Perawat Itu Jadi Kekasih Gelapku
Hari ini adalah hari pertamaku tinggal di
kota Bandung. Karena tugas kantorku, aku terpaksa tinggal di Bandung selama 5
Hari dan weekend di Jakarta. Di kota kembang ini, aku menyewa kamar di rumah
temanku. Menurutnya, rumah itu hanya ditinggali oleh Ayahnya yang sudah pikun,
seorang perawat, dan seorang pembantu.
“Rumah yang asri” gumamku
dalam hati. Halaman yang hijau, penuh tanaman dan bunga yang segar
dikombinasikan dengan kolam ikan berbentuk oval. Aku mengetuk pintu rumah
tersebut beberapa kali sampai pintu dibukakan. Sesosok tubuh semampai berbaju
serba putih menyambutku dengan senyum manisnya.
“Pak Rafi ya..”.
“Ya.., saya temannya Mas Anto yang akan menyewa kamar di sini.
Lho, kamu kan pernah kerja di tetanggaku?”, jawabku surprise. Perawat ini
memang pernah bekerja pada tetanggaku di Bintaro sebagai baby sitter.
“Iya…, saya dulu pengasuhnya Aurelia. Saya keluar dari sana
karena ada rencana untuk kimpoi lagi. Saya kan dulu janda pak.., tapi mungkin
belum jodo.., ee dianya pergi sama orang lain.., ya sudah, akhirnya Saya kerja
di sini..”, Mataku memandangi sekujur tubuhnya.
Tati (nama si perawat itu) secara fisik memang tidak pantas
menjadi seorang perawat. Kulitnya putih mulus, wajahnya manis, rambutnya hitam
sebahu, buah dadanya sedang menantang, dan kakinya panjang semampai. Kedua
matanya yang bundar memandang langsung mataku, seakan ingin mengatakan sesuatu.
Aku tergagap dan berkata, “Ee.., Mbak Tati, Bapak ada?”.
“Bapak sedang tidur. Tapi Mas Anto sudah nitip sama saya. Mari
saya antarkan ke kamar..”.
Tati menunjukkan kamar yang sudah disediakan untukku. Kamar yang
luas, ber-AC, tempat tidur besar, kamar mandi sendiri, dan sebuah meja kerja.
Aku meletakkan koporku di lantai sambil melihat berkeliling, sementara Tati
merunduk merapikan sprei ranjangku. Tanpa sengaja aku melirik Tati yang sedang
menunduk.
Dari balik baju putihnya yang kebetulan berdada rendah, terlihat
dua buah dadanya yang ranum bergayut di hadapanku. Ujung buah dada yang
berwarna putih itu ditutup oleh BH berwarna pink. Darahku terkesiap. Ahh…,
perawat cantik, janda, di rumah yang relatif kosong.Sadar melihat aku terkesima
akan keelokan buah dadanya, dengan tersipu-sipu Tati menghalangi pemandangan
indah itu dengan tangannya.
“Semuanya sudah beres Pak…, silakan beristirahat..”.
“Ee…, ya.., terima kasih”, jawabku seperti baru saja terlepas dari lamunan panjang.
“Ee…, ya.., terima kasih”, jawabku seperti baru saja terlepas dari lamunan panjang.
Sore itu aku berkenalan dengan ayah Anto yang sudah pikun itu.
Ia tinggal sendiri di rumah itu setelah ditinggalkan oleh istrinya 5 tahun yang
lalu. Selama beramah-tamah dengan sang Bapak, mataku tak lepas memandangi Tati.
Sore itu ia menggunakan daster tipis yang dikombinasikan dengan celana kulot
yang juga tipis. Buah dadanya nampak semakin menyembul dengan dandanan seperti
itu. Di rumah itu ada seorang pembantu berumur sekitar 17 tahun. Mukanya manis,
walaupun tidak secantik Tati. Badannya bongsor dan motok. Ani namanya. Ia yang
sehari-hari menyediakan makan untukku.
Hari demi hari berlalu. Karena kepiawaianku dalam bergaul, aku
sudah sangat akrab dengan orang-orang di rumah itu. Bahkan Ani sudah biasa
mengurutku dan Tati sudah berani untuk ngobrol di kamarku. Bagi janda muda itu,
aku sudah merupakan tempat mencurahkan isi hatinya. Begitu mudah keakraban itu
terjadi hingga kadang-kadang Tati merasa tidak perlu mengetuk pintu sebelum
masuk ke kamarku.
Sampai suatu malam, ketika itu hujan turun dengan lebatnya. Aku,
karena sedang suntuk memasang VCD porno kesukaanku di laptopku. Tengah
asyik-asyiknya aku menonton tanpa sadar aku menoleh ke arah pintu, astaga…,
Tati tengah berdiri di sana sambil juga ikut menonton. Rupanya aku lupa menutup
pintu, dan ia tertarik akan suara-suara erotis yang dikeluarkan oleh film
produksi Vivid interactive itu.
Ketika sadar bahwa aku mengetahui kehadirannya, Tati tersipu dan
berlari ke luar kamar.
“Mbak Tati..”, panggilku seraya mengejarnya ke luar. Kuraih tangannya dan kutarik kembali ke kamarku.
“Mbak Tati…, mau nonton bareng? Ngga apa-apa kok..”.
“Mbak Tati..”, panggilku seraya mengejarnya ke luar. Kuraih tangannya dan kutarik kembali ke kamarku.
“Mbak Tati…, mau nonton bareng? Ngga apa-apa kok..”.
“Ah, ngga Pak…, malu aku..”, katanya sambil melengos.
“Lho.., kok malu.., kayak sama siapa saja.., kamu itu.., wong kamu sudah cerita banyak tentang diri kamu dan keluarga.., dari yang jelek sampai yang bagus.., masak masih ngomong malu sama aku?”, Kataku seraya menariknya ke arah ranjangku.
“Yuk kita nonton bareng yuk..”, Aku mendudukkan Tati di ranjangku dan pintu kamarku kukunci.
Dengan santai aku duduk di samping Tati sambil mengeraskan suara
laptopku. Adegan-adegan erotis yang diperlihatkan ke 2 bintang porno itu memang
menakjubkan. Mereka bergumul dengan buas dan saling menghisap. Aku melirik Tati
yang sedari tadi takjub memandangi adegan-adegan panas tersebut. Terlihat ia
berkali-kali menelan ludah. Nafasnya mulai memburu, dan buah dadanya terlihat
naik turun.
Aku memberanikan diri untuk memegang tangannya yang putih mulus
itu. Tati tampak sedikit kaget, namun ia membiarkan tanganku membelai telapak
tangannya. Terasa benar bahwa telapak tangan Tati basah oleh keringat. Aku
membelai-belai tangannya seraya perlahan-lahan mulai mengusap pergelangan
tangannya dan terus merayap ke arah ketiaknya. Tati nampak pasrah saja ketika
aku memberanikan diri melingkarkan tanganku ke bahunya sambil membelai mesra
bahunya. Namun ia belum berani untuk menatap mataku.
Sambil memeluk bahunya, tangan kananku kumasukkan ke dalam
daster melalui lubang lehernya. Tanganku mulai merasakan montoknya pangkal buah
dada Tati. Kubelai-belai seraya sesekali kutekan daging empuk yang menggunung
di dada bagian kanannya.
Ketika kulihat tak ada reaksi dari Tati, secepat kilat kusisipkan tangganku ke dalam BH-nya…, kuangkat cup BH-nya dan kugenggam buah dada ranum si janda muda itu.
Ketika kulihat tak ada reaksi dari Tati, secepat kilat kusisipkan tangganku ke dalam BH-nya…, kuangkat cup BH-nya dan kugenggam buah dada ranum si janda muda itu.
“Ohh.., Pak…, jangan..”, Bisiknya dengan serak seraya menoleh ke
arahku dan mencoba menolak dengan menahan pergelangan tangan kananku dengan
tangannya.
“Sshh…, ngga apa-apa Mbak…, ngga apa-apa..”.
“Sshh…, ngga apa-apa Mbak…, ngga apa-apa..”.
“Nanti ketauanhh..”.
“Nggaa…, jangan takut..”, Kataku seraya dengan sigap memegang ujung puting buah dada Tati dengan ibu jari dan telunjukku, lalu kupelintir-pelintir ke kiri dan kanan.
“Ooh.., hh.., Pak.., Ouh.., jj.., jjanganhh.., ouh..”, Tati mulai merintih-rintih sambil memejamkan matanya. Pegangan tangannya mulai mengendor di pergelangan tanganku.
Saat itu juga, kusambar bibirnya yang sedari tadi sudah terbuka karena merintih-rintih.
“Ouhh.., mmff.., cuphh.., mpffhh..”, Dengan nafas tersengal-sengal Tati mulai membalas ciumanku. Kucoba mengulum lidahnya yang mungil, ketika kurasakan ia mulai membalas sedotanku. Bahkan ia kini mencoba menyedot lidahku ke dalam mulutnya seakan ingin menelannya bulat-bulat. Tangannya kini sudah tidak menahan pergelanganku lagi, namun kedua-duanya sudah melingkari leherku.
Malahan tangan kanannya digunakannya untuk menekan belakang
kepalaku sehingga ciuman kami berdua semakin lengket dan bergairah. Momentum
ini tak kusia-siakan. Sementara Tati melingkarkan kedua tangannya di leherku,
akupun melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Aku melepaskan bibirku dari
kulumannya, dan aku mulai menciumi leher putih Tati dengan buas.
“aahh..Ouhh..” Tati menggelinjang kegelian dan tanganku mulai
menyingkap daster di bagian pinggangnya. Kedua tanganku merayap cepat ke arah
tali BH-nya dan, “tasss..” terlepaslah BH-nya dan dengan sigap kualihkan kedua
tanganku ke dadanya.
Saat itulah lurasakan betapa kencang dan ketatnya kedua buah
dada Tati. Kenikmatan meremas-remas dan mempermainkan putingnya itu terasa
betul sampai ke ujung sarafku. Penisku yang sedari tadi sudah menegang terasa
semakin tegang dan keras. Rintihan-rintihan Tati mulai berubah menjadi
jeritan-jeritan kecil terutama saat kuremas buah dadanya dengan keras. Tati
sekarang lebih mengambil inisiatif. Dengan nafasnya yang sudah sangat
terengah-engah, ia mulai menciumi leher dan mukaku.
Ia bahkan mulai berani menjilati dan menggigit daun telingaku
ketika tangan kananku mulai merayap ke arah selangkangannya. Dengan cepat aku
menyelipkan jari-jariku ke dalam kulotnya melalui perut, langsung ke dalam
celana dalamnya. Walaupun kami berdua masih dalam keadaan duduk berpelukan di
atas ranjang, posisi paha Tati saat itu sudah dalam keadaan mengangkang seakan
memberi jalan bagi jari-jemariku untuk secepatnya mempermainkan kemaluannya.
Hujan semakin deras saja mengguyur kota Bandung. Sesekali
terdengar suara guntur bersahutan. Namun cuaca dingin tersebut sama sekali
tidak mengurangi gairah kami berdua di saat itu. Gairah seorang lajang yang
memiliki libido yang sangat tinggi dan seorang janda muda yang sudah lama sekali
tidak menikmati sentuhan lelaki. Tati mengeratkan pelukannya di leherku ketika
jemariku menyentuh bulu-bulu lebat di ujung vaginanya.
Ia menghentikan ciumannya di kupingku dan terdiam sambil terus
memejamkan matanya. Tubuhnya terasa menegang ketika jari tengahku mulai
menyentuh vaginanya yang sudah terasa basah dan berlendir itu. Aku mulai
mempermainkan vagina itu dan membelainya ke atas dan ke bawah. “Ouuhh Pak..,
ouhh.., aahh.., g..g.ggelliiihh…”.
Tati sudah tidak bisa berkata-kata lagi selain merintih penuh
nafsu ketika clitorisnya kutemukan dan kupermainkan. Seluruh badan Tati
bergetar dan bergelinjang. Ia nampak sudah tak dapat mengendalikan dirinya
lagi. Jeritan-jeritannya mulai terdengar keras. Sempat juga aku kawatir
dibuatnya. Jangan-jangan seisi rumah mendengar apa yang tengah kami lakukan.
Namun kerasnya suara hujan dan geledek di luar rumah menenangkanku. Benda kecil
sebesar kacang itu terasa nikmat di ujung jari tengahku ketika aku
memutar-mutarnya. Sambil mempermainkan clitorisnya, aku mulai menundukkan
kepalaku dan menciumi buah dadanya yang masih tertutupi oleh daster.
Seolah mengerti, Tati menyingkapkan dasternya ke atas, sehingga
dengan jelas aku bisa melihat buah dadanya yang ranum, kenyal dan berwarna
putih mulus itu bergantung di hadapanku. Karena nafsuku sudah memuncak, dengan
buas kusedot dan kuhisap buah dada yang berputing merah jambu itu. Putingnya
terasa keras di dalam mulutku menandakan nafsu janda muda itupun sudah sampai
di puncak. Tati mulai menjerit-jerit tidak karuan sambil menjambak rambutku.
Sejenak
kuhentikan hisapanku dan bertanya, “Enak Mbak?”. Sebagai jawabannya, Tati
membenamkan kembali kepalaku ke dalam ranumnya buah dadanya. Jari tengahku yang
masih mempermainkan clitorisnya kini kuarahkan ke lubang vagina Tati yang sudah
menganga karena basah dan posisi pahanya yang mengangkang. Dengan pelan tapi
pasti kubenamkan jari tengahku itu ke dalamnya dan,
“Auuhh.., P.Paak.., hh”. Tati menjerit dan menaikkan kedua
kakinya ke atas ranjang. “Terrusshh.., auhh..”. Kugerakkan jariku keluar masuk
di vaginanya dan Tati menggoyangkan pingggulnya mengikuti irama keluar masuknya
jemariku itu.
Aku menghentikan ciumanku di buah dada Tati dan mulai mengecup
bibir ranum janda itu. Matanya tak lagi terpejam, tapi memandang sayu ke mataku
seakan berharap kenikmatan yang ia rasakan ini jangan pernah berakhir. Tangan
kiriku yang masih bebas, membimbing tangan kanan Tati ke balik celana pendekku.
Ketika tangannya menyentuh penisku yang sudah sangat keras dan besar itu,
terlihat ia agak terbelalak karena belum pernah melihat bentuk yang panjang dan
besar seperti itu. Tati meremas penisku dan mulai mengocoknya naik turun naik
turun.., kocokan yang nikmat yang membuatku tanpa sadar melenguh, “Ahh..,
Mbaak.., enaknya.., terusin..”.
Saat itu kami berdua berada pada puncaknya nafsu. Aku yakin
bahwa Mbak Tati sudah ingin secepatnya memasukkan penisku ke dalam vaginanya.
Ia tidak mengatakannya secara langsung, namun dari tingkahnya menarik penisku
dan mendekatkannya ke vaginanya sudah merupakan pertanda. Namun, di detik-detik
yang paling menggairahkan itu terdegar suara si Bapak tua berteriak, “Tatiii…,
Tatiii..”. Kami berdua tersentak. Kukeluarkan jemariku dari vaginanya, Tati
melepaskan kocokannya dan ia membenahi pakaian dan rambutnya yang berantakan.
Sambil mengancingkan kembali BH-nya ia keluar dari kamarku menuju kamar Bapak
tua itu. Sialan!, kepalaku terasa pening. Begitulah penyakitku kalau libidoku
tak tersalurkan.
Beberapa saat lamanya aku menanti siapa tahu janda muda itu akan
kembali ke kamarku. Tapi nampaknya ia sibuk mengurus orang tua pikun itu,
sampai aku tertidur. Entah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba aku merasa
napasku sesak. Dadaku serasa tertindih suatu beban yang berat. Aku terbangun
dan membuka mataku. Aku terbelalak, karena tampak sesosok tubuh putih mulus
telanjang bulat menindih tubuhku.
“Mbak Tati?”, Tanyaku tergagap karena masih mengagumi keindahan
tubuh mulus yang berada di atas tubuhku. Lekukan pinggulnya terlihat landai,
dan perutnya terasa masih kencang. Buah dadanya yang lancip dan montok itu
menindih dadaku yang masih terbalut piyama itu. Seketika, rasa kantukku hilang.
Mbak Tati tersenyum simpul ketika tangannya memegang celanaku dan merasakan
betapa penisku sudah kembali menegang.
“Kita tuntaskan ya Mbak?”, Kataku sambil menyambut kuluman
lidahnya. Sambil dalam posisi tertindih aku menanggalkan seluruh baju dan
celanaku. Kegairahan yang sempat terputus itu, mendadak kembali lagi dan terasa
bahkan lebih menggila. Kami berdua yang sudah dalam keadaan bugil saling
meraba, meremas, mencium, merintih dengan keganasan yang luar biasa. Mbak Tati
sudah tidak malu-malu lagi menggoyangkan pinggulnya di atas penisku sehingga
bergesekan dengan vaginanya.
Tidak lebih dari 5 menit, aku merasakan bahwa nafsu syahwat kami
sudah kembali berada dipuncak. Aku tak ingin kehilangan momen lagi. Kubalikkan
tubuh Tati, dan kutindih sehingga keempukan buah dadanya terasa benar menempel
di dadaku. Perutku menggesek nikmat perutnya yang kencang, dan penisku yang
sudah sangat menegang itu bergesekan dengan vaginanya.
“Mbak.., buka kakinya.., sekarang kamu akan merasakan sorganya
dunia Mbak..”, bisikku sambil mengangkangkan kedua pahanya. Sambil
tersengal-sengal Tati membuka pahanya selebar-lebarnya. Ia tersenyum manis
dengan mata sayunya yang penuh harap itu.
“Ayo Pak.., masukkan sekarang…”, Aku menempelkan kepala penisku yang besar itu di mulut vagina Tati. Perlahan-lahan aku memasukkannya ke dalam, semakin dalam, semakin dalam dan, “aa.., Aooohh.., paakh….., aahh..”, rintihnya sambil membelalakkan matanya ketika hampir seluruh penisku kubenamkan ke dalam vaginanya. Setelah itu, “Blesss…”, dengan sentakan yang kuat kubenamkan habis penisku diiringi jeritan erotisnya, “Ahh.., besarnyah.., ennnakk ppaak..”.
Aku mulai memompakan penisku keluar masuk, keluar masuk.
Gerakanku makin cepat dan cepat. Semakin cepat gerakanku, semakin keras jeritan
Tati terdengar di kamarku. Pinggul janda muda itu pun berputar-putar dengan
cepat mengikuti irama pompaanku. Kadang-kadang pinggulnya sampai
terangkat-angkat untuk mengimbangi kecepatan naik turunnya pinggulku. Buah
dadanya yang terlihat bulat dalam keadaan berbaring itu bergetar dan bergoyang
ke sana ke mari. Sungguh menggairahkan!
Tiba-tiba aku merasakan pelukannya semakin mengeras. Terasa
kuku-kukunya menancap di punggungku. Otot-ototnya mulai menegang. Nafas
perempuan itu juga semakin cepat. Tiba-tiba tubuhnya mengejang, mulutnya
terbuka, matanya terpejam,dan alisnya merengut
“aahh..”. Tati menjerit panjang seraya menjambak rambutku, dan
penisku yang masih bergerak masuk keluar itu terasa disiram oleh suatu cairan
hangat.
Dari wajahnya yang menyeringai, tampak janda muda itu tengah
menghayati orgasmenya yang mungkin sudah lama tidak pernah ia alami itu. Aku
tidak mengendurkan goyangan pinggulku, karena aku sedang berada di puncak
kenikmatanku.
“Mbak.., goyang terus Mbak.., aku juga mau keluar..”. Tati
kembali menggoyang pinggulnya dengan cepat dan beberapa detik kemudian, seluruh
tubuhku menegang.
“Keluarkan di dalam saja pak”, bisik Tati, “Aku masih pakai IUD”. Begitu Tati selesai berbisik, aku melenguh.
“Mbak.., aku keluar.., aku keluarr…., aahh..”, dan…, “Crat.., crat.., craat”, kubenamkan penisku dalam-dalam di vagina perempuan itu.
“Keluarkan di dalam saja pak”, bisik Tati, “Aku masih pakai IUD”. Begitu Tati selesai berbisik, aku melenguh.
“Mbak.., aku keluar.., aku keluarr…., aahh..”, dan…, “Crat.., crat.., craat”, kubenamkan penisku dalam-dalam di vagina perempuan itu.
Seakan mengerti, Tati mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi
sehingga puncak kenikmatan ini terasa benar hingga ke tulang sumsumku.
Kami berdua terkulai lemas sambil memejamkan mata. Pikiran kami melayang-layang entah ke mana. Tubuhku masih menindih tubuh montok Tati. Kami berdua masih saling berpelukan dan akupun membayangkan hari-hari penuh kenikmatan yang akan kualami sesudah itu di Bandung.
Kami berdua terkulai lemas sambil memejamkan mata. Pikiran kami melayang-layang entah ke mana. Tubuhku masih menindih tubuh montok Tati. Kami berdua masih saling berpelukan dan akupun membayangkan hari-hari penuh kenikmatan yang akan kualami sesudah itu di Bandung.
Sejak kejadian malam itu, kesibukan di kantorku yang luar biasa
membuatku sering pulang larut malam. Kepenatanku selalu membuatku langsung
tertidur lelap. Kesibukan ini bahkan membuat aku jarang bisa berkomunikasi
dengan Tati. Walaupun begitu, sering juga aku mempergunakan waktu makan siangku
untuk mampir ke rumah dengan maksud untuk melakukan seks during lunch. Sayang,
di waktu tersebut ternyata Ayah Anto senantiasa dalam keadaan bangun sehingga
niatku tak pernah kesampaian. Namun suatu hari aku cukup beruntung walaupun
orang tua itu tidak tidur. Aku mendapat apa yang kuinginkan.
Ceritanya sebagai berikut: Tati diminta oleh Ayah Anto untuk
mengambil sesuatu di kamarnya. Melihat peluang itu, aku diam-diam mengikutinya
dari belakang. Kamar ayah Anto memang tidak terlihat dari tempat di mana orang
tua itu biasa duduk. Sesampainya di kamar kuraih pinggang semampai perawat itu
dari belakang. Tati terkejut dan tertawa kecil ketika sadar siapa yang
memeluknya dan tanpa basa-basi langsung menyambut ciumanku dengan bibirnya yang
mungil itu sambil dengan buas mengulum lidahku.
Ia memang sudah tidak malu-malu lagi seperti awal pertemuan
kami.
Janda cantik itu sudah menunjukkan karakternya
sebagai seorang pecinta sejati yang tanpa malu-malu lagi menunjukkan kebuasan
gairahnya. Kadang aku tidak mengerti, kenapa suaminya tega meninggalkannya. Namun
analisaku mengatakan, suaminya tak mampu mengimbangi gejolak gairah Tati di
atas ranjang dan untuk menutupi rasa malu yang terus menerus terpaksa ia
meninggalkan perempuan muda itu untuk hidup bersama dengan perempuan lain yang
lebih ‘low profile’. Aku memang belum sempat menanyakan pada Tati bagaimana ia
menyalurkan kebutuhan biologisnya di saat menjanda. Aku berpikir, bawa
masturbasi adalah jalan satu-satunya.
Kami berdua masih saling berciuman dengan ganas ketika dengan
sigap aku menyelipkan tanganku ke balik baju perawatnya yang putih itu. Sungguh
terkejut ketika aku sadar bahwa ia sama sekali tidak memakai BH sehingga dengan
mudahnya kuremas buah dada kanannya yang ranum itu.
“Kok ngga pakai BH Mbak..?” Sambil menggelinjang dan mendesah,
ia menjawab sambil tersenyum nakal.
“Supaya gampang diremas sama kamu..”. Benar-benar jawaban yang menggemaskan!
“Supaya gampang diremas sama kamu..”. Benar-benar jawaban yang menggemaskan!
Kembali kukulum bibir dan lidahnya yang menggairahkan itu sambil
dengan cepat kubuka kancing bajunya yang pertama, kedua, dan ketiga. Lalu tanpa
membuang waktu kutundukkan kepalaku, dengan tangan kananku kukeluarkan buah
dada kanannya dan kuhisap sedemikian rupa sehingga hampir setengahnya masuk ke
dalam mulutku. Tati mulai mengerang kegelian, “Ouhh.., geli Mas.., geliii..,
ahh..”. Sejak kejadian malam itu, ia memang membiasakan dirinya untuk
memanggilku Mas. Sambil menggelinjang dan merintih, tangan kanan Tati mulai
mengelus-elus bagian depan celana kantorku.
Penisku yang terletak tepat di baliknya terasa semakin menegang
dan menegang.
Jari-jari
lentik perempuan itu berusaha untuk mencari letak kepala penisku untuk kemudian
digosok-gosoknya dari luar celana. Sensasi itu membuat nafasku semakin memburu
seperti layaknya nafas kuda yang tengah berlari kencang. Seakan tak mau kalah
darinya, tangan kiriku berusaha menyingkap rok janda muda itu dan dengan sigap
kugosokkan jari-jemariku di celana dalamnya. Tepat diatas vaginanya, celana
dalam Tati terasa sudah basah. Sungguh hebat! Hanya dalam beberapa menit saja,
ia sudah sedemikian terangsangnya sehingga vaginanya sudah siap untuk dimasuki
oleh penisku.
Tanpa membuang waktu kuturunkan celana dalam tipis yang kali ini
berwarna hitam, kudorong tubuh montok perawat itu ke dinding, lalu kuangkat
paha kanannya sehingga dengkulnya menempel di pinggangku. Dengan sigap pula
kubuka ritsluiting celanaku dan kukeluarkan penisku yang sudah sangat tegang
dan besar itu. Tati sudah nampak pasrah. Ia hanya bersender di dinding sambil
memejamkan matanya dan memeluk bahuku.
“Tatiii.., mana minyak tawonnya.., kok lama betuul…”. Suara
orang tua itu terdengar dengan keras. Sungguh menjengkelkan. Tati sempat
terkejut dan nampak panik ketika kemudian aku berbisik, “Tenang Mbak.., jawab
aja.., kita selesaikan dulu ini.., kamu mau kan?” Ia mengangguk seraya
tersenyum manis.
“Sebentar Pak..”, teriaknya.
“Minyak tawonnya keselip entah ke mana.., ini lagi dicari kok…”. Ia tertawa cekikikan, geli mendengar jawaban spontannya sendiri.
“Minyak tawonnya keselip entah ke mana.., ini lagi dicari kok…”. Ia tertawa cekikikan, geli mendengar jawaban spontannya sendiri.
Namun tawanya itu langsung berubah menjadi jerikan erotis kecil
ketika kupukul-pukulkan kepala penisku ke selangkangannya.
Perlahan-lahan kutempelkan kepala penisku itu di pintu vaginanya. Sambi kuputar-putar kecil kudorong pinggulku perlahan-lahan. Tati ternganga sambil terengah-engah, “aahh.., aahh.., ouhh.., Mas.., besar sekali.., pelan-pelan Mas..pelan-pelanhh..”, dan, “aa…”. Tati menjerit kecil ketika kumasukkan seluruh penisku ke dalam vaginanya yang becek dan terasa sangat sempit dalam posisi berdiri ini. Aku menyodokkan penisku maju mundur dengan gerakan yang percepatannya meningkat dari waktu ke waktu. Tubuh Tati terguncang-guncang, buah dadanya bergayut ke kiri dan kanan dan jeritannya semakin menjadi-jadi.
Aku sudah tak peduli kalau ayah Anton sampai mendengarkan
jeritan perempuan itu. Nafsuku sudah naik ke kepala. Janda muda ini memang memiliki
daya pikat seks yang luar biasa. Walaupun ia hanya seorang perawat, namun
kemulusan dan kemontokan badannya sungguh setara dengan perempuan kota jaman
sekarang. Sangat terawat dan nikmat sekali bila digesek-gesekkankan di kulit
kita. Gerakan pinggulku semakin cepat dan semakin cepat. Mulutku tak
puas-puasnya menciumi dan menghisap puting buah dadanya yang meruncing panjang
dan keras itu. Buah dadanya yang kenyal itu hampir seluruhnya dibasahi oleh air
liurku. Aku memang sedang nafsu berat. Aku merasakan bahwa sebentar lagi aku
akan orgasme dan bersamaan dengan itu juga tubuh Tati menegang.
Kupercepat gerakan pinggulku dan tiba-tiba, “aahh.., Mas..,
Masss…, aku keluarrr.., aahh”, Jeritnya. Saat itu juga kusodokkan penisku ke
dalam vagina janda muda itu sekeras-kerasnya dan, “Craat.., craatt.., craat”.
“Ahh…, Mbaak”, erangku sambil meringis menikmati puncak orgasme
kami yang waktunya jatuh bersamaan itu. Kami berpelukan sesaat dan Tati
berbisik dengan suara serak.
“Mas.., aku ngga pernah dipuasin laki-laki seperti kamu muasin saya.., kamu hebat..”. Aku tersenyum simpul.
“Mbak., aku masih punya 1001 teknik yang bisa membuat kamu melayang ke surga ke-7.., ngga bosan kan kalo lain waktu aku praktekkan sama kamu?”. Perlahan Tati menurunkan paha kanannya dan mencabut penisku dari vaginanya.
“Mas.., aku ngga pernah dipuasin laki-laki seperti kamu muasin saya.., kamu hebat..”. Aku tersenyum simpul.
“Mbak., aku masih punya 1001 teknik yang bisa membuat kamu melayang ke surga ke-7.., ngga bosan kan kalo lain waktu aku praktekkan sama kamu?”. Perlahan Tati menurunkan paha kanannya dan mencabut penisku dari vaginanya.
“Bosan? Aku gila apa.., yang beginian ngga akan membuatku bosan.., kalau bisa tiap hari aku mau Mas..”. Benar-benar luar biasa libido perempuan ini. Beruntung aku mempunyai libido yang juga luar biasa besarnya. Sebagai partner seks, kami benar-benar seimbang.
Setelah kejadian siang itu, aku dan Tati seperti pengantin baru
saja. Tak ada waktu luang yang tak terlewatkan tanpa nafsu dan birahi.
Walaupun demikian, aku tekankan pada Tati, bahwa hubungan antara
aku dan dia, hanyalah sebatas hubungan untuk memuaskan nafsu birahi saja. Aku
dan dia punya hak untuk berhubungan dengan orang lain. Tati si janda muda yang
sudah merasakan kenikmatan seks bebas itu tentu saja menyetujuinya.
Suatu hari, Tati masuk ke dalam kamarku dan ia berkata, “Mas,
aku akan mengambil cuti selama 1 bulan. Aku harus mengurusi masalah tanah
warisan di kampungku..”.
“Lha.., kalau Mbak pulang, siapa yang akan mengurusi Bapak?”,
tanyaku sambil membayangkan betapa kosongnya hari-hariku selama sebulan ke
depan.
“Mas Anto bilang, akan ada adik Bapak yang akan menggantikan aku selama 1 bulan.., namanya Mbak Ine.., dia ngga kimpoi.., umurnya sudah hampir 40 tahun.., orangnya baik kok.., cerewet.., tapi ramah..”. Yah apa boleh buat, aku terpaksa kehilangan seorang teman berhubungan seks yang sangat menggairahkan. Hitung-hitung cuti 1 bulan.., atau kalau berpikir positif.., its time to look for a new partner!!!
Hari ini adalah hari ke lima setelah kepergian Tati. Mbak Ine,
pengganti sementara Tati, ternyata adalah adik ipar ayah Anto. Jadi, adik istri
si bapak tua itu. Mbak Ine adalah seorang perempuan Sunda yang ramah. Wajahnya
lumayan cantik, kulitnya berwarna hitam manis, badannya agak pendek dan
bertubuh montok. Ukuran buah dadanya besar. Jauh lebih besar dari Tati dan
senantiasa berdandan agak menor. Wanita yang berumur hampir 40 tahun itu
mengaku belum pernah menikah karena merasa bahwa tak ada laki-laki yang bisa
cocok dengan sifatnya yang avonturir. Saat ini ia bekerja secara freelance di
sebuah stasiun televisi sebagai penulis naskah. Kemampuan bergaulku dan
keramahannya membuat kami cepat sekali akrab.
Lagi-lagi, kamarku itu kini menjadi markas curhatnya Mbak Ine.
“Panggil saya teh Ine aja deh..”, katanya suatu kali dengan logat Bandungnya yang kental.
“Kalau gitu panggil saya Rafi aja ya teh.., ngga usah pake pak pak-an segala..”, balasku sambil tertawa.
“Panggil saya teh Ine aja deh..”, katanya suatu kali dengan logat Bandungnya yang kental.
“Kalau gitu panggil saya Rafi aja ya teh.., ngga usah pake pak pak-an segala..”, balasku sambil tertawa.
Baru 5 hari kami bergaul, namun sepertinya kami sudah lama
saling mengenal. Kami seperti dua orang yang kasmaran, saling memperhatikan dan
saling bersimpati. Persis seperti cinta monyet ketika kita remaja. Saat itu
seperti biasa, kami sedang ngobrol santai dari hati ke hati sambil duduk di
atas ranjangku. Aku memakai baju kaos dan celana pendek yang ketat sehingga
tanpa kusadari tekstur penis dan testisku tercetak dengan jelas. Bila
kuperhatikan, beberapa kali tampak teh Ine mencuri-curi melirik selangkanganku
yang dengan mudah dilihatnya karena aku duduk bersila.
Aku sengaja membiarkan keadaan itu berlangsung. Malah
kadang-kadang dengan sengaja aku meluruskan kedua kakiku dengan posisi agak
mengangkang sehingga cetakan penisku makin nyata saja di celanaku.
Sesekali, ditengah obrolan santai itu, tampak teh Ine melirik
selangkanganku yang diikuti dengan nafasnya yang tertahan. Kenapa aku melakukan
hal ini? Karena libidoku yang luar biasa, aku jadi tertantang untuk bisa
meniduri teh Ine yang aku yakini sudah tak perawan lagi karena sifatnya yang
avonturir itu. Dan lagi, dari sifatnya yang ramah, ceria, cerewet dan petualang
itu, aku yakin di balik tubuh montok perempuan setengah baya tersimpan potensi
libido yang tak kalah besar dengan Tati.
Juga, gayanya dalam bergaul yang mudah bersentuhan dan saling
memegang lengan sering membuat darahku berdesir. Apalagi kalau aku sedang dalam
keadaan libido tinggi.
Saat ini, teh Ine mengenakan daster berwarna putih tipis
sehingga tampak kontras dengan warna kulitnya yang hitam manis itu. Belahan
buah dadanya yang besar itu menyembul di balik lingkaran leher yang berpotongan
rendah di bagian dada. Dasternya sendiri berpola terusan hingga sebatas lutut
sehingga ketika duduk, pahanya yang montok itu terlihat dengan jelas. Aku
selalu berusaha untuk bisa mengintip sesuatu yang terletak di antara kedua paha
teh Ine. Namun karena posisi duduknya yang selalu sopan, aku tak dapat melihat apa-apa.
Bukan main! Ternyata seorang wanita berusia 40-an masih
mempunyai daya tarik sexual yang tinggi. Terus terang, baru kali ini aku berani
berfantasi mengenai hubungan seks dengan teh Ine. Sementara ia bercerita
tentang masa mudanya, pikiranku malah melayang dan membayangkan tubuh teh Ine
sedang duduk di hadapanku tanpa selembar benangpun. Alangkah menggairahkannya.
Aku seperti bisa melihat dengan jelas seluruh lekuk tubuhnya yang mulus tanpa
cacat. Tanpa sadar, penisku menegang dan cairan madzi di ujungnya pun mulai
keluar. Celanaku tampak basah di ujung penisku, dan cetakan penis serta
testisku semakin jelas saja tercetak di selangkangan celanaku.
Membesarnya penisku ternyata tak lepas dari perhatian teh Ine.
Tampak jelas terlihat matanya terbelalak melihat ukuran penisku yang membesar
dan tercetak jelas di celana pendekku. Obrolan kami mendadak terhenti karena
beberapa saat teh Ine masih terpaku pada selangkanganku.
“Kunaon teh..?”, tanyaku memancing.
“Eh.., enteu.., kamu teh mikirin apa sih…?”, katanya sambil tersenyum simpul.
“Mikirin teh Ine teh.., entah kenapa barusan saya membayangkan teh Ine nggak pakai apa-apa.., aduh indahnya teh..”, tiba-tiba saja jawaban itu meluncur dari mulutku.
Aku sendiri terkejut dengan jawabanku yang sangat terus terang
itu dan sempat membuatku terpaku memandang wajah teh Ine. Wajah teh Ine tampak
memerah mendengar jawabanku itu. Napasnya mendadak memburu.
Tiba-tiba teh Ine bangkit dari duduknya dan berjalan menuju
pintu. Ia menutup pintu kamarku dan menguncinya. Leherku tercekat, dan
kurasakan jantungku berdegup semakin kencang. Dengan tersenyum dan sorot mata
nakal ia menghampiriku dan duduk tepat di hadapan selangkanganku. Aku memang
sedang dalam posisi selonjor dengan kedua kaki mengangkang.
“Fi, kamu pingin sama teteh..? Hmm?”, Desahnya seraya meraba
penis tegangku dari luar celana. Aku menelan ludah sambil mengangguk perlahan
dan tersenyum. Entah mengapa, aku jadi gugup sekali melihat wajah teh Ine yang
semakin mendekat ke wajahku. Tanpa sadar aku menyandarkan punggungku ke tembok
di ujung ranjang dan teh Ine menggeser duduknya mendekatiku sambil tetap
menekan dan membelai selangkanganku. Nafas teh Ine yang semakin cepat terasa
benar semakin menerpa hidung dan bibirku. Rasa nikmat dari belaian jemari teh
Ine di selangkanganku semakin terasa keujung syaraf-syarafku. Napasku mulai
memburu dan tanpa sadar mulutku mulai mengeluarkan suara erangan-erangan.
Dengan lembut teh Ine menempelkan bibirnya di atas bibirku. Ia
memulainya dengan mengecup ringan, menggigit bibir bawahku, dan tiba-tiba..,
lidahnya memasuki mulutku dan berputar-putar di dalamnya dengan cepat.
Langit-langit mulutku serasa geli disapu oleh lidah panjang milik perempuan
setengah baya yang sangat menggairahkan itu. Aku mulai membalas ciuman,
gigitan, dan kuluman teh Ine. Sambil berciuman, tangan kananku kuletakkan di
buah dada kiri teh Ine. Uh.., alangkah besarnya.., walaupun masih ditutupi oleh
daster, keempukan dan kekenyalannya sudah sangat terasa di telapak tanganku.
Dengan cepat kuremas-remas buah dada teh Ine itu, “Emph..,
emph..”, rintihnya sambil terus mengulum lidahku dan menggosok-gosok
selangkanganku. Mendadak teh Ine menghentikan ciumannya. Ia menahan tanganku
yang tengah meremas buah dadanya dan berkata,
“Fi, sekarang kamu diam dulu yah.., biar teteh yang duluan..”.
Tiba-tiba dengan cepat teh Ine menarik celana pendekku sekalian
dengan celana dalamku. Saking cepatnya, penisku yang menegang melejit keluar.
Sejenak teh Ine tertegun menatap penisku yang berdiri tegak laksana tugu monas
itu. “Gusti Rafi.., ageung pisan..”, bisiknya lirih. Dengan cepat teh Ine
menundukkan kepalanya, dan seketika tubuhku terasa dialiri oleh aliran listrik
yang mengalir cepat ketika mulut teh Ine hampir menelan seluruh penisku. Terasa
ujung penisku itu menyentuh langit-langit belakang mulut teh Ine. Dengan sigap
teh Ine memegang penisku sementara lidahnya memelintir bagian bawahnya. Kepala
teh Ine naik turun dengan cepat mengiringi pegangan tangannya dan puntiran
lidahnya.
Aku benar-benar merasa melayang di udara ketika teh Ine
memperkuat hisapannya. Aku melirik ke arah kaca riasku, dan di sana tampak
diriku terduduk mengangkang sementara teh Ine dengan dasternya yang masih saja
rapi merunduk di selangkanganku dan kepalanya bergerak naik turun. Suara
isapan, jilatan dan kecupan bibir perempuan montok itu terdengar dengan jelas.
Kenikmatan ini semakin menjadi-jadi ketika kurasakan teh Ine mulai
meremas-remas kedua bola testisku secara bergantian. Perutku serasa mulas dan
urat-urat di penisku serasa hendak putus karena tegangnya. Teh Ine tampak
semakin buas menghisapi penisku seperti seseorang yang kehausan di padang pasir
menemukan air yang segar. Jari-jemarinyapun semakin liar mempermainkan kedua
testisku. “Slurrp.., Cuph.., Mphh..”. Suara kecupan-kecupan di penisku semakin
keras saja.
Nafsuku sudah naik ke kepala. Aku berontak untuk berusaha
meremas kedua buah dada montok dan besar milik wanita lajang berusia setengah
baya itu, namun tangan teh Ine dengan kuat menghalangi tubuhku dan iapun
semakin gila menghisapi dan menjilati penisku. Aku mulai bergelinjang-gelinjang
tak karuan.
“Teh Ine.., teeeh…, gantian dongg.., please.., saya udah ngga
kuaat…, aahh.., sss..”, erangku seakan memohon. Namun permintaanku tak
digubrisnya. Kedua tangan dan mulutnya semakin cepat saja mengocok penisku.
Terasa seluruh syaraf-syarafku semakin menegang dan menegang, degup jantungku
berdetak semakin kencang.. napaskupun makin memburu.
“Oohh…, Teh Ine.., Teh Ineee…, aahh….”, Aku berteriak sambil mengangkat pinggulku tinggi-tinggi dan, “Crat.., craat.., craat”, aku memuncratkan spermaku di dalam mulut teh Ine.
Dengan sigap pula teh Ine menelan dan menjilati spermaku seperti
seorang yang menjilati es krim dengan nikmatnya. Setiap jilatan teh Ine terasa
seperti setruman-setruman kecil di penisku. Aku benar-benar menikmati permainan
ini.., luar biasa teh Ine, “Enak Fi..? Hmm?”, teh Ine mengangkat kepalanya dari
selangkanganku dan menatapku dengan senyum manisnya, tampak di seputar mulutnya
banyak menempel bekas-bekas spermaku.
“Fuhh nikmatnya sperma kamu Fi..” Bisiknya mesra seraya menjilat
sisa-sisa spermaku di bibirnya.
“Obat awet muda ya teh..”, kataku bercanda.
“Yaa gitulah…, antosan sekedap nya? Biar teteh ambilkan minum buat kamu”. Oh my God.., benar-benar seorang wanita yang penuh pengabdian, dia belum mengalami orgasme apa-apa tapi perhatiannya pada pasangan lelakinya luar biasa besar, sungguh pasangan seks yang ideal! Kenyataan itu saja membuat rasa simpati dan birahiku pada teh Ine kembali bergejolak. Teh Ine kembali dari luar membawa segelas air.
“Minum deh.., biar kamu segeran..”.
“Nuhun teh.., tapi janji ya abis ini giliran saya muasin teteh..”. Aku meneguk habis air dingin buatan teh Ine dan saat itu pula aku merasakan kejantananku kembali. Birahiku kembali bergejolak melihat tubuh montok teh Ine yang ada di hadapanku.
“Obat awet muda ya teh..”, kataku bercanda.
“Yaa gitulah…, antosan sekedap nya? Biar teteh ambilkan minum buat kamu”. Oh my God.., benar-benar seorang wanita yang penuh pengabdian, dia belum mengalami orgasme apa-apa tapi perhatiannya pada pasangan lelakinya luar biasa besar, sungguh pasangan seks yang ideal! Kenyataan itu saja membuat rasa simpati dan birahiku pada teh Ine kembali bergejolak. Teh Ine kembali dari luar membawa segelas air.
“Minum deh.., biar kamu segeran..”.
“Nuhun teh.., tapi janji ya abis ini giliran saya muasin teteh..”. Aku meneguk habis air dingin buatan teh Ine dan saat itu pula aku merasakan kejantananku kembali. Birahiku kembali bergejolak melihat tubuh montok teh Ine yang ada di hadapanku.
Aku meraih tangan teh Ine dan dengan sekali betot kubaringkan tubuhnya yang molek itu di atas ranjang.
“Eeehh.., pelan-pelan Fi..”, teriak teh Ine dengan geli.
“Teteh mau diapain sih… “, lanjutnya manja. Tanpa menjawab, aku menindih tubuh montok itu, dan sekejap kurasakan nikmatnya buah dada besar itu tergencet oleh dadaku. Juga, syaraf-syaraf sekitar pinggulku merasakan nikmatnya penisku yang menempel dengan gundukan vaginanya walaupun masih ditutupi oleh daster dan celana dalamnya.
Kupandangi wajah teh Ine yang bundar dan manis itu. Kalau
diperhatikan, memang sudah terdapat kerut-kerut kecil di daerah mata dan
keningnya. Tapi peduli setan! Teh Ine adalah seorang wanita setengah baya yang
paling menggairahkan yang pernah kulihat. Pancaran aura sexualnya sungguh kuat
menerangi sanubari lelaki yang memandangnya.
“Teteh mau tau apa yang ingin saya lakukan terhadap teteh?”,
Kataku sambil tersenyum.
“Saya akan memperkosa teteh sampai teteh ketagihan”.
“Saya akan memperkosa teteh sampai teteh ketagihan”.
Lalu dengan ganas, aku memulai menciumi bibir dan leher teh Ine.
Teh Inepun dengan tak kalah ganasnya membalas ciuman-ciumanku. Keganasan kami
berdua membuat suasana kamarku menjadi riuh oleh suara-suara kecupan dan
rintihan-rintihan erotis. Dengan tak sabar aku menarik ritsluiting daster teh Ine,
kulucuti dasternya, BH-nya, dan yang terakhir.., celana dalamnya. Wow.., sebuah
gundukan daging tanpa bulu sama sekali terlihat sangat menantang terletak di
selangkangan teh Ine. My God.., alangkah indahnya vagina teh Ine itu.., tak
pernah kubayangkan bahwa ia mencukur habis bulu kemaluannya.
“Kamu juga buka semua dong Fi”, rengeknya sambil menarik baju
kaosku ke atas. Dalam sekejap, kami berdua berdua berpelukan dan berciuman
dengan penuh nafsu dalam keadaan bugil! Sambil menindih tubuhnya yang montok itu,
bibirku menyelusuri lekuk tubuh teh Ine mulai dari bibir, kemudian turun ke
leher, kemudian turun lagi ke dada, dan terus ke arah puting susu kirinya yang
berwarna coklat kemerah-merahan itu. Alangkah kerasnya puting susunya, alangkah
lancipnnya.., dan mmhh.., seketika itu juga kukulum, kuhisap dan kujilat puting
kenyal itu.., karena gemasnya, sesekali kugigit juga puting itu.
“Auuhh.., Fi.., gellii.., sss.., ahh”, rintihnya ketika
gigitanku agak kukeraskan. Badan montoknya mulai mengelinjang-gelinjang ke sana
k emari.., dan mukanya menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan. Sambil
menghisap, tangan kananku merayap turun ke selangkangannya. Dengan mudah
kudapati vaginanya yang besar dan sudah sangat becek sekali. Akupun dengan
sigap memain-mainkan jari tenganku di pintu vaginanya. “Crks.., crks.., crks”,
terdengar suara becek vagina teh Ine yang berwarna lebih putih dari kulit
sekitarnya. Ketika jariku mengenai gundukan kecil daging yang mirip dengan
sebutir kacang, ketika itu pula wanita setengah baya itu menjerit kecil.
“Ahh.., geli Fi.., gelli”, Putaran jariku di atas clitoris teh
Ine dan hisapanku pada kedua puting buah dadanya makin membuat lajang montok
berkulit hitam manis itu semakin bergelinjang dengan liar.
“Fi.., masukin sekarang Fi.., sekarang.., please.., teteh udah
nggak tahan..ahh..”. Kulihat wajah teh Ine sudah meringis seperti orang
kesakitan. Ringisan itu untuk menahan gejolak orgasmenya yang sudah hampir
mencapai puncaknya. Dengan sigap kuarahkan penisku ke vagina montok milik teh
Ine.., kutempelkan kepala penisku yang besar tepat di bawah clitorisnya,
kuputar-putarkan sejenak dan teh Ine meresponnya dengan mengangkangkan pahanya
selebar-lebarnya untuk memberi kemudahan bagiku untuk melakukan penetrasi..,
saat itu pula kusodokkan pantatku sekuat-kuatnya dan, “Blesss”, masuk semuanya!
“Aahh….” Teh Ine menjerit panjang.., “Besar betul Fi..,
auhh…., besar betuull…, duh gusti enaknya.., aahh..”. Dengan penuh keganasan
kupompa penisku keluar masuk vagina teh Ine. Dan iapun dengan liarnya memutar-mutar
pinggulnya di bawah tindihanku. Astaga.., benar-benar pengalaman yang luar
biasa! Bahkan keliaran teh Ine melebihi ganasnya Mbak Tati.., luar biasa!
Kedua tubuh kami sudah sangat basah oleh keringat yang bercampur
liur. Kasurkupun sudah basah di mana-mana oleh cairan mani maupun lendir yang
meleleh dari vagina teh Ine, namun entah kekuatan apa yang ada pada diri kami…,
kami masih saling memompa, merintih, melenguh, dan mengerang. Bunyi
ranjangkupun sudah tak karuan.., “Kriet.., kriet.., krieeet”, sesuai irama
goyangan pinggul kami berdua. Penisku yang besar itu masih dengan buasnya
menggesek-gesek vagina teh Ine yang terasa sempit namun becek itu.
Setelah lebih dari 15 menit kami saling memompa, tiba-tiba kurasakan seluruh tubuh teh Ine menegang.
“Fi.., Fi.., Teteh mau keluar..”.
“Iya teh, saya juga.., kita keluar sama-sama teh…”, Goyanganku semakin kupercepat dan pada saat yang bersamaan kami berdua saling berciuman sambil berpelukan erat.., aku menancapkan penisku dalam-dalam dan teh Ine mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi…, “Crat.., crat.., crat.., crat”, kami berdua mengerang dengan keras sambil menikmati tercapainya orgasme pada saat yang bersamaan. Kami sudah tak peduli bila seisi rumah akan mendengarkan jeritan-jeritan kami, karena aku yakin teh Inepun tak pernah merasakan kenikmatan yang luar biasa ini sepanjang hidupnnya.
“Iya teh, saya juga.., kita keluar sama-sama teh…”, Goyanganku semakin kupercepat dan pada saat yang bersamaan kami berdua saling berciuman sambil berpelukan erat.., aku menancapkan penisku dalam-dalam dan teh Ine mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi…, “Crat.., crat.., crat.., crat”, kami berdua mengerang dengan keras sambil menikmati tercapainya orgasme pada saat yang bersamaan. Kami sudah tak peduli bila seisi rumah akan mendengarkan jeritan-jeritan kami, karena aku yakin teh Inepun tak pernah merasakan kenikmatan yang luar biasa ini sepanjang hidupnnya.
“Ahh.., Fi.., kamu hebaat.., kamu hebaathh.., hh.., Teteh ngga
pernah ngerasain kenikmatan seperti ini”.
“Saya juga teh.., terima kasih untuk kenikmatan ini..”, Kataku seraya mengecup kening teh Ine dengan mesra.
“Saya juga teh.., terima kasih untuk kenikmatan ini..”, Kataku seraya mengecup kening teh Ine dengan mesra.
“Mau tau suatu rahasia Fi?”, tanyanya sambil membelai rambutku, “Teteh sudah lima tahun tidak bersentuhan dengan laki-laki.., tapi entah kenapa, dalam 5 hari bergaul dengan kamu.., teteh tidak bisa menahan gejolak birahi teteh.., ngga tau kenapa.., kamu itu punya aura seks yang luar biasa..”. Teh Ine bangkit dari ranjangku dan mengambil sesuatu dari kantong dasternya. Sebutir pil KB.
“Seperti punya fitasat, teteh sudah minum pil ini sejak 3 hari yang lalu..”, katanya tersenyum, “Dan akan teteh minum selama teteh ada di sini..”, Teh Ine mengerdipkan matanya padaku dengan manja sambil memakai dasternya.
“Selamat tidur sayang…”, Teh Ine melangkah keluar dari kamarku.
Teh Ine memang luar biasa. Ia bukan saja dapat menggantikan
kedudukan Tati sebagai partner seks yang baik, tetapi juga memberi
sentuhan-sentuhan kasih sayang keibuan yang luar biasa. Aku benar-benar dimanja
oleh wanita setengah baya itu. Fantasi sexualnya juga luar biasa. Mungkin itu
pengaruh dari pekerjaannya sebagai penulis cerita drama. Coba bayangkan, ia
pernah memijatku dalam keadaan bugil, kemudian sambil terus memijat ia bisa
memasukkan penisku ke dalam vaginanya, dan aku disetubuhi sambil terus
menikmati pijatan-pijatannya yang nikmat. Ia juga pernah meminta aku untuk
menyetubuhinya di saat ia mandi pancuran di kamar mandi dan kami melakukannya
dengan tubuh licin penuh sabun.
Dan yang paling sensasional adalah.., Sore itu aku sudah berada
di rumah. Karena load pekerjaan di kantorku tidak begitu tinggi, aku sengaja
pulang cepat. Selesai mandi aku duduk di meja makan sambil menikmati pisang
goreng buatan teh Ine. Perempuan binal itu memang luar biasa. Ia melayaniku
seperti suaminya saja. Segala keperluan dan kesenanganku benar-benar
diperhatikan olehnya. Seperti biasa, aku mengenakan baju kaos buntung dan
celana pendek longgar kesukaanku dan (seperti biasa juga) aku tidak menggunakan
celana dalam. Kebiasaan ini kumulai sejak adanya teh Ine di rumah ini, karena
bisa dipastikan hampir tiap hari aku akan menikmati tubuh sintal adik ipar ayah
si Anto itu.
Sore itu sambil menikmati pisang goreng di meja makan, aku
bercakap-cakap dengan ayah Anto. Orang tua itu duduk di pojok ruangan dekat
pintu masuk untuk menikmati semilirnya angin sore kota Bandung. Jarak antara
aku dengannya sekitar 6 meter. Sambil bercakap-cakap mataku tak lepas dari teh
Ine yang mondar mandir menyediakan hidangan sore bagi kami. Entah ke mana PRT
kami saat itu. Teh Ine mengenakan celana pendek yang ditutupi oleh kaos
bergambar Mickey Mouse berukuran ekstra besar sehingga sering tampak kaos itu
menutupi celana pendeknya yang memberi kesan teh Ine tidak mengenakan celana.
Aku berani bertaruh perempuan itu tidak menggunakan BH karena bila ia berjalan
melenggang, tampak buah dadanya bergayut ke atas ke bawah, dan di bagian
dadanya tercetak puting buah dadanya yang besar itu. Tanpa sadar batang penisku
mulai membesar.
Setelah selesai dengan kesibukannya, teh Ine duduk di sebelah
kiriku dan ikut menikmati pisang goreng buatannya. Kulihat ia melirik ke arahku
sambil memasukkan pisang goreng perlahan-lahan ke dalam mulutnya. Sambil
mengerdipkan matanya, ia memasukkan dan mengeluarkan pisang goreng itu dan
sesekali menjilatnya. Sambil terus berbasa basi dengan orang tua Anto, aku
menelan ludah dan merasakan bahwa urat-urat penisku mulai mengeras dan kepala
penisku mulai membesar. Tiba-tiba kurasakan jari-jemari kanan teh Ine menyentuh
pahaku. Lalu perlahan-lahan merayap naik sampai di daerah penisku. Dengan gemas
teh Ine meremas penis tegangku dari luar celanaku sehingga membuat cairan
beningku membuat tanda bercak di celanaku.
Setelah beberapa lama meremas-remas, tangan itu bergerak ke
daerah perut dan dengan cepat menyelip ke dalam celana pendekku. Aku sudah
tidak tahu lagi apa isi percakapan orang tua Anto itu. Beberapa kali ia
mengulangi pertanyaannya padaku karena jawabanku yang asal-asalan. Degup
jantungku mulai meningkat. Jemari lentik itu kini sudah mencapai kedua bolaku.
Dengan jari telunjuk dan tengah yang dirapatkan, perempuan lajang itu mengelus-elus
dan menelusuri kedua bolaku.., mula-mula berputar bergantian kiri dan kanan
kemudian naik ke bagian batang.., terus bergerak menelusuri urat-urat tegang
yang membalut batang kerasku itu, “sss…, teteh..”. Aku berdesis ketika kedua
jarinya itu berhenti di urat yang terletak tepat di bawah kepala penisku.., itu
memang daerah kelemahanku.., dan perempuan sintal ini mengetahuinya.., kedua
jemarinya menggesek-gesekkan dengan cepat urat penisku itu sambil sesekali
mencubitnya.
“aahh…”, erangku ketika akhirnya penisku masuk ke dalam
genggamannya.
“Kenapa Rafi?”, Orang tua yang duduk agak jauh di depanku itu mengira aku mengucapkan sesuatu.
“E.., ee…, ndak apa-apa Pak..”, Jawabku tergagap sambil kembali meringis ketika teh Ine mulai mengocok penisku dengan cepat. Gila perempuan ini! Dia melakukannya di depan kakaknya sendiri walaupun tidak kelihatan karena terhalang meja.
“Saya cuma merasa segar dengan udara Bandung yang dingin ini..”, Jawabku sekenanya.
“Ooo begitu.., saya pikir kamu sakit perut.., habis tampangmu meringis-meringis begitu..”, Orang tua itu terkekeh sambil memalingkan mukanya ke jalan raya.
“Kenapa Rafi?”, Orang tua yang duduk agak jauh di depanku itu mengira aku mengucapkan sesuatu.
“E.., ee…, ndak apa-apa Pak..”, Jawabku tergagap sambil kembali meringis ketika teh Ine mulai mengocok penisku dengan cepat. Gila perempuan ini! Dia melakukannya di depan kakaknya sendiri walaupun tidak kelihatan karena terhalang meja.
“Saya cuma merasa segar dengan udara Bandung yang dingin ini..”, Jawabku sekenanya.
“Ooo begitu.., saya pikir kamu sakit perut.., habis tampangmu meringis-meringis begitu..”, Orang tua itu terkekeh sambil memalingkan mukanya ke jalan raya.
Begitu kakaknya berpaling, teh Ine dengan cepat merebahkan
kepalanya ke pangkuanku sehingga dari arah ayah Anto, teh Ine tak tampak lagi.
Dengan cepat tangannya memelorotkan celanaku sehingga penisku yang masih
digenggamnya dengan erat itu terasa dingin terterpa angin. Sejenak perempuan
itu memandang penis besarku itu.., ia selalu memberikan kesempatan pada matanya
untuk menikmati ukuran dan kekokohannya. Kemudian teh Ine menjulurkan lidahnya
dan mulai menjilat mengelilingi lubang penisku.., kemudian ia memasukkan ujung
lidahnya ke ujung lubang penisku dan mengecap cairan beningku.., lalu lidahnya
diturunkan lagi-lagi ke urat di bawah penisku. Aku mulai menggelinjang-gelinjang
tak karuan, walaupun dengan hati-hati takut ketahuan oleh kakak teh Ine yang
duduk di depanku.
Tanganku mulai meraba-raba buah dadanya yang besar itu dan
meremasnya dengan gemas, “sss.., teeehh..”, desisku agak keras ketika perempuan
itu dengan kedua bibirnya menyedot urat di bawah kepala penisku itu..,
sementara tangannya meremas-remas kedua bolaku…, aawwww nikmatnya…, aku begitu
terangsang sehingga seluruh pori-pori kulitku meremang dan mukaku berwarna
merah. Aku sudah dalam tahap ingin menindih dan sesegera mungkin memasukkan
penisku ke dalam vagina perempuan ini tapi semua itu tak mungkin kulakukan di
depan kakaknya yang masih duduk di depanku menikmati lalu lalang kendaraan di
depan rumahnya.
Tiba-tiba bibir teh Ine bergerak dengan cepat ke kepala
penisku.., sambil terus kupermainkan putingnya kulihat ia membuka mulutnya
dengan lebar dan tenggelamlah seluruh penisku ke dalam mulutnya. Aku kembali
mendesis dan meringis sambil tetap duduk di meja makan mendengarkan ocehan
orang tua Anto yang kembali mengajakku berbincang. Mulut teh Ine dengan cepat
menghisap dan bergerak maju mundur di penisku. Tanganku menarik dasternya ke
atas dari arah punggung sehingga terlihatlah pantatnya yang mulus tidak
ditutupi oleh selembar benangpun. Aku ingin menjamah vaginanya, ingin rasanya
kumasukkan jari-jariku dengan kasar ke dalamnya dan kukocok-kocok dengan keras
tapi aku sudah tak kuat lagi. Jilatan lidah, kecupan, dan sedotan teh Ine di
penisku membuat seluruh syarafku menegang.
Tiba-tiba kujambak rambut teh Ine dan kutekan sekuat-kuatnya
sehingga seluruh penisku tenggelam ke dalam mulutnya. Kurasakan ujung penisku
menyentuh langit-langit tenggorokan teh Ine dan, “Creeet…, creeett…, creeettt”,
menyemburlah cairan maniku ke mulut teh Ine.
“Ahh…, aahh.., aahh.., tetteeehh…”, Aku meringis dan mendesis
keras ketika cairan maniku bersemburan ke dalam mulut teh Ine.
Perempuan itu dengan lahap menjilati dan menelan seluruh
cairanku sehingga penisku yang hampir layu kembali sedikit menegang karena
terus-terusan dijilat. Aku memejamkan mataku.., gilaa.., permainan ini
benar-benar menakjubkan. Ada rasa was-was karena takut ketahuan, tapi rasa
was-was itu justru meningkatkan nafsuku. Teh Ine memandang penisku yang sudah
agak mengecil namun tetap saja dalam posisi tegak.
“Luar biasa…”, Bisiknya, “Siap-siap nanti malam yah?” Katanya
sambil bangkit dan beranjak ke dapur.
Aku cukup kagum dengan prestasi yang kucapai di rumah ini. Baru
2 bulan di Bandung, aku sudah bisa meniduri 2 orang wanita yang sudah lama
tidak pernah menikmati sentuhan lelaki. Dan wanita-wanita itu, aku yakin akan
selalu termimpi-mimpi akan besar dan nikmatnya gesekan penisku di dalam vagina
mereka. –




Post a Comment