Kisah ini terjadi sekian tahun yang lalu ketika aku masih
berumur 15 tahun. Aku bersekolah di sebuah SMP favorit di kotaku dan ketika itu
masih duduk di kelas 3 SMP. Aku adalah anak terakhir dari 3 bersaudara dengan
kakakku yang tertua telah menjadi dokter umum dan kakakku yang satu lagi masih
kuliah di salah satu perguruan tinggi negri. Karena melihat keberhasilan kedua
kakakku, maka ayah dan ibuku pun menuntut hal yang sama dariku. Setiap kali aku
mendapatkan nilai yang jelek, pasti habislah aku terkena amarah dari kedua
orangtuaku. Bahkan ayah sering memukuliku dengan sabuknya.
Ketika itu aku mendapatkan nilai yang jelek di mata pelajaran
sejarah, karena aku memang tidak terlalu pandai di bidang itu. Karenanya,
makian dan cambukan ayah pun harus kuterima dengan lapang dada. Pamanku yang
bernama Winata, masih berumur 26 tahun sudah sering membelaku ketika ayah marah
karena aku mendapatkan nilai buruk. Tapi tampaknya pembelaannya sia-sia saja
karena semakin dia membelaku, bukannya kasihan, ayah justru semakin geram dan
Oom win selalu saja terkena makiannya pula.
Sambil menangis, aku
pun mengadu ke Oom Win tentang perlakuan ayah di kamarnya yang persis berada di
sebelah kamarku.
“Papa jahat, Oom”
“Sudah Anna, kamu tenang saja”
“Anna pengen mati aja Oom, badan Anna sakit semua dipukulin Papa terus”
“Hush jangan bilang gitu Anna, ayah tetap sayang kok sama kamu”
“Sudah Anna, kamu tenang saja”
“Anna pengen mati aja Oom, badan Anna sakit semua dipukulin Papa terus”
“Hush jangan bilang gitu Anna, ayah tetap sayang kok sama kamu”
Kemudian aku menyingkapkan dasterku dengan tujuan menunjukkan
pahaku yang sudah berwarna kebiru-kebiruan terkena pukulan ayah. Kemudian Oom
Win beranjak mengambil body lotion dan membaringkan aku yang masih
terisak-terisak di kasurnya.
“Sudah diam, jangan
menangis terus, sini Oom pijitin”
Oom win dengan kelembutannya mengoleskan body lotion itu di
pahaku dan memijit-memijit pahaku yang telah terbentang tanpa penutup di depan
matanya.
“Auch Oom pelan-pelan,
sakit Oom”
“Iya, Oom pelan-pelan kok Anna.”
“Iya, Oom pelan-pelan kok Anna.”
Karena memang aku sudah akrab dengan Oom Win sejak aku kecil,
kami tumbuh bersama lebih sebagai kakak adik daripada hubungan paman-kemenakan.
Kemudian Oom memegang bahuku untuk menenangkanku, tapi karena punggungku dan
bahuku juga terkena pukulan ayah, maka aku pun mengerang kesakitan.
“Auch Oom sakit sekali
punggung Anna”
“Coba kamu lepas saja daster nya Anna, biar Oom pijitin juga punggung kamu”
“Coba kamu lepas saja daster nya Anna, biar Oom pijitin juga punggung kamu”
Aku pun mengambil posisi tengkurap ketika Oom Win
memijat-memijat punggungku. Sesekali, tangannya yang lembut menyentuh bagian
paling sensitif dari tubuhku, terutama karena memang aku adalah remaja puber
yang baru saja mendapatkan perubahan-perubahan di tubuhku. Tangannya sesekali
menyentil bagian samping payudaraku, dan setiap kali itu pula badanku
menyentak-menyentak.
“Kenapa kamu Anna,
sakit ya?”
“Nggak kok Oom, cuman Anna kaget”
“Ooh, itu normal kok, tandanya kamu sudah dewasa”
“Nggak kok Oom, cuman Anna kaget”
“Ooh, itu normal kok, tandanya kamu sudah dewasa”
Pipiku memerah menahan malu, karena ternyata Oom Win mengetahui
apa maksudku. Kemudian dengan cepat Oom Win membalikkan badanku dan dia dapat
melihat payudaraku yang mulai tumbuh besar dengan pentilnya yang mencuat
dibawah miniset yang kupakai karena aku mulai terangsang, terutama karena
pandangannya yang menyapu bagian-bagian tertentu dari tubuhku itu.
“Wah Anna, kok susu
kamu sudah sebesar itu kamu masih pakai miniset?”
“Iya Oom, habis Anna
tidak tahu harus bagaimana”
“Besok pulang sekolah ikut Oom yah ke mall kita beli BH buat kamu”
“Oom serius?”
“Iya, tapi kamu tahu nggak ukurannya?”
“Wah kalau itu sih Anna nggak tahu Oom, gimana dong?”
“Coba sini Oom lihat”
“Besok pulang sekolah ikut Oom yah ke mall kita beli BH buat kamu”
“Oom serius?”
“Iya, tapi kamu tahu nggak ukurannya?”
“Wah kalau itu sih Anna nggak tahu Oom, gimana dong?”
“Coba sini Oom lihat”
Dengan cepat pula Oom Win menarik miniset yang kupakai, dan
refleks tanganku menutupi susuku yang tidak ditutupi dengan apapun juga.
Pelan-Pelan tangan Oom Win menarik tanganku yang menutupi susuku itu.
“Gila, Anna, susu
sebesar itu kamu masih pakai miniset. Kalau kamu di sekolah, pasti temen-temen
kamu sering melihat pentil kamu dong”
“Iya Oom, temen-temen Anna yang cowok kadang-kadang ada yang jahil pura-pura tak sengaja menyenggol Anna punya”
“Iya Oom, temen-temen Anna yang cowok kadang-kadang ada yang jahil pura-pura tak sengaja menyenggol Anna punya”
“Tuh kan, barang
segitu gede mustinya dibungkus yang bener, Anna”
Kemudian, dengan
tangannya Oom Win mulai memegang-memegang susuku, mengusap-mengusapnya dengan
body lotion tapi tidak menyentuh pentilnya.
“Wah ini pasti
ukurannya 34B”
“Kok Oom tahu?”
“Oom cuman kira-kira, Anna, besok kita tanya aja sama Mbaknya yang jaga toko, OK?”
“Kok Oom tahu?”
“Oom cuman kira-kira, Anna, besok kita tanya aja sama Mbaknya yang jaga toko, OK?”
Sebelum aku menjawab pertanyaan Oom Win, tiba-tiba mulutnya
sudah “ngempeng” di pentilku, karena kaget tubuhku tersentak dan bukannya
mengelak, aku pun malahan membusungkan dadaku ke arah Oom Win. Tiba-Tiba Oom
Win melepaskan mulutnya dari pentilku, dan seketika itu pula tubuhku semakin
maju mengikuti arah kepalanya.
“Enak nggak Anna?”
Dengan malu-malu aku mengangguk dan dengan liar Oom Win mulai
memegang-memegang susuku lagi, menggoyang-menggoyangkannya sambil
memilin-memilin putingku yang sudah keras sekali. Kemudian, Oom Win keluar dari
kamar dan ketika dia kembali, akan terjadi peristiwa yang lebih asik lagi.
Oom Win kembali ke
kamarnya ketika aku masih mengelus-mengelus putingku sendiri.
“Lho, Anna, kamu lagi
ngapain?”
“Um, um, lagi cobain sendiri Oom, ternyata geli-geli gimana gitu enak kok”
“Um, um, lagi cobain sendiri Oom, ternyata geli-geli gimana gitu enak kok”
Oom Win ternyata mengambil 2 butir telur dari lemari es.
Kemudian, dia mengikat kedua tanganku ke belakang (di belakang pinggang), dan
setelah itu mencium bibirku. Ketika tubuhku tersentak karena aku merasakan
pentilku telah beradu dengan benda dingin yang aneh, tanpa kusadari ternyata Oom
Win mengelus-mengelus kan telur-telur itu tadi ke kedua pentilku. Karena aliran
dingin itu pula, aku meronta-meronta kegelian dan tidak berdaya karena kedua
tanganku masih terikat.
Aku hanya bisa memaju mundurkan dadaku saja dan justru itu
menambah keasyikan sendiri ketika kedua putingku kembali menyentuh telur yang
dingin itu.
“Oom, Anna pengen
pipis.”
“Pipis aja disini, Anna, nggak Papa kok”
“Pipis aja disini, Anna, nggak Papa kok”
Karena memang aku belum pernah berhubungan sex sebelumnya,
cairan yang keluar kental dan tak henti-hentinya itu ternyata lendir birahiku
yang kuketahui setelah Oom Win sendiri menjelaskannya kepadaku.
Setelah “pipis” itu, aku merasakan badanku lemas terkulai.
Dengan tangan yang masih terikat, Oom Win mulai melucuti celana dalamku.
“Oom, jangan dibuka
Oom, Anna barusan aja pipis”
“Anna, biar Oom bersihkan pipisnya”
“Anna, biar Oom bersihkan pipisnya”
Kemudian Oom Win
melepas celana dalamku yang sudah basah oleh lendir perawanku. Dengan liar, Oom
Win menjilati memekku yang sudah basah itu.
“Geli ah Oom, kok Oom
nggak jijik jilatin pipis Anna?”
“Hmph, hmph, memek kamu kenyal Anna”
“Hmph, hmph, memek kamu kenyal Anna”
Justru mendengar kata-kata jorok dari Oom Win itulah berahiku
timbul lagi dan ketika memekku sudah merasakan nyot-nyotan yang hebat, aku pun
berteriak.
“Sudah Oom, Anna mau
pipis lagi”
Karena Oom Win benar-benar melepaskan lidahnya dari memekku,
pinggulku dengan selangkangannya yang telah terbuka lebar dan berlendir itu pun
terangkat. Kemudian setelah beberapa saat, Oom Win berbalik menjilatiku lagi.
Dan tak lama kemudian, aku pun mengerang hebat.
“Arghh Oom, Anna pipis
lagi Oom”
Cairan kental yang deras (lebih hebat dari yang pertama
kurasakan) mengalir kembali di memekku. Oom Win mulai melucuti pakaiannya dan
aku kaget melihat ujangnya berdiri tegak menantang.
“Lho kok bisa berdiri
gitu sih Oom?”
“Memang itu keistimewaan laki-laki, Anna, ade Oom ini bisa juga lemes dan lucu tapi bisa juga jadi gede dan tegak”
“Memang itu keistimewaan laki-laki, Anna, ade Oom ini bisa juga lemes dan lucu tapi bisa juga jadi gede dan tegak”
Pelan-Pelan Oom Win
mengarahkan ujangnya ke memekku.
“Oom, mau dimasukkan
kemana Oom, memek Anna tidak berlubang”
Dengan sabar Oom Win berkata, “Setiap memek perempuan berlubang, Anna dan lubang itu baru berguna setelah ada laki-laki yang mau masuk ke lubang itu”
“Tapi Anna tidak pernah melihat lubangnya, Oom”
“Nanti kamu juga merasakannya, tidak usah ingin melihatnya, Anna”
Dengan sabar Oom Win berkata, “Setiap memek perempuan berlubang, Anna dan lubang itu baru berguna setelah ada laki-laki yang mau masuk ke lubang itu”
“Tapi Anna tidak pernah melihat lubangnya, Oom”
“Nanti kamu juga merasakannya, tidak usah ingin melihatnya, Anna”
Daging yang kenyal itu (kepala ujang Oom Win) mulai
menggesek-menggesek bagian yang menonjol dari memekku, oleh karenanya cairan
yang keluar tadi mulai lagi mengalir di memekku dan aku merasa lagi kegelian.
Karena masih perawan,
maka lubang memekku mungkin memang sulit ditemukan oleh Oom Win. Sambil masih
terus menggosok-menggosokkan kepala ujangnya, Oom Win memijit-memijit bibir
memekku dan merekahkannya pelan-pelan. Dengan tangan yang masih terikat, aku
meronta-meronta.
“Oom, sakit Oom”
“Kamu mau kita cari lubang itu nggak?”
“Mau Oom”
“Kamu mau kita cari lubang itu nggak?”
“Mau Oom”
Oom Win mulai mengarahkan ujangnya ke lubang memekku.
Pelan-Pelan dia menggesek-menggesek kan kepala ujang itu dan aku mulai
merasakan adanya “lubang” di memekku. Pelan-Pelan sambil digosok-digosokkan
maju mundur, akhirnya clep, ujang Oom Win masuk menembus selaput daraku.
“Arhh Oom, sakit
sekali,” darah segar pun mengalir di selangkanganku.
Dengan ujangnya yang masih menancap, Oom Win hanya tersenyum
melihat reaksiku. Dia masih diam dan sambil pelan-pelan mengelus-mengelus
bahuku dan susuku. Setelah aku agak tenang, Oom Win memutar-memutar pinggulnya
sehingga aku merasa geli yang hebat di seluruh bagian rahimku dimana tertancap
ujang Oom Win. Daging yang kenyal itu melesak-melesak menyenggol-menyenggol
semua bagian seakan-seakan mengocok-mengocok isi perutku. Pelan-Pelan Oom Win
mulai menggenjot ujangnya dengan memaju mundurkan ujang nya dari lubang di
memekku.
“Memek kamu sempit
sekali Anna, dede Oom serasa dipijitin”
“Argh Oom, ah, geli ah..”
“Argh Oom, ah, geli ah..”
Oom Win tidak hanya menggenjotku, tapi meremas-meremas putingku
dengan liar, melumatnya dengan lidahnya mengecup-mengecupnya dan karena
tanganku yang masih terikat di belakang punggung, aku pun hanya pasrah atas apa
yang akan dilakukan Oom Win.
“Oomm Anna pipis lagi
Oom”
Dan ketika cairan kental itu keluar lagi dari memekku, Oom Win
masih menancapkan ujangnya di memekku sambil menunggu sampai gerak badanku agak
melemah.
Setelah itu, tubuhku diangkatnya dan kakiku dilingkarkan ke
pinggangnya, dan dia memainkan aku seperti bonekanya, naik turun dan oleh
karena gerakan itu juga, setiap kali tubuhku bergoyang-bergoyang, pentilku
bergesekan dengan dadanya yang berbulu tipis dan bidang itu. Kegelian yang
kurasakan makin hebat karena ujang Oom Win semakin melesak masuk ke dalam
lubangku itu.
Direbahkannya lagi tubuhku dan diganjalnya pinggangku dan
pantatku dengan tumpukan bantal sehingga memekku semakin terkuak lebar dan itu
memudahkan Oom Win untuk menancapkan ujangnya di lubangku. Pada posisi itu pula
akhirnya ujang Oom Win terasa berdenyut-berdenyut dan akhirnya menyemprotkan
cairan yang banyak bersamaan dengan orgasmku yang terakhir.
Setelah itu, aku pun terbaring lemas dan pelan-pelan Oom Win
melepaskan ikatan tanganku kemudian memandikan aku dan mengeringkanku dengan
penuh kelembutan.
“Sekarang Anna sudah
menjadi perempuan ya, Oom?”
“Iya, lubangnya ada kan Anna?”
“Eh iya Oom”
“Iya, lubangnya ada kan Anna?”
“Eh iya Oom”
“Tapi, sebagai
perempuan kamu tidak boleh sembrono memasukkan semua ujang-ujang ke dalam
lubang memekmu itu, apalagi kalau sampai ujang-ujang itu menyemprotkan cairan
seperti ujang Oom tadi”
“Kenapa Oom?”
“Karena cairan yang menyemprot itu berisi benih laki-laki, Anna. Kamu bisa saja hamil”
“Karena cairan yang menyemprot itu berisi benih laki-laki, Anna. Kamu bisa saja hamil”
Karena wajahku pusat pasi mengetahui kenyataan itu, Oom Win
menenangkan aku dan memberiku pil anti hamil untuk mencegah aku hamil.
Malam itu, aku tertidur
pulas setelah “pipis” untuk kesekian kalinya dari hasil memilin-memilin
puttingku sendiri. Setelah kejadian itu, setiap kali ayah memarahiku, lubangku
tidak pernah menganggur untuk diisi ujang oleh Oom Win.




Post a Comment