Cerita
ini adalah dramatisasi dari kisah nyata, dan merupakan satu dari beberapa
cerita lepas dengan tokoh utama yang sama. Antara satu dan lainnya tidak harus
dibaca berurutan. Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi
pemerintahan di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Cerita
berikut ini bukan pengalamanku sendiri, melainkan pengalaman seorang rekanku,
sebut saja dia Ta. Kami memang punya “hobi” yang sama, namun Ta punya trik
tersendiri untuk menyalurkan hobinya. Kini selain terdaftar di kota asalnya, ia
juga resmi penduduk sebuah desa yang agak terpencil. Berikut adalah caranya
mendapatkan kembang desa, meski sudah beristri tiga orang.
Wulan terbangun dengan kepala yang pusing. Namun entah mengapa
kedua tangannya tidak dapat digerakkan. Seluruh tubuhnya terasa hangat. Sambil
mengerjapkan matanya, gadis itu memandang sekelilingnya. Ternyata ia berada
dalam sebuah kamar yang belum pernah dilihatnya, terbaring di atas ranjang
empuk dan besar yang berwarna merah jambu. Dari jendela yang tertutup terbayang
hari sudah gelap. Dalam kamar itu sendiri hanya ada sebuah lampu kecil yang
menyala remang-remang. Wulan hanya ingat Sabtu sore tadi setelah bertanding
bola volley melawan sekolah dari kecamatan tetangga, ia harus berlari-lari
dalam gerimis hujan menuju rumah neneknya untuk menginap malam ini, karena
rumahnya terlalu jauh dari lapangan volley. Seperti umumnya gadis desa lainnya,
meskipun tidak terlalu tinggi, namun Wulan memiliki tubuh yang montok dan
padat. Buah dadanya yang membusung kencang seolah tidak muat dalam bra bekas
kakaknya yang kekecilan. Ditunjang dengan kulitnya yang kuning langsat mulus
dan rambut sebahu, wajahnya yang manis sering membuat pemuda desa terpaku dan
menelan ludah saat gadis itu lewat dengan goyangan pinggulnya. Pantatnya yang
montok selalu menonjol di balik rok seragam sekolahnya, yang biarpun di bawah
lutut, ketatnya memperlihatkan garis celana dalam gadis itu.
Bukan hanya para pemuda, beberapa orang yang telah beristri pun
berangan-angan menjadikan gadis kelas 1 SMU itu istri mudanya. Menurut
katuranggan, gadis macam Wulan rasanya peret dan legit, pasti akan memberikan
kenikmatan sepanjang malam, membuat suaminya betah di rumah. Tidak heran, tiap
kali ada pertandingan volley, selalu banyak penontonnya, meski kebanyakan hanya
menonton paha Wulan yang bercelana pendek dan guncangan buah dadanya saat gadis
itu memukul bola.
“Ah, sudah bangun Nduk..?” sebuah suara dan lampu yang menyala
terang mengagetkan gadis itu. Tampak seorang pria kekar memasuki ruangan. Wulan
mengenalinya sebagai Ta, seorang terpandang di desanya. Meski bukan penduduk
desa itu, namun suka kawin-cerai dengan gadis-gadis di sini. Dalam sebulan
paling ia hanya di rumah satu-dua hari saja, selebihnya “kerja di kota”.
Sekarang ini istrinya di sini sudah ada tiga orang, semuanya masih belasan
tahun dan cantik-cantik, namun masih suka menggoda Wulan tiap kali bertemu.
Bahkan baru saja ia pernah berusaha melamar gadis itu namun tidak berhasil.
Wulan berusaha bangun, namun tangan dan kakinya tetap lemas tidak
dapat bergerak.
“Tenang saja Nduk, nggak usah banyak gerak. Malam ini kamu di
sini dulu.” kata Ta. Tidak sengaja Wulan melihat ke dinding kamar, dan dari
cermin besar yang terpasang di sana, ia menyadari kedua tangannya terikat
menjadi satu di atas kepalanya, demikian juga kedua kakinya yang terentang ke
sudut-sudut ranjang, seperti huruf Y terbalik. Seluruh tubuhnya tertutup
selimut, namun ujung selimut yang tersingkap memperlihatkan sebagian paha gadis
itu. Di sudut ranjang tampak terserak baju seragam dan rok yang tadi
dipakainya.
“Pak Ta, Wulan dimana? Kenapa Wulan begini?” tanya gadis itu
dengan panik.
Ia mulai teringat saat berlari ke rumah neneknya tadi seseorang
menariknya dari belakang dan menempelkan sesuatu yang berbau menyengat ke
wajahnya, kemudian semuanya menjadi gelap, hingga akhirnya ia kemudian tersadar
di situ. “Tenang Wulan, kamu baik-baik saja. Malam ini kita akan kawin. Minggu
lalu saya sudah melamarmu pada bapakmu. Sekarang kita akan nikmati malam
pertama kita.” kata Ta sambil menyeringai. “Enggak! Enggak! Kemarin Bapak
bilang ditolak! Wulan nggak mau!” gadis itu berusaha meronta, namun ikatan
tangan dan kakinya terlalu kuat baginya.
Sambil tertawa terkekeh, Ta perlahan menarik selimut yang
menutupi tubuh gadis itu, membuat Wulan terpekik karena penutup tubuhnya
perlahan terbuka, sedangkan ternyata di balik selimut itu ia sudah telanjang
bulat. “Jangan! Jangan! Aduh jangan! Pak Ta, jangan Pak! Tolong..!” Dengan
sigap Ta mengambil pakaian dalam Wulan yang terserak di atas ranjang, lalu
menyumpal mulut gadis itu dengan celana dalamnya sendiri, dan mengikatnya ke
belakang dengan bra gadis itu.
“Pak? Kamu panggil aku Pak? Aku ini suamimu, tahu! Panggil aku
Kangmas!” seru Ta sambil menampar pipi Wulan sampai gadis itu memekik
kesakitan.
Ta semakin beringas melihat tubuh Wulan yang montok telanjang
bulat. Kedua paha gadis manis itu terentang lebar mempertontonkan bibir
kemaluannya yang jarang-jarang rambutnya. “Diam Sayang! Ini malam kita bedah
kelambu! Kalau bapakmu yang tolol itu tidak mau anaknya dilamar baik-baik, kita
lihat saja besok! Karena besok anak perawannya sudah tidak perawan lagi!” Tanpa
basa basi Ta segera membuka pakaiannya sendiri, lalu melompat ke atas ranjang.
Wulan dengan sia-sia meronta dan menjerit saat Ta menindih tubuhnya yang
telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Gadis itu bahkan tidak bisa untuk
sekedar merapatkan pahanya yang terkangkang lebar.
Pekikan Wulan tertahan sumpalan celana dalam saat Ta meremas
buah dada gadis itu dengan kerasnya. Rontaan dan pekikan gadis cantik itu sama
sekali tidak digubris. Ta kemudian menempatkan kejantanannya tepat di depan
bibir kemaluan Wulan.
“Diam Sayang! Jangan takut, enak sekali kok! Nanti pasti kamu
ketagihan. Sekarang biar Kangmas ambil perawanmu…” sambil berkata begitu Ta
menghujamkan kejantanannya memasuki hangatnya keperawanan Wulan.
Selaput dara gadis itu terasa sedikit menghalangi, namun bukan
tandingan bagi keperkasaan kejantanan Ta yang terus menerobos masuk.
“Haanggkk..! Aahhkk..!” Napas gadis itu terputus-putus dan
matanya yang bulat indah terbeliak lebar saat Wulan merasakan perih tiba-tiba
menyengat selangkangannya.
Tubuh montok gadis itu tergeliat-geliat merangsang dengan napas
tersengal-sengal sambil terpekik tertahan-tahan ketika Ta dengan perkasa
menggenjotkan kejantanannya menikmati hangatnya kemaluan perawan Wulan yang
terasa begitu peret. “Aahh… enak sekali tempikmu… aahh… Wulaaanh… enak kan
Nduk..? Terus ya Nduk..?” Ta mendesah merasakan nikmatnya mengambil kegadisan
si kembang desa.
Wulan sambil merintih tidak jelas menggelengkan kepala dan
meronta berusaha menolak, namun semua usahanya sia-sia, dan gadis itu kembali
terpekik dan tersentak karena Ta kini dengan kuat meremasi kedua payudaranya
yang kencang menantang. Memang benar kata orang, gadis seperti Wulan memang
sangat memuaskan, wajahnya yang cantik, buah dadanya yang tegak menantang
bergerak naik turun seirama napasnya yang tersengal-sengal, tubuhnya yang
montok telanjang
bersimbah keringat, kedua pahanya yang mulus bagai pualam
tersentak terkangkang-kangkang, bibir kemaluannya tampak megap-megap dijejali
kejantanan Ta yang begitu besar. Sementara dinding kemaluannya terasa seperti
mencucup-cucup tiap kali gadis itu terpekik tertahan. Wulan dengan airmata
berlinang merintih memohon ampun, namun tusukan demi tusukan terus menghajar
selangkangannya yang semakin perih. Payudaranya yang biasanya tersenggol pun
terasa sakit kini diremas-remas tanpa ampun. Belum lagi rasa malu diikat dan
ditelanjangi di depan orang yang tidak dikenalnya, lalu diperkosa tanpa dapat
berkutik. Rasanya bagai bertahun-tahun Wulan disetubuhi tanpa mampu melawan
sedikitpun.
“Hhh..! Wulanh..! Wulaann..! Sekarang Mas bikin kamu hamil,
sayangghh..! Aah… ambil Nduk! Nih! Nih! Niih..!” Tanpa dapat ditahan lagi Ta
menyemburkan spermanya dalam hangatnya kemaluan Wulan sambil sekuat tenaga
meremas kedua payudara gadis itu, membuat Wulan tergeliat-geliat dan
terpekik-pekik tertahan sumpalan celana dalam di mulutnya. Kepala gadis itu terasa
berputar menyadari ia akan hamil. Perlahan pandangan gadis itu menjadi gelap.
Wulan kembali tersadar oleh dengusan napas di depan wajahnya.
Sebelum sadar sepenuhnya, sengatan perih di selangkangannya membuat gadis itu
terpekik dan meronta. Namun tangan dan kakinya tidak mau bergerak, dan
pekikan-pekikannya tidak dapat keluar. Dengan gemas Ta kembali menggenjotkan
kejantanannya menikmati keperawanan Wulan. Ta tidak tahan lagi untuk tidak
kembali menggagahi gadis itu, memandanginya tergolek telanjang Bugil tanpa daya
di atas ranjang. Pahanya yang putih mulus terkangkang seolah mengundang, bibir
kemaluannya yang berambut jarang terlihat berbercak merah, tanda Wulan memang
betul-betul masih perawan, tadinya.
Kedua payudara gadis itu berdiri tegak menjulang, dengan puting
susu yang kemerahan menggemaskan. Sementara wajahnya yang manis dan bau
tubuhnya yang harum alami sungguh membuat Ta lupa diri. Dengan istri muda
seperti Wulan, ia tidak akan mau tidur sekejap pun, tidak perduli gadis itu
suka atau tidak.
“Aah..! Ahk! Angkung (ampun)..! Aguh (aduh).. hakik (sakit)..
angkung (ampun)..!” Wulan merintih-rintih tidak jelas dengan mulut tersumpal
celana dalam di sela-sela jeritan tertahan. Tanpa mampu merapatkan pahanya yang
terkangkang, gadis itu merasakan kemaluannya semakin perih tiap kali Ta
menggerakkan kejantanannya. Tiap detik, tiap genjotan terasa begitu
menyakitkan, Wulan berharap kembali pingsan saja agar perkosaan ini segera
berlalu.
Namun gadis itu tanpa daya merasakan bagian bawah tubuhnya terus
ditusuk-tusuk benda yang begitu besar.
Ta semakin giat menggenjotkan kejantanannya dalam hangatnya
kemaluan Wulan yang peret dan mencucup-cucup menggiurkan. Istri barunya ini
memang pintar memuaskan suami di atas ranjang. Apalagi kalau nanti diajak tidur
beramai-ramai bersama satu atau dua istrinya yang lain. Membayangkan meniduri
dua atau tiga gadis sekaligus membuat Ta semakin bersemangat menyodok kemaluan
Wulan, semakin cepat, semakin dalam.
Ta merasakan kejantanannya menyentuh dasar kemaluan gadis itu
bila disodokkan dalam-dalam. Wulan sendiri hanya merintih tampak pasrah
mempersembahkan kesuciannya pada Ta. Airmata gadis itu tampak berlinang
membasahi pipinya yang kemerahan. Tubuh montok gadis itu tergelinjang-gelinjang
kesakitan tiap kali kejantanan Ta menyodok masuk dalam kemaluannya yang begitu
sempit. Dengan menggeram seperti macan menerkam mangsa, Ta dengan nikmat
menyemburkan sperma dalam kehangatan tubuh Wulan yang terpekik tertahan-tahan.
Semalam suntuk Ta dengan gagahnya memperkosa Wulan, setidaknya
lima kali gadis itu disetubuhi tanpa daya. Entah berapa kali Wulan pingsan
ketika Ta mencapai puncak, hanya untuk tersadar ketika tubuhnya kembali
dinikmati dengan buasnya. Selangkangan gadis itu terasa perih dan panas,
seperti ditusuk-tusuk besi yang merah membara. Payudaranya serasa lecet diremas
habis-habisan, terkena semilir angin pun perih. Punggung gadis itu perih
tergores kuku Ta.
Namun siksaan tanpa belas kasihan itu tidak kunjung usai, bagai
tidak mengenal lelah kejantanan Ta terus bertubi-tubi menusuk dalam-dalam,
kedua tangannya seperti capit kepiting terus mencengkeram buah dada Wulan.
Sementara gadis itu dengan tangan dan kaki terikat erat tidak mampu berkutik,
apalagi menghindar atau mencegah. Bahkan menjerit pun Wulan tidak mampu,
tenaganya sudah habis dan sumpalan celana dalamnya sendiri membuat pekikannya
hanya seperti erangan. Bagai berabad-abad Wulan dibuat bulan-bulanan tanpa
daya.
Dari sela-sela jendela yang tertutup, sinar matahari pagi
menerobos masuk. Dengan lemas Ta berbaring di sisi Wulan yang terisak-isak.
Sungguh luar biasa istri barunya ini, semalam suntuk gadis ini mampu melayani
suaminya. Dari jam tujuh malam sampai jam enam pagi, dalam sebelas jam gadis
itu mampu lima-enam kali memuaskan suaminya, meskipun harus sedikit dipaksa. Kalau
saja kemarin tidak minum obat kuat, mungkin saja pagi ini Ta tidak dapat
bangun. Sambil tersenyum lebar, Ta bangkit dan mengenakan pakaian.
Perlahan Ta membuka sumpalan mulut Wulan. Gadis itu sendiri
masih telanjang bulat dengan tangan dan kaki terikat terentang lebar. “Nduk,
kalau jadi istriku, kamu minta apa saja pasti aku beri. Mau kalung? Gelang?
Rumah? Sepeda motor? Jangan takut, sebagai istri orang kaya, semua keinginanmu
akan terkabul.”
“Nggak mau… lepasin Wulan… Wulan mau pulang..!” isak gadis itu
menghiba.
“Rumah kita sekarang di sini Nduk, kamu sudah jadi istriku.”
bujuk Ta. “Enggak… enggak mau. Wulan mau pulang!” gadis itu berusaha meronta
tanpa hasil.
“Jangan buat suamimu ini marah, Nduk! Kamu sudah jadi istriku,
aku bebas berbuat apa saja dengan kamu! Jangan keras kepala!” seru Ta jengkel.
Wulan sambil terisak terus menggelengkan kepala. Berulangkali
bujukan dan ancaman Ta tidak dihiraukan Wulan, membuat Ta naik pitam. “Baik,
jadi kamu tidak ingin jadi istriku. Baik, kamu sendiri yang minta, Nduk! Jangan
salahkan aku kalau aku bertindak tegas!” kata Ta sambil membuka ikatan kaki
Wulan.
Ta kemudian membuka ikatan tangan gadis itu dari besi ranjang,
namun kedua pergelangan tangannya tetap terikat erat. Lalu dengan menarik ujung
tali yang mengikat tangan Wulan, Ta menyeret gadis yang masih telanjang bulat
itu keluar kamar. Karena tubuhnya masih lemas, Wulan tidak kuasa menolak
dirinya yang masih Bugil diseret sampai ke jalan desa yang terang benderang.
“Hei, lihat! Lihat ini! Sungguh memalukan!” seru Ta sambil
menyeret gadis yang mati-matian berusaha menutupi ketelanjangannya. “Ada apa
Pak Ta? Apa yang terjadi?” tanya orang-orang desa yang segera saja mengerumuni
keduanya.
“Lihat ini! Perempuan ini sudah membuat desa kita tercemar! Dia
berzinah dengan laki-laki! Saya pergoki mereka di rumah kosong di tepi desa!
Sayang laki-lakinya kabur, tapi saya tahu orangnya! Pasti nanti akan kita
tangkap!” seru Ta berapi-api. “Tidak! Tidak.. tolong..!” sia-sia Wulan berusaha
membantah, suaranya tertelan ramainya suasana.
“Lihat! Ini bukti perempuan ini sudah berzinah!” Ta menunjuk ke
arah selangkangan gadis itu yang berbercak darah.
Kerumunan orang bergumam dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Tidak! Saya tidak ber…” perkataan Wulan terputus oleh teriakan salah seorang.
“Bawa ke balai desa! Biar dihukum adat di sana!” serunya.
Seseorang lain menarik tali yang mengikat tangan Wulan dan menyeret gadis
telanjang bulat itu menuju ke balai desa. Sepanjang jalan mereka
berteriak-teriak, membuat semakin banyak orang keluar rumah melihat
Wulan yang Bugil diseret. Anak-anak kecil berlari-lari mengikuti
sambil tertawa-tawa mengejek.
Di balai desa, tepat di tengah pendopo, tali pengikat tangan
Wulan ditarik ke atas dan diikatkan dengan tiang di atasnya. Kini gadis
telanjang bulat itu berdiri tegak dengan tangan terikat ke atas. Wulan tahu
bahwa hukuman bagi orang yang berzinah biasanya keduanya ditelanjangi, kemudian
diikat seharian di balai desa. Seperti dirinya sekarang, namun ia hanya
sendirian dan ia sama sekali tidak berzinah. Gadis itu diperkosa berkali-kali,
lalu difitnah berzinah oleh pemerkosanya sendiri. Namun siasia gadis itu
berusaha membantah, suaranya yang kecil hilang ditelan ramainya orang di
sekitarnya. Dan kini ia berdiri telanjang bulat sendirian dikelilingi belasan
warga.
Isakan tangis Wulan semakin keras mendengar tawa orang-orang
yang mengelilinginya, berkomentar mencemooh tentang kemulusan tubuhnya, buah
dadanya yang ranum kemerah-merahan bekas diremas, pantatnya yang bulat, pahanya
yang mulus. Isakan gadis itu terhenti ketika sebuah truk berhenti di depan
balai desa. Beberapa ibu-ibu yang turun dari truk terheran-heran melihat ke
arah Wulan. Beberapa orang kemudian menurunkan barang-barang dari truk. Wulan
tersadar, hari ini hari pasar, dan ratusan orang akan berkumpul hanya beberapa
meter darinya. Ratusan orang akan melihat dirinya telanjang bulat tanpa
tertutup sehelai benang pun.
Kepala gadis itu terasa berputar, saat Ta berbisik di
telinganya, “Rasakan akibatnya kalau kamu tidak mau jadi istriku! Sekarang
semua orang tahu kamu sudah tidak perawan, dan semua orang juga sudah pernah
melihat kamu tanpa pakaian!” Perlahan gadis itu kembali terisak dan berpikir
seandainya saja ia menerima menjadi istri Ta.




Post a Comment