Kisah
ini terilhami oleh pengalaman nyata seorang wanita yang benar-benar terjadi.
Nama dan tempat kejadian dalam cerita ini telah dirubah dan direvisi sedemikian
rupa namun jalan cerita tidak menyimpang dari peristiwa yang sebenarnya
terjadi. Selamat membaca!
Namaku
Reni. Umurku hampir mendekati kepala 3. Sudah menikah sejak 5 tahun yang lalu
namun belum dikarunia anak. Suamiku berusia lebih tua dariku dengan jarak yang
cukup jauh. Kehidupan kami bisa dibilang bahagia, bisa juga dibilang tidak.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara aku dan suamiku tidak ada permasalahan yang
pelik dan tidak mengancam pernikahan kami. Hanya saja dalam masalah kehidupan
seksual ada sedikit permasalahan yang menurut kami berdua bukan merupakan ancaman.
Kondisi
ini mungkin akibat belum adanya tanda-tanda kami akan dikaruniai anak. Kami
rasakan hubungan intim antara aku dan suami jadi hambar, tidak seperti
tahun-tahun pertama pernikahan kami yang penuh dengan gelora, penuh dengan
cinta yang membara. Dan saat ini kami melakukannya hanya sekedar kewajiban
saja, tidak seperti dulu. Nampaknya kami pun tidak mempermasalahkan ini.
Akhirnya kami jadi sibuk mencari kegiatan masing-masing untuk menghilangkan
kejenuhan ini. Suamiku semakin giat bekerja dan usahanya semakin maju. Aku pun
demikian dengan mencari kegiatan lain yang bisa menhgilangkan kejenuhanku. Kami
sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing sehingga waktu untuk bermesraan
semakin jarang. Namun kelihatannya kami bisa menikmati kehidupan seperti ini
dan tidak mengakibatkan permasalahan yang berarti.
Keadaan
ini berlangsung cukup lama hingga suatu saat terjadi hal baru yang mewarnai
kehidupan kami, khususnya kehidupan pribadiku sendiri. Ketika itu kami mendapat
khabar bahwa ayahku yang berada di lain kota bermaksud datang ke tempat kami.
Suamiku langsung menyatakan kegembiraannya dan tanpa menunggu persetujuanku ia
mengharapkan ayahku cepat-cepat datang. Dia bilang sudah sangat rindu sekali
karena bisa bertemu kembali setelah pertemuan terakhir ketika kami menikah
dahulu. Demikian pula dengan ayahku, katanya kepada suamiku mengatakan bahwa ia
pun sangat rindu terutama kepadaku, anaknya yang tersayang. Aku hanya bisa
memandang suamiku yang tengah menerima telepon dengan perasaan gundah.
Setelah
mendapat khabar itu, aku jadi sering melamun. Aku jadi gelisah menunggu
kedatangan ayahku. Sebenarnya ia bukan ayah kandungku. Ia aalah ayah tiri. Ia
menikahi ibuku ketika aku sudah remaja. Ketika itu ayahku masih bujangan dan
usianya berbeda cukup jauh dengan ibuku. Kehidupan kami saat itu berlangsung
normal. Tahun demi tahun berjalan dan akupun mulai tumbuh semakin dewasa.
Permasalahan mulai muncul ketika ibuku mulai sakit-sakitan. Mungkin juga karena
usia.
Di
sinilah awal dari segalanya. Ayahku yang masih muda dan penuh vitalitas merasa
kurang terpenuhi kebutuhannya dan mulai mencari-cari jalan keluarnya.
Celakanya, yang menjadi sasaran adalah diriku sendiri. Saat itu aku masih
sangat muda dan tidak mengerti apa-apa. Ayahku ini sangat pandai mengelabuiku
sehingga akhirnya aku terperangkap oleh semua akal bulusnya. Aku tidak berani
mengadukan hal ini kepada ibu. Takut malah akan membuatnya semakin parah.
Tetapi aku pun tak bisa menjamin bahwa ia tidak mengetahui apa yang terjadi
antara ayah dengan diriku. Sampai akhirnya ibuku wafat meninggalkanku sendiri,
anak semata wayangnya, untuk dititipkan pada ayah.
Sepeninggal
ibu, ayah semakin menjadi-jadi. Aku tak bisa berbuat banyak karena hidupku
sangat tergantung kepadanya. Beruntunglah beberapa tahun kemudian aku mendapatkan
jodoh dan menikah dengan suamiku yang sekarang. Aku diboyong meninggalkan
rumahku ke kota yang sangat jauh jaraknya. Itulah pengalaman yang sangat
kusesalkan hingga hari ini.
“Hei,
sayang!” tiba-tiba suamiku membuyarkan lamunanku.
“Kok
malah ngelamun? Ayo kita berangkat sekarang, kasihan nanti ayahmu terlalu lama
menunggu di stasiun kereta”, lanjutnya seraya mengambil kunci mobil untuk
segera berangkat menjemput ayah.
Ketika
sampai di stasiun, suamiku langsung mencari-cari ayahku sementara aku mengikutinya
dari belakang dengan perasaan serba tak karuan. Gelisah, khawatir serta ada
sedikit rasa rindu karena sudah lama tak bertemu, bercampur menjadi satu.
Suamiku langsung berteriak gembira ketika menemukan sosok seorang pria yang
tengah duduk sendiri di ruang tunggu. Orang itu langsung berdiri dan
menghampiri kami. Ia lalu berpelukan dengan suamiku. Saling melepas rindu. Aku
memperhatikan mereka. Aku agak terkesima karena ternyata ayahku tak berubah
banyak dari ketika kutinggalkan dahulu. Ia nampak masih muda, meski kulihat ada
beberapa helai uban di rambutnya. Tubuhnya masih tegap dan berotot.
Kelihatannya ia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya berolah raga sejak dulu.
“Hei
Reni. Apa khabar, sayangku”, sapa ayah kemudian ketika selesai berpelukan dengan
suamiku.
“Ayah,
apa khabar? Sehat-sehat saja khan?” balasku setengah terpaksa untuk
berbasa-basi.
Ayahku
mengembangkan kedua tangannya sambil menghampiriku. Aku sempat bingung
menghadapinya dan dengan spontan melirik pada suamiku yang kelihatannya seperti
tahu apa yang kupikirkan. Ia menganggukan kepalanya seolah menyuruhku untuk
menyambut rentangan tangan ayah.
Aku
lalu menghampiri ayahku. Ia langsung menyambutnya dengan memelukku. Aku terpana
dengan pelukannya yang erat dan kurasakan ayahku sesenggukan. Menangis sambil
berbisik betapa rindunya ia padaku. Aku jadi tak tega dan dengan refleks, balas
memeluknya sambil berkata bahwa aku baik-baik saja dan merasa rindu juga
kepadanya.
Ia
bersyukur bahwa masih ada orang yang merindukannya sambil terus memelukku
dengan erat. Aku jadi serba salah. Pelukannya jadi lain dan bahkan aku merasa
tubuhnya sengaja didesakan padaku. Aku berusaha untuk mendorongnya secara halus
dan jangan sampai hal ini diketahui suamiku. Ayahku masih juga genit! Ia
sengaja menggesek-gesekan tubuhnya padaku! Dasar lelaki celamitan, runtukku
dalam hati.
“Ayo
kita ke rumah”, kata suamiku kemudian. Aku bersyukur bisa terlepas dari
pelukannya dan buru-buru menjauh.
Aku
lalu dengan sengaja memamerkan kemesraan dihadapan ayahku dengan memeluk
pinggang suamiku sambil menyandarkan kepala di dadanya. Suamiku balas memeluk
sambil berjalan menuju tempat parkir sementara ayahku hanya tersenyum melihat
semua ini. Aku tak tahu apa arti senyum itu. Aku hanya ingin memperlihatkan
semua ini kepadanya. Aku juga tak tahu apakah aku ingin membuatnya cemburu atau
apa?
Sejak
adanya ayah di rumah, memang ada perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan
kami. Sekarang suasana di rumah lebih hangat, penuh canda dan gelak tawa.
Ayahku memang pandai membawa diri, pandai mengambil hati orang. Termasuk
suamiku. Ia begitu senang dengan kehadirannya. Ia jadi lebih betah di rumah.
Ngobrol bersama, jalan-jalan bersama. Dan yang lebih menggembirakan lagi,
suamiku jadi lebih mesra kepadaku. Ia jadi sering mengajakku berhubungan intim.
Aku turut gembira dengan perubahan ini. Tadinya aku sempat khawatir akan
kehadiran ayah yang akan membuat masalah baru. Tetapi ternyata tidak. Justru
sebaliknya!
Namun
dibalik itu aku agak was-was juga karena kemesraan suamiku ternyata atas saran
ayahku. Katanya ia banyak memberi nasihat bagaimana cara membahagiakan seorang
istri. Hah? Aku terperanjat mendengar ini. Jangan-jangan..? Akh.., aku tak mau
berpikir sejauh itu. Rasa kekhawatiranku ternyata beralasan juga. Karena
seringkali secara diam-diam, ayah menatapku. Dari tatapannya aku sudah bisa
menduga. Ia sudah mulai berani menggodaku meski hanya berupa senyuman ataupun
kerlingan nakal. Aku tak pernah melayaninya. Aku tak mau suamiku tahu akan hal
ini.
Kekhawatiran
berkembang menjadi rasa takut. Malam itu suamiku memberitahu bahwa ia akan
pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya selama beberapa hari. Aku terkejut
dan berupaya mencegahnya agar jangan pergi.
“Memangnya
kenapa? Toh biasanya juga aku suka keluar kota untuk bisnis, bukan untuk main-main”,
katanya kemudian.
“Bukan
itu. Aku masih kangen sama kamu”, jawabku mencari alasan.
“Aku
cuma tiga hari. Mungkin kalau bisa cepet selesai, bisa dua hari aku sudah
kembali”, kata suamiku lagi.
“Kamu
di sini kan ada ayah, juga Si Inah. Jadi tak perlu takut ditinggal sendiri.”
Justru
itu yang kutakutkan, kataku tetapi hanya dalam hati. Aku tak bisa mencari alasn
lain lagi karena khawatir justru dia malah curiga dan semuanya jadi ketahuan.
Akhirnya aku hanya bisa mengiyakan dan berpesan agar dia cepat-cepat pulang.
Hari
pertama kepergian suamiku ke luar kota tak ada peristiwa yang mengkhawatirkan
meski ayahku lebih berani menggoda. Ada saja alasannya agar aku bisa berdekatan
dengannya. Bikinkan kopi lah, ambilkan Koran lah dan entah apa lagi alasannya.
Ia mencoba menggoda dengan memegang tanganku pada saat memberikan Koran
padanya. Buru-buru kutarik tanganku dan pergi ke kamar meninggalkannya.
Aku
jadi semakin hati-hati terhadapnya. Pintu kamar selalu kukunci dari dalam.
Tetapi masih saja aku kecolongan sampai suatu ketika terulang kembali
perisitiwa masa lalu yang sering kusesalkan. Sore itu aku habis senam seperti
biasanya sekali dalam seminggu. Setelah mandi aku langsung makan untuk kemudian
istirahat di kamar. Mungkin karena badan terasa penat dan pegal sehabis senam,
aku jadi mengantuk dan langsung tertidur. Celakanya, aku lupa mengunci pintu
kamar. Setengah bermimpi, aku merasakan tubuhku begitu nyaman. Rasa penat dan
pegal-pegal tadi berangsur hilang. Bahkan aku merasakan tubuhku bereaksi aneh. Rasa
nyaman sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang membuatku
melayang-layang. Aku seperti dibuai oleh hembusan angin semilir yang menerpa
bagian-bagian peka di tubuhku. Tanpa sadar aku menggeliat merasakan semua ini
sambil melenguh perlahan.
Dalam
tidurku, aku mengira ini perbuatan suamiku yang memang akhir-akhir ini suka
mencumbuku di kala tidur. Namun begitu ingat bahwa ia masih di luar kota, aku
segera terbangun dan membuka mataku lebar-lebar. Hampir saja aku menjerit
sekuat tenaga begitu melihat ayah sambil tersenyum tengah menciumi betisku,
sementara dasterku sudah terangkat tinggi-tinggi hingga memperlihatkan seluruh
pahaku yang putih mulus.
“Ayah!
Ngapain ke sini?” bentakku dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si
Inah pembantuku.
“Reni,
maafkan ayah. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang”, ia malah berkata
seperti itu bukannya malu didamprat olehku.
“Ayah
nggak boleh. Keluar, saya mohon”, pintaku menghiba karena kulihat tatapan mata
ayah demikian liar menggerayang ke sekujur tubuhku.
Aku
buru-buru menurunkan daster menutupi pahaku. Aku beringsut menjauhinya dan
mepet ke ujung ranjang. Ayah kembali menghampiriku dan duduk persis di
sampingku. Tubuhnya mepet kepadaku. Aku semakin ketakutan.
“Kamu
tidak kasihan melihat ayah seperti ini? Ayolah, kita khan pernah melakukannya”,
desaknya.
“Jangan
bicarakan masa lalu. Aku sudah melupakannya dan tak akan pernah mengulanginya”,
jawabku dengan marah karena diingatkan perisitiwa yang paling kusesali.
“OK.
Ayah nggak akan cerita itu lagi. Tapi kasihanilah ayahmu ini. Sudah
bertahun-tahun tidak pernah merasakannya lagi”, lanjutnya kemudian.
Ayah
lalu bercerita bahw ia tak pernah berhubungan dengan wanita lain selain ibu dan
diriku. Dia tak pernah merasa tertarik selain dengan kami. Aku setengah tak
percaya mendengar omongannya. Ia memang pandai sekali membuat wanita
tersanjung. Dan entah kenapa akupun merasakan hal seperti itu. Ketika kutatap
wajahnya, aku jadi trenyuh dan berpikir bagaimana caranya untuk menurunkan
hasrat ayah yang kelihatan sudah menggebu-gebu. Aku tahu persis ayah akan
berbuat apapun bila sudah dalam keadaan seperti ini. Akhirnya aku mengalah dan
mau mengocok batangnya agar ia bisa tenang kembali.
“Baiklah..”,
kata ayahku seakan tidak punya pilihan lain karena aku ngotot tak akan
memberikan apa yang dimintanya.
Mungkin
inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam
keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut
nafsunya untuk kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana pendeknya. Ugh!
Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya
kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Aku agak
terkesima juga melihat batang ayah yang masih gagah perkasa, padahal usianya
sudah tidak muda lagi.
Tanganku
bergerak canggung. Bagaimananpun juga baru kali ini aku memegang kontol orang
selain milik suamiku meski dulu pernah merasakannya juga. Tapi itu dulu sekali.
Perlahan-lahan tanganku menggenggam batangnya. Kudengar ayah melenguh seraya
menyebut namaku. Aku mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah ayah meringis
menahan remasan lembut tangannku pada batangnya. Aku mulai bergerak turun naik
menyusuri batangnya yang sudah teramat keras. Sekali-sekali ujung telunjukku
mengusap moncongnya yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya.
Kudengar ayah kembali melenguh merasakan ngilu akibat usapanku. Aku tahu ayah
sudah sangat bernafsu sekali dan mungkin dalam beberapa kali kocokan ia akan
menyemburkan air maninya. Selesai sudah, pikirku mulai tenang.
Dua
menit, tiga sampai lima menit berikutnya ayah masih bertahan meski kocokanku
sudah semakin cepat. Kurasakan tangan ayah menggerayang ke arah dadaku. Aku
kembali mengingatkan agar jangan berbuat macam-macam.
“Biar
cepet keluar..”, kata ayah memberi alasan.
Aku
tidak mengiyakan dan juga tidak menepisnya karena kupikir ada benarnya juga.
Biar cepat selesai, kataku dalam hati. Ayah tersenyum melihatku tidak
melarangnya lagi. Ia dengan lembut mulai meremas-remas payudara di balik
dasterku. Aku memang tidak mengenakan kutang setiap akan tidur, jadi remasan
tangan ayah langsung terasa karena kain daster itu sangat tipis. Sebagai wanita
normal, aku merasakan kenikmatan atas remasan ini. Apalagi tanganku menggenggam
batangnya dengan erat, setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski
dalam hati aku sudah bertekad untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi
kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini selesai ayah tidak akan
berbuat lebih jauh lagi seperti dulu.
“Reni
sayang.., buka ya? Sedikit aja..”, pinta ayah kemudian.
“Jangan
Yah. Tadi khan sudah janji nggak akan macam-macam..”, ujarku mengingatkan.
“Sedikit
aja. Ya?” desaknya lagi seraya menggeser tali daster dari pundakku sehingga
bagian atas tubuhku terbuka.
Aku
jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah
telanjang. Nafas ayahku semakin memburu kencang melihatku setengah telanjang.
“Oh..,
Reni kamu benar-benar cantik sekali”, pujinya sambil memilin-milin puting
susuku.
Aku
terperangah. Situasi sudah mulai mengarah pada hal yang tidak kuinginkan. Aku
harus bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, langsung kumasukan batang ayah ke
dalam mulutku dan mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-cepat selesai dan
tidak berlanjut lebih jauh lagi. Aku sudah tidak memperdulikan perbuatan ayah
pada tubuhku. Aku biarkan tangannya dengan leluasa menggerayang ke sekujur
tubuhku, bahkan ketika kurasakan bibirnya mulai menciumi buah dadaku pun aku
tak berusaha mencegahnya. Aku lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan semua
ini secepatnya. Jilatan dan kulumanku pada batang kontolnya semakin mengganas
sampai-sampai ayahku terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutku.
Aku
tambah bersemangat dan semakin yakin dengan kemampuanku untuk membuatnya segera
selesai. Keyakinanku ini ternyata berakibat fatal bagiku. Sudah hampir setengah
jam, aku belum melihat tanda-tanda apapun dari ayahku. Aku jadi penasaran,
sekaligus merasa tertantang. Suamiku pun yang sudah terbiasa denganku, bila
sudah kukeluarkan kemampuan seperti ini pasti takkan bertahan lama. Tapi kenapa
dengan ayahku? Apa ia memakai obat kuat?
Saking
penasarannya, aku jadi kurang memperhatikan perbuatan ayah padaku. Entah sejak
kapan daster tidurku sudah terlepas dari tubuhku. Aku baru sadar ketika ayah
berusaha menarik celana dalamku dan itu pun terlambat! Begitu menengok ke
bawah, celana itu baru saja terlepas dari ujung kakiku. Aku sudah telanjang
bulat! Ya ampun, kenapa kubiarkan semua ini terjadi. Aku menyesal kenapa
memulainya. Ternyata kejadiannya tidak seperti yang kurencanakan. Aku terlalu
sombong dengan keyakinanku. Kini semuanya sudah terlambat. Berantakan semuanya!
Pekikku dalam hati penuh penyesalan.
Situasi
semakin tak terkendali. Lagi-lagi aku kecolongan. Ayah dengan lihainya dan
tanpa kusadari sudah membalikkan tubuhku hingga berlawanan dengan posisi
tubuhnya. Kepalaku berada di bawahnya sementara kepalanya berada di bawahku.
Kami sudah berada dalam posisi enam sembilan! Tak lama kemudian kurasakan
sentuhan lembut di seputar selangkanganku. Tubuhku langsung bereaksi dan tanpa
sadar aku menjerit lirih. Suka tidak suka, mau tidak mau, kurasakan kenikmatan
cumbuan ayahku di sekitar itu. Akh luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil
menyesali diri. Aku marah pada diriku sendiri, terutama pada tubuhku sendiri
yang sudah tidak mau mengikuti perintah pikiran sehatku.
Tubuhku
meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidah ayah. Kedua pahaku mengempit
kepalanya seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam selangkanganku. Kuakui ia
memang pandai membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah lupa dengan siasat
semula. Aku sudah terbawa arus. Aku malah ingin mengimbangi permainannya.
Mulutku bermain dengan lincah. Batangnya kukempit dengan buah dadaku yang
membusung penuh dan masih kenyal.
Sementara
kontol itu bergerak di antara buah dadaku, mulutku tak pernah lepas
mengulumnya. Tanpa kusadari kami saling mencumbu bagian vital masing-masing
selama lima belas menit. Aku semakin yakin kalau ayah memakai obat kuat. Ia
sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan keluar, sementara aku sudah
mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak cepat ke arah pusat kewanitaanku.
Jilatan dan hisapan mulut ayah benar-benar membuatku tak berdaya. Aku semakin
tak terkendali. Pinggulku meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh aliran
darah serasa terhenti dan aku tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang
lahar panas yang mengalir begitu cepat.
“Auugghh..!”
aku menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahananku.
Kurasakan
cairan kewanitaanku menyembur tak tertahankan. Tubuhku menggelepar seperti ikan
terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Aku terkulai lemas sementara
batang kontol ayah yang berada dalam genggamanku masih mengacung dengan
gagahnya, bahkan terasa makin kencang saja. Aku mengeluh karena tak punya
pilihan lain. Sudah kepalang basah. Aku hanya tergolek lemah tak berdaya saat
ayah mulai menindih tubuhku. Dengan lembut ia mengusap wajahku dan berkata
betapa cantiknya aku sekarang ini.
“Kau
sungguh cantik. Kini kau sudah dewasa. Tubuhmu indah dan jauh lebih berisi..,
mmpphh..”, katanya sambil menciumi bibirku, mencoba membuka bibirku dengan
lidahnya.
Aku
seakan terpesona oleh pujiannya. Cumbu rayunya begitu menggairahkanku. Aku
diperlakukan bagai sebuah porselen yang mudah pecah. Begitu lembut dan
hati-hati. Hatiku semakin melambung tinggi mendengar semua kekagumannya
terhadap tubuhku. Wajahku yang cantik, tubuhku yang indah dan kini jauh lebih
berisi. Payudaraku yang membusung penuh dan menggantung indah di dada.
Permukaan perut yang rata, pinggul yang membulat padat berisi menyambung dengan
buah pantatku yang ‘bahenol’. Diwajah ayah kulihat memperlihatkan ekspresi
kekaguman yang tak terhingga saat matanya menatap nanar ke arah lembah bukit di
sekitar selangkanganku yang dipenuhi bulu-bulu hitam lebat, kontras dengan
warna kultiku yang putih mulus. Kurasakan tangannya mengelus paha bagian dalam.
Aku mendesis dan tanpa sadar membuka kedua kakiku yang tadinya merapat.
Ayah menempatkan
diri di antara kedua kakiku yang terbuka lebar. Kurasakan kontolnya ditempelkan
pada bibir kemaluanku. Digesek-gesek, mulai dari atas sampai ke bawah. Naik
turun. Aku merasa ngilu bercampur geli dan nikmat. Cairan yang masih tersisa di
sekitar itu membuat gesekannya semakin lancar karena licin. Aku terengah-engah
merasakannya. Kelihatannya ia sengaja melakukan itu. Apalagi saat moncong
kontolnya itu menggesek-gesek kelentitku yang sudah menegang. Ayah menatap
tajam melihat reaksiku. Aku balas menatap seolah memintanya untuk segera
memasuki diriku secepatnya.
Ia tahu
persis apa yang kurasakan saat itu. Namun kelihatannya ia ingin melihatku
menderita oleh siksaan nafsuku sendiri. Kuakui memang aku sudah tak tahan untuk
segera menikmati batang kontolnya dalam memekku. Aku ingin segera membuatnya
‘KO’. Terus terang aku sangat penasaran dengan keperkasaannya. Kuingin buktikan
bahwa aku bisa membuatnya cepat-cepat mencapai puncak kenikmatan.
“Yah..?”
panggilku menghiba.
“Apa
sayang”, jawabnya seraya tersenyum melihatku tersiksa.
“Cepetan..”
“Sabar
sayang. Kamu ingin ayah berbuat apa?” tanyanya pura-pura tak mengerti.
Aku tak
menjawab. Tentu saja aku malu mengatakannya secara terbuka apa keinginanku saat
itu. Namun ayah sepertinya ingin mendengarnya langsung dari bibirku. Ia sengaja
mengulur-ulur dengan hanya menggesek-gesekan kontolnya. Sementara aku
benar-benar sudah tak tahan lagi mengekang birahiku.
“Reni
ingin ayah segera masukin..”, kataku akhirnya dengan terpaksa.
Aku
sebenarnya sangat malu mengatkan ini. Aku yang tadi begitu ngotot tidak akan
memberikan tubuhku padanya, kini malah meminta-minta. Perempuan macam apa aku
ini!?
“Apanya
yang dimasukin”, tanyanya lagi seperti mengejek.
“Akh
ayah. Jangan siksa Reni..!”
“Ayah
tidak bermaksud menyiksa kamu sayang.”
“Oohh..,
ayah. Reni ingin masukin kontol ayah ke dalam memek Reni..uuggh..”, aku kali
ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya
menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu.
Aku
merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Aku hampir tak percaya mendengar
ucapan itu keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata, memang aku sangat
menginginkannya segera.
“Baiklah
sayang. Tapi pelan-pelan ya”, kata ayahku dengan penuh kemenangan telah
berhasil menaklukan diriku.
“Uugghh..”,
aku melenguh merasakan desakan batang kontolnya yang besar itu.
Aku
menunggu cukup lama gerakan kontol ayah memasuki diriku. Serasa tak
sampai-sampai. Selain besar, kontol ayah cukup panjang juga. Aku sampai menahan
nafas saat batangnya terasa mentok di dalam. Rasanya sampai ke ulu hati. Aku
baru bernafas lega ketika seluruh batangnya amblas di dalam. Ayah mulai
menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan. Satu, dua dan tiga tusukan mulai
berjalan lancar. Semakin membanjirnya cairan dalam liang memekku membuat kontol
ayah keluar masuk dengan lancarnya. Aku mengimbangi dengan gerakan pinggulku.
Meliuk perlahan. Naik turun mengikuti irama tusukannya.
Gerakan
kami semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah
tidak beraturan karena yang penting bagiku tusukan itu mencapai bagian-bagian
peka di dalam relung kewanitaanku. Ayah tahu persis apa yang kuinginkan. Ia
bisa mengarahkan batangnya dengan tepat ke sasaran. Aku bagaikan berada di
surga merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Batang ayahku menjejal penuh
seluruh isi liangku, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan
batang itu sangat terasa di seluruh dinding vaginaku.
“Aduuhh..
auuffhh.., nngghh..”, aku meintih, melenguh dan mengerang merasakan semua
kenikmatan ini.
Kembali
aku mengakui keperkasaan dan kelihaian ayahku di atas ranjang. Ia begitu hebat,
jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan padanya. Yang pasti aku
merasakan kepuasan tak terhingga bercinta dengannya meski kusadari perbuatan
ini sangat terlarang dan akan mengakibatkan permasalahan besar nantinya. Tetapi
saat itu aku sudah tak perduli dan takkan menyesali kenikmatan yang kualami.
Ayah
bergerak semakin cepat. Kontolnya bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitive.
Aku meregang tak kuasa menahan desiran-desiran yang mulai berdatangan seperti
gelombang mendobrak pertahananku. Sementara ayah dengan gagahnya masih
mengayunkan pinggulnya naik turun, ke kiri dan ke kanan. Eranganku semakin
keras terdengar seiring dengan gelombang dahsyat yang semakin mendekati
puncaknya. Melihat reaksiku, ayah mempercepat gerakannya. Batang kontolnya yang
besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan
liangku yang sempit itu akan terkoyak akibatnya.
Kulihat
tubuh ayah sudah basah bermandikan keringat. Aku pun demikian. Tubuhku yang
berkeringat nampak mengkilat terkena sinar lampu kamar. Aku mencoba meraih
tubuh ayah untuk mendekapnya. Dan disaat-saat kritis, aku berhasil memeluknya
dengan erat. Kurengkuh seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhku dengan erat.
Kurasakan tonjolan otot-ototnya yang masih keras dan pejal di sekujur tubuhku.
Kubenamkan wajahku di samping bahunya. Pinggul kuangkat tinggi-tinggi sementara
keduan tanganku menggapai buah pantatnya dan menekannya kuat-kuat. Kurasakan
semburan demi semburan memancar kencang dari dalam diriku. Aku meregang seperti
ayam yang baru dipotong. Tubuhku mengejang-ngejang di atas puncak kenikmatan
yang kualami untuk kedua kalinya saat itu.
“Ayah..,
oohh.., Yaahh..”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku saking dahsyatnya
kenikmatan yang kualami bersamanya.
“Sayang
nikmatilah semua ini. Ayah ingin kamu dapat merasakan kepuasan yang belum
pernah kamu alami”, bisik ayah dengan mesranya.
“Ayah
sayang padamu, ayah cinta padamu. Ayah ingin melampiaskan kerinduan yang
menyesak selama ini..”, lanjutnya tak henti-henti membisikan untaian kata-kata
indah yang terdengar begitu romantis.
Aku
mendengarnya dengan perasaan tak menentu. Kenapa ini datangnya dari lelaki yang
bukan semestinya kusayangi. Mengapa keindahan ini kualami bersama ayahku
sendiri, meski ayah tiri tetapi sudah seperti ayah kandungku sendiri. Tanpa
terasa air mata menitik jatuh ke pipi. Ayah terkejut melihat ini. Ia nampak
begitu khawatir melihatku menangis.
“Reni
sayang, kenapa menangis?” bisiknya buru-buru.
“Maafkan
ayah kalau telah membuatmu menderita..”, lanjutnya seraya memeluk dan
mengelus-elus rambutku dengan penuh kasih sayang.
Aku
semakin sedih merasakan ini. Tetapi ini bukan hanya salahnya. Aku pun berandil
besar dalam kesalahan ini. Aku tidak bisa menyalahkannya saja. Aku harus jujur
dan adil menyikapinya.
“Ayah
tidak salah. Reni yang salah..”, kataku kemudian.
“Tidak
sayang. Ayah yang salah”, katanya besikeras.
“Kita,
Yah. Kita sama-sama salah”, kataku sekaligus memintanya untuk tidak
memperdebatkan masalah ini lagi.
“Terima
kasih sayang”, kata ayahku seraya menciumi wajah dan bibirku.
Kurasakan
ciumannya di bibirku berhasil membangkitkan kembali gairahku. Aku masih
penasaran dengannya. Sampai saat ini ayah belum juga mencapai puncaknya. Aku
seperti mempunyai utang yang belum terbayar. Kali ini aku bertekad keras untuk
membuatnya mengalami kenikmatan seperti apa yang telah ia berikan kepadaku. Aku
sadar kenapa diriku menjadi antusias untuk melakukannya dengan sepenuh hati. Biarlah
terjadi seperti ini, toh ayah tidak akan selamanya berada di sini. Ia harus
pulang ke kampungnya. Aku berjanji pada diriku sendiri, ini merupakan yang
terakhir kalinya.
Timbulnya
pikiran ini membuatku semakin bergairah. Apalagi sejak tadi ayah terus-terusan
menggerakan kontolnya di dalam memekku. Tiba-tiba saja aku jadi beringas.
Kudorong tubuh ayah hingga terlentang. Aku langsung menindihnya dan menicumi
wajah, bibir dan sekujur tubuhnya. Kembali kuselomoti batang kontolnya yang
tegak bagai tiang pancang beton itu. Lidahku menjilat-jilat, mulutku
mengemut-emut. Tanganku mengocok-ngocok batangnya. Kulirik ayah kelihatannya
menyukai perubahanku ini. Belum sempat ia akan mengucapkan sesuatu, aku
langsung berjongkok dengan kedua kaki bertumpu pada lutut dan masing-masing
berada di samping kiri dan kanan tubuh ayah. Selangkanganku berada persis di
atas batangnya.
“Akh
sayang!” pekik ayahku tertahan ketika batangnya kubimbing memasuki liang
memekku.
Tubuhku
turun perlahan-lahan, menelan habis seluruh batangnya. Selanjutnya aku bergerak
seperti sedang menunggang kuda. Tubuhku melonjak-lonjak seperti kuda binal yang
sedang birahi. Aku tak ubahnya seperti pelacur yang sedang memberikan kepuasan
kepada hidung belang. Tetapi aku tak perduli. Aku terus berpacu. Pinggulku
bergerak turun naik, sambil sekali-sekali meliuk seperti ular. Gerakan
pinggulku persis seperti penyanyi dangdut dengan gaya ngebor, ngecor,
patah-patah, bergetar dan entah gaya apalagi. Pokoknya malam itu aku
mengeluarkan semua jurus yang kumiliki dan khusus kupersembahkan kepada ayahku
sendiri!
“Ouugghh..
Renii.., luar biasa!” jerit ayah merasakan hebatnya permainanku.
Pinggulku
mengaduk-aduk lincah, mengulek liar tanpa henti. Tangan ayah mencengkeram kedua
buah dadaku, diremas dan dipilin-pilin. Ia lalu bangkit setengah duduk.
Wajahnya dibenamkan ke atas dadaku. Menciumi puting susuku. Menghisapnya
kuat-kuat sambil meremas-remas. Kami berdua saling berlomba memberi kepuasan.
Kami tidak lagi merasakan panasnya udara meski kamarku menggunakan AC. Tubuh
kami bersimbah peluh, membuat tubuh kami jadi lengket satu sama lain. Aku
berkutat mengaduk-aduk pinggulku. Ayah menggoyangkan pantatnya. Kurasakan
tusukan kontolnya semakin cepat seiring dengan liukan pinggulku yang tak kalah
cepatnya. Permainan kami semakin meningkat dahsyat.
Sprei
ranjangku sudah tak karuan bentuknya, selimut dan bantal serta guling terlempar
berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang bertambah liar dan tak
terkendali. Kurasakan ayah mulai memperlihatkan tanda-tanda. Aku semakin
bersemangat memacu pinggulku untuk bergoyang. Mungkin goyangan pinggulku akan
membuat iri para penyanyi dangdut saat ini.
Tak
selang beberapa detik kemudian, akupun merasakan desakan yang sama. Aku tak
ingin terkalahkan kali ini. Kuingin ia pun merasakannya. Tekadku semakin kuat.
Aku terus memacu sambil menjerit-jerit histeris. Aku sudah tak perduli suaraku
akan terdengar kemana-mana. Kali ini aku harus menang! Upayaku ternyata tidak
percuma. Kurasakan tubuh ayah mulai mengejang-ngejang. Ia mengerang panjang.
Menggeram seperti harimau terluka. Aku pun merintih persis kuda betina binal
yang sedang birahi.
“Eerrgghh..
oouugghh..!” ayah berteriak panjang, tubuhnya menghentak-hentak liar.
Tubuhku
terbawa goncangannya. Aku memeluknya erat-erat agar jangan sampai terpental
oleh goncangannya. Mendadak aku merasakan semburan dahsyat menyirami seluruh
relung vaginaku. Semprotannya begitu kuat dan banyak membanjiri liangku. Akupun
rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam diriku. Sambil mendesakan
pinggulku kuat-kuat, aku berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan
berbarengan dengan ayahku.
Tubuh
kami bergulingan di atas ranjang sambil berpelukan erat. Saking dahsyatnya,
tubuh kami terjatuh dari ranjang. Untunglah ranjang itu tidak terlalu tinggi
dan permukaan lantainya tertutup permadani tebal yang empuk sehingga kami tidak
sampai terkilir atau terluka.
“Oohh..
ayaahh.., nikmaatthh!” jeritku tak tertahankan.
Tulang-tulangku
serasa lolos dari persendiannya. Tubuhku lunglai, lemas tak bertenaga terkuras
habis dalam pergulatan yang ternyata memakan waktu lebih dari 1 jam! Gila!
Jeritku dalam hati. Belum pernah rasanya aku bercinta sampai sedemikian
lamanya.
Aku
hanya bisa memeluknya menikmati sisa-sisa kepuasan. Perasaanku tiba-tiba
terusik. Sepertinya aku mendengar sesuatu dari luar pintu kamar, tetapi aku
terlalu lelah untuk memperhatikannya dan akhirnya tertidur dalam pelukan
ayahku, melupakan semua konsekuensi dari peristiwa di malam ini di kemudian
hari.TAMAT.




Post a Comment