Tanah Sunda sudah dikenal dengan gadis
cantiknya sejak dari dulu. Bahkan konon di jaman penjajahan Belanda banyak
tuan-tuan pemilik perkebunan yang mengawini wanita Sunda di sekitar lokasi
perkebunan untuk dijadikan istrinya. Aku mengenal Titin dari hobi jalan malam
di sekitar SM-Merdeka dan Siliwangi-Sukasari di Bogor.
Cerita ini bermula aku sedang
nongkrong di Wartel dekat pintu masuk Taman Topi ada wanita yang mondar-mandir
didekatku. Dia mengenakan pakaian seragam sebuah pabrik. Kukira dia lagi nunggu
temannya. Tidak lama kemudian ada seorang wanita lagi yang datang dan
mendekatinya. Mereka bicara dengan suara keras dan nada tinggi seperti sedang
memperdebatkan sesuatu. Aku tidak mau ikut campur dengan pembicaraan mereka.
Toh aku juga tidak tahu ujung pangkalnya.
Setelah dilerai oleh Satpam,
wanita yang datangnya belakangan akhirnya pergi dengan masih tetap memaki-maki
wanita pertama dengan bahasa Sunda. Aku yang hanya sedikit tau bahasa Sunda
masih belum bisa sepenuhnya menangkap apa yang sedang terjadi di dekatku. Aku
mulai tertarik dan memperhatikan mereka. Wanita pertama tadi hanya diam saja,
meskipun raut mukanya menunjukkan kekesalan. Kudekati dan kutanya,
“Kenapa Teh, maaf kelihatannya
lagi berantem. Apa sih masalahnya?”
“Nggak papa kok. Dia menuduhku
ada hubungan dengan suaminya. Padahal aku berhubungan dengan suaminya hanya
sebatas urusan pekerjaan,” katanya.
“Ya sudah, teteh kelihatannya
masih kesal. Minum es dulu yuk biar tenang,” kuajak dia untuk duduk minum di
kafe yang banyak terdapat di sana.
Kami pesan es buah. Kutawarkan
untuk makan tapi dia menolaknya.
“Terima kasih Aa. Saya teh
sudah nggak ada nafsu makan dan lagian masih kenyang,” katanya halus.
Akupun maklum saja. Mungkin
setelah bertengkar tadi meskipun perut lapar jadi tidak ada selera makan.
Setelah pesanan kami datang, ia mengaduk gelasnya perlahan-lahan dengan
sendoknya.
“Sudah tenang sekarang. Kalau
boleh tahu, apa sih masalah sebenarnya?” tanyaku.
“Saya memang belakangan ini
sering jalan dengan suaminya untuk urusan pekerjaan. Eh dianya cemburu ketika
ketemu kami di Cibinong,” jawabnya.
“Kan bisa dijelasin ama
suaminya?”
“Sudah, tapi dia nggak terima.
Dibilang saya gatel, wanita murahan dan lain-lainnya. Daripada saya ladenin,
nanti jadi makin rame saya tinggal pulang aja ke kantor. Eh dia belum puas dan
telpon ke kantor. Katanya tungguin nanti malam di Wartel sini agar bisa
selesai. Sampai di sinipun saya masih dimaki-maki. Untung dilerai sama Satpam”.
Akhirnya aku tahu dia bernama
Titin dan bekerja sebagai supervisor produksi di salah satu pabrik tekstil yang
memang banyak terdapat di sekitar Cibinong. Rumahnya di sekitar Biotrop. Suaminya
minggat dengan perempuan lain enam bulan lalu. Jadi statusnya sekarang
menggantung. Janda tidak, bersuamipun tidak juga. Dia belum punya anak. Janda
kembang gantung, pikirku. Badannya ramping cenderung kurus, kulitnya bersih
dengan dada membusung di balik seragamnya. Ada keindahan tersendiri melihat
seorang wanita dalam pakaian seragam. Eksotis.
Entah kenapa kalau ketemu
wanita seringkali statusnya janda. Tapi sebenarnya akupun tidak mau merusak
keperawanan seorang gadis. Bagiku berat bebannya. Lebih enjoy dengan janda atau
gadis yang sudah tidak perawan. Tidak usah mengajari lagi.
“Aku mau pulang, tapi pikiranku
suntuk. Dibawa tidurpun pasti nggak mau,” katanya lagi.
“Kalau gitu kita jalan ke
Puncak aja yuk. Menenangkan pikiran,” ajakku.
“Boleh, tapi jangan kemalaman
ya!”
“Nggak, kan rumahmu juga nggak
terlalu jauh ke Puncak”.
Aku mulai berpikir, pasti kami
nggak akan kemalaman, paling-paling kepagian. Kamipun segera menghabiskan
minuman dan segera berangkat ke Puncak. Sampai di daerah Cibogo, ia minta turun
dan mengajak berjalan kaki menyusuri jalan raya. Para GM yang sedang menjerat
mangsa menawarkan penginapan pada kami. Aku hanya menatap Titin dan ternyata
dia cuek aja dengan tawaran GM tadi.
Dinginnya udara Puncak mulai
terasa. Ia mulai kedinginan dan mendekapkan kedua tangannya di dadanya.
“Dingin?” tanyaku.
Titin hanya mengangguk saja.
Sambil jalan kulingkarkan tangan kiriku pada bahu kirinya. Ia menggelinjang
sedikit, sepertinya menolak pelukanku. Tapi tanganku tetap dibiarkan di
bahunya. Bahkan tangan kanannya melingkar di pinggangku dan mencubitku. Aku
menggerakkan pinggulku sedikit kegelian. Sampai di depan sebuah wisma kami
berhenti.
“Masuk yuk!” ajakku.
“Mau ngapain. Katanya nggak
sampai malam,” jawabnya. Ada nada keraguan atau mungkin juga kepura-puraan.
“Ngapain aja terserah kita
dong. Lagian kalau dua orang berbeda jenis masuk ke hotel ngapain?” pancingku.
“Tidur aja. Kamu merem, saya
merem. Aman kan,” katanya.
“Nggak mau. Kalau kamu merem
aku melek, sebaliknya kalau kamu melek aku yang merem, supaya ada yang jaga,”
kataku melempar umpan semakin dalam.
“Ayo. Tapi kamu janji jangan
macam-macam. Awas nanti,” katanya mengancamku.
Dari suaranya umpanku sudah
termakan. Tinggal tarik ulur tali saja agar ikannya tidak terlepas. Kami masuk
ke dalam kamar. Kuperiksa sebentar kelengkapannya. Jangan sampai lagi tanggung
room boy datang antar kekurangannya. Aku minta air putih saja untuk di dalam
kamar. Meskipun udara dingin, aku yakin nanti pasti perlu minum. Titin masuk ke
dalam kamar mandi dan sebentar kemudian terdengar suara air yang keluar dari
jepitan pintu gua. Wsshh dan tak lama suara guyuran air.
Aku keluar kamar, berdiri di
teras kamar sambil melihat suasana. Sepi, karena memang bukan week end. Aku
masuk lagi ke dalam kamar. Kebetulan Titin pun keluar dari kamar mandi. Pintu
keluar dan pintu kamar mandi berdekatan posisinya. Kupandangi wajah Titin,
kupegang tangannya dan dengan sekali tarikan ia sudah ada dalam pelukanku. Ia
sedikit meronta, tapi rasanya hanya penolakan pura-pura.
“Jangan.. Jangan!”
Kalau memang dia tidak mau,
pasti kami berdua tidak akan sampai ke kamar ini. Kucium bibirnya yang tipis.
Lemas sekali bibirnya sehingga terasa kenikmatan mulai menjalar, meskipun ia
belum membalas ciumanku. Kulepaskan lagi ciumanku dan kutatap matanya.
“Aku mohon.. Jangan.. Jangan.
Jangan disini sayang!” Ia mengakhiri kata-katanya dengan menyerbu bibir dan
mukaku kemudian menarikku ke ranjang.
“To, aku merasa kesepian dan
kedinginan. Kamu mau berikan kehangatan?”
Rasanya terbalik pertanyaan
itu. Mestinya aku yang tanya apakah dia mau bercinta denganku.
“Pasti. Kita akan sama-sama
puas malam ini”.
“Terima kasih To. Aku.. Aku..”.
Sambil berkata begitu ia
langsung mencium bibirku. Akupun langsung membalas ciumannya. Bibir kami saling
berpagut, lidah kami saling mendorong dan menjepit saling sedot. Cukup lama
kami menikmatinya. Bibirnya memang benar-benar terasa sangat lemas sehingga
dapat kupermainkan dan kuputar-putar dengan mulutku.
“Ayo puaskan aku sayang.. Ah.
Ah.” suaranya hanya mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun
telinganya.
Tangan kiriku mulai menjalar di
pahanya. Kusingkapkan roknya, benar-benar mulus sekali pahanya. Kuremas-remas
sampai ke pangkal pahanya. Ketika sampai di celana dalamnya, kutekankan jari
tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan ku gesek-gesekkan.
“Ah sayang. Kamu nakal sekali”.
Aku tidak menghiraukannya.
Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya dari luar. Tangannya
pun tak mau ketinggalan memegang bahkan mencengkeram keras kejantananku dari
luar. Terasa sakit tapi aku dapat menikmatinya.
“Kita tidak akan kemalaman
sekarang, tapi kepagian,” bisikku menggodanya.
“Biarin aja, saya besok shift
siang jam 3″.
Dengan ganasnya aku
menciuminya, seperti seekor kucing yang sedang melahap dendeng. Tangannya
bergerak ke bawah dan terus ke bawah. Ia membuka kancing bajuku dan melepasnya.
Kini setiap jengkal tubuhku bagian atas tak luput dari ciumannya. Kemudian ia
membuka resleting celanaku dan langsung mencengkeram penisku.
“Anto, punya kamu boleh juga.
Tidak besar tapi keras sekali. Apa ada wanita lain yang pernah merasakannya?”
Pertanyaan itu lagi. Kenapa
setiap wanita mau tahu apakah pria yang dikencaninya pernah tidur dengan wanita
lain.
“Ada, aku bukan perjaka lagi,”
jawabku tenang, yang penting adalah apa yang terjadi sekarang ini. Dan lagi
kelihatannya ia hanya sekedar bertanya tanpa mempedulikan jawabanku.
Belum selesai kata-kataku, ia
telah mengocok dan kadang meremas kejantananku. Pintar sekali ia memainkan adik
kecilku. Beberapa menit kemudian tegangan pada kejantananku sudah maksimal.
Tiang bendera sudah tegak berdiri, siap untuk melaksanakan apel malam. Kudorong
tubuhnya ke ranjang dan kemudian akupun langsung menerkam tubuhnya.
“Sabar sayang, buka bajunya
dulu donk.”
Kamipun membuka pakaian kami
masing-masing. Setelah telanjang bulat, langsung kubaringkan ia. Kuciumi senti
demi senti tubuh mulusnya. Dari atas ke bawah sampai kepada paha dalamnya.
Kurenggangkan kedua pahanya. Tercium aroma khas yang dipunyai seorang wanita.
Kurenggangkan labia mayora dan labia minoranya dengan jempol dan telunjukku.
“Ayo sayang.. Puaskan.. Aku..
Ya.. Ohh. Oohh.” Kata-katanya terus meracau, apalagi ketika aku melahap habis
biji kacangnya dengan mulutku, kadang kusedot, kuhisap, dan kugigit dengan
lembut.
“Ah.. Ennak ssayang.. Kamu
ppinnttarr. Ohh.. Oohh”
Aku sudah tidak mempedulikan
kata-katanya. Aku makin asyik dengan mainanku. Kulepaskan mulutku dan kutindih
dia. Kumasukkan jari tengah kiriku ke dalam lubang perlahan lahan. Tubuhnya
meronta-ronta seperti orang kesetanan, kedua payudaranya bergoyang kencang. Aku
pun meraih payudaranya itu. Dengan tangan kananku, kupelintir puting susunya
yang sebelah kiri dan mulutku kini menggigit halus puting kanannya. Sementara
jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin
cepat pula ia meronta.
Kuhentikan permainan tanganku
dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang kenikmatannya. Tanpa kesulitan
aku segera menembus guanya. Terasa basah dan hangat. Kugerakkan pinggulku dan
ia membalas dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya
mengimbangiku. Satu kakinya menjepit pahaku dan kaki lainnya dibuka lebar dan
disandarkan ke dinding kamar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit
kecil kulit dadanya sampai meninggalkan bekas kemerahan.
“Ciumi leher dan pundakku! Aku
sangat terangsang kalau dicium di situ,” rintihnya.
Kuikuti kemauannya dan sampai
akhirnya ia menggelinjang hebat, kedua tangannya mencengkeram keras kepalaku.
Pinggulnya naik menjemput kejantananku. Kutekankan kejantananku dalam-dalam dan
akhirnya ia mencapai orgasmenya. Ia terkulai lemas. Ditekan-tekannya pantatku
ke bawah dengan tangannya.
Kemudian aku turun dari
tubuhnya dan membiarkannya beristirahat sebentar. Setelah napasnya pulih ia naik
ke atas tubuhku dan mulai mencium bibir, leher dan telingaku. Mulutku menghisap
kedua payudaranya. Terkadang kugigit putingnya bergantian. Ia hanya mengeluh
merasakan nikmatnya. Beberapa menit kemudian ia sudah terangsang lagi.
“Ayo sayang. Aku sudah siap
memuaskanmu di babak kedua..”
“Kita lakukan dengan berdiri,”
kataku berbisik di telinganya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.
Kuangkat tubuhnya berdiri di
samping ranjang. Kami masih saling berciuman dengan ganas. Ia kemudian
mengangkat kaki kirinya ke atas ranjang, kudorong sedikit sampai ia mepet ke
dinding kamar. Tangannya membimbing meriamku memasuki guanya. Pantatnya sedikit
disorongkan ke depan dan perlahan lahan meriamku masuk, sampai..
Blesshh..
Semuanya sudah terbenam di
dalam guanya. Oh hangatnya.
“Ayo sayang, goyang.. Sayang
ohh.. Ohh”
Kedua tangannya memegang
pantatku dan membantu gerakan pinggulku maju mundur. Rasanya nikmat sekali
bercinta sambil berdiri. Badannya ia lengkungkan ke belakang sehingga meriamku
dengan leluasa menobrak-abrik guanya. Pinggangnya juga bergerak-gerak
mengimbangi gerakanku. Mulutku tetap melakukan aktivitas di bagian atas
tubuhnya. Kadang berciuman, kadang menyedot dan mengulum putingnya. Cukup lama
aku mengocoknya, akhirnya kupercepat kocokanku ketika kurasakan lahar panas
akan keluar.
“Tin, oh.. Aku mau keluar. Di
keluarin dimana nih ohh. Oohh”.
“Tunggu sebentar. Aku juga mau
keluar, ohh. Ooohh sama-sama ya sayang.. Ohh.. Di dalam aja nggak apa-apa. Ohh
barengan yah.”
Akhirnya kutumpahkan spermaku
di dalam guanya. Aku mencapai klimaks duluan. Titin tidak bisa mencapai klimaks
yang kedua meskipun ia masih berusaha menggerakkan pantatnya maju mundur karena
meriamku sudah berangsur-angsur melemas dan akhirnya terlepas sendiri dari
dalam guanya.
Kami rebah berdampingan di
ranjang. Ia memelukku dan menciumku. Kuakui wanita satu ini memang luar biasa.
Tidak dengan setiap orang aku dapat melakukannya dengan berdiri. Aku sudah
coba. Tapi dengan Titin meskipun dia jauh lebih pendek dariku ternyata aku bisa
melakukannya.
“Sorry Tin. Aku nggak tahan
lagi. Nanti kita akan mulai lagi dengan santai dan saling menunggu sehingga
bisa mencapai klimaks bersama-sama. Terima kasih ya sayang. Kamu benar-benar
hebat.”
“Nggak apa-apa. Aku sudah dapat
duluan. Kamu juga hebat. Malam ini masih panjang. Kita tidak usah tidur sampai
pagi supaya dahagaku terpuaskan”.
Akhirnya sisa malam kami lalui
dengan berpelukan. Ia tersenyum kemudian menciumku dan merebahkan kepalanya di
dadaku. Malam itu kami masih melakukannya lagi tiga kali sampai pagi. Sekali
kami lakukan di lantai beralaskan selimut. Ternyata ketika bermain di lantai
kami bisa merasakan nikmat yang luar biasa. Gairah kami seakan-akan meledak
sampai seluruh badan terasa sakit dan ngilu. Tetapi setelah mandi pagi gairahku
kembali menyala dan aku masih sempat sekali lagi bergumul dengannya.




Post a Comment