Ciciku
Cantik Sekali
Cici (aku biasa memanggilnya CC) adalah keponakan yang ketemu
lagi beberapa bulan yang lalu (sekitar September 2001) di Mataram. Sebagai
mahasiswi salah satu Akademi Pariwisata terkenal di Jakarta, dia harus
menjalani studi praktek di salah satu hotel berbintang di Lombok. Umurnya baru
19 tahun, beda jauh dengan umurku yang sudah 35 tahun dan sudah menikah dengan
dua anak.
Sekarang aku menjalani
hidup pisah ranjang dengan istriku, sejak dia menyeleweng dengan rekan
bisnisnya. Aku membutuhkan kawan wanita, tapi tidak suka ganti-ganti atau
jajan. One women at a time, lah. Hubungan kami berlangsung biasa saja, karena
kami jarang bertemu, pada saat aku melakukan kunjungan kerja ke kota S. Rasanya
senang punya saudara di tempat jauh.
Tapi, lama kelamaan
senyumnya itu lho yang membuatku klepek-klepek. Ukuran tubuhnya yang relatif
(tingginya hanya 155 cm) kecil pun merupakan impianku, karena aku juga tidak
terlalu tinggi (167 cm). Hubungan kami sebenarnya mulai sebagai layaknya
saudara, sampai suatu hari saya telpon dan menyatakan keinginan saya untuk
berhubungan lebih serius.
“Kapan Cici ke
Jakarta? Aku udah pengin banget nih ketemu sama kamu.” tanyaku ketika
meneleponnya pada awal bulan yang lalu.
“Wah aku nggak bias bolos, kecuali kalau hanya untuk satu atau dua hari. Aku baru pulang nanti bulan Januari tahun depan. Jatah tiket aku untuk bulan-bulan itu.” jawabnya, “Kecuali kalau ada yang mau kasih tiket pesawat, hehehe.”
Kesempatan nih,
pikirku.
“Gimana kalau aku
kirim tiket? Mau kan? Tanggal berapa?” tanyaku penuh harap.
“Gimana kalau akhir minggu ini? Tapi jangan bilang sama orang rumah kalau aku bolos lho!” pintanya mengingatkan.
“Gimana kalau akhir minggu ini? Tapi jangan bilang sama orang rumah kalau aku bolos lho!” pintanya mengingatkan.
Benar saja, pada hari
Jumat sepulang kantor kujemput dia di Cengkareng. Wow.., beda sekali! Dia pakai
celana jeans biru ketat, dengan kaos ketat menggantung, sehingga pusarnya
kelihatan. Dan, ya ampuun.., dengan kaos yang ketat itu, terlihat dengan jelas
betapa besar buah dadanya yang terlihat terlalu besar dibanding dengan badannya
yang mungil. Kutaksir
berukuran 36 lah.
Biasanya dia pakai
baju agak longgar, jadi tidak begitu kelihatan. Batang penisku langsung
bereaksi, tapi lalu kutenang-tenangkan agar cepat kendor. Belum waktunya.
“Gimana Ci, kita makan
dulu ya..?”
Kami langsung ke Plasa
Senayan, makan sambil ngobrol di Spageti House. Setelah itu, kami langsung
menuju di Horison Ancol untuk menikmati waktu berdua kami.
Setelah ngobrol
panjang lebar, kulihat dia berjalan mendekati jendela yang menghadap ke laut.
Kuanggap ini sebagai undangan dan lalu aku mendekati dan memeluknya dari
belakang. Kurasakan buah dadanya menjadi lebih kencang dan dipejamkan matanya.
Kuciumi lehernya dengan penuh gelora nafsu. Kulepas kaitan BH-nya sehingga
dengan leluasa dapat kuraba dan kuremas. Ooh besar sekali buah dada ini.
Kubalik badannya, kuangkat kaos mininya dan kucium dan kulumat penuh gelora
buah dada itu. Sepertinya ia baru pertama kali pacaran seperti ini.
“Haarhh.. malu
nich..!” katanya, tanpa memintaku berhenti.
Aku menjadi semakin
berani. Celananya kubuka. Cici memberontak sedikit, tapi tidak terlalu berarti.
Kulepas semua pakaiannya sehingga dia telanjang bulat, sementara diriku masih
berpakaian. Putih mulus tubuhnya kunikmati, karena kami tidak mematikan lampu.
Kucium seluruh tubuhnya yang berdiri tegak di depanku. Seperti cacing
kepanasan, Cici menggeliat dan mengerang. Seluruh badannya merinding dan
menggigil.
Ketika ciuman dan
jilatanku sampai ke daerah kemaluannya, Cici mengerang hebat sambil meremasi
rambutku.
“Hegh.. Harrch.. Enak
sekali. Kaki saya lemes Harch.. tolong akhhu heh..!” erangan yang terdengar
sangat merangsang bagiku.
Sekali-sekali kuraba
dan kuremas lembut buah dadanya yang menggunung itu, sangatlah seksi dan
merengsang berahiku.
“Harch heehh please..!
Aku lemas sekali nich.. auch..!” lenguhnya semakin tinggi.
Aku segera
mengangkatnya ke tempat tidur dan melanjutkan jilatan-jilatanku di daerah
surganya. Tidak terasa, sudah lebih dari 10 menit aku memberinya pengantar
kenikmatan, seolah ia sudah sangat pengalaman. Sampai akhirnya, aku terkejut
karena ia menjadi seperti kejang, meremas kepalaku dan menekannya ke vaginanya.
“Harchh.. aku mau..
augh..!” lenguhnya meninggi.
Wow.., dia sudah
orgasme. Ada sedikit cairan kental keluar dari vaginanya, hangat dan nikmat.
Dalam keadaan terengah-engah masih kujilat bibir vaginanya.
Lenguhan-lenguhannya seperti tidak mau berhenti. Terkulailah gadisku lunglai
seperti tanpa daya. Kupeluk dan kucium bibirnya dengan mesra dan cinta. Aku
sengaja menahan diri, untuk memberinya kesempatan lebih dulu.
“Gimana Ci, enak..?”
tanyaku, “Kamu pernah seperti ini sebelumnya..?”
“Aku nggak tahu pasti bayanganmu tentang diriku, Har. Mungkin kamu menganggap aku perempuan murahan. Tapi sungguh, ini pertama kali aku merasakan kenikmatan yang tak terlukiskan. Biasanya, aku hanya masturbasi saja.
“Aku nggak tahu pasti bayanganmu tentang diriku, Har. Mungkin kamu menganggap aku perempuan murahan. Tapi sungguh, ini pertama kali aku merasakan kenikmatan yang tak terlukiskan. Biasanya, aku hanya masturbasi saja.
Aku mau
mempersembahkan keperawananku pada orang yang kucintai.” jawabnya.
“Jadi kamu masih
perawan..?” tanyaku dengan heran.
“Ya, aku masih perawan. Dan aku akan mempersembahkannya untukmu. Aku sangat mencintaimu, Har.”
“Ya, aku masih perawan. Dan aku akan mempersembahkannya untukmu. Aku sangat mencintaimu, Har.”
Jawaban ini membuat
hatiku runtuh, sebab biasanya aku berpacaran dengan wanita-wanita yang sudah
tidak perawan.
“Cici aku minta maaf,
tapi sepertinya aku tidak sanggup melanjutkan. Aku belum mengatakan, gimana
latar belakang dan keadaanku sebenarnya.” keinginanku untuk menjelaskan
dipotong Cici.
“Har, aku sudah tahu kok. Aku tanya sama teman-temanmu di sana. Dan mereka memberi tahu apa adanya. Jadi, aku sudah tahu dan siap untuk menjadi madumu.” jawabnya dengan centil sambil mencubitku.
“Yang bener nih..?” tanyaku sambil tertawa, bahagia sekali rasanya.
“Har, aku sudah tahu kok. Aku tanya sama teman-temanmu di sana. Dan mereka memberi tahu apa adanya. Jadi, aku sudah tahu dan siap untuk menjadi madumu.” jawabnya dengan centil sambil mencubitku.
“Yang bener nih..?” tanyaku sambil tertawa, bahagia sekali rasanya.
Kutengok arlojiku,
sudah jam 11 malam.
“Kamu nggak mau pulang
nengok Papa-Mama Ci..?”
“Kan sudah saya bilang, saya bolos dan kamu harus merahasiakannya, Oke..!”
“Kan sudah saya bilang, saya bolos dan kamu harus merahasiakannya, Oke..!”
Dia membalikkan
badannya sehingga menghadapku, kulonggarkan pelukanku dan dia seperti tersadar.
“Lho.., jadi kamu tuh masih berpakaian to..? Ya ampun, malu nih..! Payah kamu.
Ayo dong, kamu juga buka baju..!”
Aku segera membuka baju. Cici memandang dengan penuh rasa ingin tahu. Tanpa sadar, burungku yang tegang sekali ternyata telah mengeluarkan cairan bening.
Aku segera membuka baju. Cici memandang dengan penuh rasa ingin tahu. Tanpa sadar, burungku yang tegang sekali ternyata telah mengeluarkan cairan bening.
“Har, burungmu besar
sekali. Muat nggak ya..?” tanyanya sambil memandangi penisku yang coklat
kehitaman.
Ukurannya sebenarnya
tidak lah besar, tergolong kecil lah karena hanya sekitar 14 cm.
“Kok ada cairan
beningnya sih..?”
“Ya iya, aku kan juga merasakan kenikmatan dengan memberimu yang tadi itu.”
“Har, kasih tahu dong gimana aku bisa memberimu kenikmatan seperti yang kurakakan tadi..!” pintanya.
“Learning by doing aja ya.” jawabku.
“Ya iya, aku kan juga merasakan kenikmatan dengan memberimu yang tadi itu.”
“Har, kasih tahu dong gimana aku bisa memberimu kenikmatan seperti yang kurakakan tadi..!” pintanya.
“Learning by doing aja ya.” jawabku.
Setelah memberi tahu
cara-caranya, aku lalu rebahan. Masih dengan agak canggung, Cici mulai
memegang, menggosok dan memijat penisku, juga buah pelirnya.
“Ooh.. Cici, enak
sekali..!” gumanku menikmatinya.
“Mulai dikemut dong Sayang..!” pintaku.
“Mulai dikemut dong Sayang..!” pintaku.
Cici dengan agak ragu
memasukkan penisku ke dalam mulut mungilnya. Pada awalnya agak sakit, karena
sesekali terkena giginya, tapi kemudian Cici menjadi lebih pintar. Kuluman atas
penisku menjadi lebih lembut dan nikmat sekali.
“Kemut, jilat dan raba
semuah.. Ci..!” pintaku karena mulai menanjaklah kenikmatan itu.
Karena sering kali
tidak tahan, aku menggoyangkan pantatku. Sehingga, jilatan bagian bawah buah
pelir seringkali salah ke daerah sekitar anus. Dia memejamkan mata, jadi dia
tidak tahu, tapi aku dapat merasakan kenikmatannya.
“Oougghh.., enak
sekali Ci..!” erangku tiap kali daerah duburku terjilat.
Pada awalnya aku
memang tidak sengaja, tapi kemudian sesekali kupelesetkan karena nikmatnya. Aku
belum pernah mengalami kenikmatan ini dari wanita mana pun.
Kenikmatan mulai
memuncak dan aku meminta Cici untuk mengulum penisku, karena aku sudah
mendekati puncak. Cici mengulum sambil menggerakkan kepalanya ke atas-bawah dan
kadang memutar. Dan sampailah puncak kenikmatan itu.
“Aauugghhrhh.. aku
keluarhh..!” erangku sambil meremas rambut Cici dan memegangnya erat agar tidak
lepas.
Cici terkejut karena
semprotan spermaku yang kusemburkan air nikmat itu ke dalam mulutnya, yang membuatnya
menelan sambil gelagapan.
Sisa spermaku menetes
dari mulutnya.
“Kenapa dikeluarkan di
mulutku Har..?” Cici memprotes.
“Sama saja Sayang, kamu tadi kan begitu juga. Enak kan..?” aku menimpali sekenanya.
“Sama saja Sayang, kamu tadi kan begitu juga. Enak kan..?” aku menimpali sekenanya.
Semula ia terlihat
jengkel tapi kemudian tersenyum, paham.
Jam 12 malam sudah.
Satu sama. Cici melihat ke penisku dan heran.
“Lho kok jadi kecil
dan pendek. Tadi besar sekali sampai mulutku nggak muat..?”
“Ya iya dong Sayang, kalau lagi bobok yang cuma 3 cm, tapi kalau bangun jadi tambah besar, hebat ya..!”
“Trus kalau mau bikin besar lagi, caranya gimana..?” Cici tanya sambil meremas-remas penisku.
“Kalau mau agak lama, ya gitu, diremas, diraba. Kalau mau cepet ya dikemut lagi.”
“Ya iya dong Sayang, kalau lagi bobok yang cuma 3 cm, tapi kalau bangun jadi tambah besar, hebat ya..!”
“Trus kalau mau bikin besar lagi, caranya gimana..?” Cici tanya sambil meremas-remas penisku.
“Kalau mau agak lama, ya gitu, diremas, diraba. Kalau mau cepet ya dikemut lagi.”
Dan tanpa diminta,
Cici segera mengemut batang penisku, yang kemudian memang langsung membesar
pada ukuran penuhnya. Aku tidak mau ketinggalan, kubalikkan badanku sehingga
kami mempraktekkan posisi 69. Cici sepertinya menjadi bangkit gairah dan
melenguh-lenguh sambil mengulum batang penisku.
Setelah kami sama-sama
penuh gelora dan napas kami telah tersengal-sengal penuh kenikmatan, Cici
bertanya,
“Gimana lanjutnya
Har..?”
“Kamu bener udah siap..? Kamu nggak nyesel nanti..?” kutanya Cici karena aku sebenarnya mendua, ingin menjaganya sekaligus ingin menuntaskan hubungan asmara kami.
“Aku kan sudah bilang. Aku siap untuk mempersembahkan keperawananku buat kamu. Jadi mulailah, gimana..?”
“Kamu bener udah siap..? Kamu nggak nyesel nanti..?” kutanya Cici karena aku sebenarnya mendua, ingin menjaganya sekaligus ingin menuntaskan hubungan asmara kami.
“Aku kan sudah bilang. Aku siap untuk mempersembahkan keperawananku buat kamu. Jadi mulailah, gimana..?”
Mendengar jawaban ini,
akal sehatku padam. Segera aku berlutut di antara selangkangannya. Kutempelkan
batang penisku ke vaginanya. Menggesekkannya dan sedikit menekannya.
“Ouuch Har.., enak
sekali..! Terusin Har..! Aahh..!” lenguhnya mulai merasakan kenikmatan.
“Cici, yang pertama
ini agak sakit, tapi hanya sebentar. Kamu akan terbiasa dan mulai merasakan
nikmatnya. Tahan ya..!” sambil kutelungkupi badannya yang mungil itu.
Kucium bibirnya dengan
penuh nafsu dan kusedot kuat-kuat. Kucium dan kugigit-kecil puting susunya.
Cici mendesah nikmat. Kucium lagi bibirnya kuat-kuat. Dan ketika itulah kutekan
batang penisku masuk ke liang senggamanya. Cici memelukku erat terhenyak.
Pastilah dia menahan sakit.
Setelah batang penisku
masuk sepenuhnya, kubiarkan ia di dalam, diam. Terus kucium bibirnya sambil
kubuat kedutan-kedutan kecil di kemaluanku. Cici ternyata melakukan refleks
yang sama. Otot vaginanya juga membuat kedutan-kedutan kecil, yang semakin lama
terasa seperti tarikan-tarikan halus, menyedot batang penisku, seolah meminta
lebih dalam.
Aku mulai
mengayun-ayun pelan dan mulai kurasakan ujung kamaluanku menyentuh liang
rahimnya. Oooh nikmat sekali. Inilah alasanku, mengapa aku selalu lebih senang
dengan wanita bertubuh mungil. Tubuh yang dapat memberiku kenikmatan lebih.
(Tapi kalau adanya yang tinggi, ya nggak nolak, hehe..)
Ayunanku mulai lebih
lancar dan berirama. Cici sepertinya sudah tidak sakit lagi. Atau barangkali
kenikmatan ini telah mengalahkan rasa sakitnya.
“Gimana Sayang,
enak..?”
“Oouuh Har.., terusin..! Lebih keras.., lebih cepat.. hegh.. ooh.. Har nikmat sekali Sayang..!”
“Cici, nanti aku semprotkan maniku di dalam atau di luar..?”
“Terserah, apa pun yang membuat kita nikmath hegh..!”
“Kalau nanti kamu hamil gimana..?”
“Biarin, biarin, aauchh..!”
“Oouuh Har.., terusin..! Lebih keras.., lebih cepat.. hegh.. ooh.. Har nikmat sekali Sayang..!”
“Cici, nanti aku semprotkan maniku di dalam atau di luar..?”
“Terserah, apa pun yang membuat kita nikmath hegh..!”
“Kalau nanti kamu hamil gimana..?”
“Biarin, biarin, aauchh..!”
Kami bicara sambil
menggoyang badan kami. Dengan refleknya Cici mengimbangi setiap sodokan dan
goyanganku. Kalau aku cepat, dia pun mempercepat. Kalau aku melambat, dia pun
begitu. Sambil menggoyang, kulumat bibirnya, kusedot dan kugigit-gigit kecil
buah dadanya.
Belum lima menit kami
mendayung lautan kenikmatan, Cici kelihatan mulai lebih liar. Goyangan
pinggulnya menjadi lebih cepat dan tidak terkendali. Pelukannya menjadi lebih
erat. Dan dia melenguh dengan hebat dan aku merasakan denyutan-denyutan otot
vaginanya. Ayunan batang kemaluanku kubuat menjadi lebih kuat tapi tetap pelan
untuk memberikan kenikmatan yang lebih. Dua, satu.
“Ooch.., Har aku capek
sekali, tapi kamu belum ya..?”
“Kita istirahat dulu deh, nanti lagi..!”
“Kita istirahat dulu deh, nanti lagi..!”
“Jangan Har, jangan lepaskan, kita teruskan, kupuaskan kamu, gimana pun..!”
Cici mulai
menggerakkan pinggulnya. Ayunan batang kemaluanku kuteruskan. Agak tidak tega
aku sebenarnya. Tapi
Cici sepertinya agak
memaksa. Jadi, sambil berpeluk dan berguling kami terus mengayun, mendayung
kenikmantan. Orgasmeku yang kedua biasanya memang agak lama, kadang aku harus
menunggu 10-20 menit.
Dan begitulah, Cici
mulai melenguh kenikmatan, dia mulai mempercepat dayungan perahu mungilnya. Aku
mengimbangi. Betapa nikmatnya. Dan rasa nikmat ini menjadi berlebih-lebih lagi,
karena aku memberikan kenikmatan pada gadisku yang mungil, cantik dan
menggairahkan ini.
“Hhegh.. Har.. Har..
oh Sayang, aku mau sampai lagi..! Oooh cepat.. cepat.. lebih keras..!”
lenguhannya datang lagi bersamaan dengan urutan-urutan lembut pada batang
penisku.
Aku menjadi semakin
bernafsu. Cici mulai lemas. Benar-benar lemas.
“Har, kamu belum juga
ya Sayang..? Ayo dong Say..! Kasihanilah aku, sudah lemes banget nich..!” Cici
mengiba dan memuncakkan birahiku.
Kogoyang dengan liar
penisku dalam vaginanya, terus dan terus sampai akhirnya, “Cici, ough.. ach..
terimalah air maniku Say, nikmatilah siraman kenikmatanku.. Hegh..!”
Dan aku pun sampai
pada pelabuhan kenikmatan yang kudambakan. Kusemprotkan maniku sejadinya.
Walaupun maniku sudah habis, tapi kedutan kenikmatan terus kurasakan pada
penisku, apalagi vagina Cici terus mengurutku.
Walaupun sudah
orgasme, batang kemaluanku masih tetap tegang penuh. Tidak seperti ini
biasanya. Kami berpelukan, berciuman. Kuelus dan kukemut susunya yang besar
menantang itu. Beberapa saat sampai akhirnya kami benar-benar terkulai lemas.
Habis tenaga kami. Basah kuyup badan kami oleh peluh kenikmatan.
Baca Juga: Istri Bos Aku
Kutengok TV yang masih
menyala tanpa ditonton dan tanpa suara. Buletin Malam RCTI. Waahh, berati sudah
jam satu lebih. Lama sekali kami bercinta penuh gairah, nafsu dan sayang. Cici
merebahkan kepalanya di dadaku. Sesaat kemudian, kami ke kamar mandi bersama-sama.
Saling memandikan di bawah siraman air hangat yang membuat kami segar kembali.
Kadang kami saling berpelukan sambil menggesekkan tubuh kami. Oohh.., nikmatnya
dunia.
Kami kembali mengobrol
dengan tubuh hanya berbalut handuk. Dari cara duduknya, Cici secara tidak
sengaja mempertontonkan bukit surganya padaku, membuat batang penisku tetap
tegak berdiri. Aku memesan makanan ringan, teh panas untuknya dan susu untukku
sendiri. Cici menggoda, berjalan mendekatiku menyodorkan buah dadanya,
memasukkan puting susunya ke mulutku. Tepat memang, karena aku duduk di tempat
tidur.
“Susuku yang dua ini
sudah kupersembahkan padamu, nggak cukup ya..? Kok masih pesan susu ke Room
Service.
Susu siapa sih yang
dipesan..?” godaan ini membuat Cici dan aku tertawa terbahak-bahak.
Kami bergulingan sambil berpelukan. Bahagia sekali rasanya.
Kami bergulingan sambil berpelukan. Bahagia sekali rasanya.
Pesanan kami telah
sampai dan kami menikmati dengan saling menyuapi. Ketika Cici mau berdiri, dia
menyenggol gelas susu. Sehingga ada sedikit yang terciprat ke dadanya. Untung
susu itu hangat saja. Cici mencari tissue, tapi kucegah. Kurebahkan dia di
tempat tidur, kujilat susu yang ada di atas dadanya sambil kujilat puting
susunya. Cici mengerang kenikmatan.
“Nakal kamu ya..!”
katanya sambil bangkit dan mencubitku.
“Har, kok burungnya
bangun terus sih..? Aku sudah capek sekali, kamu masih mau lagi ya..?”
“Ya masih dong, tapi nanti saja. Kita bobok dulu yuk..!”
“Ya masih dong, tapi nanti saja. Kita bobok dulu yuk..!”
Akhirnya kami rebahan.
Kubalikkan badannya membelakangiku. Mau tidak mau, batang penisku masuk juga ke
selangkangannya. Tapi aku diam saja. Sesekali Cici mengurut batang penisku
dengan vaginanya. Berkedut-kedut.
Tanganku mengelus-elus
buah dadanya. Kami mungkin sudah sangat lelah, sehingga tanpa terasa kami tertidur,
dengan penisku berada dalam vaginanya. Tidur yang sangat nikmat.
Hari Sabtu, hari
libur, hari malas. Aku biasa bangun jam 10 pagi. Tapi hari ini molor sampai jam
12. Kami bangun mandi berbenah sedikit untuk siap-siap jalan-jalan. Penisku
tetap tegap dari tadi pagi, karena aku sangat menikmati asmara ini. Di depan
Cici, kutelepon anak-anakku. Mereka bersama dengan baby sitter dan nenek
mereka. (Jangan salah menduga, mereka tetap terurus kok.) Kami mengobrol kurang
lebih 30 menit. Aku senang, mereka pun senang. Aku bilang bahwa aku akan pulan
hari Minggu siang, setelah mengantar Cici ke bandara, tentunya. Cici pun
mengirim salam untuk mereka.
Ketulusan Cici
mengirim salam pada anak-anakku membangkitkan gairahku yang tidak tertahankan.
Kubuka celananya jeans-nya dan tanpa pemanasan kusenggamai Cici dari belakang
sambil berdiri. Cici menanggapi dengan gelora membara pula. Vaginanya yang
semula kering segera membasah membuat gesekan-gesekan kenikmatan kami menjadi
menggila. Napas Cici tersengal-sengal. Goyangannya menjadi lebih liar, kadang
maju mundur kadang memutar. Sekehendaknya Cici mencari kenikmatan di liang
senggamanya. Goyanganku pun menjadi lebih cepat dan keras.
Tiba-tiba Cici
membalikkan wajahnya, “Cium, Harr..!”
Langsung kucium
bibirnya sambil kuremas-remas gemas buah dadanya yang besar itu. Ternyata ini
adalah saat-saat puncak orgasmenya. Vaginanya meremas-remas batang penisku,
berdenyut-denyut. Ini membuatku kesetanan. Kegenjot vaginanya keras-keras
sampai tubuh Cici berguncang-guncang. Tidak lebih dari 5 menit, kusemburkan
maniku dalam vaginanya. Luar biasa, cepat sekali. Setiap semprotan mani
kusiramkan dengan sodokan-sodokan keras penuh kenikmatan. Banjirlah vaginanya
dengan siraman air maniku.
Cici dan aku ke kamar
mandi untuk membersihkan diri. Sekeluar dari kamar mandi, dia memelukku erat
sekali, menciumku mesra sekali.
“Har, aku terima kamu
apa adanya, rela aku jadi pendampingmu, apapun statusku. Itu tidak terlalu
penting, aku sangat mencintaimu, juga sayang dan kasihan pada anak-anakmu. Tapi
aku sadar, bagaimanapun aku tidak akan jadi ibu mereka. Udah deh, yuk kita
jalan-jalan dulu..!”
Kami jalan-jalan di
Ancol, mengunjungi semua tempat hiburan sampai malam hari. Malam Minggu yang
melelahkan tapi juga sangat membahagiakan. Sampai akhirnya, kami mojok di
pantai dekat kuburan Belanda, yang paling sepi.
“Waktu cepat sekali
berlalu ya Harr..!” Cici membuka pembicaraan setelah beberapa saat kami berdiam
dan lamunan kami berjalan entah kemana.
Yang jelas, aku hanya
membayang-bayangkan, gimana kelanjutan hubungan ini.
“Begitulah Say..
Gimana kalau kamu menunda sehari lagi..?” tanyaku tanpa harap, sebab aku tahu
ini tidak mungkin.
Cici hanya terdiam.
Aku pindah ke jok belakangan diikuti Cici. Direbahkannya kepalanya di
pangkuanku. Batang kemaluanku pun langsung menegang keras. Cici merasakannya
dan langsung membuka celanaku.
“Harh, si Adik bangun
lagi.” sambil tangannya mengelus-elus batang dan lidahnya mulai menari di ujung
penisku.
Aku tidak mau kalah,
celananya kulepas sehingga aku dapat secara leluasa meraba, mengelus bulu-bulu
halus di vaginanya.
“Heeggh, terusin
Harr.. yang dalam..!” pintanya.
Jari tengahku pun
mulai kumasukkan dalam liang senggamanya yang sudah sangat basah. Cici
berkelojotan lebih liar, semantara aku sendiri merasakan penisku sudah waktunya
mendapat perlakuan lanjutan.
“Cici, aku sudah nggak
tahan..!” kataku sambil membimbingnya agar duduk di pangkuanku, menghadapku,
sehingga kakinya dapat bertumpu di jok.
Dikocok-kocoknya
penisku sambil kami berciuman dan kemudian dibimbingnya kemaluanku itu masih
pada liang kenikmatannya. Pelan tapi pasti, amblaslah seluruh batang penisku.
Aku dan Cici sama-sama tertahan ketika ujung penisku menyentuh pintu rahimnya.
Cici menggerakkan
pinggulnya maju mundur, meskipun kami saling berpagutan. Merangsang sekali.
Tidak tahan lagi aku untuk tidak melumat buah dadanya yang besar berayun-ayun
ketika Cici bergerak ke atas-bawah. Cici menjadi lebih liar dan gerakannya
menjadi lebih dahsyat.
“Har, remas susuku
sekeras-kerasnya, aku sangat menikmatinya..! Please Har..!” pintanya.
“Ntar sakit dong Ci, aku nggak..” jawabanku dipotongnya.
“Biarin, biarin.., aku sangat menikmatinya..! Siksalah aku dengan nikmatmu Har..! Membuatku lebih nikmat hegh..!”
“Ntar sakit dong Ci, aku nggak..” jawabanku dipotongnya.
“Biarin, biarin.., aku sangat menikmatinya..! Siksalah aku dengan nikmatmu Har..! Membuatku lebih nikmat hegh..!”
Aku baru sadar bahwa
Cici tampaknya agak senang dengan sadism.
Kuremas keras susunya,
kugigit agak keras karena takut menyakitinya. Cici menjadi lebih liar dan
melenguh agak keras.
“Say, ough.. ough..
nikmatnya Say, aku keluar lagi, ouch ach.. ini nikmat sekali..!” dan Cici pun
mengejang hebat.
Tidak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa Cici dapat seperti ini. Entah mengapa, aku justru menjadi sangat sulit untuk mencapai orgasme. Cici tampaknya menyadari hal ini.
Tidak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa Cici dapat seperti ini. Entah mengapa, aku justru menjadi sangat sulit untuk mencapai orgasme. Cici tampaknya menyadari hal ini.
“Say, nggak apa-apa
kok, aku sungguh menikmatinya, gemasilah diriku sesukamu..!”
“Kita kembali ke hotel yuk Ci, malam sudah mulai larut..!”
“Kita kembali ke hotel yuk Ci, malam sudah mulai larut..!”
Cici kelihatan agak
bingung, karena aku tidak menyelesaikan puncak-puncak pendakian kenikmatan itu.
“Say, kulayani kamu
semalaman ini, kita nggak usah tidur, ya..?” pinta Cici ketika kami memasuki
pintu kamar.
Aku mengiyakan saja.
Cici memesan berbagai makanan kecil dan biasa, susu kesukaanku yang dipesan
Cici sampai 3 gelas. Room Service mungkin heran, ya..? Kami sempat ngobrol
sebentar sampai Cici memintaku untuk melanjutkan puncak-puncak pendakian kenikmatan
yang sempat teputus.
Cici langsung membuka
seluruh pakaiannya dan tubuh mungil indah itu berdiri tegak di hadapanku.
“Har, kamu diam saja.
Aku akan melayanimu habis-habisan..!”
Dan sambil berkata
begitu, Cici membuka bajuku pelan-pelan sambil mencium dan menjilati dadaku.
Ooh nikmat sekali. Lalu giliran celanaku dibukanya, sambil menjilati dan
menciumi penisku yang sudah tegang memerah. Aku seperti majikan yang dilayani
oleh seorang dayang. Pahaku, kakiku, pantatku, semua dielus, dicium dan dijilat.
Aku tidak tahu Cici belajar dari mana, atau barangkali naluri saja.
Dengan posisiku masih
duduk di kursi, Cici membalikkan badan, duduk di pangkuanku dan memasukkan
penisku ke vaginanya. Gerakan-gerakan lembut dilakukannya. Tubuhnya
menggeliat-geliat karena kuremas lembut buah dadanya sambil kuciumi dan kujilat
punggungnya. Beberapa saat kemudian, Cici melenguh dan mengejang lagi. Dan lagi
denyutan-denyutan itu kurasakan.
“Hugh Say, kenapa jadi
aku yang sampai duluan..? Nikmat sekali rasanya, kamu mau kuapakan supaya
sampai..?” semua ini dikatakan Cici sambil terus menggoyang pinggulnya.
Aku mengajaknya naik
ke ranjang. Kuarahkan dia sehingga dia siap dengan posisi doggy style. Cici
menurut saja. Kutusukkan batang penisku amblas dalam vaginanya dan kogoyang
dengan keras dan cepat. Lama sekali kunikmati posisi ini, karena dari belakang
aku dapat menikmat kemolekan tubuhnya dan meremasi buah dadanya. Akhirnya, aku
tidak kuasa lagi menahan tekanan hebat dalam penisku, karena remasan-remasan
vagina yang tidak kunjung habis.
“Ci.., aku mau keluar
niich..! Tahan ya Sayang, jangan sampai lepash..!” dan kogoyang pantatku
keras-keras sampai akhirnya, “Aachh..!” teriakku dengan keras menyertai
semprotan-semprotan maniku yang membajiri liang vagina Cici.
“Say, goyang terus jangan berhenti..! Aku juga mau sampai lagi, ooh..!” pinta Cici.
Aku yang sebelumnya
mulai melemas kembali menggoyang kemaluanku dengan lebih cepat dan keras.
Cici akhirnya
menjerit, “Saych..!” dan denyut-denyut kenikmatan itu kembali mengurut-urut penisku.
Kami rebah kehabisan tenaga. Badan kami basah oleh peluh. Pendakian kami
akhirnya sampai juga pada puncak kenikmatan bersama-sama. Sambil masih
berpelukan, kami saling meraba daerah-daerah kenikmatan kami. Sampai akhirnya
kami betul-betul lemas. Tidak berdaya.
“Yuk berendam yuk..!
Biar nggak capek..” kuajak Cici ke kamar mandi untuk berendam air hangat.
Setelah air penuh.
Kami pun berendam, di ujung bath tub saling berhadapan. Kakiku kadang-kadang
usil untuk mempermainkan selangkangan Cici, yang membuatnya sesekali memejamkan
mata. Pastilah nikmat.
“Har, tadi waktu kamu
dari belakang, jari dan burungmu sesekali menyentuh lubang duburku, kok enak
yach..?” Cici membuka pembicaraan yang mengejutkanku.
Mungkin secara tidak
sadar aku telah menyentuh duburnya tadi, karena gerakanku yang liar penisku
seringkali lepas. Dan aku pun seringkali sambil terpejam meremas-remas
pantatnya yang aduhai, indah dan merangsang.
“Kamu mau nggak
melakukannya lagi..?” tanya Cici.
Aku mengiyakan, karena
aku terbayang adegan-adegan yang pernah kutonton di BF. Mungkin Cici tipe
wanita yang suka coba-coba, meski kadang itu menyakitkan dirinya.
Setelah mandi dan
beristirahat entah berapa lama, kami memulai akivitas lagi. Seperti janjiku,
aku meminta Cici untuk menungging agar pantatnya lebih terbuka. Kuelus lembut
pelan-pelan lubang pantatnya. Kuciumi dan lalu kujilati. Entah apa yang
kulakukan ini, karena aku belum pernah melakukannya. Terpikir olehku, mungkin
ini akan menjadi anal seks yang pertama. Cici sudah memberikan keperawanannya
padaku, sebanarnya itu sudah luar biasa bagiku. Tapi ini, tampaknya akan
menjadi lebih dahsyat lagi.
Cici tampak sangat
menikmati perlakuanku. Desahannya sangat merangsang, membangkitkan gairahku
yang makin membara. Batang penisku sudah menjadi sangat tegang. Cici
memegangnya dan, ya ampun.., dia mengarahkan batang kemaluanku ke anusnya.
Seperti sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi, kugesek-gesekkan penisku ke
anusnya.
“Ooch Har, enak sekali
Say..! Aach..!” kata Cici sambil menggerakkan pantatnya, seolah menginginkan
kenikmatan di seluruh permukaannya.
Bayanganku pada
adegan-adegan BF menguasai pikiran dan nafsuku.
“Ci, boleh nggak
kumasukkan kontolku ke duburmu..?”
Cici tampak terkejut,
tentu dia tidak mengira.
“Memangnya nggak
jijik..?”
“Nggak tahu deh, aku hanya ingin mencobanya.” jawabku sedikit bohon.
Padahal aku sangat
ingin mencobanya karena adegan BF itu. Cici mengatakan terserah saja. Akhirnya
kucoba juga. Sangat sulit, karena Cici kesakitan dan selalu menghindarkan
lubang pantatnya.
“Ci, jangan bergoyang
terus..! Susah nih, pasrahlah..!” pintaku padanya.
Entah dapat ilham dari
mana. Akhirnya kupaksa Cici telungkup dan kutindih pantatnya, sehingga ia tidak
akan dapat banyak bergerak. Kululuri penisku dengan ludahku sehingga menjadi
lebih licin, seperti di BF. Dengan agak memaksa dan penuh nafsu, kutekan batang
penisku masuk ke anusnya.
“Har, sakit..! Stop..!
Ach..!” Cici memekik kesakitan.
Tapi panisku sudah
amblas dalam anusnya. Aku terdiam. Cici kadang mengejangkan lubang anusnya, sehingga
memberiku kenikmatan. Cici masih telungkup menutup wajahnya dengan bantal.
“Kalau memang enak,
terusin..! Tapi pelan-pelan..!” katanya kemudian.
Aku pun segera
mengayun sepelan mungkin. Ooh, nikmat sekali rasanya. Belum pernah kunikmati
kenikmatan seperti ini. Mungkin karena Cici menjadi lebih rileks, sodokanku pun
menjadi lebih lancar. Kuangkat pantat Cici sehingga aku dapat menyusupkan
tanganku, agar dapat meraba vaginanya. Cici mengeliat-geliat. Tampaknya dia
sudah mulai menikmati. Vaginanya menjadi lebih basah. Desahannya pun terus
terdengar. Aku menjadi semakin menikmati pengalaman baru ini. Kenikmatan puncak
yang diberikan oleh gadisku, yang sangat mencintaiku.
Jari tengahku
kumasukkan dalam lubang vaginanya. Cici sangat menikmatinya dan vaginanya pun
menjadi basah sekali.
“Har, dua jari supaya
lebih terasa..!”
Maka kumasukkan jari
telunjukku dalam lubang nikmat itu. Cici menjadi lebih gila. Goyangannya
menjadi semakin hebat, sehingga aku tidak perlu menggoyang, karena tanganku
harus menjangkau lubang nikmatnya itu.
“Harh.. har.. aku mau
sampai Har..! Ochh Har.. Aach..!” tinggi lenguhannya dan banjirlah vaginanya.
Aku menjadi lebih
bersemangat menggenjot anusnya dan aku pun tidak dapat menahan laju air maniku.
Cret.. cret.. cret.. kutumpahkan air nikmatku dalam anusnya dengan
denyut-denyut kenikmatan yang tiada taranya.
Kami ke kamar mandi
untuk membersihkan diri setelah itu. Cici mencegahku untuk mencuci penisku
sendiri. Cici memandikanku dengan gosokan-gosokan yang lembut. Aku sungguh
seperti seorang majikan yang dilayani seorang dayang. Belum pernah aku
mengalami seperti ini. Tidak terasa, hari sudah pagi. Kami harus bersiap-siap
karena jam 10:00 Cici harus ke bandara.
Akhirnya kuantar Cici
ke bandara. Air mata Cici membasahi pipinya. Kami berpelukan. Ciuman kami pun
tidak tertahankan. Pandangan orang-orang di sekitar kami pun terarah pada
sepasang manusia. Kami tidak menghiraukannya. Cici harus kembali ke M. Sesak
rasanya dada ini. Tapi kami saling berjanji akan menjaga cinta kami.
Dua malam yang sangat
melelahkan dan membahagiakan telah lewat. Kami akan bertemu kembali. Cici pasti
akan pulang ke Jakarta lagi





