Harga Sebuah Absen Ialah
Perawan
Kisahku yang satu ini terjadi sudah agak lama,
tepatnya pada akhir division 3, dua tahun yang lalu. Waktu itu adalah saat-saat
menjelang UAS. Seperti biasa, seminggu sebelum UAS nama-nama mahasiswa yang
tidak diperbolehkan ikut ujian karena berbagai sebab seperti over absen, telat
pembayaran, dan sebagainya tertera di papan pengumuman di depan TU fakultas.
Hari itu aku dibuat shock dengan tercantumnya namaku di daftar
cekal salah satu mata kuliah penting, 3 SKS pula. Aku sangat bingung di sana
tertulis absenku sudah 4 kali, melebihi batas maksimum 3 kali, apakah aku salah
menghitung, padahal di agendaku setiap absenku kucatat dengan jelas aku hanya 3
kali absen di mata kuliah itu.
Akupun accuse masalah ini dengan dosen yang bersangkutan yaitu
Pak Qadar, seorang dosen yang cukup chief di kampusku, Usianya 40-an,
berkacamata dan sedikit beruban, tubuhnya pendek kalau dibanding denganku hanya
sampai sedagu. Diajar olehnya memang enak dan mengerti namun dia agak cunihin,
karena suka cari-cari kesempatan untuk mencolek atau bercanda dengan mahasiswi
yang cantik pada jam kuliahnya termasuk juga aku pernah menjadi korban
kecunihinannya.
Karena sudah chief dan menjabat kepala jurusan, dia diberi
ruangan seluas 5×5 beat bersama dengan Bu Hany yang juga dosen chief merangkap
wakil kepala jurusan. Kuketuk pintunya yang terbuka setelah seorang mahasiswa
yang sedang bicara padanya pamitan.
“Siang Pak!” sapaku dengan senyum dipaksa.
“Siang, ada perlu apa?”
“Ini
Pak, saya mau tanya tentang absen saya, kok bisa lebih padahal di catatan saya
cuma tiga..,” demikian kujelaskan panjang lebar dan dia mengangguk-anggukkan
kepala mendengarnya.
Beberapa menit dia meninggalkanku untuk ke TU melihat daftar
absen lalu kembali lagi dengan map absen di tangannya. Ternyata setelah usut
punya usut, aku tertinggal satu jadwal kuliah tambahan dan cerobohnya aku juga
lupa mencatatnya di agendaku. Dengan memohon belas kasihan aku memelas padanya
supaya ada keringanan.
“Aduhh.. Tolong bell Pak, soalnya nggak ada yang memberitahu
saya tentang yang tambahan itu, jadi saya juga nggak tahu Pak, bukan salah saya
semua bell Pak.”
“Tapi kan Dik, anda sendiri harusnya tahu kalau absen yang tiga
sebelumnya anda bolos bukan karena sakit atau apa kan, seharusnya untuk
berjaga-jaga anda tidak absen sebanyak itu bell dulu.”
Beberapa saat aku tawar menawar dengannya namun ujung-ujungnya
tetap harga mati, yaitu aku tetap tidak boleh ujian dengan kata lain aku tidak
lulus di mata kuliah tersebut. Kata-kata terakhirnya sebelum aku pamit
hanyalah,
“Ya sudahlah Dik, sebaiknya anda ambil hikmahnya kejadian ini
supaya memacu anda lebih rajin di kemudian hari” dengan meletakkan tangannya di
bahuku.
Dengan lemas dan pucat aku melangkah keluar dari situ dan hampir
bertabrakan dengan Bu Hany yang menuju ke ruangan itu. Dalam perjalanan pulang
di mobilpun pikiranku masih kalut sampai mobil di belakangku mengklaksonku
karena tidak memperhatikan lampu sudah hijau.
Hari itu aku habis 5 batang rokok, padahal sebelumnya jarang
sekali aku mengisapnya. Aku sudah susah-susah belajar dan mengerjakan tugas
untuk mata kuliah ini, juga nilai UTS-ku 8, 8, tapi semuanya sia-sia hanya
karena ceroboh sedikit, yang ada sekarang hanyalah jengkel dan sesal. Sambil
tiduran aku memindah-mindahkan chanel ambit dengan remote, hingga sampailah aku
pada approach TV dari Taiwan yang kebetulan sedang menayangkan blur semi.
Terlintas
di pikiranku sebuah cara gila, mengapa aku tidak memanfaatkan sifat cunihinnya
itu untuk menggodanya, aku sendiri kan penggemar seks bebas. Cuma cara ini
cukup besar taruhannya kalau tidak kena malah aku yang malu, tapi biarlah tidak
ada salahnya mencoba, gagal ya gagal, begitu pikirku. Aku memikirkan rencana
untuk menggodanya dan menetapkan waktunya, yaitu abscessed jam 5 lebih,
biasanya jam itu kampus mulai sepi dan dosen-dosen lain sudah pulang. Aku cuma
berharap saat itu Bu Hany sudah pulang, kalau tidak rencana ini bisa tertunda
atau mungkin gagal.
Keesokan harinya aku mulai menjalankan rencanaku dengan
berdebar-debar. Kupakai pakaianku yang seksi berupa sebuah baju tanpa lengan
berwarna biru dipadu dengan rok putih menggantung beberapa senti diatas lutut,
gilanya adalah dibalik semua itu aku tidak memakai bra maupun celana dalam.
Tegang juga rasanya baru pertama kalinya aku keluar rumah tanpa pakaian dalam
sama sekali, seperti ada perasaan aneh mengalir dalam diriku.
Birahiku naik membayangkan yang tidak-tidak, terlebih hembusan
AC di mobil semakin membuatku bergairah, udara dingin berhembus menggelikitik
kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa. Karena agak macet, aku baru tiba di
kampus jam setengah enam, kuharap Pak Qadar masih di kantornya. Kampus sudah
sepi saat itu karena saat menjelang ujian banyak kelas sudah libur, kalaupun
masuk batten cuma untuk pemantapan atau kuis saja.
Aku naik lift ke tingkat tiga. Seorang karyawan dan dua
mahasiswa yang selift denganku mencuri-curi pandang ke arahku, suatu hal yang
biasa kualami karena aku sering berpakaian seksi cuma kali ini bedanya aku
tidak pakai apa-apa di baliknya. Entah bagaimana reaksi mereka kalau tahu ada
seorang gadis di tengah mereka tidak berpakaian dalam, untungnya pakaianku
tidak terlalu ketat sehingga lekukan tubuhku tidak terjiplak. Akupun sampai ke
ruang dia di sebelah lab. Bahasa dan kulihat lampunya masih nyala. Kuharap Bu
Hany sudah pulang kalau tidak sia-sialah semuanya. Jantungku berdetak lebih
kencang saat kuketuk pintunya.
“Masuk!” sahut suara dari dalam.
“Selamat abscessed Pak!”
“Oh, kamu Citra yang kemarin, ada apa lagi nih?” katanya sambil
memutar kursinya yang menghadap komputer ke arahku.
“Itu..
Pak mau membicarakan masalah yang kemarin lagi, apa masih ada keringanan buat
saya”
“Waduh.. Kan Bapak sudah bilang dari kemarin bahwa tanpa surat
opname atau ijin khusus, kamu tetap dihitung absen, disini aturannya memang
begitu, harap anda maklum”
“Jadi sudah tidak ada tawar-menawar lagi Pak?”
“Maaf Dik, Bapak tidak bisa membantumu dalam hal ini”
“Begini saja Pak, saya punya penawaran terakhir untuk Bapak,
saya harap bisa menebus absen saya yang satu itu, bagaimana Pak?”
“Penawaran.. Penawaran, memangnya pasar pakai tawar-menawar
segala,” katanya dengan agak jengkel karena aku terus ngotot.
Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menutup pintu dan
menguncinya, lalu berjalan ke arahnya dan langsung duduk diatas meja tepat
disampingnya dengan menyilangkan kaki. Tingkahku yang nekad ini membuatnya
salah tingkah. Selagi dia masih terbengong-bengong kuraih tangannya dan
kuletakkan di betisku.
“Ayolah
Pak, saya percaya Bapak pasti bisa nolongin saya, ini penawaran terakhir saya,
masa Bapak nggak tertarik dengan yang satu ini” godaku sambil merundukkan badan
ke arahnya sehingga dia dapat melihat belahan payudaraku melalui leher bajuku
yang agak rendah.
“Dik.. Kamu kamu ini.. Edan juga..” katanya terpatah-patah
karena gugup.
Wajahku mendekati wajahnya dan berbisik pelan setengah mendesah,
“Sudahlah Pak, tidak usah pura-pura lagi, nikmati saja selagi bisa.”
Dia makin terperangah tanpa mengedipkan matanya ketika aku mulai
melepaskan kancing bajuku satu-persatu sampai kedua payudaraku dengan puting
pink-nya dan perutku yang rata terlihat olehnya. Tanpa melepas pandangannya
padaku, tangannya yang tadinya cuma memegang betisku mulai merambat naik ke
paha mulusku disertai sedikit remasan. Kuturunkan kakiku yang tersilang dan
kurenggangkan pahaku agar dia lebih leluasa mengelus pahaku. Dengan setengah
berdiri dia meraih payudaraku dengan tangan yang satunya, setelah tangannya
memenuhi payudaraku dia meremasnya pelan diiringi desahan pendek dari mulutku.
“Dadamu
bagus juga yah dik, kencang dan montok,” pujinya
Dia lalu mendekatkan mulutnya ke arah payudaraku, sebuah jilatan
menyapu telak putingku disusul dengan gigitan ringan menyebabkan benda itu
mengeras dan tubuhku bergetar. Sementara tangannya yang lain merambah lebih
jauh ke dalam rokku hingga akhirnya menyentuh pangkal pahaku. Dia berhenti
sejenak ketika jari-jarinya menyentuh kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa
“Ya ampun Dik, kamu tidak pakai dalaman apa-apa ke sini!?”
tanyanya terheran-heran dengan keberanianku.
“Iyah Pak, khusus untuk Bapak.. Makanya Bapak harus tolong saya
juga.”
Tiba-tiba dengan bernafsu dia bentangkan lebar-lebar kedua
pahaku dan menjatuhkan dirinya ke kursi kerjanya. Matanya seperti mau copot
memandangi kemaluanku yang merah merekah diantara bulu-bulu hitam yang lebat.
Sungguh tak pernah terbayang olehku aku duduk diatas meja mekakangkan kaki di
hadapan dosen yang kuhormati. Sebentar kemudian lidah Pak Qadar mulai menjilati
bibir kemaluanku dengan rakusnya. Lidahnya ditekan masuk ke dalam kemaluanku
dengan satu jarinya mempermainkan klitorisku, tangannya yang lain dijulurkan ke
atas meremasi payudaraku.
“Uhh..
.!” aku benar-benar menikmatinya, mataku terpejam sambil menggigit bibir bawah,
tubuhku juga menggelinjang oleh sensasi permainan lidah dia. Aku mengerang
pelan meremas rambutnya yang tipis, kedua paha mulusku mengapit erat kepalanya
seolah tidak menginginkannya lepas. Lidah itu bergerak semakin cheat menyapu
dinding-dinding kemaluanku, yang batten enak adalah ketika ujung lidahnya
beradu dengan klitorisku, duhh.. Rasanya geli seperti mau ngompol. Butir-butir
keringat mulai keluar seperti embun pada sekujur tubuhku.
Setelah
membuat vaginaku basah kuyup, dia berdiri dan melepaskan diri. Dia membuka
celana panjang beserta celana dalamnya sehingga ‘burung’ yang dari tadi sudah
sesak dalam sangkarnya itu kini dapat berdiri dengan dengan tenggak.
Digenggamnya benda itu dan dibawa mendekati vaginaku.
“Bapak masukin sekarang aja yah Dik, udah nggak sabar nih”
“Eiit.. Sebentar Pak, Bapak kan belum ngerasain mulut saya nih,
dijamin ketagihan deh,” kataku sambil meraih penisnya dan turun dari meja.
Kuturunkan badanku perlahan-lahan dengan gerakan menggoda hingga
berlutut di hadapannya. Penis dalam genggamanku itu kucium dan kujilat perlahan
disertai sedikit kocokan. Benda itu bergetar hebat diiringi desahan pemiliknya
setiap kali lidahku menyapunya. Sekarang kubuka mulutku untuk memasukkan penis
itu. Hhmm.. Hampir sedikit lagi masuk seluruhnya tapi nampaknya sudah mentok di
tenggorokanku. Boleh juga penisnya untuk seusia dia, walaupun tidak seperkasa
orang-orang kasar yang pernah ML denganku, miliknya cukup kokoh dan dihiasi
sedikit urat, bagian kepalanya nampak seperti cendawan berdenyut-denyut.
Dalam
mulutku penis itu kukulum dan kuhisap, kugerakkan lidahku memutar mengitari
kepala penisnya. Sesekali aku melirik ke atas melihat ekspresi wajah dia
menikmati seponganku. Berdasarkan pengalaman, sudah banyak cowok kelabakan
dengan articulate sex-ku, mereka biasa mengerang-ngerang tak karuan bila
lidahku sudah beraksi pada penis mereka, Pak Qadar pun termasuk diantaranya.
Dia mengelus-elus rambutku dan mengelap dahinya yang sudah bercucuran keringat
dengan sapu tangan.
Namun
ada sedikit gangguan di tengah kenikmatan. Terdengar suara pintu diketuk
sehingga kami agak panik. Pak Qadar buru-buru menaikkan kembali celananya dan
meneguk air dari gelasnya. Aku disuruhnya sembunyi di bawah meja kerjanya.
“Ya.. Ya.. Sebentar tanggung ini hampir selesai,” sahutnya
membalas suara ketukan.
Dari bawah meja aku mendengar dia sudah membuka pintu dan
berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu. Kira-kira tiga menitan mereka
berbicara, Pak Qadar mengucapkan terima kasih pada orang itu dan berpesan agar
jangan diganggu dengan alasan sedang lembur dan banyak pekerjaan, lalu pintu
ditutup.
“Siapa
tadi itu Pak, sudah aman belum?” tanyaku setelah keluar dari kolong meja.
“Tenang cuma karyawan mengantar surat ini kok, yuk terusin lagi
Dik.”
Lalu dengan cueknya aku melepaskan baju dan rokku yang sudah
terbuka hingga telanjang bulat di hadapannya. Aku berjalan ke arahnya yang
sedang melongo menatapi ketelanjanganku, kulingkarkan lenganku di lehernya dan
memeluknya. Dari tubuhnya tercium balm khas parfum om-om. Dia yang memangnya
pendek terlihat lebih pendek lagi karena saat itu aku mengenakan sepatu yang
solnya tinggi.
Kudorong kepalanya di antara kedua gunungku, dia pasti keenakan
kuperlakukan seperti itu. Tiba-tiba aku meringis dan mendesis karena aku
merasakan gigitan pada puting kananku, dia dengan gemasnya menggigit dan
mencupangi putingku itu, giginya digetarkan pada bulatan mungil itu dan
meninggalkan jejak di sekitarnya. Tangannya mengelusi punggungku menurun hingga
mencengkram pantatku yang bulat dan padat.
“Hhmm.. Sempurna sekali tubuhmu ini Dik, pasti rajin dirawat
ya,” pujinya sambil meremas pantatku.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pujiannya lalu kubenamkan
kembali wajahnya ke payudaraku yang sebelah, diapun melanjutkan menyusu dari
situ. Kali ini dia menjilati seluruh permukaannya hingga basah oleh liurnya
lalu diemut dan dihisap kuat-kuat. Tangannya dibawah sana juga tidak bisa diam,
yang kiri meremas-remas pantat dan pahaku, yang kanan menggerayangi vaginaku
dan menusuk-nusukkan jarinya di sana. Sebagai respons aku hanya bisa mendesah
dan memeluknya erat-erat, darah dalam tubuhku semakin bergolak sehingga
walaupun ruangan ini ber-AC, keringatku tetap menetes-netes.
Mulutnya
kini merambat naik menjilati leher jenjangku, dia juga mengulum leherku dan
mencupanginya seperti Dracula memangsa korbannya. Cupangannya cukup keras
sampai meninggalkan bercak merah selama beberapa hari. Akhirnya mulutnya
bertemu dengan mulutku dimana lidah kami saling beradu dengan liar. Lucunya
karena dia lebih pendek, aku harus sedikit menunduk untuk bercumbuan dengannya.
Sambil berciuman tanganku meraba-raba selangkangannya yang sudah mengeras itu.
Setelah tiga menitan karena merasa pegal lidah dan susah bernafas kami
melepaskan diri dari ciuman.
“Masukin aja sekarang yah Pak.. Saya udah nggak tahan nih,”
pintaku sambil terus menurunkan resleting celananya.
Namun
belum sempat aku mengeluarkan penisnya, dia sudah terlebih dulu mengangkat
tubuhku. Wow, pendek-pendek gini kuat juga ternyata, dia masih sanggup
menggendongku dengan kedua tangan lalu diturunkan di atas meja kerjanya. Dia
berdiri diantara kedua belah pahaku dan membuka celananya, tangannya memegang
penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku. Tangan kananku meraih benda itu dan
membantu menancapkannya. Perlahan-lahan batang itu melesak masuk membelah bibir
vaginaku hingga tertanam seluruhnya.
“Ooohh..!” desahku dengan tubuh menegang dan mencengkram bahu
Pak Qadar.
“Sakit Dik?” tanyanya.
Aku
hanya menggeleng walaupun rasanya memang agak nyeri, tapi itu cuma sebentar
karena selanjutnya yang terasa hanyalah nikmat, ya nikmat yang semakin
memuncak. Aku tidak bisa tidak mendesah setiap kali dia menggenjotku, tapi aku
juga harus menjaga aggregate suaraku agar tidak terdengar sampai luar, untuk
itu kadang aku harus menggigit bibir atau jari. Dia semakin cepat
memaju-mundurkan penisnya, hal ini menimbulkan sensasi nikmat yang terus
menjalari tubuhku.
Tubuhku terlonjak-lonjak dan tertekuk sehingga payudaraku
semakin membusung ke arahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan dia yang
langsung melumat yang kiri dengan mulutnya dan meremas-remas yang kanan serta
memilin-milin putingnya. Tak absolutist kemudian aku merasa dunia makin
berputar dan tubuhku menggelinjang dengan dahsyat, aku mendesah panjang dan
melingkarkan kakiku lebih erat pada pinggangnya. Cairan bening mengucur deras
dari vaginaku sehingga menimbulkan bunyi kecipak setiap kali dia menghujamkan
penisnya. Beberapa detik kemudian tubuhku melemas kembali dan tergeletak di
mejanya di antara tumpukan arsip-arsip dan alat tulis.
Aku
hanya bisa mengambil nafas sebentar karena dia yang masih bertenaga melanjutkan
ronde berikutnya. Tubuhku dibalikkan telungkup diatas meja dan kakiku ditarik
hingga terjuntai menyentuh lantai, otomatis kini pantatku pun menungging ke
arahnya. Sambil meremas pantatku dia mendorongkan penisnya itu ke vaginaku.
“Uuhh..
Ngghh..!” desisku saat penis yang keras itu membelah bibir kemaluanku.
Dalam posisi seperti ini sodokannya terasa semakin keras dan
dalam, badanku pun ikut tergoncang hebat, payudaraku serasa tertekan dan
bergesekan di meja kerjanya. Pak Qadar menggenjotku semakin cepat, dengusan
nafasnya bercampur dengan desahanku memenuhi ruangan ini. Sebisa mungkin aku
menjaga suaraku agar tidak terlalu keras, tapi tetap saja sesekali aku menjerit
kalau sodokannya keras. Mulutku mengap-mengap dan mataku menatap dengan
pandangan kosong pada foto dia dengan istrinya yang dipajang di sana.
Beberapa menit kemudian dia menarik tubuh kami mundur beberapa
langkah sehingga payudaraku yang tadinya menempel di meja kini menggantung
bebas. Dengan begitu tangannya bisa menggerayangi payudaraku. Pak Qadar
kemudian mengajak ganti posisi, digandengnya tanganku menuju sofa. Dia
menjatuhkan pantatnya disana, namun dia mencegahku ketika aku mau duduk,
disuruhnya aku berdiri di hadapannya, sehingga kemaluanku tepat di depan
wajahnya.
“Bentar yah Dik, Bapak bersihin dulu punyamu ini,” katanya
seraya menempelkan mulutnya pada kerimbunan bulu-bulu kemaluanku.
“Sluurp.. Sshhrrp” dijilatinya kemaluanku yang basah itu, cairan
orgasmeku diseruputnya dengan bernafsu. Aku mendesis dan meremas rambutnya
sebagai respons atas tindakannya. Vaginaku dihisapinya selama sepuluh menitan.
Setelah puas aku disuruhnya naik kepangkuannya dengan posisi berhadapan.
Kugenggam penisnya dan kuarahkan ke lubangku, setelah rasanya pas kutekan
badanku ke bawah sehingga penis dia tertancap pada vaginaku. Sedikit demi
sedikit aku merasakan ruang vaginaku terisi dan dengan beberapa hentakan
masuklah batang itu seluruhnya ke dalamku.
20 menit lamanya kami berpacu dalam gaya demikian berlomba-lomba
mencapai puncak. Mulutnya tak henti-henti mencupangi payudaraku yang mencuat di
depan wajahnya, sesekali mulutnya juga mampir di pundak dan leherku. Akupun
akhirnya tidak tahan lagi dengan memuncaknya rasa nikmat di selangkanganku,
gerak naik turunku semakin cepat sampai vaginaku kembali mengeluarkan cukup
banyak cairan orgasme yang membasahi penisnya dan daerah selangkangan kami.
Semakin absolutist goyanganku semakin lemah, sehingga tinggal
dia saja yang masih menghentak-hentakkan tubuhku yang sudah lemas di
pangkuannya. Belakangan dia melepaskanku juga dan menyuruh menyelesaikannya
dengan mulut saja. Aku masih lemas dan duduk bersimpuh di lantai di antara
kedua kakinya, kugerakkan tangan kananku meraih penisnya yang belum ejakulasi.
Benda itu, juga bulu-bulunya basah sekali oleh cairanku yang masih hangat. Aku
membuka mulut dan mengulumnya.
Seiring
dengan tenagaku yang terkumpul kembali kocokanku pun lebih cepat. Hingga
akhirnya batang itu semakin berdenyut diiringi suara erangan parau dari
mulutnya. Sperma itu menyemprot langit-langit mulutku, disusul semprotan
berikutnya yang semakin mengisi mulutku, rasanya hangat dan kental dengan
aromanya yang accustomed denganku. Inilah saatnya menjajal teknik menyepongku,
aku berkonsentrasi menelan dan mengisapnya berusaha agar cairan itu tidak
terbuang setetespun.
Setelah perjuangan yang cukup berat akhirnya sempotannya makin
mengecil dan akhirnya berhenti sama sekali. Belum cukup puas, akupun
menjilatinya sampai bersih mengkilat, perlahan-lahan benda itu melunak kembali.
Pak Qadar bersandar pada daybed dengan nafas terengah-engah dan
mengibas-ngibaskan leher kemejanya. Setelah merasa segar kami kembali memakai
pakaian masing-masing. Dia memuji permainanku dan berjanji berusaha membantuku
mencari pemecahan masalah ini. Disuruhnya aku besok datang lagi pada jam yang
sama untuk mendengar keputusannya.
Ternyata
ketika besoknya aku datang lagi keputusannya masih belum kuterima, malahan aku
kembali digarapnya. Rupanya dia masih belum puas dengan pelayananku. Dan besok
lusanya yang kebetulan tanggal merah aku diajaknya ke sebuah auberge melati di
daerah Tangerang. Disana aku digarapnya setengah hari dari pagi sampai sore,
bahkan sempat aku dibuat pingsan sekali. Luar biasa memang daya tahannya untuk
seusianya walaupun dibantu oleh suplemen pria. Namun perjuanganku tidaklah
sia-sia, ketika sedang berendam bersama di bathtub dia memberitahukan bahwa aku
sudah diperbolehkan ikut dalam ujian.
“Kesananya berusaha sendiri yah Dik, jangan minta yang lebih
lagi, Bapak sudah perjuangkan hal ini dalam rapat kemarin,” katanya sambil
memencet putingku.
“Tenang aja Pak, saya juga tahu diri kok, yang penting saya
nggak mau perjuangan saya selama ini sia-sia,” jawabku dengan tersenyum kecil.
Akhirnya akupun lulus dalam mata kuliah itu walaupun dengan
nilai B karena UAS-nya lumayan sulit, lumayanlah daripada tidak lulus. Dan dari
sini pula aku belajar bahwa terkadang perjuangan itu perlu pengorbanan apa saja




Post a Comment