penisku dari posisi atas. Tante Ani terus membelai rambut dan wajahku, tanpa berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian aku mempercepat sodokanku, karena terasa ada bendungan yang mau pecah.

“Tanteeeeee……. Oooooohhh……. ” gantian aku yang melenguk panjang sambil membenamkan penisku dalam-dalam. Tante Ani menarik tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat aku mencapai puncak.
Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan, aku dan Tante Ani terus ngobrol sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante Ani banyak memberi tahu tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta bagaimana meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.
Setelah jam 4 sore, Tante Ani mengajak pulang. Aku sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali lagi. Tapi Tante Ani berkeras menolak.
“Tante janji, kamu masih terus bisa menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap seperti biasa, terutama pada Agus. Dan kamu harus kembali ke tim sepakbola. Janji?”
“He-em,” aku menganggukkan kepala.

“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.
Sebelum aku dan Tante Ani memakai pakaian masing-masing, aku sempatkan mencium bibir Tante Ani dan tak lupa bibir bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante Ani memberiku ongkos taksi dan menyuruhku pulang duluan.

Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku sudah normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku, yang untungnya masih diterima. Dari sepakbola itulah yang kemudian memuluskan langkahku mencari kerja kelak. Dan Tante Ani menepati janjinya. Dia benar-benar telah menjadi pasangan kencanku, dan guru sex-ku sekaligus. Paling sedikit seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah tempat, dari hotel satu ke hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja kami melakukannya memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak diketahui orang lain, terutama keluarga Tante Ani.

Sejak itu pula aku mengalami perubahan yang cukup drastis, terutama dalam pergaulanku dengan teman-teman cewek. Aku yang awalnya dikenal pemalu dan jarang bergaul dengan teman cewek, mulai dikenal sebagai play boy. Sampai lulus SMU, beberapa cewek baik dari sekolahku maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan beberapa di antaranya berhasil kuajak ke tempat tidur. (Lain waktu, kalau sempat saya ceritakan petualangan saya tersebut).

Begitulah kisah awalku dengan Tante Ani, yang akhirnya merubah secara drastis perjalanan hidupku ke depannya. Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante Ani, meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali. Meskipun dari segi daya tarik seksual Tante Ani sudah jauh menurun, namun aku tidak mau melupakannya begitu saja. Apalagi, Tante Ani tidak pernah berhubungan dengan pria lain, karena dianggapnya resikonya terlalu besar.

Begitulah, Tante Ani yang terjepit antara hasrat seksual menggebu yang tak terpenuhi dengan status sosial yang harus selalu dijaga.



Kenikmatan Bercinta Dengan 2 Wanita

Kenikmatan Bercinta Dengan 2 Wanita




Saya berasal dari Tasikmalaya dan sudah 2 tahun menempuh kuliah di Jakarta. Di sini aku tinggal di sebuah rumah kost yang dihuni banyak mahasiswa perantauan sepertiku. Kisah ini bermula ketika aku sedang berbelanja ke sebuah mall di Jakarta. Aku tidak sendirian, tapi bersama 2 gadis teman kostku, mereka adalah Diana dan Sinta.
Keduanya cantik dan sama-sama warga keturunan sepertiku. Diana adalah seniorku semester akhir, sama2 jurusan manajemen denganku, sifatnya pendiam, banyak yang mengatakan dia judes karena jarang tersenyum, karena sifat tertutupnya inilah temannya cuma sedikit, tapi kalau sudah akrab ternyata orangnya baik dan menyenangkan. Dia sering membantuku dalam tugas2 kuliah. Hubungan kami seperti kakak adik, orangnya putih cantik, tinggi, rambut panjang, wajah oval dan bodinya ideal, kalau dilihat-lihat mirip dengan Vivian Hsu, sedangkan Sinta seangkatan denganku tapi dari fakultas psikologi, pacarnya adalah salah satu temanku yang sedang belajar di luar negeri, sifatnya periang dan humoris, kadang-kadang suka bercanda kelewatan, tingginya skitar 160 cm, bodinya langsing, berambut lurus sebahu, wajahnya putih licin dengan hidung mancung, dia dan aku termasuk beberapa dari segelintir orang yang dekat dengan Diana.
Malam itu langit sudah gelap kira2 jam 19:00, kami sudah selesai berbelanja dan sedang menuju tempat parkir bertingkat. Tempat itu sudah sepi dan gelap karena aku kebetulan parkir di tingkat agak atas jadi jarang ada kendaraan. Suasana di sana cukup menyeramkan hanya diterangi lampu remang-remang. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh 2 orang preman berpenampilan sangar yang menghadang jalan kami.
“Hei babi, tunggu dulu kalau mau lewat serahin dulu duit yang kalian punya, ayoooo!!!!” kata yang kurus gondrong itu.“Wah gile bawa cewek juga nih dia, cakep-cakep lagi, eh cewek mau main sama kita nggak!” timpal temannya yang berambut cepak. Aku segera bergerak menepis tangan si cepak ketika hendak mengelus pipi Diana yang tampak ketakutan.“Hei, hei.. kalau mau duit gua ada tapi jangan macam-macan sama temanku!” bentakku padanya.Rupanya mereka tidak terima dan si gondrong mengeluarkan pisau lipatnya dan menyerang ke arahku, aku menghindar dan menangkap pergelangan tangannya, kupuntir dengan jurus aikido yang kupelajari sejak SMA, “Ci Diana, Sinta, cepat masuk ke mobil dan lari, jangan tunggu gua!” seruku pada mereka seraya memberi kunci mobil pada Diana, mereka segera masuk ke mobil dan kudengar mesin sudah dinyalakan tapi bukannya lari malah menungguku.
“Heh bangsat, mau jadi jagoan loe, ayo kita hajar dia dulu Wan baru kita kerjain cewek2nya,” kata yang gondrong pada temannya. Si cepak menerjang ke arahku tapi kutendang perutnya sampai terhuyung-huyung ke belakang.“Ayo masih berani maju?” tantangku dengan memasang kuda-kuda. Yang cepak itu masih belum kapok, dia mengeluarkan pisaunya dan mencoba menusukku, kami sempat terlibat pertarungan seperti dalam film-film action. Tanganku sempat tersabet pisau dan membuat luka gores sepanjang kira-kira 10 cm, namun aku berhasil merebut pisau si gondrong dan kupatahkan pergelangan tangannya, sementara yang cepak terkena tinjuku pada mulutnya sehingga terlihat darah pada bibirnya.
Sebenarnya aku mulai kewalahan tapi aku mencoba tetap tenang dengan menggertak mereka dengan pisau yang kurebut sambil berdoa dalam hati, kami terdiam sesaat lalu mereka perlahan-lahan mundur, membalikkan badan dan kabur entah kemana, akhirnya berguna juga ilmu bela diri yang kupelajari selama ini. Aku segera masuk mobil, kusuruh Diana segera tancap gas, dengan wajah masih tampak tegang dia segera menjalankan mobil dan keluar dari situ.
Sinta berkata padaku, “Ihh tangan kamu berdarah tuh, kamu nggak apa-apa?”. Sinta membantu mengobati lukaku dengan peralatan P3K di mobilku.“Leo, kamu nggak apa-apa, kita ke rumah sakit ya,” sambung Diana.“Ah nggak usah kok cuma luka gores aja, nggak sampai kena tulang lagi, tinggal diobatin dan diperban sendiri aja, kalian tenang sajalah, harusnya gua yang terima kasih pada kalian, kalian sudah gua suruh kabur dulu tapi malahan nungguin, kalau gua kalah tadi gimana coba!”“Leo, kamu masih anggap Cici ini temanmu nggak sih, kamu pikir kita tega ninggalin kamu sendirian kayak gitu!” kata Diana dengan ketus dan menatap tajam ke arahku.“Udah Ci, lagi nyetir jangan marah-marah, Leo kan tadi kuatir keselamatan kita juga, uuhh.. kamu sih asal omong!” Sinta mencoba menenangkan sambil menyikut dadaku, aku diam saja daripada ribut sama cewek, bukannya takut tapi bikin pusing apalagi mendengar omelan Sinta kalau lagi bawel.
Sesampainya di kost, aku menyuruh mereka istirahat saja supaya tenang, aku sendiri segera masuk kamar. Kira-kira jam 9 malam, aku sedang membaca tabloid Bola, pintuku diketuk, ternyata yang datang Diana dan Sinta yang sudah memakai pakaian tidur.“Loh, ngapain kalian berdua ke sini malam-malam begini?”
tanyaku.“Kita cuma mau berterima kasih barusan itu, kamu tadi hebat banget deh Le, mirip Jet Lee aja aksinya,” puji Sinta dengan tersenyum.“Boleh kami masuk, ngobrol-ngobrol sebentar?” tanya Diana.Akhirnya kupersilakan mereka masuk juga mumpung belum ada yang lihat.
“Gimana lukamu Le, sori banget ya demi kita kamu jadi gini, kalo nggak ada kamu nggak tau deh gimana nasib kami,” kata Sinta sambil memegangi lenganku yang sudah diperban.“Ah luka kecil, nggak lama juga sembuh kok, kalian tenang deh.”“Le, kamu hebat deh tadi, makannya kita ke sini rencananya mau membalas budi nih, kami ada hadiah kecil buat kamu,” sahut Diana.“Oh, nggak usah Ci, kita kan temen kok pake hadiah-hadiahan segala.”“Eee, harus diterima lho kalo nggak gua nggak mau omong sama kamu lagi nih!” sambung Sinta setengah memaksa.“Ya, iya deh, aku terima aja biar kalian puas, makasih loh.”“Tapi loe tutup mata yah, soalnya ini surprise loh,” katanya lagi.“Wah, apa sih pake rahasia segala, ya udah deh, gua merem nih,” kataku.Aku bersandar di ranjang sambil memejamkan mata, kudengar suara tirai ditutup dan Diana berkata, “Awas jangan ngintip ya, ntar batal loh hadiahnya!” disambung dengan suara Sinta ketawa cekikikan.
Akhirnya aku merasakan salah seorang duduk di sampingku dan meraih tanganku.“Sudah siap?” ternyata suara Diana.“Sudah, boleh buka mata belum Ci?”“Tunggu bentar lagi.” jawabnya.Tanganku disentuh & diusapkan pada suatu benda kenyal olehnya. Betapa kagetnya aku ketika meraba benda itu ternyata adalah payudara wanita. Segera kubuka mata dan benar saja, Diana duduk di samping kiriku tanpa sehelai benangpun dan menumpangkan tanganku di payudaranya, sementara Sinta yang juga sudah polos mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu meja sehingga suasana menjadi remang-remang.
“Nah kalo gini kan jadi romantis suasananya.” katanya.Benar-benar kaget bercampur terangsang aku saat itu, aku baru pertama kalinya melihat mereka polos. Tubuh Diana ternyata benar-benar aduhai, perut rata, paha jenjang yang mulus, bulu kemaluan yang rapi dan lebat, dan payudaranya lumayan besar dan kencang, benar-benar mirip dengan Vivian Hsu yang sering kulihat gambar-gambar bugilnya. Tubuh Sinta tidak kalah menarik walaupun payudaranya tidak sebesar Diana, mungkin hanya 34 dengan puting merah muda dengan bulu kemaluan yang lebat pula.
“Loh, kok.. kok begini sih, terima kasihnya kelewatan deh kayaknya,” kataku sedikit gagap dan jantungku berdebar kencang karena aku belum pernah main dengan perempuan lain selain pacarku sendiri.“Tidak Le, kamu memang pantas menerimanya, jadi hutang budi ini impas,” jawab Diana lalu dia membuka ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya tergerai bebas sedada.“Wah, Ci liat, mukanya merah tuh, dia malu sama kita kali,” kata Sinta sambil tertawa.“Nggak usah malu Le, kita kan temen dekat bukan orang lain,” kata Diana seraya membelai pipiku dan mencium bibirku. Imanku langsung runtuh karena perlakuan mereka, begitu bibirnya menempel di bibirku segera kusambut dengan tarian lidahku di mulutnya, lidah kami saling beradu dengan penuh nafsu, tanganku sudah mulai memijat-mijat buah dadanya dan mulai turun meraba-raba paha mulusnya naik lagi ke kemaluannya dan kuberikan sentuhan halus pada klistorisnya.
Diana yang biasanya pendiam dan lemah lembut itu, malam itu begitu liar & penuh nafsu jauh dari yang sehari-hari. Sinta tidak tinggal diam, dia memelorotkan celana trainingku dan CD-ku sehingga barangku yang sudah tegang menyembul keluar. “Wah besar juga nih, pantes si Vivi betah sama lu Le,” godanya. Dijilatinya senjataku dengan penuh nafsu, lalu dimasukkan ke mulutnya dan diemut-emut seperti seperti permen lolipop. Sementara ciumanku pada Diana sudah mulai turun ke dagunya, lalu ke leher. Kusibakkan rambut panjangnya ke samping kiri lalu kujilat-jilat leher kanannya, kugigit pelan sambil menyapunya dengan lidahku. Nafas Diana sudah mulai kacau matanya terpejam sambil mendesah dan meremas-remas rambutku, aku sendiri merasakan sensasi hebat pada batanganku yang sedang dikulum Sinta, baru pertama kalinya kurasakan kenikmatan bercinta dengan dua wanita.
Tanganku mulai naik dari kemaluannya menuju dadanya dan lidahku turun menuju sasaran yang sama, akhirnya kutangkap dada kanannya dengan tanganku dan dada kirinya dengan mulutku, disaat yang sama juga tangan kiriku mengelus-elus pantatnya yang indah itu. Puting yang ranum itu kusedot dan kutarik-tarik dengan mulutku dan dada kanannya kuremas-remas sambil memencet putingnya.
Setelah beberapa saat kurasakan barangku mau meledak karena kuluman Sinta.“Sin, Sin udah stop dulu.. gua udah nggak tahan nih!” kataku terbata-bata.Akhirnya dia menghentikan kegiatannya dan berkata, “Lu gitu ah, masa mainnya sama Ci Diana terus, kamu nggak suka Sinta ya, ntar gua bilangin loh ke Ko Hendy (pacar Diana) biar digebuk hehehe..”“Sori dong Sin, abis kan tadi Ci Diana yang mulai dulu, jadi dia yang duluan dapet.”“Ya udah, biar adil kita undi saja siapa yang lebih dulu melayani Leo, gimana Sin?” Diana memberi usul. Mereka berdua suit dan yang menang adalah Diana.
“Yah, Sinta kalah, ya udah Cici duluan deh, jahat ah!” kata Sinta mencibir pada Diana.“Tenang Sin kamu juga ntar kebagian kok, Leo kan kuat, ya nggak,” kata Diana sambil melirik padaku. Kini Diana berbaring terlentang di ranjang dan Sinta duduk di tepi ranjang menunggu. Kuciumi sekujur tubuhnya mulai dari bibir dan sesampainya di kemaluan, kuangkat kedua kakinya ke bahuku sampai tubuhnya setengah terangkat lalu kudekatkan wajahku ke pangkal pahanya. Bulu-bulu lebat itu kusibakkan dengan jariku dan kujilati belahan di tengahnya. Lidahku bermain-main dengan ganas di daerah itu membuat tubuh Diana mengelinjang-gelinjang disertai suara-suara rintihannya. Tidak kuhiraukan lagi bahwa gadis ini sebenarnya adalah seniorku dan kuanggap kakak angkatku yang harusnya kuhormati, yang terpikir saat itu hanyalah nafsu dan nafsu yang makin membara.
Mendadak kurasakan sebuah tangan dengan jari-jarinya yang lembut menggenggam batang kemaluanku yang nganggur. Pemilik tangan lembut itu adalah Sinta yang tidak tahan hanya menjadi penonton. Dikocoknya batang kejantananku lalu dimasukkan ke mulutnya dan diemut-emut, sementara lidahku terus bekerja di liang kewanitaan Diana, tanganku membuka bibir kemaluan yang rapat itu sampai kulihat tonjolan kecil di tengahnya, dan kumasukkan lidahku lebih dalam lagi agar bisa menjilat benda itu. Rintihan Diana makin menjadi-jadi sambil meremas-remas sprei dan Sinta berpindah menciumi payudara Diana.
Sesaat kemudian kedua paha Diana mulai menjepit kepalaku, badannya tertekuk ke atas. “Oh, Leo.. akhh.. ah!” Erangan itu diiringi menyemburnya cairan hangat berwarna bening membasahi mulutku, setelah itu kuturunkan badannya dan Sinta membantuku menjilati cairan yang masih tersisa di kemaluan Diana sampai bersih, tubuh Diana mulai melemas kembali.
“Leo, kamu waktu main sama Vivi juga seperti ini ya, permainanmu bagus sekali,” puji Diana padaku.“Ah biasa aja kok Ci,” sahutku sambil memiringkan tubuhnya dan kuarahkan batangku ke lubang yang sudah basah itu. Sedikit demi sedikit batang itu mulai tertancap di lubang itu diikuti desisan Diana sampai akhirnya dengan susah payah akhirnya mentok juga batangku di kemaluannya yang sempit itu. Setelah itu aku mulai memacu badanku maju mundur sambil meremas-remas payudaraya dan Sinta menjulurkan lidahnya untuk beradu dengan lidahku. Sungguh nikmat sekali rasanya menikmati pijatan-pijatan dinding liang kewanitaan Diana sambil memijat payudaranya dan bermain lidah dengan Sinta, sekali-sekali Sinta juga menjilati leher dan telingaku. Benar-benar aku merasakan diriku bagaikan seorang kaisar yang sedang dilayani selir-selirku saat itu.
Beberapa saat kemudian aku merasa mau keluar dan berkata, “Ci, mau keluar sebentar lagi nih.”“Siram di mulut.. ohh.. ahh.. di mulut Cici!” katanya lirih.Akhirnya kami klimaks bersama dan kusuruh dia membuka mulut untuk menyemprot spermaku. Cairan putih kental membanjiri mulutnya sampai menetes di sekitar bibirnya, Sinta pun ikut menjilati spermaku yang masih berlepotan di batangku. Diana sekarang tergolek lemas dengan sisa-sisa sperma masih membekas di bibir, dagu, dan lehernya, sesudah mengatur nafas dia tersenyum padaku dan berkata, “Bisa-bisa besok pagi Cici nggak bisa kuliah gara-gara kecapean nih,” jarang-jarang dia tersenyum begitu, padahal wajahnya semakin manis kalau lagi senyum. “Sama Ci, saya juga gitu mungkin, sekarang Cici istirahat aja dulu deh, Sinta udah nggak sabar nih,” jawabku sambil merengkuh tubuh Sinta dalam pelukanku.
“Sin, biarin Cici istirahat di ranjang dulu ya, kita mainnya di tempat lain dulu, oke..”“Ya terserah kamu deh, asal jangan di luar kamar, kan malu,” katanya sambil memencet hidungku dengan nakal.“Ya, iyalah masa di luar sih, dasar cewek sableng,” kataku sambil membantunya berdiri.
Kami berdiri berhadapan saling peluk tanpa mengenakan selembar benangpun, kutatap wajah dan matanya dalam-dalam, semakin dilihat semakin cantik. Kurapatkan dia ke tembok, kukecup keningnya merambat ke telinganya dimana aku berbisik, “Sin, kamu pernah melakukan ini pada siapa saja?”“Baru loe, Andry, dan bekas pacar gua di SMA, loe sendiri gimana Le, gua ini cewek keberapa yang luperlakukan begini?”Aku terdiam sesaat lalu kujawab, “Selain Vivi dan Ci Diana mungkin kamu yang ketiga dan terakhir bagiku Sin.”“Kenapa loe bilang aku yang terakhir Le?”“Ya, karena aku sudah berdosa pada Vivi, aku tidak mau menambahnya lagi.”“Hihihi, ternyata masih ada juga pria lugu seperti kamu Le.”Lalu dia berkata di dekat telingaku, “Jadi loe belum bisa membedakan antara seks dan cinta,” habis menyelesaikan kata-kata dia langsung mengulum telingaku dan kubalas dengan meraba punggung mulus dan pantatnya.
Kami saling raba bagian-bagian sensitif selama beberapa saat dan kini kuangkat kaki kanannya masih dalam posisi berdiri dengan bersandar di tembok. Pelan-pelan kumasukkan batang kemaluanku ke liang yang sudah becek itu, benar-benar sempit milik Sinta ini, lebih sempit dari Diana sehingga dia meringis kesakitan sambil mempererat cengkramannya di pundakku saat kumasukkan batangku.“Aduhh.. ahh.. pelan-pelan Le, sakit.. ahh..!” Sedikit demi sedikit batangku sudah masuk setengahnya.Kuhentikan gerakanku sejenak sambil berkata, “Sin, kamu siap?”“Siap apaan sih.. aawww..sakitt!” jeritnya. Sebab saat dia bilang ’sih’ kuhujamkan sekuat tenaga sisa batangku yang belum masuk sampai mentok dan kurasakan kepala batang kejantananku menghantam dasar kemaluannya dengan kuat sehingga tubuhnya tersentak dan matanya membelakak kaget, telapak tanganku sudah kusiapkan di belakang kepalanya agar ketika terkejut kepalanya tidak membentur tembok.
“Jahat loe, bikin kaget gua aja,” tanpa banyak bicara lagi kugerakkan pantatku maju mundur membuatnya mengerang-erang setiap kusentakkan tubuhku ke depan. Dadaku saling bergesekan dengan dadanya. Sambil terus menggenjot kuciumi terus bibirnya sehingga erangannya tertahan, yang terdengar hanya suara, “Emmhh.. emmhh.. emhmm..”
Beberapa saat kemudian tubuhnya kurasakan seperti menggigil dan dia mempererat pelukannya, demikian juga aku makin erat memeluknya sampai kurasakan hangat pada batang kejantananku disusul keluarnya cairan bening dari liang senggama Sinta, cairan itu mengalir deras dari sumbernya terus turun ke pahanya dan sampai ke ujung kakinya. Perlahan-lahan gerakanku melemah dan akhirnya berhenti, kuturunkan kakinya dan kulepaskan batangku yang masih menancap di kemaluannya. Tubuh Sinta yang sudah basah kuyup oleh keringat melemas kembali dan merosot sampai terduduk di lantai, keringat di punggungnya membasahi tembok di belakangnya. Kuambil tisu lalu kubersihkan cairan kenikmatan yang mengalir membasahi tungkainya.
Kami berdua terdiam sesaat memulihkan tenaga kami yang terkuras. Setelah kurasa segar kembali kuperhatikan dia yang masih terduduk lemas di lantai dengan kaki kiri ditekuk, mataku terpaku mengagumi keindahan tubuhnya membuat gairahku bangkit kembali. “Ngapain sih loe, serem amat melototin gua kaya gitu,” katanya sambil menyilangkan kedua tangan menutupi dadanya. Tanpa menjawabnya kutarik lengannya lalu kubuat posisinya berdiri membelakangiku dengan kedua tangannya bertumpu di pinggir meja belajarku. “Aduh.. tunggu dulu Le, gua masih capek, loe jahat ih!”
Dengan segera kubasahi batang kejantananku dengan ludah lalu kumasukkan ke lubang pantatnya dengan paksa dan kuhentakkan biasa saja tapi dia malah menjerit histeris, “Awww.. sakit, toloongg!” Jeritannya ini sempat membuatku kaget juga karena kencang sekali, aku takut sampai mengundang perhatian tetangga sebelahku, untungnya lokasi kamarku ini agak di ujung namun jeritannya tadi cukup luar biasa. Aku melepaskan sebentar tusukanku dan mengintip dari jendela apakah ada yang datang ke sini, lega aku melihat koridor masih sepi tanpa suara dan kamar sebelahku juga sudah gelap, kurasa dia sudah terlelap.
Kudekati Sinta masih tetap dalam posisinya. “Aduh Sin, itu suara tolong dikecilin dong volumenya, gawat nih kalo ada yang tau, pake tolong segala lagi, bisa-bisa dikira ada pembunuhan.”Dasar cewek bandel, dia malah sambil tertawa berkata, “Lucu tampang kamu lagi panik Le, masa kamu lupa si Ferry tetangga sebelah loe kan lagi pulang makanya gua kagetin loe, ini balasan waktu tadi ngagetin gua (ketika posisi berdiri), jadi kita seri hihihi!”“Ooo jadi loe sengaja ya, awas loe ayo sini tunggu ya balasan gua ntar!” kataku
menghampirinya. Dia malah berkelit sambil berlari kecil.“Wek, sini tangkep kalo bisa,” ejeknya dengan menjulurkan lidah.“Cewek bandel, awas kalo kena ya!”“Lho kalian lagi ngapain, kok kayak anak kecil aja sih, dari tadi ribut terus,” kata Diana yang sudah bangun.“Ini Ci, gua lagi kasih pelajaran buat si bandel nih.”
Akhirnya kutangkap setelah dia terdesak di lemari pakaianku di sudut ruangan, kupeluk dia dari belakang, “Nah ketangkep loe sekarang, mau ke mana lagi.”“Hihihi Leo ampun ah, jangan kasar-kasar!” dia masih tertawa-tawa ketika itu, lalu aku membuat posisinya seperti tadi lagi, kini kedua tangannya yang bertumpu pada lemari.“Sekarang tau rasa nih balesan gua!” kataku dengan senyum penuh kemenangan.Kutuntun batang kejantananku memasuki lubang pantatnya yang sempit, sedikit demi sedikit akhirnya amblas seluruhnya.
Waktu kumasukkan suara tawanya perlahan-lahan berubah menjadi suara rintihan, senyumnya sirna berganti menjadi ekspresi kesakitan, “Hi.. hi.. hi.. Leo udah ah, lepasin ah.. ahh.. jangan.. ahh.. sakit..!” Mendengar rintihan tak karuan itu nafsuku semakin bangkit, pinggulku segera bergerak maju mundur dengan ganas. Dasar sifatnya bawel, waktu bertempurpun dia masih sempat berceloteh sambil merintih, “Akhh.. kamu.. sadis.. ah.. ntar gua mau.. ohh.. lapor.. aakhh.. sama.. sama Vivi.. ahh!”
Pinggulnya ikut berpacu menyelaraskan dengan gerakanku, yang paling enak adalah saat sentakan kita saling berlawanan arah sehingga menambah tenaga tusukanku agar menancap lebih dalam, bila sudah begitu selalu histeris tapi tidak sehisteris waktu mengagetkanku tadi. Payudaranya juga ikut berayun-ayun kesana kemari, kedua putingnya kutangkap dengan jariku, kupuntir, kutarik, dan kupencet tanpa menyentuh dadanya, aku sengaja berbuat begitu agar dia penasaran dan memohon padaku. Benar saja perkiraanku setelah beberapa lama kumainkan putingnya tanpa menyentuh dadanya dia mulai memohon.“Le.. ahh.. kamu kok.. oohh.. cuma mainin.. aahh putingnya.. remas dadaku Le.. please!”“Hehehe.. gua kan udah janji mau ngebales loe tadi, tunggu aja sampai saatnya nanti Sin, hehehe,” jawabku sambil tetap menggenjot lalu tangan kiriku menjambak rambutnya hingga kepalanya menengadah ke atas.“Aaawww.. kamu.. kamu.. ahh.. jahat.. kasar.. awas ya nanti!” Puas hatiku menyiksa si bandel ini hingga tak berkutik memohon-mohon padaku. Menurutku bercinta dengannya lebih enak daripada Diana yang agak pasif, Sinta cukup pintar mengimbangi gerakan-gerakanku, staminanya pun lebih baik sedangkan Diana belum apa-apa sudah takluk, maklum Sinta ini orangnya rajin fitness.
“Uaah.. mau keluar Sin!” jeritku ketika mau mencapai puncak.“Gua juga.. aahh.. ayo perdalam lagi.. ouchh!”“Uahh..” begitu spermaku muncrat aku langsung berteriak dan meremas kedua buah dada Sinta dengan keras disusul pula oleh jeritannya.“Aaakkhh sakiitt.. eenakk..!” Tanpa melepas batang kejantananku , kepalaku menyelinap ke balik ketiak kirinya, sasaranku adalah puting susu yang ranum itu. Mulutku menangkap benda itu lalu kusedot dengan gemas sementara tanganku masih meremas buah dadanya. Kubalikkan tubuhnya hingga kami saling berdiri berhadapan. “Sin, kamu nggak menyesal melakukannya padaku?” tanyaku, dia hanya menggeleng dengan nafas yang masih memburu, tubuhnya licin mengkilap karena berkeringat. “Le gua capek berdiri terus, bantu gua ke ranjang dong,” pintanya. Maka kugendong dia ke ranjang dengan kedua tanganku sambil bercumbu mesra, kubaringkan dia di sebelah Diana yang sudah bangun, lalu aku duduk di tepi ranjang karena ranjangku tidak cukup berbaring 3 orang.
“Wuiih main sama Sinta ribut banget, sori ya ngebangunin Cici nih,” kataku pada Diana.“Eee.. loe yang sadis kok masih nyalahin gua, awas ya!” kata Sinta sambil menangkap kemaluanku dan menggenggamnya erat.“Idiih.. idihh.. gitu ya, lepasin Sin malu tuh diliatin Ci Diana!”“Minta ampun dulu, kalo nggak kagak bakalan gua lepas nih!”“Iya, sori.. sori deh yang mulia putri, sekarang lepas dong!” gila bukannya dilepas malahan dijilatinya batang kejantananku yang masih ada sisa-sisa sperma dan cairannya itu.“Kalian kok berantem melulu sih, lucu ah!” kata Diana lalu dia mendekati kami dan ikut menjilati batang kejantananku. Aku jadi merem melek keenakan menikmati permainan mulut mereka sambil mengelus-elus rambut indah Diana.
Aku lalu menyandarkan badanku di ujung ranjang agar lebih nyaman, kedua gadis cantik ini kini berada di depanku sedang mempermainkan kemaluanku. Jilatan demi jilatan, emutan demi emutan membuatku menyemburkan kembali maniku namun kali ini sudah tidak banyak lagi yang keluar akibat terkuras pada ronde-ronde sebelumnya. Dengan rakusnya mereka berebutan melahap cairan putih itu sampai habis bersih, pada bibir-bibir mungil itu masih terlihat percikan spermaku.
Mereka lalu menyuruhku telentang di ranjang, aku tidak tahu mereka mau apa lagi tapi kuturuti saja. Diana lalu naik ke atas kemaluanku dan memasukkan batang itu hingga terbenam dalam kemaluannya, kemudian dia mulai bergoyang-goyang naik turun seperti naik kuda. Sinta naik ke atas wajahku berhadapan dengan Diana dan menyuruhku agar menjilati kemaluannya. Sambil kuelus-elus pantat yang mulus itu, lidahku menjelajahi liang kemaluannya, gerakan lidahku bervariasi dari berputar-putar membuat lingkaran, mempermainkan klitorisnya, menggigit lembut klistorisnya, menusukkan jari tengahku sampai mendorong-dorongkan lidahku ke liang itu.
Tanganku bargantian memijati kedua payudara Sinta dan mengelus paha serta pantatnya, suatu ketika kuraba payudaranya, tanganku juga bertemu tangan Diana di situ, jadi masing-masing payudara Sinta dipijati 2 tangan. Suara desahan mereka berdua memenuhi kamarku, terkadang suara itu berubah menjadi, “Emhh.. emhh.. emhh!” sepertinya itu suara mereka berdua sedang berciuman sehingga desahannya terhambat, aku tidak tahu persis karena waktu itu pandanganku tertutup tubuh Sinta.
Goyangan pinggul Sinta bertambah dahsyat ditambah lagi jepitan pahanya terkadang mengencang membuatku agak kewalahan mengatasinya, sementara Diana yang tidak kalah gilanya makin mempercepat gerakannya sehingga terasa sedikit sakit pada buah pelirku akibat tindihannya.
Aku pun tak mau kalah, kubalas dengan menggerakkan pinggulku, kurasakan batang kejantananku sudah terasa licin dan hangat oleh cairan yang keluar dari liang kewanitaannya, bersamaan dengan itu terdengarlah jeritan histeris Diana yang tidak lama sesudahnya disusul erangan Sinta dan tetesan cairan kenikmatannya ke wajahku. Tubuh keduanya mengejang di atas tubuhku selama beberapa saat, kurasakan goyangan Diana mulai melemah sampai akhirnya berhenti, Sinta turun dari wajahku dan langsung menjatuhkan diri di sampingku. Kulihat tampang Diana sudah kusut, rambut panjangnya berantakan sampai menutupi sebagian wajahnya dan tubuhnya sudah bermandikan keringat, dia jatuh telungkup di atasku, payudaranya menindih dadaku, empuk dan nikmat sekali rasanya, lebih enak dari ditindih bantal bulu angsa sekalipun.
Begitu w bahkan Diana, gadis bagaikan gunung es itu sudah tidak perawan lagi, tapi aku tidak peduli soal itu yang penting kenikmatan yang kudapat waktu itu sangat hebat, lagipula liang kemaluan mereka masih sempit karena menurut pengakuan mereka jarang melakukannya karena pacar mereka tinggal terpisah jadi jarang bertemu. Gara-gara permainan liar malam itu besok paginya aku tidak ikut kuliah jam 7 karena tubuhku pegal-pegal terutama bagian pinggang seperti mau copot rasanya, kumatikan wekerku dan meneruskan tidur sampai jam 10.00 ketika si bandel Sinta menggedor pintuku, “Wei.. wei.. bangun pemalas, semalam ngapain aja loe!



Ibu Dokter Dari Ambon

Ibu Dokter Dari Ambon




Biasanya aku kurang suka dengan ML dengan wanita yang berkulit gelap, bagiku kurang menggairahkan. Aku lebih suka menikmati tubuh wanita yang putih mulus. Tapi inilah kisahku dengan wanita yang berkulit gelap.

Aku bekerja sebagai supervisor marketing di sebuah perusahaan farmasi. Sebelum aku menjadi supervisor posisiku adalah yang biasa disebut Detailer, yaitu wakil dari perusahaan farmasi yang bertugas mengenalkan dan meyakinkan dokter akan produknya dengan harapan menuliskan produknya diresep, dan aku ditempatkan di Makasar. Sebulan sekali aku tugas luar kota ke Ambon selama satu minggu. Itu sekitar tiga tahun lalu . Sekarang karena sudah banyak perkembangan, di Ambon sudah ditempatkan seorang Detailer, dengan panggilan Dino. Sekarang aku ditempatkan di Jakarta membawahi beberapa Detailer.

Suatu hari, hari Kamis saat itu, aku dipanggil oleh Sales Manager ke kantornya, ” Ardy, kamu kenal dokter…(sambil menyebutkan nama) yang di Ambon kan ?” tanya bossku
” Kenal, pak. Emang kenapa ? ” aku balas bertanya.
” Tadi Dino telpon katanya istri dokter tersebut mau datang ke Jakarta ada keperluan. Jadi besok kita jemput bersama2 di Bandara ” jelas bossku
” Ooh, dokter Elma yang mau datang, saya juga kenal dia, baik pak besok kita jemput bersama2 ”


Adalah sudah biasa bagi perusahaan farmasi untuk menjamu seorang dokter dan atau keluarganya, apalagi dokter tersebut banyak menuliskan produk2nya di resep. Demikian juga dengan suami dokter Elma ini, dia adalah paling banyak membantu perusahaan kami di Ambon. Kalau dokter Elma sendiri bertugas di sebuah puskesmas kecil di Ambon dan dia tidak praktek pribadi, jadi hanya meresepkan obat2 generik. Tapi aku sudah mengenal dia sewaktu aku sering ke Ambon dulu.

Dokter Elma sewaktu aku di Ambon baru menikah 2 tahun dan belum dikaruniai anak. Dia orangnya baik, wajahnya cantik khas wajah Ambon boleh dibilang manis, tinggi badannya sekitar 165 cm, usianya waktu itu sekitar 27 tahun, jadi sekarang sekitar 30 tahun, mengenai bentuk tubuhnya aku tidak begitu jelas karena saat ketemu dia selalu mengenakan jubah putih dokternya yang longgar dan aku tidak terlalu memperhatikan karena aku waktu itu tidak tertarik dengan wanita yang berkulit gelap, walaupun kulit dokter Elma tidak terlalu hitam. Yang aku dengar (karena aku belum pernah melihat sendiri) dokter Elma sewaktu belum married adalah seorang atlet volley dan sering mewakili Maluku di kejuaraan2 tingkat Nasional.
Hari Jumatnya aku dan bossku menjemput doketr Elma di bandara,
” Halo dokter Elma, selamat datang….sendiri saja dokter ? ” sambut kami di pintu penjemputan sambil menyalami dia yang nampak segar dengan celana katun hitam longgar dan kaos lengan panjang berwarna cream yang juga longgar.
” Ya, saya sendiri saja habis suamiku masih sibuk cari duit terus…..
waah Ardy, kamu masih seperti dulu saja…

. tetap awet muda….” balas dia sambil tersenyum memamerkan giginya yang putih rapi.

Saat di dalam mobil aku menanyainya ” Belum punya momongan dokter ? ”
” Tuhan belum kasih ” jawabnya singkat, tapi aku tahu dia agak berat untuk menjawab dan aku alihkan pembicaraan.
” Dokter Elma, kita mau ke mana dulu nich ? ” tanyaku
” Kita langsung aja ke hotel dulu, aku mau ganti baju dulu udah lengket badanku ” jawab dokter Elma
” Ngga makan siang dulu saja dokter Elma ? ” tanya bossku, walaupun aku tahu saat itu sudah lewat waktu makan siang.


” Ngga ah, tadi sudah makan di pesawat dan sekarang masih kenyang. ” jawabnya sambil kembali memperlihatkan giginya yang putih.
” Kalau begitu kami antar dokter ke hotel dulu supaya dokter istirahat dulu biar nanti malam Ardy jemput dokter untuk makan malam atau mungkin dokter mau pergi kemana, kalau saya tidak bisa ikut, saya ada janji dengan orang…” kata Sales Managerku, dalam hatiku langsung berkata… ” bakalan jadi sopir nich, tapi yach…. inilah bagian dari pekerjaanku. I have to enjoy it ”
” Aduh….jadi ngrepotin nich ” jawabnya basa basi.


Kami antar dokter Elma ke sebuah Hotel bintang empat yang tentu saja dibiayain perusahaan dimana aku bekerja. Setelah check-in dan mengantar dokter Elma kekamarnya aku dan bossku pulang ke kantor dan aku langsung pulang kerumah untuk mandi dan ganti baju. Sampai disini aku masih tetap belum mempunyai perasaan apa2 terhadap dokter Elma.


Pukul enam lewat sepulu menit aku ketuk kamar dokter Elma. Tidak lama kemudian pintu dibuka dan …. dokter Elma keluar dengan dandanan yang baru kali ini aku melihatnya. Dokter Elma mengenakan celana jeans stretch ketat warna biru tua dengan T shirt ketat berleher V yang cukup rendah sehingga belahan dadanya yang kencang sedikit terlihat, dengan warna yang sama celananya. Disinilah aku mulai melihat keindahan tubuh dokter Elma, payudara tang tidak terlalu besar tapi padat berisi, pinggang ramping dengan perut yang masih rata diteruskan dengan pantat yang padat serta bentuk paha yang panjang berisi, dia hanya memakai sepatu kets, rambutnya diikat model ekor kuda sehingga menyisakan rambut2 halus di kening dan tengkuknya dengan kulitnya yang coklat tapi mulus. Sejenak aku terpesona.
” ardy, kenapa kamu bengong ? ayo kita jalan ” katanya mengagetkanku
” eh..ya..ayo kemana kita dokter ? ” jawabku agak gugup
” Ardy, aku kan mau beliin kado buat hadiah keponakan Bapak yang mau menikah hari Sabtu besok dan aku mau beliin dia kalung mas saja, jadi kamu antar ke mal yang ada toko masnya, setelah itu kita makan malam di Pecenongan saja biar santai ..” kata dokter Elma setelah di dalam mobil inventarisku.
” Beres bos…” jawabku setengah bercanda.
Singkat cerita, kami malam itu hanya kemal membeli apa yang dia cari dan makan malam saja langsung pulang ke hotel.


” Besok rencana mau kemana lagi dokter ? ” tanyaku saat di lobby hotel
” Pagi aku ngga kemana2, kamu ngga usah jemput saya..” jawabnya
” Kalau begitu saya dan sales manager akan menjemput dokter untuk makan siang.. Itu yang boss pesan tadi untuk acara besok ” kataku lagi
” Ok kalau begitu, thank’s ya Ardy ”
” Baik dokter saya pamit dulu. Selamat malam ” akupun langsung pulang. Besoknya kami hanya makan siang dan dia juga tidak mau ditemani jalan2 malam harinya. ” Wah.. legaa ” pikirku senang.
Ngentot Dengan Dokter di Hotel Jakarta


Selesai jam kantor sekitar jam 5 sore ketika aku sudah bermaksud pulang, tiba2 terdengar bunyi hpku, dan ketika aku lihat ternyata dokter Elma yang memanggil. ” Ardy, kamu ada dimana ? Kalau masih dekat dengan hotel, kamu mampir dulu kesini ya…” terdengar suara dokter Elma dari seberang hp.
” Baik dokter, kebetulan saya baru keluar kantor. Saya akan langsung kesana ” jawabku setengah mengeluh karena pikirku bakalan jadi sopir lagi nich…..


Setengah jam kemudian aku sampai di hotel tempat dokter Elma menginap dan aku langsung mengetuk pintu kamarnya. Ketika pintu dibuka muncul dokter Elma hanya mengenakan baju renang, one peace sih tapi pas di bagian perut, pinggang dan punggung bagian bawah modelnya berlubang sehingga nampak pusar dan kulit yang coklat mulus dibagian yang selama ini aku tidak pernah melihat, sayang bagian yang lebih bawah tidak bisa terlihat karena ditutup dengan handuk sampai ke lutut.
” Ayo temani aku berenang, tadi pas jalan2 dikolam renag aku jadi kepingin berenang tapi aku malas sendirian, makanya aku panggil kamu buat nemani aku..” sambutnya saat membuka pintu
” Tapi…saya ngga bawa pakaian renang dok ” kataku agak bingung
” Kan bisa beli dikantin kolam renang hotel. Ayo pokoknya temani aku berenang, ambil tuh handuk hotel yang satunya..” katanya setengah memaksa.


Akupun ngga bisa menolak dan kami menuju kolam renang hotel. Dokter Elma hanya memakai baju renang yang bagian bawahnya dibalut handuk sedangkan aku masih memakai pakaian kantor lengkap dengan menenteng handuk. Setelah sampai dokter Elma langsung menuju kolam dan meletakan handuknya dibangku dipinggir kolam, aku membeli celana renang dan menuju kamar ganti dan akupun menyusul doktr Elma, sayang aku ngga sempat melihat dokter Elma membuka lilitan handuknya karena saat itu aku lagi di kantin untuk beli celana renang. Satu jam berlalu kami berenang dan kadang sambil cerita kesana kemari, langit mulai gelap dan lampu2 sekitar kolam renang sudah dinyalakan, dokter Elma mengajakku untuk berhenti akupun setuju dan inilah saat yang aku tunggu2 yaitu saat dia naik dan aku bisa melihat keindahan tubuhnya dibalik pakaian renangnya. Benar saja aku melihat tubuh yang sexy milik dokter Elma walaupun kulitnya berwarna coklat tapi mulus sekali apalagi dalam keadaan basah seperti ini lebih menambah kesexyan tubuhnya pikirankupun mulai macam2 apalagi saat naik kepinggiran kolam dia menoleh sambil senyum kearahku. Sepertinya dia tahu aku bakalan terpesona melihat bentuk tubuhnya dan memang begitulah kenyataannya sampai2 aku merasakan ada pemberontakan dibagian bawahku, tapi aku segera mengalihkan supaya burungku tidak berdiri, kan malu kalau saat keluar kolam burungku berdiri, aku kan hanya pakai celana renang, bisa kelihatan menonjol donk.


Akupun keluar dari kolam dan mengambil bajuku, aku jadi ingat kalau kami ngga bawa sabun atau shampoo buat bilas.
” Kita bilas dikamar hotel saja ndry….lebih enak, kan ada air panasnya.” katanya sambil melilitkan handuknya dan akupun melilitkan handuku sedangkan pakaianku aku tenteng, sepertinya dokter Elma tahu apa yang ada dipikiranku.


Kamipun menuju ke kamar hotel. Saat kami didalam kamar dan pintu sudh kami kunci tiba2 tangan dokter Elma menariku ” yuk…kita bilas sama2…”
Aku kaget, tentu saja ngga menolak ” bener nih..? ‘ tanyaku meyakinkan. Dokter Elma hanya senyum sambil tangan kanannya menariku sedangkan tangan kirinya melepaskan handuknya dan membiarkannya berserak di lantai dan akupun mengikutinya.
Foto Mandi Telanjang Bersama Dokter Dari Ambon


Di dalam kamar mandi dia langsung menghidupkan air panas dan menutup lubang bath tub sehingga mulai terisi air panas. Sambil masih tersenyum dan memandangku dia melepaskan baju renangnya. Sekejap dia sudah bulat di hadapanku. Kakiku agak goyah melihat pemadangan ini, didepanku berdiri dengan rambut yang masih basah tanpa busana selembarpun seorang wanita cantik berkulit coklat bertitel dokter dengan tubuh yang sangat sexy, tubuh padat berisi dengan bulu kemaluan yang hitam tebal, paha yang berbentuk indah dengan bulu2 lembutnya, punggung bagian atasku tanpa trasa bersandar ke tembok dan tanpa aku sadari pula dokter Elma sudah membungkuk sambil melepaskan celana renangku dan langsung saja burungku yang sudah berdiri nongol keluar karena aku ngga pakai cd sewaktu berenang tadi. Sementara itu bath tub sudah mulai penuh dengan air hangat.
” Jangan bengong saja, ayo kita mandi…” akupun sadar dari kekagumanku pada tubuh dokter Elma dan akupun menarik nafas panjang berulang2 mencoba menguasai diri dan aku berhasil.
” OK, mana sabunnya biar aku gosok punggung dokter ….eh tapi aku shampooin dulu aja…” setelah aku shampooin rambutnya akupun mulai mengosok punggung dokter Elma sambil berdiriyang mulus dengan sabun cair miliknya


Pertama ku gosok dengan kedua tanganku punggungnya, kemudian tengkuknya, lehernya, akupun mulai merapatkan tubuhku ketubuh dokter Elma dan dari belakang aku mulai meggosok payudaranya yang ternyata masih kencang dokter Elma mulai naik birahinya, kepalanya mulai disandarkan ke bahuku dan kepalanya digeser2kan ke telinganku sambil mulutnya mulai mendesis…….sssshhh…ssssh hh….Tanganku yang basah dan licin karena sabun aku elus2kan dikedua payudaranya terkadang aku turunkan keperutnya dan mengusap bulu jembutnya, aku naikan lagi ke payudaranya. Tangan kanannya mengambil sabun cair dan dituangkan ketelapak tangan kirinya, sambil punggungnya masih ttap bersandar ke tubuhku tangan kirinya meraih burungku dan mulai mengusap2 burungku yang udah berdiri dan semakin tegang saat tangannya yang halus dan licin karena sabun mulai pelan2 mngocok burungku….eeeggghhhh…….d ari mulutkupun keluar suar tertahan karena nikmat. Dokter Elma terus meremas dan mengurut burungku, sementara tangankupun terus mengelus payudara, perut dan selangkangannya. Birahikamipun memmuncak. Apalagi akuyang rasanya hampir menyemprotkan spermaku. Posisi kami sudah saling berhadapan dengan tangan dokter Elma masih terus mempermainkan burungku. Aku terus menciumi wajah dan bibir dokter Elma. Tiba2 ……byuuur…..kami berdua terjatuh ke bath tub dan berdua langsung tertawa terbahak2 rupanya tanpa sadar kami bergerak dan kaki kakiku menabrak bath tub sehingga mnyebabkan kami kecebur. Spermakupun ngga jadi keluar dan kami putuskan mandi dulu, foreplaynya ditunda.


Selesai mandi dokter Elma langsung menyeretku ke tempat tidur. Aku disuruh duduk di pinggir kasur dan dia jongkok sambil meraih burungku yang mulai mengecil dan menyedotnya hanya sebentar burungku mulai naik lagi diapun mulai menjilati bagian kepala buungku kemudian leher bagian bawah burungku yang merupakan bagian paling sensitif tanganku mulai untuk menopang tubuhku sambil aku terus mnikmati jilatan dan hisapan dokter Elma.

Dokter Elma berdiri dan mencium bibirku. Aku minta dia tetap berdiri dan sambil duduk aku mulai menciumi payudaranya, lidahku aku putar2kan di putingnya kdua tanganku menggerayangi pantatnya yang padat…..ssshhh…ndry….dar i mulutnya terdengar desisan sambil tangannya megusap2 rambutku.
Ciumanku turun keperutnya terus aku jilati jembutnya, selangkangannya. Kakinya mulai mengangkang. Dengan mulutku terus menciumi selangkangannya aku berlutut di bawah dokter Elma dan dengan posisi mengadah lidahku mulai menjilati klitorisnya…..aahhh….ssshs sshh…..mulut dokter Elma terus mengeluarkan erangan kenikmatan , pantatnya digoyang2kan mengimbangi gerakan lidahku, tangannya menekan kepalaku supaya lidahku lebih menekan ke klitorisnya. Tiba2 dokter Elma menaikan kaki kirinya ke pinggiran kasur sehingga memeknya yang sudah basah dan licin lebih terbuka, lidahku makin gila keluar masuk menjilati seluruh bagian memeknya dan diapun mekin keras menggoyang pantatnya, tiba2 dia tangannya menekan keras2 kepalaku sambil pantatnyapun ditekan kuat2 ke mukaku badannya bergetar ……hhggghhh…..hhgghhhh… …ahhhhh…..srrt.. .srtt..lidahku merasakan cairan kental asin menyemprot masuk mulutku dan dokter Elmapun jatuh terduduk di pinggiran kasur, nafasnya tidak teratur, dadanya naik turun, aku berlutut di lantai sambil memeluk pinggangnya dan menciumi perutnya.
“…ndry..gila kamu ndry….aku bisa keluar banyak sekali….. kamu telan ya ? ”
” Emang sama suami ngga pernah begini ? ” aku balas bertanya


” Main oral sih tapi ngga sampai keluar begini dia minta buru2 dimasukin. Lidahmu benar2 pintar muasin perempuan. Ngga tahu yang bawah soalnya kelihatanya tidak perkasa dan ukurannya juga ngga gede ” katanya sambil mendorongku untuk terlentang, aku menolak dan menyuruhnya terlentang sambil kakinya tetap di lantai sehingga nampak memek dengan bulu lebatnya menggunung, aku langsung mengarahkan burungku ke lubang memeknya yang sudah sangat licin dan langsung masuk ….slep…aku mulai memompa pelan2 dan makin kencang dan terdengar ….crop…crop….crop…
karena memeknya semakin basah dan licin dan suara iu makin keras saat aku memompanya lebih keras . Kedua kakinya mulai dibuka lebar2 sambil ditekuk dan ditahan dipinggiran kasur . Saat posisi ini aku tidak memompa tapi aku tekan pantatku sehingga burungku mentok didinding rahimnya dan aku putar kuat2………..ahhh……hhhh ….terusndry..putar yang kuat…..aku tahu dokter Elma mau orgasmeyang kedua dan aku putar kuat2 ambil menekan dan tangan dokter Elma menarik pantatku dan….aahhhku …hmmhh….badannya mengejang sesaat dan matanya yang indah melotot.Hhh….badanyapun terkulai lemas. dokter Elma meraih kepalaku dan mencium bibirku sambil senyum manis..”benar2 luar biasa, mulut dan burungngmu, ayo kamu dibawah”
“Masih kuat ?” tanyaku


dokter Elma langsung jongkok di atas burungku dan memasukannya ke memeknya yang semakin basah bahkan membasahi batang burungku.
Crop….crop….crop, terdengar suara saat dia mulai mengayun pantatnya dan dia tengkurap sambil merapatkan kakkinya dan membuka kedua kakiku.


Dia tidk menaik turunkan pantatnya tapi menggoyangkannya sehingga burungku terasa diputar didalam memeknya dan burngngku lebih menempel ke klitorisnya membuat birahi kami gampang naik dan sebentar gerakannya pun makin liar dan akupun sudah tidak bisa menahan ledakan spermaku, tubuh kami bergetar dan saling memeluk erat2…”dokter….aku keluaarrr”
“aku juga ndry” kami aling berciuman dan sebntar terkulai lemas.


Terpaksa aku menemani dokter Elma tidur dihotel dan kami mengulanginya dua kali.
Kini dokter Elma sudah kembali ke Ambon. Aku hanya berharap ada saudaranya lagi yang menikah supaya ia datang ke Jakarta lagi.



SHIONAGA BANNER 1

BANNER SHIONAGA 2

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ShioNaga - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger