Aku lahir di Jakarta tahun 1989. Di saat itu mamaku baru berumur
17 tahun. Mama kawin muda karena alasan berbagai macam. Papa kandungku berasal
dari latar belakang yang cukup berada dengan bisnis/toko-toko electronic yang
lumayan terkenal di Jakarta. Kehidupan rumah tangga kami kurang begitu
harmonis. Papa sangat sibuk mengurus toko yang mana cabangnya di mana-mana.
Untung saja mama adalah fulltime housewife (ibu rumah tangga). Saat ini mamaku
baru saja berumur 36 tahun, dan masih tampak cantik dan berkulit putih bersih.
Di Jakarta, kami hanya
memiliki satu pembantu rumah tangga, tidak seperti rumah-rumah tangga yang
lainya, yang bisa memiliki lebih dari 2 pembantu rumah tangga. Aku hanya anak
tunggal, jadi cukup dengan 1 pembantu rumah tangga saja.
Aku mengalami puberitas sewaktu masih duduk di bangku 2 SMP. Aku
mengenal yang namanya blue film, cerita stensilan, dan game computer porno dari
teman-teman seperguruan. Kami sering kali bertukar blue film, atau
barang-barang pornografi. Sepertinya inilah yang membuatku menjadi sedikit
abnormal dengan masalah seksualitas, ditambah dengan kejadian-kejadian aneh di
rumah yang sering aku alami.
Posisi kamarku
bersebelahan langsung dengan kamar papa/mama.
Di tengah malam di saat ingin membuang air kecil, aku sering
mendengar desahan mama/papa di saat mereka sedang menikmati malam suami-istri
mereka. Pertama-tama aku sangat amat jijik dan risih mendengarnya, kemudian
menjadi biasa, dan pada waktu aku menginjak saat SMA/SMU, aku malah menjadi
penasaran saja apa yang mereka lakukan di balik pintu kamar.
Di kamar mama ada kipas angin yang menempel di dinding yang
digunakan untuk membuang udara dalam kamar keluar. Mama/papa sering lupa
menutup kipas angin tersebut di saat menyalakan AC.
Suatu malam, papa/mama sedang ‘gituan’ di dalam kamar, dan
mereka lagi-lagi mereka lupa menutup kipas angin mereka. Aku menjadi penasaran,
dan ingin mengintip apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar. Aku
mendengar jelas suara mama sedang mendesah dan mengeluh panjang, seperti atau
mirip dengan wanita-wanita yang pernah aku tonton di film-film bokep. Aku
menjadi sedikit kelainan, ingin sekali dan penasaran ingin melihat wajah mama
di saat sedang di-’gituin’ oleh papa.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengintip, meskipun aku
rasa takutku akan kepergok masih sama besarnya pula. Aku tarik kursi belajarku
pelan-pelan, kemudian aku taruh pas di bawah kipas angin. Dengan perlahan-lahan
aku naik ke kursi belajar, dan mencoba mengintip sedikit demi sedikit.
Untunglah situasi di luar kamar kami tampak gelap, hanya lampu di luar rumah
saja yang masih menyala, sehingga bisa mereka tidak mungkin dapat melihat
sosokku di balik kipas angin.
Kamar mama masih tampak remang-remang, hanya lampu di samping
ranjang mereka yang sedang menyala, namun masih tampak jelas seisi ruangan
kamar mereka. Kakiku seperti lemas langsung melihat mama merebah di atas
ranjang dengan selangkangannya terbuka lebar-lebar. Aku hanya melihat punggung
papa yang penuh dengan peluh keringat dan papa tampak asyik memainkan
pinggulnya maju mundur di selangkangan mama. Kedua tangan mama meremas-remas
selimut tipis, matanya terpejam, dan bibir mama hanya berkomat-kamit
seakan-akan menahan geli dan nikmat yang luar biasa. Jujur saja jantungku
berdegup kencang, dan aku pun ikut bernafsu melihat mereka sedang asyik di
sana.
Setelah beberapa menit kemudian, tubuh papa tiba-tiba bergetar
sedikit, dan papa mulai membuka suara yang amat pelan seperti memberikan
aba-aba kepada mama dan mama hanya mengangguk saja seperti mengerti apa yang
akan terjadi. Tak lama dari aba-aba papa, tiba-tiba tubuh papa bergetar hebat,
dan pinggulnya menekan dalam-dalam ke dalam selangkangan mama. Mama pun sama,
seperti sedang keenakan, mama menempelkan kedua telapak tangannya ke pantat
papa, dan menekannya dengan kencang, seperti ingin agar yang sedang masuk di
selangkangan mama itu tertanam dalam-dalam.
Mama mengeluh panjang, begitu juga dengan papa. Papa memeluk
mama yang sedang merebah di atas ranjang, sambil menciumi leher mama dengan
penuh nafsu.
Karena takut kepergok, aku cepat-cepat turun dan kabur dari
sana. Biasanya seabis keluhan panjang mama/papa, karena paling tidak salah satu
dari mereka pasti keluar dari kamar. Paling sering mama yang keluar dulu dari
kamar, dan langsung ke kamar mandi.
Malam itu aku ngga bisa tidur. Sosok mereka terbayang-bayang di
dalam otakku. Mama yang begitu cantik dan lembut, tampak binal dan merangsang
sekali di saat ‘begituan’ dengan papa. Seperti singa betina yang haus dengan
nafsu birahi. Untunglah papa juga singa jantan yang mampu memuaskan singa
betina yang haus itu.
Sejak saat itulah, aku tumbuh sedikit demi sedikit menjadi aneh.
Aku suka sekali membayangkan tubuh mamaku sendiri. Aku tau bahwa ini sangat
tidak benar. Puberitasku semakin berapi-api. Aku sering sekali mengintip mamaku
mandi atau sesekali mengintip sewaktu dia sedang ganti baju di kamarnya. Aku
tidak lagi mengintip aksi papa dan mama di dalam hari, karena ada perasaan ngga
senang atau jealous.
Tetapi kelainan yang aku alami ini aku simpan sendiri, dan tiada
satupun teman atau orang lain yang mengetahui sifat kelainanku ini. Perlu yang
para pembaca ketahui, bahwa aku masih suka menonton film biru, dan masih
terangsang saja melihat wanita lain dalam keadaan terlanjang di film biru atau
mengenakan pakaian seksi di tempat umum. Namun, di samping itu, aku pun juga
suka melihat mamaku sendiri dalam keadaan terlanjang. Aku lebih memilih untuk
berdiam diri, karena apabila bersuara sekali, bisa heboh dan rusak nama baikku.
Aku cukup memendam perasaan aneh ini lebih dari 3 tahun. Setelah
tamat SMA, aku langsung memutuskan untuk kuliah di kota Perth. Aku berangkat ke
sana sendirian, dan sempat tinggal di homestay selama 3 bulan, kemudian aku
memutuskan untuk tinggal di apartment sendiri dengan alasan kebebasan.
Beberapa minggu setelah aku tinggal di apartment, mamaku memberi
kabar bahwa dia akan datang menjengukku sekalian jalan-jalan di negeri
Australia. Rencana awal mama akan datang bersama papa dan adik mama. Namun
seperti biasanya, alasan sibuk papa selalu saja menjadi penghalang utama untuk
tidak ikut dengan mama. Adik mama sebenarnya ingin sekali datang, tapi karena
saudara sepupuku (anak dari adik mama) terkena cacar air, jadi urunglah niatnya
untuk datang bersama mamaku.
Aku jemput mamaku di airport hari Minggu pagi. Cuaca saat itu
lumayan sejuk, dan mungkin terasa dingin untuk mamaku yang datang langsung dari
kota Jakarta yang panasnya minta ampun. Aku bawa jaket cadangan, jaga-jaga
apabila mungkin mama kedinginan sewaktu keluar dari airport. Saat itu aku
sedang liburan pertengahan tahun selama 3 minggu. Jadi kunjungan mama ini tepat
pada waktunya.
Betapa gembiranya bisa bertemu mamaku lagi setelah beberapa
bulan berpisah. Setelah berpelukan melepas kangen/rindu, kami kemudian naik
taxi menuju apartementku. Selama perjalanan kami banyak berbincang-bincang.
Mama lebih banyak bertanya daripada aku, terutama tentang bagaimana kehidupanku
selama jauh dari orang tua.
Tak lebih dari setengah jam, kami sampai di apartmentku. Setelah
membayar uang taxi, kami langsung naik lift menuju kamar apartmentku. Kamar
apartmentku hanya ada 1 kamar, dan karena aku baru beberapa minggu pindah di
apartment ini, aku belum banyak membeli perabotan rumah. Ruang tamuku hanya ada
TV dan 1 bean bag sofa. Aku belum sempat membeli sofa beneran.
“Timmy, kamu kok jorok
banget! Apartmentmu berantakan sekali.” sambil mecubit pipiku. Aku hanya
tertawa saja.
“Sekarang mama mau kemana? Mau sarapan dulu?” tanyaku.
“Mama pengen tidur-tiduran dulu deh. Tadi mama sudah sarapan di pesawat. Timmy kalo mau sarapan, mama bikinin dah.” tawar mama.
“Hmmm … ngga usah dah … Timmy beli aja di Mc Donald. Breakfastnya lumayan kok. Mama tidur aja dulu.” jawabku. Mama lalu menggangguk, dan aku pun berangkat membeli breakfast meal di Mc Donald.
“Sekarang mama mau kemana? Mau sarapan dulu?” tanyaku.
“Mama pengen tidur-tiduran dulu deh. Tadi mama sudah sarapan di pesawat. Timmy kalo mau sarapan, mama bikinin dah.” tawar mama.
“Hmmm … ngga usah dah … Timmy beli aja di Mc Donald. Breakfastnya lumayan kok. Mama tidur aja dulu.” jawabku. Mama lalu menggangguk, dan aku pun berangkat membeli breakfast meal di Mc Donald.
Aku memutuskan untuk
sarapan di tempat saja, daripada di bawa pulang.
Setengah jam kemudian aku pulang ke apartment. Suasana di
apartementku hening. Kulihat bagasi mama sudah terbuka, aku bisa memastikan
mama sudah ganti pakaian. Kemudian ku cek kamarku, kulihat mama sedang tidur
pulas di atas ranjangku. Aku membiarkan dia beristirahat dulu. Sambil menunggu
mama bangun, aku menghabiskan waktu browsing-browsing Internet di laptopku.
Selang 3 jam kemudian,
mama tiba-tiba keluar dari kamar.
“Timmy, kamu lagi
ngapain?” tanya mama sambil mulutnya menguap ngantuk.
“Lagi main Internet, ma. Mama sudah lapar belon? Sudah jam 2 siang loh.” tanyaku.
“Belum seberapa lapar sih. Emang Timmy mau makan apa?” tanya mama balik.
“Hmmm … Timmy mau ajak mama makan di restoran Thailand deket sini. Enak banget deh, mama pasti doyan.” ajakku.
“Ok, mama ganti baju dulu yah” singkat mama. Aku pun menggangguk dan bersiap-siap diri.
“Lagi main Internet, ma. Mama sudah lapar belon? Sudah jam 2 siang loh.” tanyaku.
“Belum seberapa lapar sih. Emang Timmy mau makan apa?” tanya mama balik.
“Hmmm … Timmy mau ajak mama makan di restoran Thailand deket sini. Enak banget deh, mama pasti doyan.” ajakku.
“Ok, mama ganti baju dulu yah” singkat mama. Aku pun menggangguk dan bersiap-siap diri.
Mama mengambil baju lagi dari tas bagasinya, dan kemudian masuk
ke kamar untuk ganti pakaian. 5 menit kemudian mama keluar dari kamar. Siang
itu mama mengenakan kaus ketat, dan celana jeans. Tampak dada montok mama
menonjol. Aku jadi sedikit risih melihatnya, meskipun dalam hati ada perasaan
senang. Mama tampak seperti wanita yang baru berumur 25 tahunan. Padahal saat
itu mama sudah berumur 35 tahun.
Hari itu aku mengajak mama jalan-jalan melihat kota Perth. Mama
tampak hepi menikmati liburannya. Tidak bosan-bosannya mama mengambil foto dan
sesekali meminta orang yang sedang lewat untuk mengambil foto bersamaku. Dengan
wajah mama yang tidak seperti wanita berumur 35 tahun, kami seperti terlihat
sedang pacaran saja.
Kami jalan-jalan sampai larut malam, dan kami kembali ke
apartment sekitar jam 11 malam lebih. Badanku amat letih, begitu juga dengan
mama. Aku senang sekali mama bisa datang ke sini. Selain aku bisa dimanja, aku
juga bisa mengajaknya jalan-jalan kemana-mana.
“Mama mandi dulu aja.”
suruhku sambil memberi handuk bersih ke mama.
Sewaktu aku sedang
unpacking barang belanjaan kami seharian, tiba-tiba terdengar suara mama
sedikit teriak.
“Timmy, ini gimana ngunci kamar mandi. Kok mama ngga liat ada
kunci di sini?” tanya mama penasaran sambil tubuhnya dibalut handuk. Kulihat
pundak dan paha mama yang benar-benar mulus.
“Di sini emang sudah biasa ngga ada kunci di kamar mandi, ma. Sudah biasa aja orang sini.” jawabku.
“Iya, tapi mama ngga biasa.” protes mama kemudian balik ke kamar mandi.
“Di sini emang sudah biasa ngga ada kunci di kamar mandi, ma. Sudah biasa aja orang sini.” jawabku.
“Iya, tapi mama ngga biasa.” protes mama kemudian balik ke kamar mandi.
Tak lebih dari 10 menit, mama keluar dari kamar mandi. Malam itu
mama mengenakan kaus ketat dan celana boxer yang amat pendek (kira-kira 20 cm
dari lutut), sehingga tampak paha mama yang putih mulus dan juga kedua
payudaranya yang menonjol karena kaus ketatnya.
Mama kemudian duduk disebelahku seakan-akan melihat sedang apa
aku di depan laptopku. Bau sabun wangi terhirup dengan jelas dari tubuh mama.
Bau sabun yang tidak asing lagi bagiku.
“Timmy, kenapa kamu
belon beli sofa?” tanya mama.
“Belon sempat aja ma.” jawabku santai.
“Besok mau beli sofa? Mama beliin deh.” tawaran mama.
“Boleh aje …” jawabku santai.
“Timmy, sono mandi. Mama pinjam laptop dulu, mau emailin papa dulu.” sambung mama lagi. Tanpa perlu dikomando, aku kemudian bangkit dari bean bag sofa, dan langsung menuju kamar mandi.
“Belon sempat aja ma.” jawabku santai.
“Besok mau beli sofa? Mama beliin deh.” tawaran mama.
“Boleh aje …” jawabku santai.
“Timmy, sono mandi. Mama pinjam laptop dulu, mau emailin papa dulu.” sambung mama lagi. Tanpa perlu dikomando, aku kemudian bangkit dari bean bag sofa, dan langsung menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, diotakku sempat keluar pikiran jorok. Aku
berpikir ingin mengintip mama mandi besok, mumpung tidak ada kunci di kamar
mandi apartementku ini.
Setelah selesai mandi dan mengeringkan rambut, kulihat mama
masih asyik chatting dengan papa. Aku diminta mama juga ikutan membaca
chattingan mereka.
Jam telah menunjukkan pukul 1 pagi. Aku tidak kuat lagi menahan
rasa kantuk. Aku berpamitan untuk tidur dulu. Mama masih terlihat asyik
ber-chatting ria dengan papa.
Karena aku masih belon punya sofa beneran, malam itu aku tidur
bersama mama di satu ranjang. Untung tempat tidurku itu ukuran queen bed, jadi
cukup luas untuk 2 orang. Untung mama tidak sungkan atau risih dengan ide tidur
satu ranjang. Mungkin karena anak sendiri mungkin mama tidak menaruh curiga
atau risih.
Malam itu aku tidur nyenyak sekali, karena sehari sebelum-nya
aku kurang tidur karena harus menjemput mama pagi-pagi di airport.
Tepat pukul 8 pagi, aku membuka kedua mataku perlahan-lahan.
Sang surya telah terbit dengan cerahnya dibalik gorden/kerai kamar. Aku
merasakan ada sesuatu yang lembut dan empuk ditangan kananku. Perlahan-lahan
aku menoleh ke kanan, tampak mama yang masih tertidur lelap di samping kananku
sambil memeluk lengan kananku. Terasa hangat dan empuk payudara mama di lengan
kananku. Baju ketat yang mama kenakan itu terkesan tipis ditambah dengan mama
yang tidak mengenakan BH, sehingga terasa betul kekenyalan payudara mama. Wajah
mama bersembunyi dibalik lengan kanan atasku, sedangkan paha kanannya menimpa
paha atasku. Namun, kedua tubuh kami masih terbungkus selimut tebal.
Pagi itu lumayan dingin, jadi ini mungkin instinct mama (dibawah
sadar) untuk mencari kehangatan. Jadi tanpa sadar dia memeluk lenganku, agar
merasa hangat.
Perasaanku tidak karuan rasanya. Biasanya setiap bangun tidur,
mr junior pasti juga ikut bangun. Tapi pagi ini mr junior bangun dalam keadaan
yang benar-benar keras. Aku memilih untuk diam seperti patung. Aku tak ingin
goyang sedikit pun. Takut apabila aku goyang sedikit, mama bakalan merubah
posisinya lagi.
Jam menunjukkan pukul 9 kurang. Berarti aku telah hampir 1 jam
lamanya diam seperti patung. Posisi mama pun tidak berubah pula, malah lebih
mengencangkan pelukannya dan paha mulus mama sekarang mendarat di perutku. Mr
junior alias batang penisku tertimpa paha mulusnya. Namun bukan berarti mr
junior bakalan loyo, justru kebalikannya – makin tegang saja. Jantungku
berdegup kencang, karena pikiran kotorku telah meracuni akal sehatku.
Tangan kiriku mulai
bangkit dan memutuskan untuk bergerilya di paha kanan mama.
Perlahan-lahan aku mengelus-elus dengkulnya, selang beberapa
lama kemudian aku mulai mengelus-elus pahanya. Sungguh susah kupercaya, bahwa
paha yang mulus tanpa borok ini adalah milik mamaku sendiri. Aku semakin
bersemangat mengelus-elus paha mama. Tubuh mama masih tidak bereaksi. Aku
semakin berani dan nekat.
Kini jarak elusan tanganku semakin melebar. Pertama dari
dengkul, kemudian merangkak maju sampai ke batas celana boxer mama, sekarang
mulai masuk ke celana boxernya.
Hanya dalam hitungan beberapa menit, tubuh mama mulai bereaksi
perlahan-lahan dan kesadaran mama pun mulai bangkit perlahan-lahan pula.
“Hmmm … Timmy … kamu
lagi ngapain? Geli loh!” tanya mama sambil terkantuk-kantuk, tapi masih memeluk
lenganku.
“Anu … Timmy lagi elus-elus mama.” jawabku seadanya plus sedikit panik.
“Ehmm … kalo mau elus-elus mama, punggung mama aja atau rambut mama. Jangan di paha, geli banget di sana.” kata mama.
“Jadi ngga enak?” tanyaku penasaran.
“Bukan ngga enak sayang, tapi geli aja. Enak sih enak, tapi jadinya lain …” ucapan mama stop.
“Lain apanya?” tanyaku lagi.
“Pokoknya lain enaknya. Jangan di sana lagi deh.” pinta mama.
“Anu … Timmy lagi elus-elus mama.” jawabku seadanya plus sedikit panik.
“Ehmm … kalo mau elus-elus mama, punggung mama aja atau rambut mama. Jangan di paha, geli banget di sana.” kata mama.
“Jadi ngga enak?” tanyaku penasaran.
“Bukan ngga enak sayang, tapi geli aja. Enak sih enak, tapi jadinya lain …” ucapan mama stop.
“Lain apanya?” tanyaku lagi.
“Pokoknya lain enaknya. Jangan di sana lagi deh.” pinta mama.
Aku kemudian menghentikan gerilyaku, dan kembali menjadi patung
lagi. Aku tidak tau apakah mama merasakan tonjolan mr junior di pahanya atau
tidak. Kalo dipikir secara logika, dia pasti merasakan tonjolan keras dibalik
celana tidurku, karena pahanya tepat mendarat di sana. Tapi dia tidak beraksi
apapun.
Setelah itu, mama tidak bisa lagi tidur. Jadi kami akhirnya
ngobrol-ngobrol di atas ranjang dengan posisi yang sama pula.
Sudah hampir 1 jam kami ngobrol di atas ranjang, akhirnya aku
meminta mama untuk mandi dulu, karena hari ini kita mau jalan-jalan lagi. Mama
kemudian bangkit dari tempat tidur, dan menuju kamar mandi.
5 menit kemudian, aku
pun bangkit dari tempat tidur. Kupikir sambil menunggu mama selesai mandi,
lebih baik aku menyiapkan sarapan pagi (roti panggang pake selai strawberry).
Setelah berjalan
beberapa langkah dari pintu kamar, aku dikejutkan oleh sesuatu di depan mataku.
Kudapat pintu kamar mandi tidak tertutup rapat oleh mama. Ini
adalah kesengajaan atau tidak, aku tidak tahu.
Akal sehatku mulai berkelahi dengan akal kotorku. Akal sehatku
menyuruhku untuk tidak melihat dibalik pintu yang tidak tertutup rapat itu dan
segera langsung menuju ke daput, sedangkan akal kotorku mengatakan kalo hanya
mengintip sebentar tidak ada ruginya. Alhasil dari perkelahian akal sehat
melawan akal kotor, pemenangnya adalah akal ngga sehatku alias akal kotor.
Aku berjalan sambil berjinjit-jinjit, agar langkah kakiku tidak
terdengar olehnya. Kudorong perlahan-lahan pintu kamar mandi yang tidak
tertutup rapat tersebut. Posisi shower di kamar mandi tepat disamping pintu
kamar mandi. Shower cubic/ruang shower di kamar mandi terlapisi oleh kaca yang
bening. Sehingga dapat terlihat dengan jelas siapapun yang mandi di sana.
Kubuka pintu kamar mandi hanya sekitar 1.5 centimeter lebarnya,
dan mata kananku perlahan-lahan mulai mengintip lewat celah sempit tersebut.
Hanya sekilas saja, aku langsung menelan ludah, dan jantungku
kembali berdegup kencang. Antara takut dan bergairah menjadi satu. Takut
apabila nanti kepergok mengintip mandi, dan bergairah karena menonton tubuh
bugil mama sedang mandi. Mr junior alias batang penisku kembali mengeras.
Napasku jadi tidak beraturan.
Kulihat mama sedang membilas rambutnya dengan shampoo dengan
mata yang terpejam, kemudian setelah itu menyabuni tubuhnya (dari dada, perut,
punggung, tangan, dan kakinya) dengan shower gel. Oh … sungguh indah
pemandangan saat itu. Begitu sempurna tubuhnya di umurnya yang masih 35 tahun.
Hampir 10 menit lamanya aku berdiri termangu di depan pintu
kamar mandi. Jantungku terus menerus berdegup dengan kencang-nya. Mr junior pun
ikut nyut2an alias menegang pada tegangan yang paling tinggi.
Tiba-tiba mama memutar kran showernya, pertanda mandinya telah
selesai. Aku dengan segera lari-lari berjinjit-jinjit menuju dapur. Sesampai di
dapur, aku lupa apa tujuan awalku di dapur. Aku hanya membuka-buka lemari di
dapur dan kulkas. Mengambil makanan apa saja yang aku lihat.
Tak lama kemudian mama keluar dari kamar mandi dengan santainya
dan menuju ke dapur. Tidak tampak di raut wajahnya adanya perasaan kaget atau
curiga. Sikap mama biasa-biasa saja sambil berjalan mendekatiku.
“Timmy, kamu mau bikin
apa?” tanya mama santai.
“Oh ini … Timmy mau bikin breakfast dulu. Mama siap-siap aja dulu. Kita keluar setengah jam lagi.” jawabku.
“Iya sudah, sini mama yang bikinin, kamu mandi dulu deh. Biar ngga buang-buang waktu.” perintah mama.
“Oh ini … Timmy mau bikin breakfast dulu. Mama siap-siap aja dulu. Kita keluar setengah jam lagi.” jawabku.
“Iya sudah, sini mama yang bikinin, kamu mandi dulu deh. Biar ngga buang-buang waktu.” perintah mama.
Selama di kamar mandi, bayangan tubuh mama tadi yang sedang
bugil sambil mandi tidak dapat dengan mudah lepas dari pikiranku. Aku dibikin
pusing oleh pikiran jorok ini. Tetapi di dalam hati kecilku berharap agar
hari-hari berikutnya aku masih bisa mengintipnya paling tidak sekali atau dua
kali, dengan harapan mama mungkin lupa menutup kamar mandinya lagi.
Hari itu kami menghabiskan waktu berjalan-jalan di kota
pinggiran dan sempat mampir ke toko furniture untuk membeli sofa. Namun sayang
sekali sofa yang kami pilih tersebut masih harus menunggu sekitar 2 minggu
untuk bisa diantar ke rumah, karena kami memilih warna sofa yang sedang tidak
ada stok barangnya. Jadi si toko tersebut harus membuat yang baru. Bagiku 2
minggu menunggu tidak ada masalah, karena ide untuk membeli sofa bukan datang
dariku. Tidak ada sofa pun aku masih bisa bertahan hidup, karena pada dasarnya
aku hanya tinggal sendirian saja.
Karena mama bakalan tinggal di Australia ini lebih dari 2
minggu, kami sempat mampir ke travel agent terdekat untuk mencari-cari info
tentang holiday di Sydney, Gold Coast, Melbourne, dan Hobart (Tasmania). Namun
hari itu kami masih belon memberikan keputusan akan berlibur di kota yang mana.
Aku secara pribadi ingin sekali mengunjungi kota Sydney dan bermain-main di
theme park di Gold Coast. Kalo mama antar Sydney atau Melbourne. Karena masih
belum ada keputusan yang solid, kami tidak mem-booking dulu pake holiday tersebut.
Tak terasa kami seharian keluar rumah. Sesampai di rumah pukul 8
malam. Malam itu kami membeli makanan take away untuk makan malam kami. Terlalu
letih untuk makan di restoran lagi, dan terlalu letih untuk memasak di
apartment. Jadi membeli makanan take away adalah pilihan yang tepat. Mama
membeli paket sushi kesukaannya, dan karena aku tidak doyan sushi, aku membeli
paket bento yang berisi nasi, ayam terayaki, dan sayur mayur.
Kami makan sambil ngobrol santai. Kalo dengan mama ada saja yang
bisa diobrolkan. Dia sepertinya banyak sekali bahan pembicaraan. Dari cerita
kehidupannya, kehidupan papa, dan kehidupan teman-temannya. Termasuk
kehidupanku sewaktu masih kecil.
Jam telah menunjukkan
pukul 10 malam.
“Besok kita mau ke
mana?” tanya mama.
“Hmm … terserah mama. Besok mau coba main golf ngga? Di sini banyak orang Indo pula yang datang untuk bermain golf di sini.” ajakku.
“Tapi mama ngga bisa maen golf. Papa tuh jago maen golf.” puji mama.
“Iya kita ke sana aja. Kita maen aja yang asal pukul aja … namanya Driving Range.” jawabku lagi.
“Ok.” jawab mama singkat.
“Hmm … terserah mama. Besok mau coba main golf ngga? Di sini banyak orang Indo pula yang datang untuk bermain golf di sini.” ajakku.
“Tapi mama ngga bisa maen golf. Papa tuh jago maen golf.” puji mama.
“Iya kita ke sana aja. Kita maen aja yang asal pukul aja … namanya Driving Range.” jawabku lagi.
“Ok.” jawab mama singkat.
Aku pun segera beranjak dari meja makan, dan membereskan
piring-piring kotor. Mama pun beranjak dari meja makan, kemudian menuju
laptopku.
“Mama mau emailin papa dulu yah. Moga-moga dia online. Jadi mama
ngga perlu telp. Timmy mandi dulu abis cuci piring yah?!” ujar mama.
Selama aku mencuci piring, suasana menjadi sedikit hening. Mama
terlalu berkonsentrasi dengan laptopku menulis cerita tentang kegiatan kita
seharian lewat email. Pikiran jorokku mulai kambuh lagi di saat aku sedang
asyik mencuci piring. Di dalam hati kecilku juga berharap agar malam ini mama
lupa lagi menutup rapat pintu kamar mandinya. Pikiran jorok dan harapan yang
tidak tau malu ini masih meracuniku di saat aku sedang mandi malam.
“Ma, Timmy dah selesai
mandi. Mama mandi dulu deh.” suruhku.
“Iya, ntar rada tanggung.” jawab mama.
“Iya, ntar rada tanggung.” jawab mama.
Aku pun duduk bersila di samping mama. Kulihat monitor laptopku.
Mama sedang mengetik panjang email tentang kegiatan kami seharian. Dari makan
pagi sampai makan malam. Tapi aksiku di pagi hari yang mengelus-elus paha mama
jelas tidak diceritakan di email tersebut.
Setelah email itu dikirim, mama pun beranjak dari bean bag sofa
dan langsung menuju kamar tidur untuk menata oleh-oleh yang dibelinya seharian
dan juga mengambil pakaian tidur barunya sebelum mandi. Aku diam-diam mengamati
gerak-gerik mama. Aku berpura-pura mondar-mandi di dapur untuk mencari camilan
dan minuman ringan. Sesekali aku masuk ke kamar tidur dengan pura-pura
mengambil buku atau mengambil apa aja. Berlagak pura-pura sibuk.
Setengah jam kemudian, mama keluar dari kamar tidur dan menuju
kamar mandi. It is the moment of truth (inilah moment yang ditunggu-tunggu).
“Takkk … ” begitulah bunyi pintu kamar mandi. Suara pintu yang
tidak begitu keras. Aku mencoba untuk tidak bertindak terlebih dahulu.
Setelah menunggu 5 menit lamanya, aku bangkit dari bean bag
sofa-ku dan berjalan berjinjit-jinjit menuju ke kamar mandi untuk mengecek
keadaan pintu kamar mandi.
Sesampai di depan kamar mandi, entah mengapa hatiku menjadi
girang tak karuan. Sekali lagi, pintu kamar mandi tidak mama tutup dengan
rapat. Aku mulai menaruh sedikit kecurigaan dengan kelakuan mama ini. Aku
curiga apa ini dilakukan dengan sengaja olehnya. Karena pertama, pintu kamar
mandi tidak rusak, dan bisa tertutup dengan rapat apabila memang mau ditutup.
Kedua, tadi pagi sewaktu mama selesai mandi, semestinya dia sadar apabila pintu
kamar mandi tidak tertutup rapat, bahkan terbuka 1.5 centimeter. Apabila dikata
yang tadi pagi itu adalah suatu kesalahan, tidaklah mungkin akan mama lakukan
kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya.
Jantungku kembali lagi berdegup dengan kencang, namun kali ini
perasaan takutku menjadi sedikit berkurang dibanding yang pagi hari. Karena
diotakku telah ada asumsi bahwa ini adalah suatu kesengajaan dari mama. Sekali
lagi aku sedang menikmati pemandangan indah yang kurang lebih mirip seperti
yang pagi hari.
Ketika aku sedang asyik menonton pemandangan yang indah penuh
nafsu itu, tiba-tiba kran shower tiba-tiba dimatikan olehnya. Inilah sinyal
untuk segera kembali ke tempat asalku yang tadi. Aku berpura-pura memandangi
layar monitor laptopku, namun otak bersihku masih belum sepenuhnya sadar. Aku
berpura-pura membuka berita-berita di Internet.
Tidak sampai 5 menit sejak kran shower dimatikan, mama muncul
dari kamar mandi. Aku berpura-pura sibuk.
Bau wangi yang tidak asing lagi semakin lama semakin mendekat.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara dibelakang.
“Papa online ngga?”
tanya mama.
Alamak … aku kaget sekali dan hampir tidak percaya dengan apa
yang aku lihat di sampingku. Mama tiba-tiba bertekuk lutut di sampingku sambil
melihat layar monitor laptopku dengan tubuhnya yang setengah basah hanya
terbungkus handuk sambil memegang baju kotornya. Aku sampai sempat melongo
dengan tingkah mama malam itu. Selama ini belum pernah aku melihat kondisi mama
yang seperti ini sewaktu aku masih di Indonesia. Bisa dikatakan kondisi mama
saat itu setengah terlanjang. Bahu dan dada atasnya yang putih mulus tampak
terlihat dengan jelas.
Aku berpura-pura cool atau bisa dikatakan sok cool. Seperti cuek
aja dengan kelakuan mama malam itu.
“Nup, papa ngga
online.” jawabku santai.
“Ehmmm … apa belum pulang papa dari kantor?” tanya mama heran.
“Coba aja mama sms papa.” jawabku lagi.
“Iya dah gampang. Mama mau coba packing oleh-oleh lagi deh.” serunya sambil meninggalkan ruang tamu, kemudian menuju kamar.
“Ehmmm … apa belum pulang papa dari kantor?” tanya mama heran.
“Coba aja mama sms papa.” jawabku lagi.
“Iya dah gampang. Mama mau coba packing oleh-oleh lagi deh.” serunya sambil meninggalkan ruang tamu, kemudian menuju kamar.
Aku memutuskan bahwa asumsiku tidaklah salah. Ini pasti ada unsur
kesengajaan mama. Aku semakin penasaran saja apa sebenarnya rencana dia.
Otakku semakin berperang, batinku tidak tenang. Positive dan
negative tidaklah lagi seimbang. Otakku semakin menjurus ke negative thinking.
Satu jam kemudian, suasana di dalam rumah menjadi hening. Aku
tidak mendengar suara gaduh dari kamar tidurku. Yang aku dengar hanya kipas
angin laptopku saja. Kulihat jam sudah lewat pukul 12 malam. Aku berjalan
pelan-pelan menuju ke kamar, kulihat mama sudah tidur di atas ranjang dengan lampu
yang masih menyala.
Aku mematikan laptopku, kemudian sikat gigi, bersiap-siap untuk
tidur pula. Besok adalah hari yang panjang lagi. Banyak kegiatan dan aktifitas
yang ingin aku lakukan dengannya. Kumatikan lampu kamar tidur, dan kemudian
naik ke ranjang dan cepat-cepat menutup selimut.
Aku susah sekali untuk tidur, sudah 15 menit aku
membolak-balikkan badanku, mencari posisi yang enak untuk tidur. Otakku yang
sebelumnya berpikiran jorok, sekarang menjadi nakal. Entah ada dorongan dari
mana, tiba-tiba aku ingin sekali menjahili mama malam itu.
Kucoba memepetkan tubuhku dengan tubuhnya dibalik selimut.
Posisi tidur mama sedang terlentang. Perlahan-lahan tangan kananku mendarat ke
paha kirinya. Aku diam sejenak seperti patung. Setelah mengatur nafasku, aku
mencoba mengelus-elus paha kirinya dengan lembut. Aku kembali teringat
kata-kata mama apabila pahanya dielus-elus memberikan kesan yang berbeda
enaknya. Aku menjadi penasaran dan ingin tahu perasaan berbeda yang seperti
apakah yang dimaksud mama pagi itu.
Setelah lama aku elus-elus paha kirinya, tidak ada reaksi yang
berarti darinya. Kucoba naik sedikit mendekati pangkal pahanya. Untung saja
malam itu mama mengenakan celana boxer yang sama seperti kemarin malam. Jadi
mengelus-elus daerah paha atasnya atau daerah pangkal pahanya tidaklah sulit.
Hanya beberapa menit saja, aku merasakan ada reaksi dari tubuh mama. Kedua
kakinya mulai sedikit bergerak-gerak. Seperti menahan geli yang nikmat.
Aku semakin berani dan mulai sedikit kurang ajar. Seakan-akan
berasumsi bahwa ini adalah lampu hijau, aku semakin nekat saja jadinya. Mr
junior kembali menjadi tegak. Nafasku menjadi terputus-putus. Telapak tanganku
berusaha mencapai pangkal paha kirinya, dan setelah merasa sudah mentok di
sana, kujulurkan jari tengahku untuk menyelinap di balik celana dalam mama.
Ketika sampai pada mulut kemaluannya atau mulut vaginanya, aku
merasakan jelas bulu pubis atau istilahnya jembut mama sudah basah, dan hanya
dengan hitungan detik tiba-tiba … “Plakkk” … sakit sekali.
“TIMMY … kamu kok
kurang ajar sekali ama mama.” bentak mama setelah menampar pipiku.
“Kamu ini belajar dari mana sampai kurang ajar seperti ini.” bentaknya lagi.
“Kamu ini belajar dari mana sampai kurang ajar seperti ini.” bentaknya lagi.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa melihat wajah
mama yang sedang marah karena suasana kamar telah gelap. Aku takut bercampur
malu. Tapi rasa takutku lebih banyak daripada rasa maluku.
“Timmy … jawab
pertanyaan mama. Kamu kok bisa kurang ajar ama mama.” desak mamaku.
Aku mati kutu, benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Karena
memang tidak ada yang mengajariku untuk berbuat kurang ajar seperti itu. Ingin
menceritakan kepadanya bahwa aku sering melihatnya ‘bermesraan’ dengan papa,
kayaknya sudah tidak mungkin. Karena mungkin itu akan membuatnya semakin marah
dan malu. Aku menjadi pasrah saja dengan keadaan.
“Anu … anu … Timmy
ngga tau mama.” jawabku pasrah.
“Kalo ngga tau kenapa kamu kurang ajar sekali dan nekat gitu.” tegas mama.
“Kalo ngga tau kenapa kamu kurang ajar sekali dan nekat gitu.” tegas mama.
Aku menyesal sekali
karena asumsiku ternyata salah total.
Akhirnya aku memilih untuk menyerah dan menceritakan apa yang
sedang aku alami sewaktu masih di Indo, dan kelainan aneh yang aku alami dari
pertama sampai akhir. Mama mendengarkan dengan seksama dan menderung untuk
mendengarkan. Aku bercerita tentang diriku yang aneh dan kejadian-kejadian aneh
yang aku alami ini dari A sampai Z cukup lama. Aku menafsir kira-kira 2 jam
lamanya aku menceritakan semua isi hatiku ini kepadanya.
Yang mengherankan, justru setelah aku menceritakan semuanya ini,
beban perasaan yang aku simpan bertahun-tahun ini langsung lenyap. Meskipun aku
tahu bahwa yang mendengarkan ceritaku ini adalah mamaku sendiri.
Setelah ceritaku berakhir, mama hanya diam saja. Tidak ada
omelan, ocehan, atau bentakan darinya lagi. Tingkah mama seolah-olah mengerti,
memaklumi, dan seolah-olah seperti menemukan jawaban yang dia nanti-nantikan.
Mama kembali merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang sambil
membelakangiku. Suasana kembali hening. Aku juga ikut berbaring di atas
ranjang. Mataku masih belum terpejam, dan sedang merawang-rawan di atas
langit-langit kamar yang gelap. Aku menghela nafas panjang. Kecewa, malu, lega,
dan takut menjadi satu.
Kondisi mama pun juga sama, dia juga tidak bisa tidur. Meskipun
dia sedang membelakangiku, namun tubuhnya tidak pernah diam. Seperti mau begini
tidak enak, mau begitu tidak enak. Aku tidak tau apa yang sedang mama pikirkan,
dan aku juga tidak berani bertanya macam-macam lagi. Aku memilih untuk diam
dulu.
Tiba-tiba mama membalikkan badannya, dan tanpa aku duga tiba-tiba
tangan kanan menyelinap di bawah celana tidurku dan langsung menggenggam
penisku yang masih loyo dengan gampang dan cepatnya. Perlu diketahui bahwa aku
sampai sekarang ini tidak pernah memakai celana dalam sewaktu tidur, karena
alasan kenyamanan saja bila melepas celana dalam waktu tidur. Terang saja tidak
sulit baginya untuk menemukan posisi penisku di balik celana tidurku.
Terus terang aku kaget setengah mampus dengan gelagat mama malam
itu. Aku tidak pernah menyangka sama sekali apa yang sedang dia lakukan
sekarang. Dengan cepatnya dia menggenggam penisku.
“Mama … ” seruku kaget
setengah protes.
“Sssttt … Timmy tenang aja. Anggap ini bonus.” bisik mama. Aku kembali diam, dan membiarkan apa rencana yang akan mama buat malam itu.
“Sssttt … Timmy tenang aja. Anggap ini bonus.” bisik mama. Aku kembali diam, dan membiarkan apa rencana yang akan mama buat malam itu.
Penisku perlahan-lahan mulai mengeras, karena ternyata mama
mengganti genggamannya dengan kocokan-kocokan lembut. Jantungku kembali
berdegup kencang. Nikmat sekali kocokan-kocokan lembut dari tangannya. Sangat
berbeda dengan kocokan tanganku sendiri sewaktu sedang ingin ber-onani.
“Ahhh … ” desahku.
Tanpa bisa aku kontrol desahan ini tiba-tiba keluar dari mulutku.
Tak lama kemudian, mama menaruh air liur sedikit di telapak
tangannya dan mengocok-kocok lagi penisku. Alamak … kali ini kocokan lebih
nikmat dari yang tadi. Air liur mama membuat licin kocokan tangannya, membuatku
semakin keenakan dibuatnya.
“Ahhh … ahhh …” desahku makin menjadi-jadi, penisku makin lama
makin mengeras. Mama tidak berkomentar sama sekali, dan tetap saja dengan
santainya mengocok-kocok penisku. Aku kemudian melepas total celana tidurku,
agar memberikan keleluasaan dan ruang lebih lebar untuk memainkan irama
kocokannya terhadap penisku.
Kira-kira lebih dari 10 menit, mama sibuk mengocok-kocok
penisku, tetapi aku belum menunjukkan tanda-tanda ingin berejakulasi. Nafas
mama terdengar sedikit capek.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku menampik tangan mama dari
penisku dan aku bangkit menimpa tubuh mama.
“Timmy … mau apa
kamu?” tanya mama heran.
“Pengen cobain ma.” jawabku singkat.
“Timmyyy … ini mama … mana bisa begitu. Ini ngga boleh. Tabu kan?!” protes mama.
“Tapi Timmy pengen banget ma.” jawabku lagi sambil berusaha menarik lepas celana boxer mama. Yang membuatku semakin berani, mama tidak berusaha menahan ulahku itu. Setelah aku tarik celana boxernya, tanpa pikir panjang lagi aku tarik pula celana dalamnya dengan secepat mungkin.
“Pengen cobain ma.” jawabku singkat.
“Timmyyy … ini mama … mana bisa begitu. Ini ngga boleh. Tabu kan?!” protes mama.
“Tapi Timmy pengen banget ma.” jawabku lagi sambil berusaha menarik lepas celana boxer mama. Yang membuatku semakin berani, mama tidak berusaha menahan ulahku itu. Setelah aku tarik celana boxernya, tanpa pikir panjang lagi aku tarik pula celana dalamnya dengan secepat mungkin.
Kini mama sudah terlanjang bawah, dan aku pun juga terlanjang
bawah. Kemudian kulebarkan selangkangannya agar aku bisa memasukkan penisku ke
dalam memek mama. Tiba-tiba kedua tangan mama menutup lubang memeknya.
“Pijitin mama dulu dong?!” minta mama. Mendengar itu aku menjadi
sedikit kecewa, meskipun sebenarnya mama telah memberikan lampu hijau kepadaku.
Tanpa banyak bicara,
mama membalikkan badannya ke posisi telungkup, pertanda ingin dipijit dahulu.
Akhirnya aku mengalah dan berusaha untuk bersabar dulu.
Kupijit leher belakangnya, kemudian turun menuju punggung atas
dan turun lagi ke punggu bawah berirama. Aku duduk di atas pantat mama dengan
penisku masih saja tegang. Sambil memijitnya, aku juga berupaya menggesek-gesek
penisku di celah-celah pantat mama. Memberikan sensasi yang nikmat bagiku. Dan
ternyata mama sangat menyukai pijitanku.
“Hmmm …” dengung mama
pertanda dia sangat menikmati pijitanku ini.
Tak lama kemudian dia bangkit dari posisinya yang telungkup
tadi. Aku mengira dia mau menyuruhku mengakhiri pijitannya. Tapi diluar dugaan,
dia melepas baju tidurnya bersama BH-nya tanpa berucap satu kata pun. Aku dapat
melihat tubuh bugilnya di balik remang-remang. Sungguh indah tubuh mamaku ini,
kataku dalam hati.
Mama akhirnya kembali lagi dengan posisi telungkupnya, berharap
untuk kembali dipijit lagi. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku kembali ke pekerjaanku
semula.
Kupijit lagi leher belakangnya, kemudian turun menuju punggung
atas dan turun lagi ke punggu bawah berirama. Aku juga masih terus
menggesek-gesekkan penisku di celah-celah pantat mama. Kudengar lagi dengungan
nikmat darinya.
Aku sekarang menjadi berani. Kucoba mengarahkan ujung penisku di
celah dalam pantatnya, berharap aku bisa menemukan bibir memeknya. Mama tidak
protes dengan tingkahku itu, dan masih tetap diam. Sambil tetap memijit-mijit
punggungnya, aku mencoba mendorong-dorong pinggulku, berharap ujung penisku
mampu menembus masuk ke bibir memeknya.
Usahaku ini ternyata tidak terlalu sulit. Karena ternyata bibir
memek mama telah menyambut kedatangan penisku dengan kondisinya yang telah
basah dan lembab. Aku berhasil menancapkan penisku sedalam 2 centi ke dalam
liang memeknya.
“Ahhh … Timmy … kok dimasukkin?” tanya mama pura-pura protes.
Aku memilih untuk berpura-pura tidak mendengarnya, dan melanjutkan misiku lagi.
Kali ini aku dorong batang penisku dengan paksa, agar terbenam semuanya di
dalam memek mama.
“Ohhh …” guman mama.
Memek mama terasa basah sekali, lembab, dan licin. Kini aku
menghentikan pijitanku, dan kedua telapak tanganku aku gunakan untuk menjadi
tumpuan tubuhku agar tidak menindih tubuh mama. Dengan posisinya yang masih
telungkup, aku setubuhi mamaku.
“Ceplak … ceplak …” bunyi seperti tamparan datang dari pantat
mama karena aku menyetubuhinya dari belakang dengan posisinya yang masih
telungkup.
“Timmmyyy … ahh … ahh … geli sayang …” desahan mama pun makin
lama makin menjadi-jadi.
Kukocok terus liang memek mama non-stop. Mama seperti cacing
kepanasan, dia remas semua yang ada disekitarnya. Korban yang paling kasihan
adalah si bantal, karena dengan posisinya yang telungkup, mama secara praktis
nyaris tidak mampu bergerak lebih banyak, sepertinya pasrah menerima
hantaman-hantaman nikmat dari batang penisku di dalam liang memeknya.
Remasan tangannya
terhadap si bantal semakin menguat, dan tiba-tiba tubuh mama mengejang. Sesaat
kemudian dia menutup mukanya dengan bantal sambil mengerang keras.
“Errghhhhhh …” erang mama di balik bantal dengan kerasnya. Mama
berusaha meredam erangannya dibalik bantal. Aku menghentikan goyangan pinggulku
karena tubuh mama dalam kondisi yang menegang dari biasanya, dan memberikan
waktu untuknya mengerang sepuas-puasnya.
“Huh … huh … huh …” nafas mama mulai tidak beraturan seperti
baru saja berlari sejauh 2 km tanpa berhenti.
Setelah nafasnya mulai terlihat sedikit stabil, mama membalikkan
tubuhnya menjadi terlentang.
“Timmy … kamu bener-bener anak mama yang paling nakal. Pertama
berani kurang ajar ama mama, sekarang berani-beraninya gituin mama.” kata mama
sambil melebarkan selangkangannya, membuka pintu agar penisku bisa masuk
kembali. Mendengar ucapan mama ini, aku tersenyum di dalam keremangan kamar.
Kini kamarku penuh dengan hawa nafsu birahi milikku dan mama. Aku sempat
berpikir betapa nikmatnya melakukan perbuatan tabu ini bersama mamaku sendiri.
Aku melepaskan baju tidurku yang masih melekat di tubuhku dan
kemudian tanpa basa-basi lagi, aku kembali menembak masuk batang penisku ke
dalam memek mama lagi.
“Slep …” bunyi penis memasuki liang memek yang sedang pada
posisi basah 100%.
Kembali aku menyetubuhi mamaku lagi dengan posisi tubuhnya yang
terlentang dengan membuka selangkangannya selebar-lebarnya.
“Ahhh … ahhh … sayang … ” desah mama penuh nafsu. Setiap kata
desahan yang keluar dari mulutnya seperti memberikan aliran listrik yang
mengalir di tubuhku. Memberikan dentuman-dentuman nikmat disekujur tubuhku.
Tiba-tiba tubuhku sedikit bergejolak dan penisku seakan-akan
mengembang sedikit. Inilah pertanda bahwa permainan tabu ini akan segera
berakhir. Aku semakin mempercepat goyanganku dan gesekan penisku semakin aku
percepat. Kelicinan liang memek mama sangat membantu proses percepatan gesekan
dari penisku, dan memberikan sensasi yang makin lama semakin nikmat.
“Timmy sayang … kamu
mau datang yah?” tanya mama.
“Iya … mama kok bisa tau?” tanyaku heran.
“Timmy … ini mamamu … mama tau segalanya tentang anaknya … ” jawab mama sambil terus mendesah.
“Ehm … ” responku.
“Iya … mama kok bisa tau?” tanyaku heran.
“Timmy … ini mamamu … mama tau segalanya tentang anaknya … ” jawab mama sambil terus mendesah.
“Ehm … ” responku.
Aku sudah akan
mencapai klimaks. Aku tau ini tidak akan lama lagi.
“Timmy boleh keluar di
dalam?” tanyaku.
“Di mana pun yang kamu mau sayang … ” jawab mama mesra.
“Di mana pun yang kamu mau sayang … ” jawab mama mesra.
Aku menjadi semakin gila rasanya. Kecepatan gesekan penisku
semakin aku tambah. Suara desahan mama pun semakin membabi buta dan tidak
terkontrol lagi. Tubuhnya kini kembali menegang seperti sebelumnya.
“Timmy … mama mau
dapet sayang … ahhh ahhh” kata mama yang semakin kacau.
Aku merasa telah mencapai 80% mendekati klimaks, dan aku merasa
pula sepertinya sebentar lagi mama akan meletup sebelum aku mencari klimaks.
“Ahhh … ahhh … Timmy … udah mauu keluarrrr belonnn?” tanya mama
seperti cacing kepanasan.
“Ntar … ntar lagi …” jawabku dengan nafasku yang mulai terputus-putus.
“Ntar … ntar lagi …” jawabku dengan nafasku yang mulai terputus-putus.
Baru saja aku selesai bicara, tiba-tiba kedua tangan mama
mendarat di dadaku dan kedua ibu jarinya mengosok lembut puting susuku.
Ulah mama ini memberikan kejutan mendadak terhadap tubuhku. Rasa
geli dan nikmat yang luar biasa sewaktu puting susuku digosok-gosok lembut oleh
kedua ibu jarinya, membuatku menjadi kalap dan tidak terkontrol. Seakan-akan
dia tau kelemahanku yang mana aku tidak pernah menyadari sejak dulu. Di mana
yang tadi masih 80% menuju ejakulasi tiba-tiba meluncur dasyat menjadi 100%
akibat ulah mama ini. Aku tidak lagi mampu menahan kedasyatan senjata
rahasianya yang baru saja mama keluarkan. Aku hentikan gesekan penisku dan
menekan sepenuhnya batang penisku ke dalam liang memeknya tanpa ada sisa 1
milimeter pun.
“Ahhh … Timmy keluarrrr … ahhh ahhh … ” jeritku tak terkontrol
lagi sambil memuntahkan semua air maniku di dalam liang memek mama tanpa ampun
sambil memeluk tubuh mamaku.
Mama pun juga ikut mengerang, dan lebih dasyat dari yang
pertama. Kedua kakinya mengapit pantatku dan menekannya dengan sekuat tenaga
seperti berharap agar semua batang penisku tertanam dalam dalam dan memuntahkan
semua isinya di dalam liang memeknya.
Setelah erangan kami mulai mereda, kami berdua masih bernafas
dengan ngos-ngosan. Seperti baru saja lari maraton jarak jauh.
Dengan nafas yang masih terputus-putus, aku bertanya kepadanya
bahwa senjata rahasia yang dia gunakan sebelumnya mampu menaklukkanku dalam
sekejab. Dia mengatakan bahwa daerah itu adalah titik kelemahan papa dan dia
sebenarnya tidak menyangka apabila daerah itu adalah titik kelemahanku juga.
Like father like son begitulah candanya.
Tubuh kami masih saling berpelukan, dan batang penisku masih
menancap di dalam memek mama. Aku masih belum ingin menariknya, karena aku suka
kehangatan liang memeknya yang kini penuh dengan air maniku sendiri. Aku
menghabiskan sisa-sisa waktu yang ada dengan banyak bertanya.
Aku pun bertanya apakah ngga apa-apa aku keluar atau kata lain
ejakulasi di dalam memeknya. Mama mengatakan tidak ada masalah, karena dia
sudah memakai sistem kontrasepsi rutin.
Aku juga meminta maaf kepadanya karena aku khilaf dan tidak
mampu menahan kekuatan nafsu birahiku terhadapnya. Namun mama mengatakan tidak
pernah dipikirkan lagi, karena dia mengerti kalo aku sedang menuju masa puber.
Tapi dia sempat bercanda dengan mengatakan kepadaku bukan karena alasan
puberitas yang harus disalahkan sehingga harus menyetubuhi mamanya sendiri. Aku
sedikit malu mendengar pernyataan ini. Mama memintaku berjanji untuk tidak
mengulangi perbuataan tabu ini.
Namun dalam singkat cerita saja, selama mama menghabiskan
liburannya di sini, aku selalu saja memiliki akal yang mampu mendorong hatinya
untuk aku setubuhi lagi. Aku kurang lebih sudah mengerti apa yang bisa
membuatnya terasangsan atau horny. Aku sering menawarkan diri untuk memijitnya
setiap malam dan bangun tidur, dan tawaran ini tidak pernah ditolak olehnya.
Strategy yang aku gunakan selalu sama saja, dan sering berhasil dengan ampuh.
Pernah sekali di suatu malam, sewaktu mama merasa letih dan
tidak berminat melayaniku, dimana aku sangat bandel dan berkesan memaksa,
akhirnya mama pun menyerah dan pasrah melayani nafsu birahiku karena tidak tega
melihatku memohon-mohon padanya untuk dipuasi. Di saat itu juga dia langsung
menyerang daerah paling sensitif dan daerah kelemahanku, hanya sekitar kurang
dari 2 menit aku sudah mencapai ejakulasiku.
Selama 3 minggu liburan mama di sini mirip seperti sedang
berbulan madu. Semuanya serba bersama dengannya. Jalan-jalan bersama, liburan
ke Sydney dan Melbourne bersama, mandi bersama, tidur bersama, dan bersama-sama
melampiaskan nafsu birahi masing-masing.
Saat ini sudah 3 bulan berlalu semenjak mama kembali ke Jakarta.
Aku sudah tidak sabar menunggu libur kuliah. Aku menjadi kecanduan dengan apa
yang dinamakan hubungan suami-istri. Namun aku hanya ingin melakukannya dengan
mamaku sendiri. Mungkin di Jakarta nanti, tidak terlalu susah bagiku untuk
meminta jatah lagi darinya, karena tidak ada yang akan menaruh rasa curiga
terhadap kami, karena kami adalah ibu dan anak.




Post a Comment