Jeng
Ina Atasanku Hypersex
Sudah 10 tahun aku bekerja di suatu perusahaan swasta. Diawali
dengan membaca iklan yang dimuat oleh perusahaan tersebut, keesokan harinya aku
datang membawa berkas yang dibutuhkan dan memasukkan lamaran lewat Sekretaris
Eksekutif Direktur Utama, Ibu Ina namanya. Orangnya cantik, langsing dan
menarik. Setelah melalui seleksi yang cukup ketat, akhirnya aku diterima
bekerja. Aku sangat senang dan bekerja dengan giat.
Berkat kerja kerasku,
pimpinan memberikanku kesempatan meningkatkan keterampilan dengan sekolah lagi
di luar kota, sehingga akhirnya aku memperoleh jabatan yang semakin tinggi. Ibu
Ina yang dulunya jauh kedudukannya di atasku, menjadi semakin dekat, sehingga
kami sering bertemu. Setelah duduk di jajaran eksekutif, barulah aku tahu bahwa
ia sudah bersuami dan mempunyai dua orang anak yang sudah duduk di bangku SLTA
dan SLTP. Padahal sejak kulihat pertama kali, aku sudah naksir dia, sayang ia
sudah menikah.
Ibu Ina yang kulihat
10 tahun lalu, belum banyak berubah, meskipun sudah berumur 40 tahun. Aku
sendiri berumur 5 tahun di bawahnya. Keterampilan dan penampilannya selalu
mempesona, sehingga posisinya semakin menanjak, bahkan setelah menyelesaikan
pascasarjana strata dua ia diangkat sebagai Manager pada bidang quality
control. Meskipun setahun yang lalu aku menikahi Waty, seorang gadis manis dari
Klaten, aku tetap menjadi pengagum diam-diam Ibu Ina. Tak seorang pun di kantor
yang mengetahui betapa aku begitu memujanya.
Suatu ketika Direktur
Utama memanggilku, “Saudara Agus saya tugaskan mengikuti pertemuan dengan
beberapa rekanan di Yogya selama 3 hari.” Aku sempat kesal waktu dipanggil
menerima tugas tersebut, karena ada ulah bawahan di bagianku yang membuatku
uring-uringan dan harus kubereskan dalam waktu 5 hari. Aku sempat menolak
halus, “… tapi maaf Pak, bukankah saya harus membereskan masalah di bagian
saya?” Sang Direktur berkata, “Tentang hal itu tidak perlu saudara risaukan,
saya sudah menugaskan orang lain untuk menyelesaikannya.” Lalu ditambahkannya,
“Oh ya, saudara saya minta membantu sepenuhnya Ibu Ina, salah seorang manager
kita untuk mempresentasikan di depan rekanan tentang manajemen mutu perusahaan
kita.
Pertemuan ini sangat
penting dalam rangka menjalin kerja sama ke depan. Saudara saya minta
bersungguh-sungguh dalam tugas ini. Saya mempercayakan saudara mendampingi Ibu
Ina mengingat kemampuan saudara yang telah saya lihat selama ini.” Ups, aku
terhenyak kaget, bukan hanya karena kepercayaan yang diberikan kepada saya,
tetapi karena seakan mendapatkan durian runtuh. “Pucuk dicinta ulam tiba,”
pikirku, “Tiga hari bersama si Cantik Bu Ina tentunya akan sangat
menyenangkan.” Rasanya tidak sabaran menunggu saat keberangkatan.
Sehari sebelum
keberangkatan ke Yogya, Ibu Ina memanggilku dan mengatakan,
“Dik Agus, aku agak
deg-degan naik pesawat akhir-akhir ini, sehingga meskipun seharusnya kita naik
pesawat, aku telah memesan dua tiket kereta api eksekutif malam untuk kita.
Tetapi lumpsum kita tidak dikurangi selama berada di sana. Harap Dik Agus
maklum dan tidak keberatan atas keputusanku,” nada suaranya terkesan galak dan
tegas.
Kujawab dengan
spontan, “Tak apa-apa, Bu, demi menemani Ibu Ina, saya bersedia jalan kaki
sekalipun.”
Ia tersenyum kecil sambil mencubit lenganku. Wah, terkejut hatiku karena tidak menduga mendapat perlakuan demikian. Ah, berjuta rasanya. Kuelus-elus lenganku menikmati bekas cubitannya. Ia hanya memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti.
Ia tersenyum kecil sambil mencubit lenganku. Wah, terkejut hatiku karena tidak menduga mendapat perlakuan demikian. Ah, berjuta rasanya. Kuelus-elus lenganku menikmati bekas cubitannya. Ia hanya memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti.
Saat berangkat dari
Stasiun Gambir, aku duduk di sebelah kanan Bu Ina. Kami ngobrol begitu akrab,
seakan-akan dua sahabat lama yang bertemu kembali. Wangi parfumnya begitu
menggodaku, apalagi rambutnya yang sebahu tergerai lepas dan anak rambutnya
sesekali mengenai keningku dikala kami berbincang-bincang.
Menjelang tengah
malam, Bu Ina minta ijin tidur duluan. Memang sebelumnya kulihat ia sudah
menguap tanda mengantuk. Aku masih membaca majalah sambil sesekali melirik
wajahnya yang cantik. “Ah, betapa lembut wajahnya, andaikan aku dapat
mengelusnya,” batinku. Lamunanku semakin melambung manakala tubuhnya semakin
rapat ke tubuhku dan kepalanya rebah di pundak kiriku.
Tak enak mengganggu
tidurnya, kubiarkan saja kepalanya bersentuhan dengan kepalaku, bahkan beberapa
kali kudekatkan hidungku menghirup wangi rambutnya. Tak tahan dengan situasi
itu, tangan kiriku kuletakkan ke pundak kirinya, merangkul tubuhnya. Kurasakan
pipinya bersentuhan dengan pipiku. Ah, betapa halusnya. Tapi aku tak berani
berbuat lebih jauh. Tak lama kemudian aku tertidur dalam posisi memeluk
pundaknya.
Tiba di Yogya, aku
duluan bangun dan kuperbaiki letak dudukku agar ia tidak malu jika mengetahui
kupeluk pundaknya semalaman. Kami pun naik taksi menuju hotel tempat pertemuan
kami yang dimulai hari itu.
Setelah dua hari
lamanya berada di Yogya, pertemuan kami berakhir sehari lebih cepat dari yang
dijadwalkan. Bu Ina berbisik padaku usai makan siang,
“Dik Agus, tidak ada
rencana mau kemana siang ini? Kalau tidak mengganggu, habis makan siang ini,
tolong temani aku belanja ya?”
“Baik Bu, ke manapun Ibu minta, akan saya antar,” jawabku sambil memperhatikan wajahnya.
Siang itu kami berdua
berjalan sepanjang Jalan Malioboro. Usai belanja, Ibu Ina mengajakku naik
delman menuju hotel tempat kami menginap. Kami masuk ke kamar masing-masing.
Letih juga berjalan menemani Bu Ina berbelanja. Aku berpikir ingin memanjakan
diri sambil membersihkan tubuh, kemudian aku bertelanjang menuju kamar mandi
dan berendam di bathtub. Rasanya belum lama berendam, telepon di kamar
berdering kudengar berdering. “Sial, siapa yang ganggu orang sedang santai
gini?” gerutuku. Kutarik handuk dan mengeringkan tanganku, lalu dengan
bertelanjang, aku keluar kamar mandi dan mengangkat gagang telepon.
“Sedang ngapain, Dik?”
kudengar suara lembut di seberang sana, “Ah, ternyata Ibu Ina,” pikirku.
“Sedang mandi, Bu, habis gerah banget abis jalan-jalan tadi,” jawabku.
“Waduh, maaf ya, jadi ganggu kegiatan Dik Agus,” sesalnya, “Kalau gitu, teruskan aja mandinya.”
“Sedang mandi, Bu, habis gerah banget abis jalan-jalan tadi,” jawabku.
“Waduh, maaf ya, jadi ganggu kegiatan Dik Agus,” sesalnya, “Kalau gitu, teruskan aja mandinya.”
Khawatir ia butuh
bantuanku, dengan cepat kubantah, “Tidak apa-apa, Bu. Sudah selesai koq. Ada
yang bisa saya bantu, Bu?”
“Gini lho Dik, tapi
maaf lho, terus-terusan aku minta bantuanmu. Sekarang kan sudah pukul enam,
tadi petugas hotel memberitahuku ada film bagus di bioskop yang dekat hotel
ini. Aku ingat waktu kuliah dulu di Bulaksumur suka nonton di situ. Bagaimana
kalau tak ada acara, Dik Agus temani Mbak nonton? Tapi makan malam dulu deh!”
Aku terkejut campur senang mendengar ajakannya, tetapi lebih kaget lagi waktu
mendengarnya mengganti sebutan dirinya dengan Mbak. “Ah, ada apa nih?” pikirku
penasaran.
“Wah, dengan senang
hati, Bu. Bila perlu kita makan di luar aja, supaya tidak telat nontonnya,”
timpalku dengan hati berbunga-bunga.
“Jangan panggil Ibu terus dong, kita kan sedang tidak di kantor. Panggil Mbak gitu, apalagi Mbak belum setua ibumu, bukan?” katanya di seberang sana.
“Maaf, Bu … eh .. Bu … eh .. iya Mbak Ina,” kataku terbata-bata.
“Nah, kan? Masih latah sebut Ibu terus?” guraunya lagi. Kemudian sambungnya, “Kita makan aja dulu, baru nonton. Mbak tunggu di ruang makan hotel tiga puluh menit lagi ya?” serunya tanpa menunggu jawabanku dan memutuskan pembicaraan.
Waktu makan malam, aku
begitu terpesona melihat penampilan Mbak Ina (sekarang kuganti panggilannya
sesuai permintaannya tadi). Ia mengenakan celana jeans dan kaos, sebab ia
tampil seperti anak muda usia belasan tahun. Apalagi warna lipstick tipis merah
muda yang menghiasi bibir mungilnya. Kami makan berdua sambil
berbincang-bincang tentang berbagai hal.
Setelah makan, kami
menuju bioskop yang dimaksud Mbak Ina. Ternyata film yang akan kami saksikan
telah berjalan setengah jam dan pintu theatre sudah ditutup. Ada film di dua
theatre lain, tetapi karena tidak tertarik, Mbak Ine tidak mau. Sewaktu melihat
jadwal tayang, kami melihat bahwa film yang akan kami tonton masih akan diputar
pukul 23.
“Bagaimana jika kita nonton tengah malam Dik? Tokh kita masih nginap semalam lagi dan besok sore baru kembali ke Jakarta?” tukas Mbak Ina.
“Saya sih tidak
keberatan, Mbak, asal Mbak tidak takut tidur kemalaman ntar,” kataku.
“Ah, sekali-sekali tidur larut malam tak apa, kan? Apalagi sayang jika tadi kita langsung pulang, padahal hotel ini sudah dibayar mahal sampai besok sore,” timpalnya sambil menarik tanganku.
“Kita jalan-jalan dulu deh nunggu pukul sebelas,” tambahnya. Kami pun keluar areal bioskop setelah memesan tiket untuk pertunjukan film pukul 23.
“Ah, sekali-sekali tidur larut malam tak apa, kan? Apalagi sayang jika tadi kita langsung pulang, padahal hotel ini sudah dibayar mahal sampai besok sore,” timpalnya sambil menarik tanganku.
“Kita jalan-jalan dulu deh nunggu pukul sebelas,” tambahnya. Kami pun keluar areal bioskop setelah memesan tiket untuk pertunjukan film pukul 23.
Kami berjalan-jalan
dan menikmati roti bakar dan wedang jahe di pinggir jalan.
“Ah, ternyata enak
juga jalan bareng Mbak Ina, bisa merakyat begini, tidak hanya makan di restoran
mahal,” pikirku.
“Heh, ngapain, siang-siang sudah ngelamun jorok,” tiba-tiba Mbak Ina mengagetkan aku sambil mencubit pipiku. Aku tersipu-sipu malu dan menjawab,
“Nggak ngelamun koq, Mbak, cuma heran aja, koq kita bisa begini akrab ya, padahal di Jakarta tidak sempat seperti ini?”
“Ah kamu … emang nyesel jalan bareng Mbak?” tanyanya merajuk. Eh, dia mulai mengganti panggilan Dik dengan kamu. Aku agak heran, tapi kupikir mungkin karena ia makin merasa amat dekat denganku.
“Siapa bilang nyesel, Mbak? Malah senang banget. Nggak pernah mimpi bisa berdua Mbak begini.”
10 menit menjelang
pukul 23, kami sudah kembali ke bioskop. Kami masuk dan nonton film romantis,
tetapi berbau horor. Waktu menonton adegan yang menyeramkan, tangan Mbak Ina
memegang pergelangan tanganku dengan kencang.
Suatu ketika pegangannya begitu kuat, hingga aku terkejut dan berseru,
Suatu ketika pegangannya begitu kuat, hingga aku terkejut dan berseru,
“Mbak, tanganku sakit
tertusuk kuku Mbak!”
“Aduh, maaf, abis ngeri banget sih liat vampire-nya muncul tiba-tiba,” katanya tanpa melepaskan genggaman tangannya.
“Aduh, maaf, abis ngeri banget sih liat vampire-nya muncul tiba-tiba,” katanya tanpa melepaskan genggaman tangannya.
Namun saat ada adegan
ranjang yang cukup hot, dimana pemain wanitanya hanya tinggal mengenakan baju
tipis dan buah dadanya nampak terbuka, sedang berciuman dengan tokoh vampire di
film tersebut, kurasakan jari-jari Mbak Ina meremas-remas jari-jari tangan
kiriku. Aku hampir tak berani bergerak merasakan remasan tangannya dan napasku
serasa terhenti di leher. Hal itu terjadi beberapa kali. Aku tidak berusaha
menepis, karena kupikir itu reaksi alami karena adegan panas yang kami lihat,
bahkan aku berharap agar tangannya tidak pindah dari jari-jariku. Namun aku
tidak berani membalas remasannya, khawatir ia akan salah sangka.
Pukul 01 film pun
berakhir. Kami naik becak menuju hotel. Mbak Ina nampak masih tercekam oleh
film tadi, sehingga ia banyak berdiam diri.
“Mbak udah ngantuk ya?
Koq diam aja?” tanyaku sambil mencolek punggung tangannya.
“Hiiyy, serem juga film tadi. Untung ada kamu, kalau tidak, Mbak udah pingsan kali,” jawabnya.
“Ah, itu kan cuma film, Mbak. Ngapain dipikirin, ntar malah nggak bisa tidur lho! Apalagi tidak ada teman di kamar Mbak,” kataku.
“Hiiyy, serem juga film tadi. Untung ada kamu, kalau tidak, Mbak udah pingsan kali,” jawabnya.
“Ah, itu kan cuma film, Mbak. Ngapain dipikirin, ntar malah nggak bisa tidur lho! Apalagi tidak ada teman di kamar Mbak,” kataku.
Ia diam saja, sehingga aku agak menyesal menggodanya dan memegang jari-jarinya,
“Maaf ya Mbak, saya tidak bermaksud menakut-nakuti Mbak. Maafkan kata-kata saya barusan.”
Mbak Ina membalas
sentuhanku dengan meremas jari-jariku sambil berkata,
“Tak apa-apa. Kamu
begitu baik temani sejak siang tadi dan nonton, walaupun film tadi mungkin
bukan film yang kamu sukai.”
Kami turun dari becak
dan menuju lantai lima di mana kamar kami berada dan masuk ke kamar
masing-masing. Aku masih merasakan aroma parfum yang dipakai Mbak Ina melekat
di pundak dan jari-jariku. Seperti kerasukan, aku menciumi jari-jariku sendiri
seolah-olah mencium jari-jari Mbak Ina. Sewaktu mau merebahkan tubuh di
ranjang, telepon berdering.
“Ah, siapa lagi
telepon malam-malam?” pikirku,
“Dik Agus, sudah tidur ya?” kudengar suara Mbak Ina di seberang sana.
“Hampir tidur Mbak. Ada apa, Mbak?” tanyaku.
“Dik Agus, sudah tidur ya?” kudengar suara Mbak Ina di seberang sana.
“Hampir tidur Mbak. Ada apa, Mbak?” tanyaku.
“Aa.. aku … takut, kebayang-bayang film tadi. Dik Agus tolong ke kamarku sebentar ya!” pintanya.
Dengan bercelana
pendek dan kaos oblong, aku mengetuk pintu kamarnya. Ketika pintu kamarnya
terbuka, aku tercekat sebab melihat Mbak Ina berdiri dengan baju tidur tipis
berwarna putih sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya diterangi lampu
kamar yang redup. Walaupun agak temaram, aku dapat melihat jelas betapa
seksinya tubuh Mbak Ina. Tanpa sadar aku menelan ludah beberapa kali, apalagi
melihat di balik baju tidurnya ia mengenakan BH dan celana dalam warna merah
hati.
“Ayo masuk, jangan
bengong aja di situ!” ajaknya sambil menutup pintu di belakangku.
“Kalau tak keberatan, maukah kamu duduk sambil nonton TV untuk menemani aku sampai aku tidur? Kalau aku sudah tertidur, tinggalkan saja dan kembali ke kamarmu,” sambungnya.
“Boleh Mbak, malah saya sangat menyesal telah menakut-nakuti Mbak dengan ucapan saya waktu di becak tadi, sehingga bermaksud menemani Mbak sampai pagi,” kataku menanggapi.
“Benar nih, sampai pagi mau temani aku?” tagihnya.
“Kalau tak keberatan, maukah kamu duduk sambil nonton TV untuk menemani aku sampai aku tidur? Kalau aku sudah tertidur, tinggalkan saja dan kembali ke kamarmu,” sambungnya.
“Boleh Mbak, malah saya sangat menyesal telah menakut-nakuti Mbak dengan ucapan saya waktu di becak tadi, sehingga bermaksud menemani Mbak sampai pagi,” kataku menanggapi.
“Benar nih, sampai pagi mau temani aku?” tagihnya.
Aku bingung juga
dengan spontanitasku yang kusesali dapat membuatku menjadi satpam semalaman
ini, tetapi melihat diri Mbak Ina dalam pakaiannya sekarang membuatku
bersemangat, bila perlu seminggu lagi menemani dia sekamar.
“Ok Mbak, aku siap
mengawal Mbak, tak usah takut ada vampire,” jawabku menyombong.
Mbak Ina berbaring di
ranjangnya yang berukuran king size, sedangkan aku duduk di kursi yang ada di
dekat TV sambil mencari channel yang menyuguhkan film. Tetapi mataku
mencuri-curi pandang ke arah tubuhnya yang walaupun sebagian ditutupi selimut,
bagian dadanya yang hanya tertutup sepertiga BH-nya ternyata tidak tertutup
selimut. Aku tidak tahu, apakah ia sengaja melakukan itu atau tidak.
Kuperhatikan diam-diam, ia sudah memicingkan matanya.
Setengah jam kemudian
kulihat ia sudah tertidur, terbukti dari suara napasnya dan matanya yang
terpejam rapat, kuamati dadanya yang membusung indah naik turun dengan teratur
sesuai helaan napasnya. Aku duduk dengan gelisah, sebab laki-laki mana yang
tahan sekamar dengan wanita secantik Mbak Ina dalam baju tidur demikian? “Adik
kecilku” yang sudah bangun sejak masuk kamarnya terus menerus
mengangguk-angguk, menggodaku dengan bisikan liar, “Ayo, apa lagi yang kau
tunggu, bukankah ini peluang emas yang kau impikan selama ini? Kapan lagi ada
kesempatan begini dan ajakannya menemani adalah undangan untuk mereguk anggur kenikmatan?”
Aku hampir tak berani
beringsut dari dudukku, perlahan kugerakkan leher menoleh ke arah Mbak Ina. Ia
tidur dengan tenang. Namun tiba-tiba kudengar ia berteriak, “Tidak, tidak,
jangan … ahhh …” Aku terkejut dan melompat dari dudukku. Kulihat Mbak Ina
terduduk, matanya agak melotot, ia terengah-engah, jari-jarinya meremas sprei
ranjangnya, dan kuperhatikan tetesan keringat di keningnya. Sedangkan
selimutnya berantakan tidak menutupi bagian dadanya, sehingga sebagian
payudaranya yang putih dapat kulihat dengan jelas, tetapi aku menghalau
pikiran-pikiran mesumku.
Aku duduk di ranjang,
di dekatnya sambil memegang tangannya lembut, bertanya, “Mimpi ya Mbak? Jangan
takut, saya ada di dekat Mbak.”
Ia diam saja, tetapi
tanpa kuduga, ia menarik tanganku dan tanpa dapat kucegah sentakannya membuat
tubuhku jatuh ke arahnya dan menimpa tubuhnya. “Ma..ma..af, Mbak, saya … ”
ucapanku tak selesai karena tiba-tiba bibirku sudah ia tekan ke pipinya. Aku
terkejut dengan muka merah padam. Dan belum selesai keterkejutanku, ia menarik
tubuhku masuk ke balik selimutnya sambil berkata dengan memelas,
“Temani aku tidur, aku
takut … Jangan jauh-jauh di sana! Peluk aku ya!”
Napasku seakan
berhenti, jantungku berdebar-debar kencang, sebab kedua bahuku telah ia peluk
erat, hingga terasa kedua buah dadanya menekan dadaku. “Aduhai, betapa kenyal
payudara wanita ini,” batinku seraya berharap pelukan itu takkan ia lepaskan.
Jantungku semakin kencang menghentak-hentak dadaku ketika sebelah kakinya naik
memeluk paha dan kakiku. Nafas Mbak Ina terasa begitu dekat di wajahku. Aku
serasa bermimpi dan tanpa sadar menutup mataku.
Seperti seorang bayi
yang membutuhkan dekapan, Mbak Ina meletakkan kepalanya di dadaku dan tanpa
kusadari jari-jariku membelai-belai rambut di keningnya sambil menenangkannya.
Kulihat ia memejamkan mata sambil memeluk tubuhku. Aku pun merasa begitu damai
merengkuh pundaknya sambil mengingat suasana sewaktu di kereta api bersamanya.
Ada kemiripan, tetapi kali ini lebih mesra, apalagi kami berdua sama-sama
sedang mengenakan pakaian tidur. Rasanya begitu teduh dan nyaman. Tangannya
semakin erat memeluk pinggangku dan kurasakan dagu dan hidungnya ditekankan ke
dadaku hingga kelelakianku kurasa bangkit.
Aku tidak berani
berbuat macam-macam, walaupun hasratku sudah menggelegak. Tetapi sewaktu
bibirnya bergerak naik ke leher, hembusan napasnya kurasa semakin dekat ke dagu
dan pipiku, aku membuka mata dan menatap wajahnya. Hatiku kaget bercampur
senang sebab kulihat Mbak Ine dengan mata terpejam semakin mendekatkan bibirnya
ke bibirku. Secara naluriah aku membuka mulut dan menyambut bibirnya. Aku tidak
ingat lagi siapa di antara kami yang memulai ciuman itu, dia atau aku, tapi aku
tidak peduli. Gairahku bergelora ketika lidahnya mengait lembut tepi bibirku
dan menyusuri rongga mulutku dan menggelitiki lidahku dengan lincahnya.
Dengan tangkas
kusambut pilinan lidahnya dengan lidahku. Tangan kiriku yang semula ada di atas
bahunya yang terbuka, mulai naik ke arah dagu, pipi dan merabai bibirnya. Mbak
Ina mendesah,
“Ahh… ahh… aku kangen
kamu, Gus… Peluk aku dan berikan kehangatan buatku!” pintanya.
Aku menggelinjang
merasakan aksinya selanjutnya. Mbak Ina begitu buas menciumi wajahku, leherku,
turun ke dadaku, hingga aku sempat terperangah kaget saat ia meremas putingku
dan mengisapnya, kadang-kadang lembut, dan di waktu lain begitu kuat
menggemaskan. Kedua puting dadaku dijilati dan dimasukkan ke mulutnya secara
bergantian. Lidahnya begitu lincah bermain di sekujur dadaku, turun ke perut
dan lidahnya menggelitiki pusarku hingga aku merasakan aliran darahku memompa
begitu kencang.
Aku tak ingat lagi
siapa dia dan bagaimana posisinya di kantorku, yang terpikir hanyalah bagaimana
memacu kenikmatan bersamanya. Yang terbayang di benakku saat itu adalah
seakan-akan sedang memadu kasih dengan istriku sendiri. Sebelah tanganku
mengusap-usap perutnya yang datar, tidak terlihat gemuk meskipun sudah
melahirkan dua orang anak, sedangkan tanganku yang lain mengelus-elus pundak, punggung
dan pinggulnya hingga ia meliuk-liukkan tubuhnya dengan sangat menggairahkan.
“Kamu mau ku-blow job,
Agus sayang?” desahnya sambil melakukan “mandi kucing” pada perut, pinggang dan
pusarku.
“Ahh … ssshhh, oohhh …. Mmm … mmau, Mmbaakkk… mau banget!” aku memohon dengan sangat, karena begitu dahsyat ia memainkan lidah dan bibirnya sambil tangannya mulai bergerak ke arah celanaku, menyentuh penisku dari luar dan pelan-pelan menurunkan celana pendek dan celana dalamku secara serempak.
Aku sudah tak sadar
dengan ucapanku, karena birahiku sudah begitu dalam menguasai diriku. Tidak ada
lagi Agus yang alim, yang sopan, yang santun, yang selalu menghargai wanita.
Bahkan aku tak sendiri tidak ingat kapan ia membukai kaosku hingga kini aku
benar-benar bugil di hadapannya, sedangkan ia masih mengenakan baju tidurnya.
Aku benar-benar tak berkutik dibuatnya, bahkan sewaktu kucoba membuka kait BH
dan melolosi baju tidurnya, Mbak Ina dengan gesit menepis tanganku dan sama
sekali tidak memberi peluang bagiku.
“Sebentar sayang,
giliranku memuaskanmu ….,” desahnya di sela-sela permainan bibir dan lidahnya
yang begitu memabukkan.
Aku merasa seperti
terombang-ambing, apalagi waktu ia mencium, menjilat dan mengisap kulit perut,
pinggul dan pinggangku dengan gerakan lembut, berganti dengan gigitan-gigitan
kecil, lumatan kasar, bahkan kadang-kadang kurasakan perih bercampur nikmat.
Tangannya tak ketinggalan mengelus, mencubit, dan meremas pahaku, lutut, betis
juga bagian-bagian atas tubuhku, tak ketinggalan putingku yang semakin merah
akibat cubitan-cubitan kecilnya yang membuatku terlonjak-lonjak.
Dalam memuncaknya
gairahku, kulihat ia bergeser menempatkan tubuhnya berlutut di antara kedua
paha dan kakiku, kepalanya tepat di selangkanganku. Ia mengusap-usap rambut di
pangkal pahaku tanpa menyentuh penisku sama sekali hingga aku semakin
menggeliat-geliat dibuatnya. Masih dengan kesibukannya memainkan bulu-bulu di
sekitar penisku, bibir dan lidahnya mulai merambat ke sela-sela pahaku.
Lidahnya menjilati pahaku dan “Ahh … Mmmbakkk,…. ohhhh …. en…nakkkk … nikmattt
sayanggg….” aku terpekik waktu lidahnya menjilati kedua testisku secara
bergantian, apalagi waktu keduanya dimasukkan ke dalam mulutnya dan diisapnya
seakan-akan sedang menikmati es krim. Aku merasa terbang melayang.
Setelah itu, lidahnya
naik menjilati penisku, mulai dari bawah naik ke leher penis, pada bagian ini
ia melakukan gerakan melingkar, hingga lidahnya bergerak mengelilingi leher
penisku, lalu ia mengarahkan lidahnya ke lubang pipisku.
“Ohh… Ougghh … enakh
Mbaaakkk akkhhhh…” dan semakin tersentak saat kedua bibirnya mengecup kepala
penisku dan menelannya hingga seluruh kepalanya tertelan oleh mulutnya.
Dengan gerakan lembut,
Mbak Ina memasukkan dan mengeluarkan kepala penisku dalam mulutnya. Aku merasa
seakan-akan hampir tidak sadarkan diri, karena nikmat sewaktu penisku
dimasukkannya hingga pangkalnya dan terasa ujungnya membentur daging lembut di
tenggorokannya. Aku semakin menggelinjang saat merasakan jari-jarinya mengelus
lubang analku dan kurasakan ada cairan yang ia oleskan di situ, aku hanya
sempat melihat sekilas ke arah bawah, ternyata sesekali Mbak Ina memasukkan
jarinya ke mulutnya dan menaruh ludahnya ke lubang analku. Entah mengapa dan
bagaimana ia melakukannya, aku tak mau bertanya saat itu, hanya sanggup
merintih dan berusaha menikmatinya sambil meremasi rambutnya yang tergerai.
Pinggang dan pantatku
kunaikkan karena geliatku ke kiri dan ke kanan terasa sudah tidak memadai, dan
jeritan nikmatku kembali memecah di kamar hotel itu ketika jari tengah tangan
kanannya perlahan-lahan memasuki analku, sedikit demi sedikit dan akhirnya
sampai seluruhnya masuk ke analku. Kepalaku kugoyangkan ke kanan kiri dan kedua
tanganku menekan belakang kepala Mbak Ina ke arah pahaku, hingga seluruh batang
penisku masuk ke mulutnya. Belum pernah aku merasakan sensasi yang begitu
nikmat pada penis dan sekaligus analku.
“Mbak, aku nggak kuat,
akkhu … mau … keluar … Lepaskan Mbak, akkhh …” jeritku.
“Hm, sshhh …. ahh … sabar sayang, nikmati ya say… biar kutelan cairanmu sayang, … ahh… sss …. ekhhh…” desahnya dan kembali menelan penisku sambil jarinya semakin dalam masuk ke analku, ia masukkan dan keluarkan semakin cepat hingga aku semakin tinggi melayang-layang dalam alam kenikmatan. Ia mengulum, menjilat dan merangsek habis-habis.
“Hm, sshhh …. ahh … sabar sayang, nikmati ya say… biar kutelan cairanmu sayang, … ahh… sss …. ekhhh…” desahnya dan kembali menelan penisku sambil jarinya semakin dalam masuk ke analku, ia masukkan dan keluarkan semakin cepat hingga aku semakin tinggi melayang-layang dalam alam kenikmatan. Ia mengulum, menjilat dan merangsek habis-habis.
Entah karena pengaruh
film yang kami saksikan tadi atau rangsangan melihat Mbak Ina dalam baju
tidurnya dan aksinya yang begitu hebat, aku tak kuasa menahan cairan
kenikmatanku.
“Ougghhh … akhhhh …
Mbaaakkkk … Inaaahhhh …. akhhh nik..mat…,” jeritku tatkala penisku dengan
hebatnya menyemprotkan air mani ke dalam mulutnya. Aku terkejut karena dengan
ganasnya Mbak Ina menelan seluruh penisku dan menelan cairanku, bahkan isapan
bibirnya pada penisku begitu kencangnya hingga aku tak mampu menarik penisku
keluar.
Tangannya turut
bekerja mengelus dan meremas kedua biji testisku. Kurasa tak setetes pun air
maniku tersisa. Ia begitu menikmati kuluman mulutnya pada penisku dan kurasakan
lidahnya terus bermain menggelitiki batang penis dan lubang pipisku. Denyutan
penisku lebih sepuluh kali di dalam mulutnya.
Aku terengah-engah
karena orgasme yang kualami. Dengan istriku sendiri belum pernah kurasakan
kenikmatan demikian, karena seluruh pori-pori tubuhku seakan-akan turut
merasakannya, bukan hanya penisku. Mbak Ina kembali menciumi bibirku dan
kurasakan beberapa tetes cairanku sewaktu bibir dan lidah kami berpagutan.
Kupeluk dia sambil
meredakan debur jantungku yang begitu kencang, aku bertanya padanya, “Mengapa
…..?? Mengapa Mbak….?”
Kulihat ia
memandangiku dengan lembut dan meletakkan telunjuknya di bibirku, “Ssstt,
dengarkan kisahku sayang!”
Kutatap matanya,
kulihat di sana rasa sayang yang tulus. Ia melanjutkan,
“Sejak kamu masuk ke
perusahaan kita, sudah kuperhatikan bagaimana cara kamu memandangku. Walaupun
tidak pernah kamu katakan, aku dapat membaca tatapan matamu. Tapi aku sadar,
Gus, bahwa aku sudah bersuami dan punya anak, tak mungkin menikah denganmu. Dan
aku sempat cemburu, waktu kamu menikah. Kamu ingat bahwa aku tidak mau hadir
pada pesta pernikahanmu? Itu karena aku iri, istrimu mendapatkan pria sebaik
kamu.
Aku tidak berani
menggodamu di kantor kita, sebab aku sadar statusku sudah bersuami dan
teman-teman tahu bahwa aku bukan wanita penggoda. Apalagi kulihat kamu begitu
sopan dan tidak pernah kudengar sikapmu yang buruk terhadap karyawati di
perusahaan kita. Itu sebabnya mengapa waktu kita mendapat tugas bersama,
kuminta naik kereta api agar dapat bersentuhan denganmu setidak-tidaknya
beberapa jam. Kesempatan emas makin terbuka kurasa karena kamu mau menemaniku
berbelanja dan nonton.”
Tak kuasa berdiam
diri, keluar pengakuanku, “Aku sudah lama mengagumi dan menyayangimu Mbak, tapi
aku menyesal, sebab Mbak sudah menikah waktu kita bertemu. Aku juga tidak
berani mengganggu Mbak, karena kudengar dari teman-teman, Mbak adalah istri
yang sangat setia pada suami. Maafkan aku atas kejadian malam ini, Mb…”
“Husshh,” potongnya,
“Kamu tidak perlu minta maaf, Gus, justru akulah yang menggodamu sehingga malam
ini kita jadi begini. Aku cuma bikin alasan takut karena nonton film tadi dan
minta kau temani supaya kita dapat bermesraan sekarang. Paling tidak ini
saat-saat bahagia kita berdua. Kalau di Jakarta, tidak mungkin kita bisa
melakukan hal ini.”
Aku terdiam menyimak
kata-katanya dan kembali gairahku bangkit manakala jari-jarinya bermain di dada
dan perutku.
“Ah, Mbak … aku .. sayang kamu …,” bisikku perlahan di telinganya. “Sekarang giliranku memuaskanmu, ya Mbak sayang?” sambungku.
Ia tidak menjawab,
hanya mengangguk sambil memejamkan mata.
Aku dalam keadaan
masih telanjang menciumi rambutnya, keningnya, kedua kelopak matanya dan
hidungnya. Pipinya tak luput dari kecupanku dan kembali bibir kami bertemu
serta lidah kami bertautan. Lidahku masuk ke dalam mulutnya, mencari dan
memilin lidahnya, bahkan air ludahku ia isap dengan liar saat lidahku
menggelitik bagian atas rongga mulutnya. Di lain waktu, lidahnya masuk ke dalam
mulutku menggelitik gigi geligiku dan lidahku. Mulut dan lidah kami terus
saling mengulum dan membelit berbagi kenikmatan. Tangannya mengelus-elus kepala
dan rambutku. Jari-jariku kumainkan di pipi dan lehernya.
Kuturunkan kepalaku,
bibir dan lidahku menciumi lehernya yang jenjang dan turun ke pundaknya. Ia
makin menggeliat sambil mulutnya terus mendesah. “Akhh.. Gus, sayang … ah,
terus Gus, oohh… teruskan dong Gus, ja… jangan berhenti!”
Aku mengambil napas memandangi wajahnya sambil jari-jariku mengusap pundaknya dan bermain ke belakang punggungnya melepas kaitan BH-nya. Ia makin merintih manakala tali kait BH-nya kulepas sambil menciumi ketiaknya yang bersih, lidahku kumainkan di situ dan merambat ke arah payudaranya yang begitu sekal, kenyal dan padat.
“Oww… luar biasa
payudaramu, Mbak!” tak dapat kusembunyikan kekagumanku atas keindahan
payudaranya.
“Padahal Mbak sudah tidak berumur tiga puluhan lagi. Koq bisa masih begini kenyal ya Mbak? Seperti payudara gadis-gadis saja?” lanjutku.
“Ah, kau bisa saja, Gus! Aku kan sudah tua?” bantahnya sambil memainkan jari-jarinya mengelus dadaku.
“Kata siapa Mbak sudah tua? Nyatanya payudara Mbak masih lebih bagus daripada punya Waty istriku,” kataku lagi memuji.
“Gombal! Rayuan kuno Gus!” katanya lagi sambil menjentik pipiku dengan jarinya yang lentik.
Aku menghentikan
elusanku sambil mengamati payudaranya yang tak begitu besar, tetapi begitu
sekal, kenyal, sehingga sangat nikmat dielus dan diremas. Ukurannya tidak
terlalu besar, mungkin 34C, tetapi dengan putingnya yang begitu runcing
bagaikan stupa candi, membuatku sangat terangsang untuk mengecupnya.
“Ada apa sih, Gus? Koq
jadi melongo gitu?” tanyanya, entah heran atau bangga, karena melihat sikapku
yang begitu mengagumi keindahan payudaranya.
“Ini lho Mbak, puting payudaramu sangat cantik. Aku jadi ingat stupa Candi Borobodur. Bagian atas putingmu begitu runcing, tetapi di bagian bawahnya semakin melebar, sehingga tidak sama diameternya dengan ujung putingmu,” kataku lagi sembari mengelus lembut putingnya dan menjilati ujungnya kemudian turun ke belahan payudaranya.
“Ini lho Mbak, puting payudaramu sangat cantik. Aku jadi ingat stupa Candi Borobodur. Bagian atas putingmu begitu runcing, tetapi di bagian bawahnya semakin melebar, sehingga tidak sama diameternya dengan ujung putingmu,” kataku lagi sembari mengelus lembut putingnya dan menjilati ujungnya kemudian turun ke belahan payudaranya.
Benar-benar indah.
Seolah-olah ada dua gunung yang bertindihan melihat bentuk payudara dan
putingnya. Gunung pertama berujung pada putingnya, sedangkan gunung yang lebih
besar menyangga putingnya dan membentuk lembah indah ketika bertemu dengan
bagian lereng payudaranya yang lain.
“Ougghhh… Guuusss…
ohhh.. enak … yah… terus, terusss, sayang ….” rintihnya saat kukecup dan
kulumat putingnya dengan lidah dan bibirku tanpa menyentuh gunung payudaranya.
Ia semakin menggeliat-geliat saat bibirku memasukkan putingnya ke mulutku dan
mengecupnya dengan lembut, lama kelamaan makin kuat kemudian lembut lagi,
demikian seterusnya.
Apalagi kedua tanganku
mulai turut aktif meremas-remas kedua payudaranya sambil mulutku tak
henti-hentinya menjilat dan mengisap putingnya secara bergantian. Jari-jarinya
mulai mencari-cari penisku dan mengusap-usapnya lagi, tetapi kutepis dengan
halus sambil berkata,
“Sabar sayang, tadi
kan sudah Mbak puasi aku, sekarang giliranku dulu ya say…”
“Ahh… sshhh … ihhh … kau menyiksaku Gus … ohh…nikmatnya,” erangnya sambil menghempaskan kepalanya ke kanan kiri tak beraturan.
“Ahh… sshhh … ihhh … kau menyiksaku Gus … ohh…nikmatnya,” erangnya sambil menghempaskan kepalanya ke kanan kiri tak beraturan.
“Owwhh … ahhh…,” desahannya makin kuat waktu kedua kedua buah dadanya kudekatkan satu sama lain dan kedua putingnya kumasukkan ke mulutku serta kuisap secara berbarengan.
Beberapa menit aku
melakukan itu sambil lututku menekan-nekan dengan ritme yang beraturan pada
kemaluannya yang telah basah walaupun masih dibalut celana dalam. Dengan
setengah berlutut di samping tubuhnya yang menggeliat-geliat menahan nikmat,
aku terus memainkan bibir, lidah dan tanganku di puting dan kedua payudaranya
dan sebelah tanganku turun ke bagian bawah perutnya masuk ke balik celana
dalamnya yang semakin basah menelusuri rambut-rambut kemaluannya dan
mengusap-usap vaginanya yang membanjir. Begitu kutemukan sesuatu sebesar biji
kacang pada bagian atas vaginanya yang ternyata adalah klitorisnya, aku
melakukan usapan lembut dan perlahan-lahan menjepitnya dengan dua jari. Gerakan
tersebut membuatnya makin meracau dan menggeliat.
“Ya…. ya …. terusss …
ya …. sshh … itu Guss….., jangan berhenti …. ayo say …. gerakkan lebih cepat
tanganmu pada kelentitku. Oookkhhhh …. ekkhhh … uhhgg….” ia memberikan perintah
padaku sambil menggeliat-geliat semakin tak menentu.
Mendengar
permintaannya itu, aku malah berdiam diri sejenak, hingga ia tersentak,
“Oohh, ada apa … Gus?
Jangan berhenti, cepaattt … aku sudah hampir sampai … ohhh jangan siksa
akuuuu…” rintihnya lirih.
Aku tidak menyahut,
tetapi kembali kubenamkan wajahku ke dadanya mencium, menjilat dan mengisap
puting dan kedua payudaranya. Putingnya kuisap kuat-kuat sambil menekankan
mulutku ke payudaranya. Bukannya menolak, ia justru makin membusungkan dadanya
ke atas hingga kedua payudaranya membuatku semakin tak bisa bernapas.
Kumasukkan putingnya bergantian ke dalam mulutku sambil mengisap buah dadanya
sebanyak yang dapat kumasukkan ke mulutku.
“Ooooohhhhhhh …..
akkkhhh …. ssshh …. kamu pinnn…tarrr … Gus!” erangnya.
Jari-jariku yang
bermain di klitorisnya terus melakukan sentuhan dan tekanan yang semakin cepat,
sesekali telunjukku kumasukkan ke liang vaginanya hingga cairannya semakin
banyak merembes. Kuusap-usap klitorisnya semakin cepat dan makin cepat hingga
pinggulnya dihentak-hentakkannya ke atas memberikan suguhan pemandangan yang
indah bagiku tentang pesona kenikmatan seorang wanita.
“Ahkhh … ak .. akkhu …
mmmmaauu … keluar Gus … sayaanggg … sshhh… eekhh … ooohhhhh…..!” jeritnya
panjang.
Kedua belah pahanya
menjepit kedua kakiku dengan eratnya sedangkan tangan kananku dijepitnya di
vaginanya yang membanjir dengan cairan kenikmatan, kedua tangannya memeluk
punggungku sambil mulutnya mencari-cari mulutku dan menciuminya dengan ganas
bahkan dengan lihaynya diisap dan digigitnya lembut lidahku.
Ia masih
terengah-engah saat berkata,
“Ohhh… kau begitu
pandai memanjakanku, Gus.”
Aku tersenyum sambil
mengusap rambut-rambut kemaluannya yang basah kuyup. “Aku masih pakai celana
pun sudah kau buat orgasme,” sambungnya.
“Sayangku, apa yang
kulakukan hanyalah merespon rasa cintamu padaku,” ujarku lembut sambil
membelai-belai payudaranya dan tubuhnya yang telanjang.
“Ngomong-ngomong, koq payudaramu masih sekal banget, Mbak, diapain sih koq tidak kendor walaupun sudah punya dua anak dan kawin begitu lama?” celetukku penasaran.
“Aku kan tidak pernah menyusui anak-anakku, Gus, karena ASI-ku tidak banyak. Lalu karena dokter menyarankan susu kaleng, yah jadi keterusan, nggak menyusui. Selama ini cuma suamikulah yang menyusu padaku, dan terakhir ini, yah kamu….” katanya sambil memijat hidungku lembut.
“Emang kenapa sih nanya-nanyain itu?
“Ngomong-ngomong, koq payudaramu masih sekal banget, Mbak, diapain sih koq tidak kendor walaupun sudah punya dua anak dan kawin begitu lama?” celetukku penasaran.
“Aku kan tidak pernah menyusui anak-anakku, Gus, karena ASI-ku tidak banyak. Lalu karena dokter menyarankan susu kaleng, yah jadi keterusan, nggak menyusui. Selama ini cuma suamikulah yang menyusu padaku, dan terakhir ini, yah kamu….” katanya sambil memijat hidungku lembut.
“Emang kenapa sih nanya-nanyain itu?
“Soalnya waktu memesrai buah dada Mbak, tidak seperti buah dada wanita yang sudah punya anak. Kayak payudara gadis aja sih? Dikasih semalaman menjilatinya pun mau aku” kataku.
“Genit kamu, Gus … hi .. hi .. hi ..” tawanya.
“Berarti aku ini orang kedua yang pernah mencicipi buah dadamu, ya?” kataku lagi.
Setelah terdiam
beberapa saat, kutanya dia, “Apakah siap untuk permainan yang sebenarnya, Mbak
Ina sayang?” aku bertanya sambil merabai pahanya dan berusaha membuka celana
dalamnya.
Ia menatapku dengan tatapan sayu tapi penuh rasa sayang, “Gus, aku sangat ingin melakukan itu denganmu, tapi … tapi …,” ia tak melanjutkan kalimatnya.
Ia menatapku dengan tatapan sayu tapi penuh rasa sayang, “Gus, aku sangat ingin melakukan itu denganmu, tapi … tapi …,” ia tak melanjutkan kalimatnya.
“Mengapa sayang?
Apakah Mbak takut hamil akibat perbuatan kita?” tanyaku.
“Bukan itu, Gus! Di usiaku sekarang tentu sudah sulit hamil bagiku, apalagi aku pakai spiral. Yang kutakutkan adalah jika hubungan kita ini membuatku lupa akan suamiku.
“Bukan itu, Gus! Di usiaku sekarang tentu sudah sulit hamil bagiku, apalagi aku pakai spiral. Yang kutakutkan adalah jika hubungan kita ini membuatku lupa akan suamiku.
Ia begitu baik, setia
dan percaya pada isterinya, tapi aku telah mengkhianati cintanya dan janji
perkawinan kami,” lanjutnya sambil menatapku dengan mata berkaca-kaca. Oh,
ternyata wanita ini bukanlah tipe penggoda, bukan pula tipe pengkhianat rumah
tangga, aku semakin mengagumi pribadinya, tetapi aku masih berusaha
menggodanya.
“Kalau begitu,
terserah Mbak sajalah. Aku tidak mau memaksa apalagi memperkosamu, sebab
cintaku pada Mbak tidak mengijinkan pemaksaan,” kataku. Tapi aku sendiri
bingung apakah ucapanku itu karena menyetujui pendapatnya atau karena kesal
oleh penolakannya.
Ia mengecup pipi dan
bibirku sambil memelukku makin erat, kulihat air matanya menitik dari
celah-celah pelupuk matanya, ia berkata, “Gus sayang, jangan salah sangka. Aku
sangat sayang pada kamu, tetapi aku sudah bersuami dan punya anak, kamu pun
sudah beristeri. Jangan sampai kita melakukan persetubuhan yang bisa membuat
kita lupa akan keluarga kita.”
“Lalu, yang kita
lakukan tadi apa, Mbak? Bukankah itu sudah termasuk pengkhianatan?” tangkisku.
“Kalau memang Mbak tidak suka, mengapa Mbak merencanakan semua ini?” aku makin tajam mendakwanya.
“Kalau memang Mbak tidak suka, mengapa Mbak merencanakan semua ini?” aku makin tajam mendakwanya.
Ia makin terisak-isak
pilu sehingga aku merasa menyesal telah membuatnya merasa begitu bersalah,
padahal aku pun ikut andil dalam kejadian ini. Aku berdiam diri sambil
mengusap-usap rambut dan wajahnya serta punggungnya dengan lembut.
Beberapa saat
kemudian, kulihat ia mengusap air matanya dan dirinya sudah semakin tenang. Ia
mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Gus, aku pernah baca artikel,
bahwa anal-sex merupakan salah satu alternatif hubungan seks. Kalau kamu tidak
keberatan, lakukanlah hal itu walaupun aku sendiri belum pernah melakukannya
dengan orang lain bahkan suamiku.”
Aku terperanjat mendengar bisikannya, tapi merasa tergoda mencoba hal itu, apalagi dengan isteriku sendiri pun hal itu belum pernah kulakukan. “Entah bagaimana rasanya?” pikirku sambil membayangkan andaikan kami melakukannya sekarang.
Aku terperanjat mendengar bisikannya, tapi merasa tergoda mencoba hal itu, apalagi dengan isteriku sendiri pun hal itu belum pernah kulakukan. “Entah bagaimana rasanya?” pikirku sambil membayangkan andaikan kami melakukannya sekarang.
Sekonyong-konyong ia
membuka celana dalamnya dan sisa gaun yang melekat di tubuhnya dan berbaring
terlentang.
“Ayo Gus, setubuhi aku
lewat analku agar kau dan aku bersatu malaupun tidak dengan cara yang
sesungguhnya,” ajaknya.
Birahiku bangkit
melihat tubuhnya yang terpampang indah di hadapanku. Perlahan kucium bibirnya,
berpagutan dengan berbagai variasi dan saling memilin lidah. Turun ke payudara
dan putingnya yang kembali tegang, perut dan pusarnya kembali menjadi sasaran
lidah dan bibirku, kemudian jari-jariku menjelajahi rambut kemaluannya yang
tipis tapi dicukur dengan rapi sehingga bagian seputar labia vaginanya
betul-betul bersih. Bibirku terus turun menjelajahi pangkal pahanya, melakukan
isapan dan jilatan lembut hingga ia menggeliat-geliat sambil mendesah. Tibalah
saatnya kuperhatikan klitorisnya yang makin membesar di bagian depan vaginanya.
Kusentuh dengan lidahku hingga ia terpekik ,”Ahhh … kau apakan aku sayang?” Aku
tidak menjawab karena yakin ia baik-baik saja dan itu merupakan permintaan
halus agar aku meneruskan aktivitasku.
Klitorisnya kujilat
tanpa mencium labia vaginanya sama sekali. Ia terus meracau sambil kedua
tangannya menekan belakang kepalaku hingga hidung dan mulutku tepat berada di
vaginanya yang sudah banjir. Bibirku menjilati dan sesekali mengisap labianya.
Dan ketika klitorisnya kujilat dan kumasukkan ke mulutku sambil kuhisap lembut
dan makin kuat, ia tak kuasa menahan gairahnya, pantatnya terangkat ke atas,
tapi kedua tangannya tetap berusaha menekan kepalaku agar tetap berada di
kemaluannya. Jari-jariku meremas-remas kedua bongkah pantatnya dan sesekali
satu tangan bergantian meremas payudaranya. Geliatnya makin tak beraturan, bahkan
ia makin kuat menghempas-hempaskan pinggul dan pantatnya ke sana ke mari,
tetapi aku tidak memberikan kesempatan untuk melepaskan diri, karena aku tahu,
justru hal itulah yang ia inginkan.
Ke mana pinggulnya
bergerak, ke situ wajahku ikut sambil bibir dan lidahku mencium, menjilat dan
mengisap seluruh organ kemaluannya. Cairan vaginanya kembali membanjir dan
entah sudah berapa banyak kutelan masuk dalam mulutku. Rasanya gurih, sedikit
asin, tetapi aromanya begitu sedap dan tidak berbau amis, mungkin karena ia
rajin merawat bagian tubuhnya itu. Rintihannya makin tak beraturan saat dua
jari tengah dan telunjuk tangan kanan kumasukkan pelan-pelan ke vaginanya
sambil terus melakukan aksi dengan bibir dan lidahku, terlebih saat jari tengah
tangan kiri kumasukkan ke lubang analnya setelah kuolesi ludah dan cairan
vaginanya.
“Ahhh… Guuussss ….
aaa… kkhuuuu …. ahh … ohhh … nikmatnya ….Shhsshh … ahh ..” suaranya tidak lagi
keras, tetapi lebih merupakan desisan dan rintihan.
“Ahhkhhh … lebih cepat Gusss sayang ….!” ia memohon. Kupercepat aksiku dan kurasakan betapa bagian dalam vaginanya meremas-remas jariku dan analnya pun memberikan jepitan yang luar biasa pada jari tengah tangan kiriku.
“Ahhkhhh … lebih cepat Gusss sayang ….!” ia memohon. Kupercepat aksiku dan kurasakan betapa bagian dalam vaginanya meremas-remas jariku dan analnya pun memberikan jepitan yang luar biasa pada jari tengah tangan kiriku.
Tanpa memberinya
peluang untuk melawan, kulakukan gerakan semakin cepat, hingga ia
meronta-ronta, menggelinjang-gelinjang dengan rambut yang tak beraturan dan
bola matanya membeliak menahan kenikmatan yang sudah di ambang pintu.
Dengan satu hentakan, kulakukan gerakan bersamaan ke vagina dan analnya sambil mengisap klitorisnya dengan cepat tetapi lembut. “Aaaakhhhhhh ….. aku …. keluar Gus!!!” jeritnya sambil mencakar pundak dan punggungku. Kulihat di ujung matanya menetes air mata. Kulepaskan jari-jariku dari bagian bawah tubuhnya dan kurengkuh tubuhnya sambil menciumi matanya, kujilati air matanya sambil membelai-belai rambutnya.
Dengan satu hentakan, kulakukan gerakan bersamaan ke vagina dan analnya sambil mengisap klitorisnya dengan cepat tetapi lembut. “Aaaakhhhhhh ….. aku …. keluar Gus!!!” jeritnya sambil mencakar pundak dan punggungku. Kulihat di ujung matanya menetes air mata. Kulepaskan jari-jariku dari bagian bawah tubuhnya dan kurengkuh tubuhnya sambil menciumi matanya, kujilati air matanya sambil membelai-belai rambutnya.
“Kenapa Mbak? Apakah
aku menyakitimu?” tanyaku sambil memeluk dirinya.
“Ohhh… sayang. Agusku sayang, aku begitu bahagia. Begitu luar biasa kenikmatan yang kau berikan.
“Ohhh… sayang. Agusku sayang, aku begitu bahagia. Begitu luar biasa kenikmatan yang kau berikan.
Suamiku sendiri belum
pernah memperlakukan diriku sepertimu. Terima kasih sayang,” bisiknya sambil
mengecup leher dan bibirku.
Orgasme yang kedua
kalinya membuat Mbak Ina terkapar tanpa seutas benang pun melekat pada
tubuhnya. Kami berbaring terlentang sambil berpegangan dan meremas tangan. Aku
merasa agak lelah karena sudah memuaskannya sedemikian rupa. Tak sadar aku
tertidur. Beberapa saat kemudian kurasakan elusan pada dada, perut dan pahaku.
Penisku yang sudah terkulai kembali bangun akibat elusan jari-jari lembut pada
dirinya. Mataku kubuka perlahan dan kulihat Mbak Ina sudah berlutut di samping
tubuhku sambil merabai tubuhku. “Luar biasa wanita ini. Masih sanggup bermain
lagi rupanya?” kataku dalam hati.
Aku pura-pura masih
tertidur, tapi waktu kurasakan kepala penisku dikulum oleh mulut lembut Mbak
Ina, aku tak kuasa lagi, erangan nikmat pun kembali kulantunkan. “Ahhhh, mau
apa lagi Mbak?” Tanganku mengelus-elus rambutnya yang tergerai di perut dan
dadaku.
“Aku tak mau stand
kita masih 1-2, belum 2-2. Aku mau memuaskanmu sekali lagi,” katanya.
“Maksud Mbak gimana?” tanyaku berlagak pilon, tetapi senang juga dengan perlakuannya.
“Tadi kan sudah kubilang supaya kita main anal, koq kau tidak lakukan?” desaknya.
“Apa nggak sakit nanti Mbak? Aku sih mau-mau saja, apalagi kata orang enak banget rasanya. Pengen sih nyobain,” kataku menggoda.
“Maksud Mbak gimana?” tanyaku berlagak pilon, tetapi senang juga dengan perlakuannya.
“Tadi kan sudah kubilang supaya kita main anal, koq kau tidak lakukan?” desaknya.
“Apa nggak sakit nanti Mbak? Aku sih mau-mau saja, apalagi kata orang enak banget rasanya. Pengen sih nyobain,” kataku menggoda.
“Emang istrimu belum pernah kau gituin?” tanyanya.
Aku tidak menjawab,
malah balik bertanya, “Mbak sendiri apa pernah melakukannya dengan suami Mbak?”
“Suamiku sih mau
menang sendiri aja. Baru sebentar main, sudah keluar. Aku sering dibiarkan
mencari kenikmatan sendiri. Jangankan main anal, main biasa aja ia sering
kewalahan. Satu ronde saja sudah terkapar,” gumamnya.
“Wah, nasib kita sama dong, Mbak” kataku.
“Istriku pun masih kuno. Nggak kayak Mbak ini. Seringkali aku yang meminta baru ia mau berhubungan badan. Kalau aku diam aja, ya dia tidak pernah mau minta kusetubuhi. Padahal kami laki-laki pun senang jika istri meminta, bukan kami saja yang minta, iya nggak? Posisi kami pun gitu-gitu aja, tidak mau coba variasi macem-macem.”
Entah mengapa aku
begitu terbuka padanya tentang rahasia di balik ranjang perkawinanku.
“Kasihan kamu ya!”
timpalnya, “Melihat bentuk tubuhmu, nafsu seks-mu pasti sangat hebat, tapi
dengan istri yang begitu, bisa-bisa jajan terus dong kamu!” katanya mencoba
mengorek informasi.
“Aku tak berani jajan, Mbak. Takut kena penyakit kelamin,” elakku. “Paling-paling kalau sudah tidak tahan, yah main “swalayan” alias pake sabun di kamar mandi. Malah dengan perempuan lain, yah baru dengan Mbak inilah,” ungkapku jujur.
“Masak sih? Apa iya ada lelaki jujur di abad ini?” tukas Mbak Ina sambil mencubit pipiku.
“Buat apa aku bohong Mbak, apalagi kepada wanita yang kusayangi seperti Mbak ini,” kataku.
“Iya deh, aku percaya kata-katamu,” ia menutup percakapan kami sambil kembali memelukku dengan tubuhnya di atasku.
“Aku tak berani jajan, Mbak. Takut kena penyakit kelamin,” elakku. “Paling-paling kalau sudah tidak tahan, yah main “swalayan” alias pake sabun di kamar mandi. Malah dengan perempuan lain, yah baru dengan Mbak inilah,” ungkapku jujur.
“Masak sih? Apa iya ada lelaki jujur di abad ini?” tukas Mbak Ina sambil mencubit pipiku.
“Buat apa aku bohong Mbak, apalagi kepada wanita yang kusayangi seperti Mbak ini,” kataku.
“Iya deh, aku percaya kata-katamu,” ia menutup percakapan kami sambil kembali memelukku dengan tubuhnya di atasku.
Himpitan payudaranya
membuatku kembali terangsang, apalagi jari-jarinya bermain di sekitar paha dan
mulai merabai penis dan testisku kembali. Aku berbisik padanya, “Mbak, sudah
siap main anal-nya? Aku jadi kepengen nih atas ajakan Mbak tadi?”
“Sudah siap sejak
tadi, sayang, tapi kamunya malah bikin aku kesetanan dengan orgasmeku tadi,”
jawabnya.
Kembali kuciumi
seluruh tubuhnya, bahkan hingga telapak kaki dan jari-jari kakinya, hingga ia
kembali mendesah, merintih dan menjerit kecil di kamar hotel itu. Dengan cairan
vaginanya yang kembali membanjir, kubasahi lubang analnya dan kuperhatikan
bentuknya yang begitu mungil tetapi geliatnya persis mpot-mpotan ayam seperti
pernah kubaca di buku tentang seksologi. Aku tak tahan memandanginya terus,
kujilati analnya dan pelan-pelan kumasukkan satu jari ke dalam. Mbak Ina
mengerang. Tubuhnya kubalikkan dengan pantat di atas, sehingga dengan posisi
menungging dapat kulihat lebih jelas bentuknya. Ia makin merintih waktu jariku
kumasukkan lebih dalam.
“Ayo sayang, sekarang
… aku sudah tak tahan …” desahnya.
Kutempatkan pinggulku
tepat di belakang kedua belah pantatnya yang sintal dan perlahan-lahan kepala
penis kugesekkan ke lubang analnya. Ia mendesah semakin lirih. Kepala penisku
kudesakkan, mula-mula agak susah karena lubangnya begitu kecil. Namun begitu
kuolesi lagi dengan ludahku dan cairan vaginanya, sudah semakin mudah dimasuki.
Kepala penisku pun masuk dengan sukses. “Aukhhh… sakittt sayang…,” desisnya. Aku
menghentikan dorongan penisku dan berniat menariknya, tetapi ia justru menarik
kedua belah pahaku kembali meneruskan kegiatanku. “Oohhh, enak banget penismu
sayang ….,” rintihnya.
Aku berdiam diri
sejenak, lalu kuteruskan aksiku mendorong penis makin dalam memasuki analnya.
Setengah penisku sudah masuk, ia agak mendongakkan kepala seakan menahan sakit,
tetapi gerakannya pantatnya malah mundur pantatnya agar penisku masuk lebih
dalam lagi. Setelah penisku masuk 2/3, kutarik mundur, kumajukan lagi, demikian
seterusnya. Dan kalau kurasa agak susah masuk, kembali kuberikan ludahku untuk
melincinkan jalan masuk penis ke dalam analnya. Mbak Ina merintih-rintih dengan
nikmat, apalagi tangan kiriku memainkan vaginanya dari depan dan tangan kananku
meraih payudaranya, sehingga ia merasakan kenikmatan yang begitu luar biasa.
“Oughhh … Guusss,
ssshhh … akhhh,” desisnya seperti orang kepedasan akibat rasa nikmat yang tak
terkatakan. “Terusss …. okhh …. terrussskaaan …. sayyyang … ahhhhh …”
Rintihannya semakin
kuat dan suatu ketika ia menjerit-jerit sambil menghentakkan pantatnya ke
belakang hingga tak ayal lagi seluruh penisku menghunjam ke dalam analnya.
Akibatnya sangat luar biasa. Aku begitu terpukau dengan gerakannya dan
melakukan reaksi berupa gerakan cepat dan sesekali memutar dalam analnya.
Mbak Ina
merintih-rintih. Kedua tanganku terus bermain di vagina dan payudaranya,
apalagi waktu dadaku kudekatkan merapat ke punggungnya sambil merabai payudara
dan membelai serta memelintir putingnya, ia makin kuat meronta-ronta tapi tidak
berusaha melepaskan hunjamanku pada analnya. Gerakannya makin liar dan akhirnya
ia tidak lagi menungging, tetapi tengkurap di ranjang tetapi dengan tanganku
masih meremas payudara dan vaginanya dan hebatnya, dengan posisi ini, kurasakan
penisku mendapatkan lumatan yang begitu dahsyat dalam analnya.
“Ayo sayang, ahhh ….
ayyooo …. keluarin spermamu di analku, ohhhh …. tidak usah dikeluarkan di
luar,” rintihnya. “Akkhhh … sayang …. oughhh… nik … mattt …., uhhhh …. ohhh ….
aku keluar lagi sayangggg…. aaaakkhhhh,” jeritnya.
Kurasakan betapa kuat
jepitan otot-otot analnya pada penisku, sensasi yang luar biasa merasuki diriku
dan dengan hentakan yang kuat pada analnya, penisku menyemprotkan cairan
kenikmatan di dalam liang analnya. Denyutan vaginanya yang demikian basah pada
jari-jari tanganku bersaing dengan remasan otot-otot di liang analnya.
Aku terpekik merasakan
kenikmatan yang begitu dahsyat,
“Aku … ohhh, …. aku ..
juga keluar, Mbak Ina …. ooohhh … sayyy… sayang …. akhh ….,” bisikku di telinga
Mbak Ina saat menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya sembari menggigit pundaknya
dengan gemas dengan penisku masih tetap berada di analnya.
Kunikmati denyutan
demi denyutan pada liang vaginanya dan analnya yang menjepit penisku. Kuangkat
perlahan-lahan penisku keluar dari analnya dan kuperhatikan beberapa tetesan
cairan kenikmatanku turut keluar dari analnya membasahi pangkal pahanya.
“Penismu enak banget
say…,” desahnya di telingaku sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arahku.
“Enak mana dibanding suami Mbak?” godaku.
“Enakan punyamu Gus!”
“Enak mana dibanding suami Mbak?” godaku.
“Enakan punyamu Gus!”
“Emang penisku lebih besar dari punya suami Mbak?” tanyaku dengan rasa ingin tahu yang besar.
“Ukurannya sih lebih besar dan lebih panjang dari punyamu, Gus. Tapi apa artinya kalau tidak bisa menggunakannya dengan baik? Enakan yang biasa-biasa aja kayak punyamu, tapi begitu perkasa memuaskan wanitanya,” katanya sambil meraba penisku yang mulai melembek.
“Lho, bukannya kalau lebih besar pasti lebih enak, Mbak?” Ada sedikit rasa iri padaku mendengar pengakuannya bahwa penis suaminya lebih besar daripada penisku.
“Yaah, itu kan kata orang. Aku yang menjadi istri lebih sepuluh tahun, bisa merasakan orgasme sekali sebulan pun sudah untung. Apalagi akhir-akhir ini seringkali cuma sekali seminggu berhubungan badan, itu pun kebanyakan karena kuminta,” paparnya.
“Tahu nggak Gus, walaupun kata orang, gairah wanita makin menurun pada usia empat puluh menjelang menopause, tapi aku sendiri merasa seolah-olah gairah masa mudaku kembali lagi. Entah mengapa bisa begitu? Aku sendiri heran tuh,” lanjutnya.
“Kan ada aku, Mbak? Kalau butuh kenikmatan, aku tidak akan menolak Mbak,” rayuku.
“Gus, Gus …. kamu ternyata pandai memuaskan dan menyenangkan wanita,” katanya menanggapi rayuanku,
“Tapi jangan lupa, kalau di Jakarta, mana mungkin kita begini? Bisa-bisa rumah tangga kita masing-masing hancur, iya nggak?”
Aku terdiam menyimak
kata-katanya sambil mengelus-elus rambutnya di keningnya dan yang tergerai di
dadaku. “Ya, benar Mbak. Apalagi reputasi Mbak begitu bagus selama ini.
Bisa-bisa semuanya jadi tak berarti kalau perselingkuhan kita ketahuan ya?”
“Benar Gus,” jawabnya,
“Tapi, jangan biarkan aku sendiri tidur kalau tugas berdua seperti ini lagi keluar kota ya?” pintanya.
“Emang masih boleh nanti-nanti, Mbak? Apa nggak takut ketahuan kenalan kita jika kebetulan ketemu?” tukasku.
“Ah, kalau lagi tugas gini, kita tetap aja pesan dua kamar terpisah, tapi kalau malam tidurnya bareng,” imbuhnya membuat hatiku berbunga-bunga.
“Berarti masih ada kesempatan lain untuk bermesraan dengannya, walaupun mungkin ia takkan pernah mau melakukan hubungan badan lewat vaginanya,” pikirku nakal.
“Duhh, aku senang banget mendengar kata-kata Mbak,” kataku. “Lebih enak tidur berdua gini, bisa makin fresh kalau balik ke Jakarta ya?”
Ia tidak menjawab,
hanya tersenyum dan memainkan jari-jarinya di dadaku. Aku berbaring terlentang
di sebelahnya dan ia berbaring lelah dengan kepalanya di dadaku sambil
mengusap-usap perut dan penisku. Matanya terpejam dan iapun tertidur. Aku pun
tak kuasa menahan kelopak mataku, tapi sebelum tertidur dalam posisi telanjang,
masih sempat kutoleh jam dinding menunjukkan angka 4.
Waktu terbangun, aku
merasa tubuh Mbak Ina masih tergolek di atas tubuhku. Tangannya masih memegangi
penisku yang sudah layu dengan sisa-sisa sperma yang telah mengering. Kutengok
jam telah menunjukkan pukul 7 pagi, berarti aku tertidur selama 3 jam. Aku
ingin bangun dan berusaha memindahkan tubuhnya ke sampingku, tetapi tiba-tiba
Mbak Ina meraih pinggangku sehingga tubuhku rebah di atas tubuhnya. Payudaranya
kurasa kenyal, liat, belum kendor, menekan dadaku, apalagi kutoleh putingnya
sudah tegang lagi.
“Ah… kuat benar nafsu
wanita ini, padahal dalam keseharian ia tampil begitu sopan, tidak nampak binal
sama sekali,” batinku.
Dengan mata masih terpejam,
ia menciumi bibirku dan mengusap-usap punggungku sambil berkata,
“Sayangku, betapa
nikmat kebersamaan kita tadi.” Aku menggulirkan tubuhku ke sampingnya dan
memandangi wajahnya dengan memiringkan tubuh,
“Ya Mbak, aku merasa seperti musafir kehausan yang baru menemukan oase,” sambutku sambil membelai-belai anak-anak rambut di keningnya.
“Gusss,” bisiknya lembut di telingaku sambil menciumi belakang telingaku hingga desah napasnya terasa menggelitik membuatku geli tapi nikmat.
“Ya Mbak, aku merasa seperti musafir kehausan yang baru menemukan oase,” sambutku sambil membelai-belai anak-anak rambut di keningnya.
“Gusss,” bisiknya lembut di telingaku sambil menciumi belakang telingaku hingga desah napasnya terasa menggelitik membuatku geli tapi nikmat.
“Aku mau sarapan …”
“Ayo Mbak, apa kupesankan breakfast by phone?” timpalku.
“Bukan sarapan itu maksudku, sayang,” desahnya sambil mencubiti kedua putingku bergantian, “Aku mau mengulangi kemesraan kita yang tadi … please!” sahutnya menghiba.
Gairahku bergolak
kembali, apalagi ia langsung bergerak ke arah selangkanganku dan menempatkan
tubuhnya di atas tubuhku dengan posisi terbalik. Kepalanya ia tempatkan di
pangkal pahaku, sedangkan pahanya mencari tempat di atas wajahku. Jari-jari
tangannya meraih penisku, dengan bibir dan lidahnya ia mengecup kepala dan
leher penisku, kemudian menjilatinya seperti anak kecil yang kesenangan
menikmati es krim. Aku tak kuasa menolakkan tubuhnya, bahkan mulai menikmati
posisi 69 yang ia tawarkan. Vaginanya mulai terasa basah lagi sewaktu bibir dan
lidahku menyeruak menjilati bibir-bibir vaginanya yang merah merona.
Kedua tanganku
kulingkarkan ke atas hingga tepat memegang kedua belahan pantatnya. Remasan
demi remasan di pantatnya membuatnya mengerang,
“Ahhh … nikmatnya
say.”
Lidahku makin gesit bermain
menjilati kedua labia vaginanya, bahkan bibirku mulai mengisap secara
bergantian bibir-bibir yang menyimpan kenikmatan itu. Saat kujilat klitorisnya,
pahanya nampak bergetar menahan nikmat, apalagi saat jari telunjukku kumasukkan
lagi menerobos analnya, ia semakin merintih bahkan sesekali menjerit. Tetapi ia
tidak berusaha mengangkat pantatnya dari jilatan dan hisapanku; bahkan ia
semakin kuat menekan pantatnya ke bawah hingga kurasakan hidung dan mulutku
terbenam pada vaginanya yang merekah.
“Ohhh… Agusss….,
terusss … teruskan sayangkuuuu….,” desahnya sambil meliuk-liukkan pinggulnya.
“Sekarang, sekarang masukkan lagi penismu di analku, sayanggghhh …. ooougghh ….,” rintihnya sambil berbalik terlentang dan membuka kedua pahanya lebar-lebar.
“Sekarang, sekarang masukkan lagi penismu di analku, sayanggghhh …. ooougghh ….,” rintihnya sambil berbalik terlentang dan membuka kedua pahanya lebar-lebar.
Ohhh, sungguh
fantastis, dibawah cahaya mentari yang masuk lewat gordijn jendela kamar hotel,
kulihat betapa indah bentuk vaginanya yang telah kumesrai semalam.
Aku berlutut di antara
kedua pahanya. Ia sudah menggelepar-gelepar seperti ikan terlempar dari air ke
daratan, karena jari-jari tanganku terus bermain di klitoris dan vaginanya.
Kedua tangannya kini meremas-remas payudara dan putingnya, matanya membeliak
karena kenikmatan yang ia rasakan. Kedua kakinya kutarik lembut dan kuletakkan
ke atas bahuku sambil mendekatkan lutut makin rapat ke pangkal pahanya.
Jari-jariku
mengait-ngait klitoris dan vaginanya dan cairan kenikmatan yang dihasilkan
rongga vaginanya kuusapkan di analnya, juga air ludahku untuk menambah licinnya
penetrasi penisku, bahkan kumasukkan jari telunjuk kanan ke dalamnya. Ia
mengerang sambil terus meremas-remas dan mempermainkan payudaranya sendiri. Aku
terpukau melihat gayanya. Ternyata Mbak Ina yang begitu tenang dalam penampilan
di kantor, menyimpan kekuatan seks yang sangat hebat. Gayanya mengingatkanku
pada pola permainan bintang film porno.
Setelah kurasa cairan
vaginanya bercampur air ludahku telah cukup sebagai pelumas untuk memberi jalan
bagi penisku, kepala penis kutempatkan di mulut analnya, mengulas-ulasnya
beberapa saat, dan kumasukkan pelan-pelan sambil memperbaiki letak kakinya di
pundakku.
“Akhh …. sshhhh …
ougghhh … pelan-pelan sayanggghhh….akhhh,” rintihnya dan kedua tangannya
seakan-akan ingin menolakkan pahaku, tetapi waktu kutarik mundur penisku dari
analnya, kedua tangannya justru meraih pahaku untuk semakin rapat ke pahanya.
Aku kembali melakukan
tekanan dengan tenaga yang makin meninggi, walaupun belum berani
memasuk-keluarkan penis dengan gerakan cepat di analnya, khawatir terjadi
iritasi pada analnya.
“Terus … ohhhh …
te..russs…kan ….. sayyyanggg …. akhhhhhh,” mulutnya mendesis sambil lidahnya ia
julurkan keluar mulutnya dan menjilati bibirnya sendiri. Semakin lengkap
penampilannya kulihat sebagai bintang seks.
Penisku sudah lebih
setengah bermain di analnya, tetapi ia justru makin memajukan pahanya agar
penisku masuk lebih dalam lagi. Kedua tangannya meraih kedua pahaku agar lebih
rapat lagi ke pahanya. Dan waktu penisku masuk seluruhnya, tubuhnya terasa
mengejang, sehingga aku sempat kaget dan menghentikan gerakanku.
“Ada apa, Mbak? Apakah
aku menyakitimu?” tanyaku lembut.
“Ohhh… tidak, tidak sayang…. Teruskan, teruskan … akkhhh… enn…nak sayang….”
“Ohhh… tidak, tidak sayang…. Teruskan, teruskan … akkhhh… enn…nak sayang….”
ia merintih sambil
menghempaskan kepalanya ke kanan kiri. Tangannya bergantian bermain di
payudaranya dan sesekali meremas-remas sprei ranjang.
Kedua kakinya sudah hampir tegak lurus terhadap tubuhnya, berjuntai di pundakku. Kupercepat gerakan penis di analnya sambil jari-jariku kembali merangsang klitoris dan vaginanya, bahkan dua jariku kumasukkan ke dalam vaginanya, hingga ia terpekik.
Kedua kakinya sudah hampir tegak lurus terhadap tubuhnya, berjuntai di pundakku. Kupercepat gerakan penis di analnya sambil jari-jariku kembali merangsang klitoris dan vaginanya, bahkan dua jariku kumasukkan ke dalam vaginanya, hingga ia terpekik.
“Gussss!!! Ahhh ….
nikmatttt sayyy …” rintihannya.
Suara kecipak penisku
beradu dengan analnya dan jari-jariku masuk keluar vaginanya melantunkan irama
yang sangat nikmat untuk didengar. Gerakan kami semakin liar dan tak beraturan.
Rintihan kami berdua bercampur bunyi kelamin kami. Penisku makin cepat
kuhunjamkan ke analnya hingga terasa ada jepitan yang begitu kuat di kepala
penisku.
“Ahhh… koq rasanya
seperti vagina saja jadinya?” pikirku.
“Ayo say … goyang … goyang yang kuat,” katanya sambil menikmati gerakan pantatku yang tidak lagi hanya maju mundur, tetapi juga menggunakan gerakan ngebor.
“Ayo say … goyang … goyang yang kuat,” katanya sambil menikmati gerakan pantatku yang tidak lagi hanya maju mundur, tetapi juga menggunakan gerakan ngebor.
Tanganku tidak lagi
hanya bermain di vagina dan klitorisnya, tetapi juga meremas payudara dan menarik-narik
dan memelintir putingnya hingga nampak warnanya semakin merah akibat jamahan
dan jepitan jari-jariku. Keringatku tak kurasakan lagi mengucur dan menetes ke
perutnya. Begitu pula keringat Mbak Ina telah membasahi tubuhnya membuatku
semakin terangsang melihat payudara, perut dan pahanya yang nampak seakan-akan
bercahaya.
“Akhhh …. Gus ….
sayaaannggg … akkkkhu …. keluarrrr … arrhggg….” jeritnya sambil menghempaskan
pantatnya makin dalam hingga seluruh penisku ditelan analnya dan kedua kakinya
menjepit kepalaku dengan kuatnya.
Kurasakan betapa
otot-otot vagina dan analnya berdenyut-denyut akibat orgasme yang sudah melanda
dirinya. Mbak Ina terengah-engah
“Okhhh …. Mbak,
tahannn …. biar bareng denganku,” pintaku.
“Oougg … sshhh … ahhh … aku sudah tidak kuatttt ….. oooooohhhh Gusss…”
“Oougg … sshhh … ahhh … aku sudah tidak kuatttt ….. oooooohhhh Gusss…”
teriaknya membahana
dan kurasakan cairan vaginanya begitu banyak membanjir membasahi jari-jariku
dan jepitan analnya menahan penisku hingga tak bisa kutarik mundur. Aku pun
mengerang sambil memeluk kedua kakinya di dadaku dan merasakan penisku
berdenyut-denyut semakin kuat, pertanda akan mencapai klimaks.
“Mbaakkkk ….. ohhhh
sayangkuuu…. ” gumamku sambil menikmati puncak kenikmatan bersama dirinya.
Dengan cepat kurebahkan dia dan menarik penisku dari analnya lalu dengan lahap
melumat vaginanya dan menyedot cairannya yang membanjir hingga menetes ke
sela-sela pahanya. Ia menggeliat-geliat geli merasakan bibir dan lidahku
menyedot cairan vaginanya dengan sangat bernafsu. Sprei di ranjangnya sudah
acak-acakan akibat permainan panas kami berdua yang begitu menggebu-gebu.
Akhirnya, kami berdua
berbaring bersisian sambil menenangkan diri, hingga lambat laun napas kami
kembali normal. Ia mengambil handuk kecil dan melap peluh yang ada di tubuhku
barulah kemudian ia sendiri mengeringkan tubuhnya dari keringatnya. Kami
terlentang berdua sambil menatap langit-langit kamar hotel dengan tangan saling
menggenggam.
Setelah itu kami mandi berduaan di bathtub. Saling menyabuni satu sama lain. Ia menolak halus waktu kuelus-elus payudara dan vaginanya dengan sabun sambil merangsangnya kembali.
“Sudah Gus, aku capek…
ntar lagi deh kalau mau ….” Kami berdua keluar kamar mandi. Sambil
memandanginya berpakaian dan berdandan, aku memesan makanan diantarkan ke
kamar. Ia mengenakan celana pendek dan baju you can see tanpa mengenakan BH.
Kami makan berdua
sambil menikmati siaran televisi. Jam sudah menunjukkan pukul 10. Aku pamit ke
kamarku, walaupun ia merengek mau mencegah kepergianku. Saat di kamar, telepon
berdering-dering terus begitu juga ponselku, tetapi waktu kulihat nomor
ponselnya yang memanggil, sengaja tak kujawab. Lima belas menit kemudian aku
kembali ke kamarnya dan mengetuk. Pintu kamarnya terbuka dan kulihat wajahnya
cemberut, “Kenapa sih tidak mau jawab teleponku?” tanyanya sambil mencubit
lengan atasku dengan gemas.
“Addduhhh, sakit
Mbak,” jeritku sambil menutup pintu di belakang kami. Ia menarik tanganku dan
mendorongku hingga rebah ke atas ranjangnya. Lalu tubuhnya jatuh menimpaku
tanpa dapat kucegah. Payudaranya yang kenyal menekan dadaku dan bibirnya
menjejahi wajahku hingga aku gelagapan dibuatnya. Kembali kami mereguk
kenikmatan demi kenikmatan hingga sore hari saat kami check-out dari hotel
tersebut menuju Bandar Udara kembali ke Jakarta.
Di atas pesawat ke
Jakarta, aku merenungi kejadian dua hari itu sambil membaui aroma tubuh Mbak
Ina yang tertidur dengan kepala rebah ke bahuku. Ah, benar-benar kenangan manis
yang tak terlupakan. Akankah ada lagi kelanjutannya?
Sepulang dari pertemuan di Yogya, Mbak Ina tetap bersikap biasa-biasa padaku di kantor. Aku juga tidak berusaha memancing percakapan yang bersifat pribadi atau memandangnya dengan tatapan sayang, agar tidak menimbulkan kecurigaan teman-teman sekantor. Begitulah, di lingkungan kantor ia tetap seorang Ibu Ina yang tegas, tetapi ramah, baik kepada karyawan dan setia pada keluarga. Tetapi dalam hatiku ia kuanggap sebagai kekasih.
Empat bulan setelah
penugasan ke Yogya, aku dipanggil oleh Direktur Utama. “Saudara Agus, saya
memanggil saudara untuk memberitahukan bahwa minggu depan ada pertemuan sangat
penting tentang quality control of product untuk regional Asia di Singapura.
Lamanya 3 hari. Orang yang saya percayai untuk hadir pada pertemuan itu adalah
Ibu Ina dan saudara Agus. Mengapa? Sebab berdasarkan catatan psikolog perusahaan
dan rekomendasi dari Ibu Ina serta memperhatikan kinerja saudara selama ini,
saudara sudah mampu bekerja pada bagian yang Ibu Ina pimpin. Dan sepulang dari
Singapura, saudara akan kami berikan tugas baru sebagai Manager Assisstant Ibu
Ina, tentunya dengan standar penghasilan dan fasilitas sebagaimana mestinya.
Kami harap saudara bersedia menerima tugas dan promosi ini.”
“Terima kasih atas
kepercayaan yang diberikan kepada saya, Pak, tapi saya minta ijin untuk
melakukan adaptasi dalam waktu 2 minggu agar dapat mempelajari hal-hal yang
menjadi kewajiban saya. Mudah-mudahan saya tidak mengecewakan Bapak dan
pimpinan lain atas kepercayaan yang diberikan,” aku menjawab dengan riang,
apalagi membayangkan berduaan lagi dengan Mbak Ina.
Pada hari yang
ditentukan, Mbak Ina berangkat denganku menuju Singapura. Kami masih memiliki
waktu sehari untuk bersiap-siap mengikuti pertemuan regional tersebut. Waktu
berada di pesawat, Mbak Ina berbisik padaku, “Gus, jangan lupa ya, tiap malam
kamu harus tidur di kamarku lho, walaupun kita tetap menyewa dua kamar hotel.”
“Tentu saja, Mbak. Dengan senang hati,” balasku.
“Tentu saja, Mbak. Dengan senang hati,” balasku.
Setiba di Singapura,
kami naik taxi menuju hotel yang telah dipesan dari Jakarta. Kami diantar oleh
room boy hotel ke kamar masing-masing. Baru lima belas menit di kamar, telepon
berdering, “Hello, Dik Agus, ke kamarku aja dulu sekarang ya?” kudengar suara
Mbak Ina.
“Iya Mbak. Ha.. ha..
sabaarr, ojo kesusu yo Mbak!” godaku sambil tertawa.
“Iiihhh, ngomong kesusu, udah ngeres aja kamu ya? Hi … hi … hi …” sambutnya terkikik lembut. “Pokoknya buruan, lewat dari sepuluh menit, pintu tidak dibuka lagi,” ancamnya.
“Iiihhh, ngomong kesusu, udah ngeres aja kamu ya? Hi … hi … hi …” sambutnya terkikik lembut. “Pokoknya buruan, lewat dari sepuluh menit, pintu tidak dibuka lagi,” ancamnya.
“Daulat Tuan Puteri,
hamba akan segera datang memenuhi panggilan Tuanku,” kujawab ancamannya dengan
rayuan.
Agar tidak ada yang
curiga apabila memergoki aku masuk ke kamar wanita yang bukan isteriku, aku
datang menenteng tas berisi notebook dan berpakaian rapi. Tidak sampai lima
menit, aku sudah berdiri di depan kamarnya dan mengetuk. Aku terpana, tanganku
ditarik masuk dan dengan cepat pintu telah ditutup oleh Mbak Ina yang sudah
berdiri di depanku dengan hanya mengenakan celana dalam dan BH. Tubuhnya yang
langsing begitu sexy, pinggulnya begitu indah dan pantatnya yang padat serta
dada yang agak membusung meskipun payudaranya tidak begitu besar, membuat
mataku cepat mengirimkan info ke otak. Aku merasa darahku mengalir semakin
cepat di sekujur tubuhku. Wajahku langsung memerah melihat penampilannya dan
desakan di pangkal pahaku semakin sempit terasa karena reaksi alami.
“Kita mandi dulu yuk,”
ajaknya sambil membukai dasi, baju dan celanaku, hingga aku hanya benar-benar
telanjang bulat di hadapannya. “Luar biasa! Mbak Ina yang sangat berwibawa di
kantor, rela memberikan tubuhnya bagiku,” batinku. Ditariknya tanganku setengah
menyeret dan dengan cepat ia melepaskan celana dalam dan BH-nya, sehingga kami
berdua berjalan ke kamar mandi bagaikan dua bayi raksasa yang siap berendam di
bathtub.
Sesampainya di dalam,
kulihat air hangat di bathtub telah penuh dan wangi-wangian rempah begitu
semerbak memenuhi kamar mandi tersebut. Rupanya Mbak Ina sebelumnya membawa
bekal untuk menambah sensasi kebersamaan kami. Kami pun bergandengan tangan
masuk ke dalam bathtub. Dalam keadaan masih berdiri kami berpelukan dan
berciuman dengan ganas, maklum telah empat bulan berlalu sejak kejadian di
Yogya, kami sama-sama rindu suasana penuh kegilaan itu lagi.
Sambil terus berciuman
kami duduk berhadapan di bathtub, tangan kami saling mengelus tubuh yang lain.
Payudaranya kuremas-remas dengan lembut, putingnya kubelai-belai. Ia membalik
tubuhnya dan duduk di pangkuanku. Penisku kurasa sudah begitu tegang apalagi
waktu pantatnya turun menindih kedua belah pahaku. Kedua pahanya agak dibuka
dan memberi ruang bagi penisku untuk bersentuhan dalam air dengan rambut-rambut
kemaluannya. Aku mengambil sabun dan menyabuni bahu, punggung, pinggulnya,
kemudian tanganku bergerak ke bagian depan tubuhnya menyabuni pundak depannya,
turun ke payudara, di situ kedua tanganku mengelus-elus kedua puting
payudaranya, juga meremas kedua belah payudaranya dengan gerakan melingkar,
hingga ia mendesah-desak nikmat.
“Oohhh, ya …. ya, gitu
Gus. Ssshhh…., addduuuhhh …. enak …. oughhh nikmatnya Gus?” serunya sambil
tangannya mengelus-elus penisku yang dijepit oleh kedua pahanya yang kupangku.
“Ohhh … shhhh … udah dulu Gus, aku sudah tak tahan … ntar kita teruskan … di ranjang. Aku mulai kedinginan nih,” tiba-tiba ia bangkit berdiri dan membilas tubuhnya dengan air yang mengucur dari shower.
“Ohhh … shhhh … udah dulu Gus, aku sudah tak tahan … ntar kita teruskan … di ranjang. Aku mulai kedinginan nih,” tiba-tiba ia bangkit berdiri dan membilas tubuhnya dengan air yang mengucur dari shower.
Kubiarkan ia meraih
handuk dan melap tubuhnya sambil berjalan keluar. Aku pun segera menyelesaikan
mandi, mengambil handuk dan dengan cepat mengeringkan tubuhku.
Kulihat ia sudah
berbaring di ranjang di bawah selimut. Aku melompat ke ranjang dengan
bertelanjang, hingga ia tersenyum melihat ulahku. Kubuka selimutnya dan masuk
ke bawah selimut bersama-sama dengan Mbak Ina. Wah, ternyata ia sama saja
denganku, sama-sama bertelanjang. Tiba-tiba kedua tangannya meraih kepalaku dan
menciumi pipiku, hidungku dan berhenti di bibirku. Kami saling melumat dengan
ganas dan lidah kami saling memilin. Geliatnya semakin tak menentu saat
tanganku meremas kedua bulatan di dadanya, terlebih lagi waktu jari-jariku
bermain di putingnya dan melumatnya dengan bibirku.
“Ahh… ekhh … sshhh…
Gus …. terus …. terusss…. shhh,” rintihnya.
Lidahku bermain turun
dari klitorisnya, kedua belah bibir bawahnya tak luput dari jilatan dan kuluman
lidah dan permainan bibirku. Dengan jari-jariku, kukuakkan kedua labianya ke
kanan kiri sehingga terlihat warna merah merona vaginanya yang indah.
“Akkkhh … nikmattthhh
…. Guuusss….. oooohhhhhhhhhhhhhhhh ….” jeritnya sewaktu lidahku kusapukan ke
bagian dalam vaginanya yang terpampang lebar karena kedua labianya kutarik ke
kanan kiri. Ia terengah-engah karena rasa nikmat yang semakin memuncak. Kulihat
keringat mulai menetes di lehernya, juga dada, perut dan pinggangnya.
Lidahku terus turun
hingga melewati ujung bawah vaginanya. Kini sasaranku adalah lubang analnya.
Kuarahkan hidung mengendus-endus analnya. Ia menggeliat kegelian, tetapi tidak
berusaha menolakkan kepalaku. Bibirku mulai menciumi tepi-tepi analnya dan
lidahku mulai mencari-cari lubang analnya. Jari-jariku kupakai untuk membuka
analnya lebih lebar sehingga lidahku masuk ke analnya. Mendapat perlakuan
demikian, pantatnya tiba-tiba terangkat ke atas dan rintihannya semakin keras
mengatasi suara televisi yang sedang menyiarkan warta berita.
“Ihhhhh ….
nikmaaaaattthhhhh ….” Analnya terus kujilati sambil jari-jariku terus
mengusap-usap labia dan klitorisnya.
“Okkhhhhh ….. ssshhhhh
… Gussss, aku tak kuuuu….att ….. ahhhhhh….. aku mau … ke …. kelll…..luarrrrr
…..” ia menjerit-jerit sambil menggeliat-geliat. Tiba-tiba kurasakan vaginanya
membanjir dengan cairan yang cukup banyak.
Tak mau kehilangan
momentum yang menentukan, kuarahkan bibir dan mulutku ke vaginanya dan menyedot
dengan rakusnya cairan kenikmatan yang dihasilkannya. Telunjuk kiriku masuk ke
vaginanya, menusuk dalam-dalam sedangkan telunjuk tangan kananku dengan cepat
menembus analnya hingga lebih setengah jariku ditelan analnya yang berdenyut-denyut
menjepit jariku.
“Sayannnnngggg …oohhh
…. akkk ….. ku keluarrrrr …..” teriaknya sambil kepalanya dihempas-hempaskan ke
kiri dan kanan. Tangannya meremas-remas kedua buah dadanya dengan ganas dan
pahanya dirapatkan dengan jariku masih terjepit dalam analnya.
Sesudahnya ia tergolek
lemas dengan senyum manis dan tatapan sayu ke arahku. Aku membalas dengan
mengecup bibirnya berbagi cairan kenikmatannya yang masih tersisa di mulutku.
Ia amat bergairah menyambut ciumanku dan tidak merasa jijik menjilati cairannya
yang ada di mulutku.
Tubuhku kuletakkan
miring memeluk dirinya dari belakang. Sambil kuelus-elus bahu, pinggang dan
pinggulnya, penisku mengambil posisi tepat di belakang pantatnya. Kurenggangkan
sedikit pahanya dan perlahan-lahan penisku mencari-cari lubang analnya. Karena
begitu sempit, kugunakan lagi jari-jariku meraba dan menusuk analnya setelah
membasahinya dengan ludahku. Ia tersentak dengan style yang kupakai sekarang.
Analnya semakin membesar saat topi baja kepala penisku memasuki sedikit demi
sedikit. Kuhunjamkan penisku semakin dalam dan ia kembali mengerang. Kembali
birahinya naik menyambut tusukan-tusukan mautku dan remasan jari-jariku di
payudaranya. Karena posisinya demikian kritis, penisku masuk sebagian saja ke
dalam analnya. Merasa kurang sreg, aku menggulingkan tubuhnya hingga tengkurap
dan penisku masuk seluruhnya hingga ia mendongakkan kepala dengan jeritan kuat,
“Gus …. ohhhhh …
pelan-pelan, oohhh …. ssshhhh …. sssaaakiiittt….”
“Tenang say, ntar lagi juga bakal enak kau rasakan ….” hiburku sambil menarik penisku dan memasukkannya lagi dengan gerakan yang lebih lambat.
Benar saja, bukannya
merasa sakit, perlahan-lahan Mbak Ina merasakan nikmat yang tak terhingga saat
penisku kembali masuk keluar analnya, apalagi jari-jari tanganku turut merogoh
vaginanya dari depan merangsang klitoris dan labianya yang membanjir dengan
cairan kenikmatan. “Sssrrrt…. crrett … ssrrrt … crrrtt,” terdengar suara yang
aneh saat penisku melesak maju mundur dalam analnya.
“Sssshhh …. aaahhh …..
ekkk …… sssshhh…… ooooougggghhhhh…..” lenguhnya berusaha menahan agar tidak
cepat-cepat orgasme. Tapi ia tak kuasa menahan lebih lama lagi, pantatnya yang
menjepit penisku dalam analnya bergetar hebat hingga kurasa penisku tak dapat
kutarik mundur maju lagi, terjepit dengan ketatnya dalam analnya; dan dengan
suatu sentakan luar biasa, ia merapatkan bongkah pantatnya dengan telak ke arah
penisku. “Ooouwww …………… sshhhh ….. aaaaahhhhhkkk …. aku dapat Gussss….!”
teriaknya kuat hingga aku sendiri terkejut mendengar jeritan birahinya.
“Crot …. crrooootttt …
crrooootttt …” penisku tak mampu lagi kutahan, dengan hebat menyemprotkan air
mani dalam analnya.
“Ahhhhhhh…. akkkkuuuuu …. keluar Mbbbbaakkkkk!” desahku sambil menghunjamkan dalam-dalam penis ke dalam bongkahan pantatnya yang sangat merangsang.
Masih menindih
tubuhnya yang menelungkup dari atas, aku mulai meredakan napas dan mengatur
detak jantungku yang begitu kencang, dan berguling ke sampingnya dengan tetap
memeluk pinggulnya hingga terlentang dengan tubuhnya kini berada di atasku.
“Gus, Gus, kamu tidak
berat ditindih badanku begini?” tanya Mbak Ina.
“Hmmm, nggak apa-apa, Mbak. Apalagi ada kompensasinya koq, penisku masih menikmati kuluman analmu,” jawabku.
“Hmmm, nggak apa-apa, Mbak. Apalagi ada kompensasinya koq, penisku masih menikmati kuluman analmu,” jawabku.
“Iihhhhh jorok …., nyebut-nyebut anal,” katanya.
“Biarin jorok, yang penting nikmat, Mbak ….” aku menimpali ucapannya,
“Kalau begini terus tiap malam di Singapura ini, wah … rasanya seperti berbulan madu dong Mbak?”
“Enak aja kamu Gus! Kita kemari kan buat kerja,” tandasnya mengingatkan maksud kami datang ke Singapura.
“Ini kan selingan buat menumpahkan rindu sejak pulang dari Yogya,” tambahnya.
Aku tersenyum
mendengar kata-katanya. “Iya deh Mbak. Tugas tetap tugas, tapi pacaran juga
jalan terus kan?” gurauku.
Ia tertawa kecil dan
sambil menggulingkan tubuhnya ke sampingku ia bertanya,
“Kamu senang ikut
tugas kantor denganku, Gus?” Belum sempat kujawab pertanyaannya, ia berkata
lagi,
“Aku yang mendesak pimpinan agar kamu ditaruh pada bagianku dan menjadi asistenku. Tadinya ada manajer lain yang memintamu ke bagiannya, tapi berkat argumentasiku dan didukung oleh evaluasi dari bagian personalia, kamu disetujui pindah ke tempatku.”
“Aku yang mendesak pimpinan agar kamu ditaruh pada bagianku dan menjadi asistenku. Tadinya ada manajer lain yang memintamu ke bagiannya, tapi berkat argumentasiku dan didukung oleh evaluasi dari bagian personalia, kamu disetujui pindah ke tempatku.”
“Aku sempat kaget,
Mbak. Koq tiba-tiba ditawari posisi baru padahal masih ada beban kerja di
bagianku yang harus kuselesaikan tahun ini,” kataku.
“Rupanya Mbak Ina yang menjadi dalang di balik semua ini?”
“Jadi kamu nggak suka atas ulahku memindahkanmu?” desisnya sambil memandangku tajam. “Wah, keluar galaknya,” pikirku.
“Rupanya Mbak Ina yang menjadi dalang di balik semua ini?”
“Jadi kamu nggak suka atas ulahku memindahkanmu?” desisnya sambil memandangku tajam. “Wah, keluar galaknya,” pikirku.
“Ouww, jangan salah
sangka, Mbak. Aku justru sangat senang dan berterima kasih mendapat promosi.
Cuma tidak menduga sebelumnya bahwa Mbak turut berperan atas hal ini,” kataku
sambil mencium bibirnya lembut.
Ia membalas ciumanku
dan mengulum serta mengisap lidahku.
Kami kemudian tidur
sambil berpelukan di bawah berselimut. Kira-kira sejam kemudian aku tersentak
mendengar dering telepon. Ingin kuraih, tapi khawatir itu untuknya, maka
kuguncang-guncangkan bahunya agar menerima telepon tersebut.
“Hallo, I am Mrs.
Ina,” katanya menjawab nada panggilan di seberang sana.
Aku memeluk tubuhnya
yang telanjang dari belakang dan kudekatkan telingaku ke telinganya, lalu
kudengar suara dari seberang sana. Rupanya dari Direktur Utama kami.
“Bagaimana perjalanan
kalian? Apakah semuanya berjalan baik?”
“Yes, oh … ya .. ya, Pak, kami baik-baik saja. Perjalanan kami lancar dan kami sudah berada di hotel untuk mempersiapkan diri pada pertemuan besok,” jawabnya.
“Saya berkali-kali menelepon ke kamar Agus, tapi tidak diangkat. Apakah ia keluar hotel?”
“Celaka, rupanya The Big Boss mencari jejakku,” pikirku.
“Tadi begitu tiba di hotel, ia minta ijin tidak mau diganggu, Pak. Katanya semalam ia tidur larut malam karena mempersiapkan presentasi kami untuk pertemuan besok. Mungkin ia sedang bermimpi indah di kamarnya, Pak,” jawabnya berbohong.
“Yes, oh … ya .. ya, Pak, kami baik-baik saja. Perjalanan kami lancar dan kami sudah berada di hotel untuk mempersiapkan diri pada pertemuan besok,” jawabnya.
“Saya berkali-kali menelepon ke kamar Agus, tapi tidak diangkat. Apakah ia keluar hotel?”
“Celaka, rupanya The Big Boss mencari jejakku,” pikirku.
“Tadi begitu tiba di hotel, ia minta ijin tidak mau diganggu, Pak. Katanya semalam ia tidur larut malam karena mempersiapkan presentasi kami untuk pertemuan besok. Mungkin ia sedang bermimpi indah di kamarnya, Pak,” jawabnya berbohong.
Gila benar, cepat
sekali si Cantik ini memberi argumentasi yang membuat atasan kami senang.
“Baiklah, jika
demikian, silakan beristirahat agar penampilan kalian besok benar-benar prima.
Sampaikan salam saya kepada Agus. Sukses ya!” kembali suara Direktur Utama kami
terdengar.
“Ok Pak, saya sampaikan salam Bapak nanti dan doakan kami agar tidak mengecewakan Bapak dan perusahaan. Salam kami kembali buat Bapak,” katanya menutup pembicaraan dan meletakkan gagang telepon.
“Ok Pak, saya sampaikan salam Bapak nanti dan doakan kami agar tidak mengecewakan Bapak dan perusahaan. Salam kami kembali buat Bapak,” katanya menutup pembicaraan dan meletakkan gagang telepon.
Masih memeluk
pinggangnya dari belakang, bibirku menghembuskan napas di belakang telinganya
hingga ia kegelian lalu lidahku menjilati lehernya yang jenjang hingga turun ke
kuduknya. Di situ kubuat kecupan agak kuat hingga ia mendesah-desah. Apalagi
sewaktu bahunya kuciumi dan kujilati dengan lembut. Ia mengerang dan desahannya
seperti orang kepedasan karena makan cabai. Ciuman dan jilatanku semakin turun
ke punggung, pinggang dan pinggulnya. Ia semakin menjadi-jadi meliuk-liukkan
tubuhnya. Kudengar suaranya sambil mendesah,
“Gus, apakah kamu pernah
melakukan seperti ini dengan perempuan lain selain isterimu dan aku?”
“Mbak, Mbak, mana berani aku berbuat begini. Dengan Mbak aja hanya karena “gayung bersambut” maka aku mau. Aku takut kena penyakit kelamin, Mbak,” jawabku.
“Mbak, Mbak, mana berani aku berbuat begini. Dengan Mbak aja hanya karena “gayung bersambut” maka aku mau. Aku takut kena penyakit kelamin, Mbak,” jawabku.
“Jadi kamu jujur nih tidak pernah begini dengan yang lain?” desaknya,
“Soalnya aku tak mau kalau suatu waktu kena penyakit karena tertular darimu yang pernah main dengan perempuan lain.
Apalagi kita cuma bisa main anal, karena aku tak mau kau coblos vaginaku.”
“Jujur Mbak,” kataku.
Memang aku tak pernah
berpikir jajan atau berbuat begini dengan yang lain, bahkan ada beberapa gadis
di kantor yang pernah menggodaku atau menaksirku baik terang-terangan maupun
secara diam-diam, tidak pernah kugubris.
“Aku cuma setia padamu
dan istriku, Mbak Ina sayang,” rayuku.
“Aku perlu kejujuranmu agar tiada sesal diantara kita kelak,” ungkapnya.
“Biar saja Tuhan Sendiri yang menyaksikan kebinalan kita, tetapi rumah tangga kita tetap kita pelihara,” katanya lagi.
“Aku perlu kejujuranmu agar tiada sesal diantara kita kelak,” ungkapnya.
“Biar saja Tuhan Sendiri yang menyaksikan kebinalan kita, tetapi rumah tangga kita tetap kita pelihara,” katanya lagi.
Aku terdiam dan
menghentikan elusan tangan dan permainan bibir dan lidahku sambil merenungkan
kata-katanya barusan.
“Lho, koq jadi diam?
Tersinggung dengan kata-kataku barusan ya?” ia bertanya sambil menoleh ke
belakang hingga hidungnya menyentuh pipi dan hidungku.
“Terusin dong …” rajuknya sambil tangannya meraih tanganku yang memeluk pinggangnya agar naik meraba payudaranya kembali.
“Terusin dong …” rajuknya sambil tangannya meraih tanganku yang memeluk pinggangnya agar naik meraba payudaranya kembali.
“Aku terharu aja
Mbak,” kataku.
“Mbak tidak menuntut apa-apa dariku selain kebersihan diri seperti itu, walaupun aku sadari dosaku menggoda Mbak.”
“Mbak tidak menuntut apa-apa dariku selain kebersihan diri seperti itu, walaupun aku sadari dosaku menggoda Mbak.”
“Sssttt, jangan bicara
begitu. Tidak ada yang salah. Bukan kau yang menggodaku, justru aku yang harus
tahu diri dan tidak menggodamu,” bantahnya.
“Tak perlu menyesali semua yang sudah-sudah. Yang penting kita berdua pandai-pandai membawa diri agar hanya kitalah yang tahu dan Tuhan bahwa kita saling menyayangi dan ingin berbagi kasih. Itupun tidak tiap kali kita melakukan hal begini. Paling-paling saat keluar kota atau keluar negeri seperti sekarang. Yang kuminta padamu Agus sayang, adalah jangan keterusan bersetubuh denganku lewat vaginaku, agar setidak-tidaknya masih ada bagian yang tersisa pada tubuhku yang hanya boleh dimiliki dan dinikmati oleh suamiku.”
“Ya Mbak. Aku memang
tergoda melihat vaginamu dan payudaramu serta seluruh organ tubuhmu yang sangat
menawan. Bahkan waktu di Yogya aku sangat berhasrat memasukkan penisku ke dalam
vaginamu. Untungnya aku masih sadar dan menahan diri. Entah nanti. Tapi kuharap
jangan segan-segan menamparku apabila aku tak dapat menguasai diri, mana tahu
Mbak kupaksa dan kuperkosa suatu waktu,” pintaku.
“Justru itu Gus. Aku
tak ingin ada kekasaran diantara kita. Biarlah kita menikmati kasih ini dengan
cara kita sendiri tanpa harus menggunakan yang satu itu. Aku rela jika kau
minta terus-terusan memasukkan penismu di mulutku atau analku, tapi ke vaginaku
kuharap tidak kau lakukan, kecuali jika hanya bagian kepala hingga leher
penismu saja masuk ke vaginaku. Bagaimana Gus, kau mau berjanji padaku?”
tuntutnya sambil melingkarkan kedua tangannya ke leherku.
“Aku tidak mau
berjanji, Mbak, sebab janji adalah hutang. Tapi aku akan selalu berusaha untuk
menahan diri agar tidak mengecewakan dirimu Mbak. Mudah-mudahan hubungan aneh
kita ini tidak membuat kita saling menyakiti kelak dan tidak ada yang akan
dipermalukan diantara kita berdua. Semoga hubungan gelap kita ini hanya Tuhan
dan kita berdua yang tahu dan biarlah Dia memaafkan kita atas perbuatan kita
ini. Sebab aku tulus mengasihi Mbak dan tidak ingin merusak kepercayaan yang
sudah Mbak tanamkan padaku,” tekadku.
Mbak Ina memelukku
erat-erat dan mengecup leherku. Agak lama ia berbuat demikian hingga kurasakan
ada aliran air hangat membasahi leherku turun ke dadaku. “Mungkin ia menangis,”
pikirku. Benar saja, kemudian ia melepaskan wajahnya dari leher dan dadaku.
Kupandang matanya berair dan sebagian membasahi pipinya. “Mengapa Mbak
menangis?” aku bertanya lugu.
“Aku terharu, Gus.
Masih ada pria sebaik dirimu yang mengasihiku dengan tulus, tidak menuntut yang
bukan-bukan.
Andaikan dengan lelaki
lain, barangkali sudah sejak di Yogya aku tak punya muka lagi melihat dunia
karena melakukan persetubuhan dengan pria yang bukan suamiku. Mana ada buaya
menolak bangkai, bukan? Pasti ajakanku menemani sekamar saja sudah diartikan
untuk melakukan hubungan badan, iya nggak?” katanya.
“Aku senang karena
mencintai perempuan sebaik Mbak Ina,” kataku.
“Memang sukar untuk tidak melakukan persetubuhan apalagi jika melihat wanita secantik Mbak. Aku justru karena sungguh-sungguh menyayangi Mbak sejak awal masuk perusahaan, sehingga tidak pernah berpikiran merusak diri Mbak.” lanjutku.
“Memang sukar untuk tidak melakukan persetubuhan apalagi jika melihat wanita secantik Mbak. Aku justru karena sungguh-sungguh menyayangi Mbak sejak awal masuk perusahaan, sehingga tidak pernah berpikiran merusak diri Mbak.” lanjutku.
“Ok sayang, sekarang …
mumpung masih ada waktu tersedia sebelum kita bekerja besok, mari kita reguk
kenikmatan kembali,” ajaknya sambil menghujani dadaku dengan ciuman-ciuman yang
menggairahkan.
Putingku dilumat oleh
lidahnya dan bibirnya mengecup kedua putingku bergantian hingga kulihat ada
cupang berwarna kemerah-merahan bekas kecupan bibirnya. Birahiku kembali
membuncah mendapat perlakuan demikian. Kubalas dengan menaruh kedua pahanya di
atas pahaku dan memeluk dirinya erat-erat sambil meremas-remas kedua buah
dadanya. Kembali ia mengerang dan mendesah-desah. Vaginanya bergerak-gerak di
bagian bawah penisku seakan-akan meminta diterobos oleh batang kenikmatanku.
Diarahkannya penisku menguakkan rambut-rambut kemaluannya. Tetapi aku sadar akan
percakapan kami tadi dan tidak berusaha memasukkan penisku ke dalam vaginanya
yang semakin lembab.
Ia berbisik di
telingaku, “Gus, masukkan penismu dikit ya, atur agar cuma sampai leher penismu
masuk dalam vaginaku. Soalnya aku terangsang banget. Biar klitoris dan labiaku
nikmati tusukan kepala penismu ya sayang?” pintanya.
Kuturuti permintaannya
dan menekan lembut ke liang vaginanya, tapi jari-jari tangan kananku kupakai
menggenggam penisku, sehingga batangnya dapat kukendalikan tidak masuk dan
hanya kepala hingga leher penisku yang menekan-nekan rambut kemaluannya.
Dengan sedikit geliat,
ia berhasil membuat kepala penisku tepat berada di depan klitorisnya yang
semakin tegang. Sekonyong-konyong ia merebahkan badannya terlentang di bawahku
dengan kedua belah pahanya masih ditumpangkan di atas pahaku dan menggerakkan
pahanya ke arah tubuhku sehingga kepala penisku menancap telak di mulut
vaginanya. Untunglah aku tetap menggenggam batang penis hingga ke pangkalnya
hingga tidak terbawa masuk akibat gerakannya yang tiba-tiba.
“Ayo Gus, aaahhhh ….
ssshhh ….ayo … sayangggg…. gerakkan kepala penismu menggesek-gesek klitoris dan
permukaan vegy-ku,” erangnya.
Dengan setengah
berlutut, kugerakkan pantatku maju mundur agar kepala penisku benar-benar
memberikan gesekan nikmat bagi klitoris dan labianya yang semakin basah.
“Ahhhh … ssshhhh …..
ooooohhhh ….. ooouuuwwww ….. yang cepat Gus … lebih cepat lagi sayanggggg …..
aaahhhhhhhhhh …” desisnya sambil melemparkan kepalanya ke kanan kiri dan ke
atas hingga rambutnya semakin awut-awutan, tapi justru menambah kecantikannya sebab
wajahnya semakin merah merona dan kedua tangannya terus meremas-remas puting
dan payudaranya karena tanganku kupakai meremas-remas kedua belah pantatnya dan
mengelus-elus pahanya.
Gerakan kepala penisku
sekarang kupusatkan pada bagian klitorisnya dengan cara memutar hingga
membuatnya semakin menggeliat-geliat sambil merintih sambil meraih kenikmatan.
Kemudian kubuat variasi gerakan dengan mengulas-ulas labianya menggunakan
kepala penisku hingga bibir bawahnya semakin terbuka memperlihatkan warna merah
dengan cairan-cairan putih bening yang keluar dari lipatan-lipatan dalam
vaginanya.
Tiba-tiba pantatnya
diangkat tinggi hingga kulepaskan penisku dan kedua belah pahanya menjepit
leherku kuat-kuat, denyut-denyut di vaginanya semakin kencang dan dengan jari-jariku
kuterobos liang kenikmatannya dalam-dalam sambil mengisap kuat-kuat
klitorisnya. Dengan jari telunjuk kanan, kuterobos vaginanya mencari-cari letak
G-spotnya. Agak ke atas di belakang klitorisnya kutemukan suatu titik lembut
yang ketika kutekan membuatnya makin merintih-rintih nikmat. Sedangkan telunjuk
tangan kiriku pelan-pelan merambat ke dalam analnya hingga ia semakin
menggelinjang-gelinjang.
Saat gerakannya
semakin liar, kumasukkan lagi dua jariku bersama-sama telunjuk masuk membenam
ke dalam vaginanya dan kurasakan bagaimana lorong vaginanya meremas-remas
ketiga jariku dengan kuatnya dan dengan dorongan yang luar biasa ia
menyemprotkan cairan vaginanya hingga muncrat ke wajahku.
“Guuuuusssss …..”
hanya itu kata-kata yang dapat ia lantunkan di puncak orgasmenya.
Dengan cepat
kubenamkan wajahku, bibirku dan lidahku menjilati cairannya yang kini bukan
hanya di seputar vaginanya, tapi juga mengenai rambut dan dadaku bahkan
sebagian mengenai sprei. Luar biasa banyaknya. Rasanya gurih, sedikit asin, dan
aku terus dengan keasyikanku menjilati semua cairannya.
“Oohhhh ….. Agus
sayangggg ….. enak … nikmat sekali sayang, aaaakhhhh. Kau apakan vaginaku
sampai begitu banyak menyemprotkan maniku?” erangnya sambil mengelus-elus
kepala dan rambutku.
“Begitu lama aku kawin dengan suamiku, tetapi baru sekali ini kurasakan semprotan vaginaku yang luar biasa,” katanya lagi.
“Begitu lama aku kawin dengan suamiku, tetapi baru sekali ini kurasakan semprotan vaginaku yang luar biasa,” katanya lagi.
“Sayang …. apa kau tidak tahu? Itu kan G-spot-mu yang kutekan tadi bersama-sama klitoris dan liang vaginamu,” jawabku sambil mencium bibirnya.
“Ehh … ya … aku sendiri walaupun sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, rasanya masih banyak yang harus kupelajari tentang seks,” gumamnya.
“Anehnya, aku malah bisa begitu nikmat kamu puasi, padahal suamiku termasuk orang yang rutin berhubungan badan, tetapi pemahamannya tentang tubuh wanita sepertinya kalah dari kamu,” lanjutnya.
Sampai sore hari kami
masih bermain dua kali dan setelah makan malam, kami kembali bergulat di
kamarnya sampai pukul sembilan. Untunglah kami ingat harus beristirahat agar
tampil bugar pada pertemuan besok.
Selama mengikuti
pertemuan dengan rekanan, kami berdua memperlihatkan sikap biasa-biasa di depan
orang lain, tidak terkesan bahwa kami punya hubungan intim. Namun malam
harinya, seperti hari pertama di Singapura, aku rutin menemani Mbak Ina di
kamarnya. Tentu saja bukan sekadar tidur, tetapi setidaknya bermain cinta
secara unik dengannya paling sedikit dua kali; bahkan pernah kami melakukan
sampai ia mencapai orgasme sebanyak 5 kali dan aku sebanyak 3 kali.
Malam terakhir kami di
Singapura benar-benar kami habiskan berdua di kamarnya. Begitu usai makan malam
dengan Mr. Chow, salah seorang manager pada perusahaan rekanan kami, dengan
dalih akan beristirahat, Mbak Ina sudah pamit lebih dulu meninggalkanku bersama
rekanan kami yang masih mengajakku ngobrol. Aku sudah ingin cepat-cepat pergi,
apalagi sudah sepuluh sms Mbak Ina masuk, minta aku segera datang, tapi karena
tak enak hati pada rekanan kami, aku cuma membalas singkat,
“Masih ada yang
dibicarakan, sabar sayang!” Tepat pukul 9 malam, barulah aku pamit dengan dalih
sudah mengantuk dan membuat gerakan menguap beberapa kali. Kusms Mbak Ina,
“Tuan Putri, hamba segera datang ke peraduanmu.” Sesampai di kamar, kuangkat gagang telepon untuk berbicara dengan Direktur Utama melaporkan kegiatan kami.
“Tuan Putri, hamba segera datang ke peraduanmu.” Sesampai di kamar, kuangkat gagang telepon untuk berbicara dengan Direktur Utama melaporkan kegiatan kami.
“Semua beres, Pak. Laporan selengkapnya secara tertulis akan Ibu Ina dan saya selesaikan agar dapat Bapak terima sesegera mungkin,” janjiku. Pimpinan kami menjawab dengan nada puas,
“Baiklah, saya percaya
akan kinerja kalian. Silakan beristirahat karena kalian tentu sudah sangat
lelah beberapa hari ini. Bila perlu tak perlu cepat-cepat pulang besok agar
dapat sehari lagi berjalan-jalan di Sinagapura.
Mengenai hal ini, sudah saya pesankan tadi kepada Ibu Ina, sehingga tak perlu kuatir akan adanya tambahan biaya, semua akan ditanggung oleh perusahaan. Ok, sampai jumpa.” Aku senang sekali mendengar ucapan Direktur Utama kami itu.
Mengenai hal ini, sudah saya pesankan tadi kepada Ibu Ina, sehingga tak perlu kuatir akan adanya tambahan biaya, semua akan ditanggung oleh perusahaan. Ok, sampai jumpa.” Aku senang sekali mendengar ucapan Direktur Utama kami itu.
“Wah, kalau Mbak Ina
setuju, berarti besok kami dapat seharian mereguk anggur kenikmatan di atas
ranjangnya,” pikirku.
Setelah itu, kuputar
nomor telepon rumahku. Begitu diangkat, kudengar suara istriku, “Hallo, selamat
malam! Mau bicara dengan siapa?” Kukatakan pada istriku, “Mama sayang,
bagaimana kabarmu?” Jawabnya, “Oh Papa ya? Aku baik-baik saja, tapi sudah rindu
banget. Jadi pulang besok, Pa? tanyanya.
“Itulah yang mau
kukatakan. Aku belum tahu bagaimana Bu Ina selaku pimpinanku. Tadi Boss kami
katakan agar kami menambah waktu untuk melakukan beberapa hal lain mumpung
masih di Singapura, sehingga kami tak dapat pulang besok, paling cepat lusa.
Mudah-mudahan Bu Ina memperbolehkan aku pulang duluan, abis udah kangen pada
Mama sih! Tapi jika tidak diijinkan, Mama sabar aja ya nunggu Papa pulang
lusa,” kataku dengan nada merayu.
Sebetulnya tak enak
juga berbohong seperti itu padanya, tapi karena adanya peluang diberi Pimpinan,
kucoba gunakan.
“Ahhh, Papa jahat deh!
Jadi besok belum bisa melepas rindu dong?” rajuk istriku manja.
“Jangan marahin Papa dong, Mama sayang … kan Papa hanya bawahan yang harus tunduk pada atasan. Apalagi Papa sudah bilang bahwa tugas kali ini berkaitan dengan promosi jabatan Papa sepulang ke Jakarta nanti. Kalau sudah balik ke Jakarta, Mama minta berapa ronde pun kulayani deh …”
“Jangan marahin Papa dong, Mama sayang … kan Papa hanya bawahan yang harus tunduk pada atasan. Apalagi Papa sudah bilang bahwa tugas kali ini berkaitan dengan promosi jabatan Papa sepulang ke Jakarta nanti. Kalau sudah balik ke Jakarta, Mama minta berapa ronde pun kulayani deh …”
kucoba meyakinkan
dengan melontarkan jurus-jurus rayuan maut.
“Kalau begitu, Papa
harus belikan Mama oleh-oleh yang bagus …. dan jangan lupa, kangen Mama harus
dirapel beberapa ronde yaaaa???” kembali suara manja istriku terdengar.
“Baik, Papa akan carikan souvenir indah buat Mama, tapi janji jangan musuhin Papa dan jangan buat Papa lecet-lecet waktu melepas rindu nanti ya?” jawabku.
“Baik, Papa akan carikan souvenir indah buat Mama, tapi janji jangan musuhin Papa dan jangan buat Papa lecet-lecet waktu melepas rindu nanti ya?” jawabku.
“Ok Mama, selamat malam, selamat tidur ya. Kiss bye,” sambungku menutup percakapan kami.
“Cup … cup … met malam. Salam kangen banget ya Pa!” desah istriku.
Baru saja kuletakkan
gagang telepon, tiba-tiba telepon itu berdering.
“Kriiingg … krrrinngg
… krrinnggg ….” Kuangkat telepon, dan benar dugaanku, Mbak Ina. Pasti ia sedang
uring-uringan. “Koq lama banget sih. Sibuk terus teleponmu! Apa kamu punya
pacar baru ya?” semprotnya.
“Maaf Mbak, tadi abis bicara dengan Mr. Chow, aku telepon Boss kita di Jakarta melaporkan pertemuan kita.”
“Maaf Mbak, tadi abis bicara dengan Mr. Chow, aku telepon Boss kita di Jakarta melaporkan pertemuan kita.”
“Ngapain kamu mesti telepon Pimpinan kita, kan tadi sore kamu dengar sendiri aku bicara per telepon dengannya?” katanya ketus.
“Jangan marah gitu dong, Mbak? Aku kan juga mau tambahkan percakapan informal kami dengan Mr. Chow tadi sekaligus memberitahu beliau bahwa laporan pertemuan kita akan sesegera mungkin saya siapkan.”
“Ohh gitu, abis teleponmu sibuk terus sih, padahal sms-mu tadi bilang mau langsung ke kamarku? gerutunya sambil melanjutkan dengan nada yang sudah semakin datar,
“Nah, tadi beliau katakan agar kita tidak buru-buru pulang. Jika ada yang masih perlu dipelajari dari rekanan kita di luar pertemuan formal beberapa hari ini, kita dapat menambah waktu sehari lagi di sini. Bagaimana, kamu tidak keberatan?”
“Ah, aku sih bagaimana Mbak aja. Apalagi tokh tiap malam Mbak selalu memberikan service khusus buatku?” candaku demi mendengar suaranya sudah mulai mendatar.
“Tapi bagaimana dengan istrimu, apa tidak curiga jika kita nambah waktu di sini?” tanyanya menyelidik. “Kalau aku sih, sudah langsung kutelepon suamiku tadi memberitahu kemungkinan pulang masih lusa dari sini.”
“Beres, Mbak. Tadi istriku sudah kubilangin kalau masih ada tugas kita, sehingga belum bisa pulang besok,” jawabku.
“Gila lu, tugas apa tugas nih?” oloknya sambil tertawa kecil.
“Udah buruan, aku sudah kedinginan sendirian di kamarku. Jangan pake mandi lagi, cepat ya! Kutunggu dalam sepuluh detik,” ancamnya menggoda.
“Ha … ha … ha … jangankan sepuluh detik, Mbak. Sekarang pun aku sudah di kamarmu karena masuk lewat saluran telepon …” balasku sambil meletakkan telepon dan bergegas ke kamarnya.
Sesaat kemudian aku
sudah di depan kamarnya. Waktu kuketuk pintunya, ternyata pintunya sedikit
terbuka, “Masuk Gus!” Aku mengomelinya, “Gila, koq pintumu tidak dikunci sih
Mbak? Nggak takut ada orang lain masuk?” Kulihat lampu kamarnya remang-remang
dan ia berbaring di ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya, sementara pesawat
televisi di kamarnya menyajikan film dewasa semi porno. Batinku, “Wah, udah
ngeres rupanya dia nonton film beginian?”
“Ah ngapain takut?
Tokh cuma kamu yang tahu kalau pintu itu agak terbuka. Dari tadi ada yang lewat
kudengar tapi mana berani masuk?” tangkisnya.
“Aku mandi dulu ya Mbak, gerah banget nich seharian duduk, sore tadi cuma mandi koboi,” kucoba bercanda melihat reaksinya terhadap ucapanku.
“Ehhh …. belum pernah lihat televisi dilempar ke wajahmu, ya? Kan udah kubilang tadi tak usah pake mandi. Alasan aja, padahal mau godain aku… Sini, naik ke dekatku!” serunya dengan nada memerintah.
“Aku mandi dulu ya Mbak, gerah banget nich seharian duduk, sore tadi cuma mandi koboi,” kucoba bercanda melihat reaksinya terhadap ucapanku.
“Ehhh …. belum pernah lihat televisi dilempar ke wajahmu, ya? Kan udah kubilang tadi tak usah pake mandi. Alasan aja, padahal mau godain aku… Sini, naik ke dekatku!” serunya dengan nada memerintah.
Kulepaskan baju dan
celana panjangku dan kusampirkan di gantungan baju di lemarinya. Dengan hanya
mengenakan celana dalam dan kaos singlet, kudekati dia dan membuka selimut
masuk ke baliknya berbaring di dekatnya. Sekilas kulihat ia hanya mengenakan
baju tidur tipis tanpa mengenakan BH, entah celana dalamnya karena selimutnya
tidak kubuka lebar.Belum sempat rebah dengan baik, ia sudah memelukku dan
melumat bibirku dengan buas. Tangannya meraih kepalaku dan bahuku, hingga aku
tak bisa mengelak dari ciuman-ciuman mautnya. Lidahnya disusupkan masuk ke
dalam mulutku membelit lidahku dan mengait-ngait rongga mulutku sambil bibirnya
menutup penuh-penuh mulutku. Buah dadanya yang padat begitu liat dengan
putingnya yang kulihat sudah tegang, menekan dadaku hingga birahiku naik dengan
cepat.
“Sebentar Gus, kamu
jangan melawan, ikuti saja kemauanku …” paksanya tiba-tiba sambil menyeret
tubuhku ke pinggir ranjangnya, sementara selimut yang kami pakai sudah
terlempar ke bawah ranjang. Ditariknya kedua kakiku hingga berjuntai ke lantai
dan pantatku tepat di tepi ranjangnya, sementara di bawah kepalaku ia letakkan
sebuah bantal.
Lalu dengan cepat ia
menempatkan diri berjongkok di antara kedua pahaku dan mengelus-elus rambut kemaluanku.
Bibirnya mulai ia gunakan menciumi lututku, naik ke pahaku dan kedua testisku.
Lidahnya mulai menjulur membasahi pori-pori tubuhku seolah-olah tidak mau
menyisakan se-inci pun luput dari lumatan bibir dan tusukan lidahnya yang
menimbulkan seribu satu sensasi. Aku mulai mengerang mendapat pelayanan yang
begitu memuaskan.
“Ekhhhh… sshhh …. ahhh
… Mbakkkk …. nik .. mat … Ougghh .. sayaangggg….” Kembali kusaksikan bukan
seorang Ibu Ina yang sangat disegani di lingkungan kerja, tetapi yang ada kini
hanyalah seorang wanita yang benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan untuk
memenuhi kodratnya sebagai seorang wanita terhadap kekasihnya.
Perlahan-lahan
lidahnya menjilati batang penisku dan melakukan gerakan memutar sambil
menggunakan sebelah tangannya memegangi pangkal kemaluanku dan tangannya yang
lain mengelus-elus testisku yang menjadikanku menggeliat-geliat. Di bagian
leher penisku, lidahnya bermain dengan lincah melakukan manuver keliling dan
“Oouuuwww …!” aku menjerit ketika ujung lidahnya mengulas-ulas lubang penisku
dan memasukkan kepala penis ke dalam rongga mulutnya sambil terus menerus
melakukan gerakan simultan dengan kedua tangannya.
Aku semakin
terengah-engah manakala ia memasukkan seluruh penisku hingga pangkalnya masuk
ke mulutnya. Kurasakan bagaimana ujung penisku menyentuh kerongkongannya, aku
tidak tahu apakah itu amandelnya, tapi yang jelas ada benda yang lunak di sana
memberikan rangsangan yang luar biasa bagi kepala penisku. Sambil menelan
seluruh penisku dalam-dalam, lidahnya tetap menjilati batang penis dan kepala
penisku, hingga aku terbeliak karena menahan nikmat yang tak terkatakan.
Aksinya belum berhenti, tangan kanannya menggenggam batang penisku dan
melakukan kocokan-kocokan maut sambil terus mulutnya melakukan gerakan
memasukkan dan mengeluarkan kepala penisku semakin cepat dan semakin cepat.
Tangan kirinya kembali
meremas-remas, kini sasarannya adalah kedua belah pahaku dan entah kapan cairan
ludahnya ia ambil dari mulutnya, kurasakan jari telunjuk kirinya mulai
melakukan eksplorasi ke liang analku. Mula-mula masih di permukaan analku ia
oleskan ludahnya, tetapi kemudian ia mulai memasukkan sedikit demi sedikit jarinya
ke dalam analku. Lonjakan pantatku semakin hebat, bahkan hingga bergetar
merasakan rangsangan yang dahsyat hingga tanpa kusadari kedua bongkah pantatku
kuangkat hingga penisku semakin kutekankan ke mulutnya.
Jarinya yang masuk ke
analku pun masuk semakin dalam bahkan sampai seluruhnya dan kurasakan ia
melakukan gerakan memutar di dalam analku, bahkan kadang-kadang ujung jarinya
mengait-ngait bagian dalam analku hingga kurasakan betapa denyutan analku
semakin kencang menjepit jarinya. “Penyiksaannya” pada penis, kedua testis dan
analku membuatku semakin horny, hingga kurasa tak lama lagi akan mencapai
klimaks. Gerakannya semakin cepat demi melihat reaksiku yang sudah seperti
cacing kepanasan, menggeliat-geliat sambil merintih. Dengan suatu erangan nikmat,
aku memuntahkan cairan hangat ke mulutnya.
“Akkkhhh … Ak … kuuu
keluar Mbakk sayangg?” Kurasakan betapa kuatnya desakan maniku menyemprot dalam
rongga mulutnya yang ia sambut dengan penuh perasaan.
Kuamati wajahnya, ia
sedang terpejam sambil menikmati air maniku dengan pipi yang kempot karena
kuatnya mengisap penisku. Lidahnya terus merangsang lubang penisku yang masih
menyemprotkan mani.
“Ohhh … hebat …
jepitan analmu sungguh hebat Gus!” pujinya sambil menjilati air maniku yang
menetes di bibirnya, sementara jarinya pada analku masih ia hunjamkan
sedalam-dalamnya.
Denyut jantungku yang
memacu dengan kencang dan napasku yang terengah-engah tidak membuatku surut.
“Sekarang rasakan
pembalasanku,” pikirku sambil menegakkan tubuh berdiri di tepi ranjangnya dan
dengan gerakan yang tak ia duga, mendorongnya jatuh ke ranjang lalu menarik
kedua kakinya ke tepi ranjang persis seperti yang ia lakukan bagiku.
“Lho, ada apa Gus? Pelan-pelan dong?” katanya terkejut.
“Emang cuma Mbak yang bisa bikin begitu? Giliranku sekarang, ayo … nikmati aja say!”
“Lho, ada apa Gus? Pelan-pelan dong?” katanya terkejut.
“Emang cuma Mbak yang bisa bikin begitu? Giliranku sekarang, ayo … nikmati aja say!”
Kulucuti gaun tidurnya
dan ternyata memang tidak ada lagi apa-apa di baliknya, hingga kini kami berdua
sudah dalam keadaan telanjang tanpa selembar benang pun melekat di tubuh
masing-masing. Kuciumi mulutnya dan kugelitik rongga mulutnya dengan memasukkan
lidahku dalam-dalam ke mulutnya, lalu ciuman dan jilatanku turun ke lehernya
yang jenjang terus ke payudaranya. Putingnya kulumat sambil mengisap buah
dadanya sebanyak yang dapat kutelan dalam rongga mulutku sambil jari-jariku
meremas-remas payudaranya yang sebelah lagi. Bergantian kulakukan seperti itu
hingga ia semakin merintih.
“Gusss…. ohhh….nikmat
… ahhh… terus … ya gitu say…. ooohhhh …. teruskan remas susuku ….” desahnya.
Usai menggeluti kedua
buah dada dan kedua putingnya yang sudah tegang mencuat ke atas, kutelusuri
perutnya, pinggang dan pinggulnya dengan bibir dan lidahku. Ia memejamkan mata
sambil terus merintih hingga suara rintihannya terdengar begitu memilukan, tapi
aku tahu, ia tidak kesakitan melainkan karena merasakan nikmat yang semakin
memuncak. Lidahku semakin liar menjilati seputar kemaluannya dengan memulainya
pada bagian labianya yang sudah basah.
Rambut kemaluannya
kuraba dengan jari-jariku sambil mencari-cari klitorisnya. Begitu kutemukan
klitorisnya, lidahku dengan ganasnya melakukan isapan dan jilatan yang
membuatnya semakin liar menggelinjang. Kedua tangannya meremas-remas rambutku
bahkan sesekali menarik rambutku karena gemas. Jari-jari tangan kananku
menekan-nekan labianya dan telunjukku kumasukkan ke liang vaginanya hingga
membuatnya terhenyak kaget dan mengangkat kedua belah pantatnya tinggi.
Kukuakkan kedua
labianya lebar-lebar ke kiri kanan dan lidahku terhunjam dengan gerakan buas
memasuki vaginanya. Kukait-kait klitoris dan vaginanya sambil jari-jariku
melakukan eksplorasi lebih lanjut mencari G-spotnya. Tak sulit lagi mencarinya
karena pengalaman beberapa malam yang lalu. Aksiku menggumuli klitoris,
G-spotnya, labia liang vaginanya kurasa belum cukup, sehingga jari tengah
tangan kiriku kumasukkan ke analnya setelah kuolesi cairan vaginanya yang
semakin membanjir.
“Oooohhhh Gus…
sayyyangggg!” teriaknya dengan mata terbelalak, tapi aku tahu ia tidak marah
karena itu adalah ungkapan kenikmatan.
“Sabar Mbak sayang, bentar lagi kuantar ke gerbang kenikmatan ….” ujarku sambil meneruskan aksiku.
“Aguuuusssss ….. sayangggkuuu .. ooohhhh,” jeritnya.
Dengan suatu geraman
tinggi, ia menghentakkan pantatnya tinggi-tinggi dan begitu kurasakan bahwa ia
akan orgasme kutekan wajahku dalam-dalam ke vaginanya sambil terus mengocok
vagina dan analnya dengan jari-jariku.
“Croott.. crooot …
crooot …” cairan hangat terasa membasahi wajahku dan sempat kutarik wajahku
hingga kulihat betapa kuatnya semprotan cairan kenikmatannya bahkan kupikir
melebihi semprotan penisku saat orgasme.
Begitu ia rasakan
kutarik wajahku dari vaginanya, kedua tangannya menekan belakang kepalaku
kuat-kuat hingga kembali terbenam ke vaginanya yang merekah. Maka sibuklah aku
menyedot dan menjilati cairan vaginanya hingga kurasa mulutku penuh dengan
cairan gurih. Jariku di analnya masih merasanya denyutan-denyutan hebat, begitu
pula jariku di vaginanya masih terjepit dan kurasakan remasan-remasan otot-otot
vaginanya menjepit jariku.
“Ahhh… aku capek Gus…
kita istirahat dulu ya sayang?” katanya sambil memelas.
Kuangkat tubuhnya ke
atas dan kutempatkan diriku berbaring di sampingnya sambil saling berciuman
meredakan gelora nikmat yang menguasai dirinya dan diriku. Kini kami berdua
bagaikan dua bayi raksasa yang tergolek siap untuk saling berbagai kepuasan.
Jari-jari kami saling
meremas dan kaki kami membelit satu sama lain. Tak berapa lama kulihat matanya
terpejam. “Ah, biarlah ia tidur dulu, kasihan jika kupaksa untuk main tanpa
jeda,” pikirku. Aku pun memicingkan mata dan mencoba tidur sambil merenung
mengapa kami bisa begitu binal.
Jelang tengah malam,
aku terbangun karena Mbak Ina bangkit menuju kamar mandi. Kudengar suara air
gemercik mengisi bathtub. Karena penasaran menunggunya tidak balik ke ranjang,
aku bangun dan berjalan ke kamar mandi, kubuka pelan pintu yang tidak ia tutup.
Kulihat Mbak Ina sedang berendam sambil menutup mata dalam bathtub yang sudah
mulai berisi air. Melihat sebagian tubuhnya berendam demikian, birahiku kembali
menggelegak, aku masuk ke dalam kamar mandi dan kudekati dia. “Oh kamu udah
bangun, Gus? Mau mandi air hangat bareng denganku?” ajaknya.
“Iya Mbak, biar fresh
untuk sesi berikutnya,” jawabku sambil masuk ke bathtub. “Uihhh, makin
kelihatan kalau kamu sebetulnya mata keranjang,” katanya sambil mencipratiku
dengan air.
Kami mandi berdua,
saling meremas, saling menggosok dan menyabuni satu sama lain. Usai
mengeringkan badan, dengan bertelanjang kami berdua kembali ke ranjang. Kami
duduk bersisian dengan saling peluk dan cium sambil menonton film dewasa yang
belum juga usai. Kami sama-sama melihat sepasang pria dan wanita yang telanjang
dalam posisi sedang duduk berpelukan melakukan hubungan badan. Tidak terlihat
penis si pria masuk keluar kemaluan si wanita, tetapi gerakan-gerakan tubuh
mereka di mana si wanita dalam pose menduduki kemaluan si wanita mengesankan
bahwa mereka sedang mendaki puncak kenikmatan.
Tiba-tiba si pria
mengangkat si wanita, sambil berdiri di lantai, si pria menggendong si wanita
dengan menahan kedua pantatnya sedang kedua paha si wanita memeluk erat-erat
pinggang si pria. Posisi ini yang disebut sebagai monyet menggendong anaknya.
Kuperhatikan dengan ekor mataku mata Mbak Ina memandangi adegan itu dengan
tajam dan kurasakan jari-jarinya tidak lagi meremas tanganku tetapi berpindah
ke pangkal pahaku dan mulai membelai penisku yang mulai bangkit kembali sejak
kami mandi berdua. Elusan jari-jarinya membuat gairahku semakin naik kembali.
“Gus, enak banget kali
gaya begitu ya?” desahnya di telingaku. “Udah pernah nyoba dengan istrimu?”
tanyanya.
“Belum Mbak.”
“Ehmmm, enak mungkin ya? Tapi gimana ya?” desahnya sambil melirik aku.
“Tapi gimana ya? Aku justru maunya gini aja denganmu, penismu tidak sampai penetrasi ke vaginaku kayak gitu?”
“Nggak apa-apa Mbak, kita tetap main anal seperti biasanya, cuma dengan posisi begitu, bagaimana?” kataku menantang, sambil menarik tangannya turun dari ranjang.
Sambil tersenyum
dengan wajah tak mengerti akan ajakanku, ia bertanya,
“Ada apa sih Gus? Koq
pake turun ranjang segala?”
Aku tidak menjawab,
tapi kuatur tubuhnya berdiri sambil membungkuk, bertopang kedua tangannya ke
kursi di depan TV, kemudian kutempatkan diriku persis di belakang tubuhnya dan
mulai mengusap-usap lubang analnya. Kuambil ludahku dan kuoleskan di mulut
analnya sambil tanganku yang lain merabai payudaranya di depan. Ia mulai
mendesah geli campur nikmat,
“Sssshhhh, ohhh … kau
kuat banget sih Gus? Udah minta lagi?”
Kepala penisku mulai mengambil posisi tepat di mulut analnya dan dengan perlahan-lahan kudorong masuk ke analnya. “Sstt… eeekhhh …. pe..lan Gus, jangan kuat-kuat, ehhh … shhh …” katanya sambil sebelah tangannya mencoba menahan laju pantatku agar tidak maju mundur dengan cepat.
“Tenang aja, Mbak. Aku takkan menyakitimu. Nikmati saja, sayang …” gumamku pelan sambil terus memaju-mundurkan pantatku hingga penisku masuk lebih dalam ke dalam analnya.
Kepala penisku mulai mengambil posisi tepat di mulut analnya dan dengan perlahan-lahan kudorong masuk ke analnya. “Sstt… eeekhhh …. pe..lan Gus, jangan kuat-kuat, ehhh … shhh …” katanya sambil sebelah tangannya mencoba menahan laju pantatku agar tidak maju mundur dengan cepat.
“Tenang aja, Mbak. Aku takkan menyakitimu. Nikmati saja, sayang …” gumamku pelan sambil terus memaju-mundurkan pantatku hingga penisku masuk lebih dalam ke dalam analnya.
Nafsunya kembali naik
seiring dengan gerakan penisku yang semakin intens ke dalam analnya dan kedua
tanganku tidak tinggal diam, kadang-kadang meremas kedua belah pantatnya, juga
bergantian menjangkau vagina dan klitorisnya serta payudaranya. Desahannya
mulai berganti dengan rintihan yang semakin kuat.
“Sshhhh …. aakkkhhh …
enakkkkhhh … Gus …. Ahhhh sayang …. terus … teruusssss …. ooukhhhh ….” geliat
tubuhnya semakin menggairahkan apalagi sesekali kurapatkan tubuhku ke
punggungnya dan menjilati kuduknya bahkan menggigit pelan-pelan. Bibir dan
lidahku bermain juga di pundak, sela-sela ketiaknya dan turun ke lengan
atasnya.
Saat rintihannya
semakin kuat, penisku kuhentikan tepat menghunjam sedalam-dalamnya ke analnya
dan kuhentikan gerakanku untuk melihat reaksinya.
“Oukhhh …. ada apa
Gus? Koq kamu diam sih? Sengaja mau menyiksaku ya? tanyanya.
Tanpa menjawab
pertanyaannya, tiba-tiba kuletakkan kedua tanganku di bawah pahanya dan
kutopang dengan kedua tanganku, lalu dengan kekuatan tanganku kunaik-turunkan
pahanya, sehingga bunyi analnya menelan penisku semakin sedap kedengaran,
“Slepp …. sleepp …
sslep …” Ia mengerang-erang kenikmatan.
“Guuussss ….” hanya itu suaranya. Kulihat kedua tangannya meremas-remas payudaranya menambah rasa nikmat yang ia terima akibat permainan penisku.
“Guuussss ….” hanya itu suaranya. Kulihat kedua tangannya meremas-remas payudaranya menambah rasa nikmat yang ia terima akibat permainan penisku.
“Ssshhh …. ahhh … aku hampir dapat Gus!” rintihnya semakin kuat.
“Sabar Mbak, ntar bareng dengan aku,” bujukku sambil merebahkannya terlentang di tempat tidur. Wajahnya nampak kesal karena tiba-tiba kucabut penisku dari analnya.
“Ada apa lagi sih Gus? Koq dicabut, padahal aku hampir klimaks?” gerutunya sambil cemberut.
“Kita ganti posisi, biar Mbak lebih santai,” kataku sambil berlutut di dekat pahanya dan mengangkat paha kanannya ke atas paha kiriku.
Kuambil ludahku dan
kuoleskan lagi di mulut analnya kemudian penisku kuarahkan kembali ke analnya
masuk keluar.
masuk keluar.
“Ahhh… kau pinter
banget bikin variasi. Shhh … ohhhgg … terusss Gus … aduh nikmatnya …” erangnya
sambil menggeliat-geliatkan pantatnya.
Kuayunkan pantatku
mendorong penis masuk keluar analnya. Dengan kaki kanannya di atas paha kiriku,
ia berbaring agak miring sehingga dengan bebas tangan kananku dapat merabai
klitoris dan vaginanya.
“Ssshhh … nikmattt
Gus, te..rus … ohhh … lebih cepat lagi Gus?”
“Yang mana yang lebih cepat, Mbak? Tanganku di analmu atau yang di vegy-mu nich?” godaku sambil mempercepat ayunan pantatku.
“Semuanya enak Gus, aduh … kau suka banget sih bikin aku keqi? …. shhh …. akkkhh” rintihnya.
“Yang mana yang lebih cepat, Mbak? Tanganku di analmu atau yang di vegy-mu nich?” godaku sambil mempercepat ayunan pantatku.
“Semuanya enak Gus, aduh … kau suka banget sih bikin aku keqi? …. shhh …. akkkhh” rintihnya.
Jari-jari tangan
kananku semakin cepat menggesek-gesek labianya dan ketika kuraba klitorisnya
yang sudah begitu tegang, kubuat jepitan kecil dengan jari telunjuk dan jari
tengah. Kemudian kedua jari tersebut kumasukkan ke liang vaginanya sambil
jempol kananku mengelus-elus klitorisnya.
“Auhhhh … enakkkhhhh …
Guuussss ….” rintihannya makin meninggi.
“Akkkhuu hampir keluarrr …. oookhhhh ….”
“Akkkhuu hampir keluarrr …. oookhhhh ….”
“Sekalian denganku Mbak, ssshhhh … akkkhhh … aku juga udah mau keluar …. Bareng Mbak …. aaakkhhh …” desahku sambil mempercepat genjotan penisku pada analnya dan jari-jari tangan kanan pada kemaluannya sedangkan tangan kiri meremas-remas payudara dengan putingnya yang amat tegang.
Dengan suatu hentakan
kuhempaskan dalam-dalam penis ke dalam analnya, paha kanannya melilit erat
pinggangku, kurasakan denyutan luar biasa pada analnya juga liang vaginanya
yang mpot-mpotan meremas-remas jari telunjuk dan tengah tangan kananku.
Pantatnya dengan kuat menggelinjang-gelinjang hingga membuat penisku semakin
erat dikulum oleh liang analnya.
“Ggguuuuuussss!
rintihannya berubah menjadi teriakan yang kuat di ruang kamar itu.
“Mbaaakkk sayangggg …” sambutku sambil terus menggoyang-goyangkan pantat menikmati orgasme yang bersamaan tiba.
“Mbaaakkk sayangggg …” sambutku sambil terus menggoyang-goyangkan pantat menikmati orgasme yang bersamaan tiba.
Kurasakan penisku
menyemprotkan air mani kuat-kuat ke dalam analnya. Setelah beberapa saat,
kutarik penisku dan kulihat cairan putih bening menetes turun ke pahanya.
Kami berdua berbaring
miring sambil berpelukan dan berciuman. Bibirku dikulumnya dengan sangat erat,
bahkan sempat digigitnya lidahku saking gemasnya. Setelah orgasme kami berdua
mereda, kami berbaring sambil bergenggaman tangan dan tertidur dalam keadaan
telanjang.
“Kita tidur dulu ya
sayang, besok masih bisa kita lanjutkan. Masih ada waktu sehari penuh buat
kita,” katanya sambil memicingkan mata.
“Iya Mbak, yuk tidur sayang! Met malam ya!” ujarku sambil mencium bibirnya.
Keesokan harinya masih
kami isi dengan berbagai gaya permainan ranjang meskipun tetap tanpa melakukan
penetrasi ke dalam vaginanya. Tenaga kami benar-benar terkuras, karena ingat di
Jakarta tak mungkin kami berbuat demikian.
Itulah pengalamanku dengan Mbak Ina yang cantik dan penuh gairah. Hingga kini kami berdua masih tetap tidur bersama jika kebetulan bertugas keluar kota atau keluar negeri hanya berdua, paling tidak 4-8 kali kami memperoleh tugas luar semacam itu. Uniknya, hingga kini kami hanya bermain anal, tetapi kenikmatan yang kami rasakan tak ubahnya seperti permainan seks biasa.
Lucunya lagi, akibat
permainanku, Mbak Ina mulai coba-coba minta suaminya pun main di analnya,
tetapi ia mengakui style-ku selalu lebih hot daripada suaminya. Rahasia kami
berdua tetap tersimpan erat dan tidak pernah ada orang di perusahaan yang tahu
hubungan kami, karena di kantor kami tetap berbuat sebagaimana wajarnya
karyawan biasa. Orang hanya tahu ia sebagai atasanku dan aku sebagai asistennya
selalu berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan pimpinan. Mereka tidak
pernah tahu, bahwa keberhasilan itu juga sangat didukung oleh hubungan mesra di
antara kami.




+ komentar + 3 komentar
Saksikan Jadwal Serta Prediksi Pertandingan Sepak Bola Big-Match Liga Liga Inggris Antara :
1. Prediksi Bola Liga Inggris Manchester City Vs Liverpool 19 Maret 2017 Pkl. 23:30 WIB.
2. Prediksi Bola Liga Inggris Tottenham Vs Shouthampton 19 Maret 2017 Pkl. 21:15 WIB.
3. Prediksi Bola Liga Inggris Middlesbrough Vs MU 19 Maret 2017 Minggu, 19 Maret 2017 Pkl. 19:00 WIB.
Hanya Di : (" Ladang Prediksi Bola Dunia Terupdate 2017 ").
Serta Pertandingan Yang Tidak Kalah Seru Pastinya Dalam Ajang Lanjutan Kompetisi Big-Match Liga Premier Antara :
1. Prediksi Bola Liga Italia Atalanta Vs Pescara 19 Maret 2017 Pkl. 21:00 WIB. Pkl. 21:00 WIB.
2. Prediksi Bola Liga Italia Sampdoria Vs Juventus 19 Maret 2017 Pkl. 21:00 WIB. Pkl. 21:00 WIB.
3. Prediksi Bola Italia Empoli VS Napoli 19 Maret 2017 Pkl. 18:30 WIB.
Hanya Di : (" Sumber Prediksi Bola International Terupdate 2017 ").
Note : Anda Bingung Ingin melakukan taruhan dipertandingan Big-Match Liga Inggris Dan Liga Italia ???
Selalu Percayakan layanan Betting Anda Bersama ( >> Bavetline88.com << ). Master Agen Betting Yang Sangat Terpercaya Di Indonesia Sejak 2011.
Serta Dapatkan Bonus Registrasi Dan Deposit Hingga 30% Untuk 10 Orang Pendaftar Pertama Dalam Pertandingan Kali Ini.
Sudah Pasti Tak Sabar Ingin Menontonnya !!!
Tunggu Apalagi, Ayo Segera Registrasi Dan Daftarkan Diri Anda Sekarang Juga Dapatkan Bonus Register Dan Deposit Hingga 30% Yang Bisa Anda Bawa Pulang Sekarang Juga Setelah
Melakukan Registrasi Diri Anda. ( Tidak Usah Takut Ataupun Cemas Berapapun Anda Menang, Pasti Akan Kami Bayar !!!! )
Registrasi :
Link 1. ( Bavetline88.com )
Link 2. ( Bavetline88.com )
Link 3. ( Bavetline88.com )
Link 4. ( Bavetline88.com )
Link 5. ( Bavetline88.com )
Info Lebih Lanjut
Website Utama : ( www.bavetline88.com ).
Website Registrasi : ( www.bavetline88.com ).
Website Bonus : ( www.bavetline88.com ).
Website Panduan : ( www.bavetline88.com ).
Contact Person : 085-5127-711-28 / 081-31-666-1222.
Whtasapp : 0813-1666-1222.
BBM : 55628DA2.
Line : bavetline.
Skype : Agen Bavetline.
Customer Service : (>> LiveChat <<)
[WWW.BAVETLINEOKE.COM] Open Bonus Bikin Gila Jadi Gila Makin Gila Khusus Untuk Hari Ini
Prediksi Skor Pertandingan Bola Rabu, 05 April 2017 :
1. Manchester United 2-0 Everton (Odds 0:1).
2. Hoffenheim 1-3 Bayern Munchen (Odds 1 1/4:0).
Daftar Dengan Kode Referall "BAVETJ02" Anda Deposit Rp. 70.000 Dapat Credit Rp. 100.000.
( Tidak Usah Cemas Ataupun Takut Berapapun Anda Menang, Pasti Akan Kami Bayar 100% Tanpa Ada Potongan !!!! )
Hanya Di Agen Bavetlineoke.com
( Note : Syarat Dan Ketentuan Berlaku )
Ayo Segera Bergabung Menjadi Salah Satu Bagian Dari Kami
Dapatkan Bonus Promo SPECIAL Berlimpah Menanti Anda Hanya Di Agen Bavetlineoke.com
Info Lebih Lanjut :
Website Utama : Agen Bavetlineoke.com.
Website Registrasi : Agen Bavetlineoke.com.
Website Bonus : Agen Bavetlineoke.com.
Website Panduan : Agen Bavetlineoke.com.
Website Peraturan : Agen Bavetlineoke.com.
Contact Person : 0855-1277-1128.
Whtasapp : 0813-1666-1222.
BBM : 55628DA2.
Customer Service : (>> LiveChat <<)
[BOLA988BET.COM] AGEN BOLA SBOBET
Prediksi Skor Pertandingan Bola Minggu, 09 April 2017 :
1. Manchester United 2-1 Sunderland (Odds 2:3/4).
2. Leicester 1-1 Everton (Odds 2:3/4).
Daftar Dengan Kode Referall "98J01" Anda Depo 70rb Dapat Credit 100rb
( Tidak Usah Cemas Ataupun Takut Berapapun Anda Menang, Pasti Akan Kami Bayar 100% Tanpa Ada Potongan !!!! )
Hanya Di Agen Bola988bet.com
( Note : Syarat Dan Ketentuan Berlaku )
Ayo Segera Bergabung Menjadi Salah Satu Bagian Dari Kami
Dapatkan Bonus Promo SPECIAL Berlimpah Menanti Anda Hanya Di Agen Bola988bet.com
Info Lebih Lanjut :
Website Utama : Agen 988betlink.com.
Website Registrasi : Agen Bola988bet.com.
Website Bonus : Agen Bola988bet.com.
Website Panduan : Agen Bola988bet.com.
Website Peraturan : Agen Bola988bet.com.
Contact Person : 0855-9776-99180.
SMS/Whtasapp : 0812-9888-8100.
BBM Tanya Jawab : 2BB7193B.
BBM Depo / WD : D62477FB.
Skype : cs2.988bet.
Line : 988bet
Post a Comment