Lina Dan Lira
Sejak berpacaran dengan Lina, mahasiswi
Fakultas Hukum Universitas terkemuka di Bandung, yang berbeda dua angkatan
dengannya, Andi mulai bergaul dengan teman-teman Lina. Aktifitas Lina
membawanya sering berkumpul dengan anak-anak Hukum yang seperti teman-teman
baru bagi Andi. Kenyataan ia satu-satunya anak Ekonomi saat berkumpul dengan
teman-teman Lina membuatnya mudah dikenali. Dari sering berkumpul ini pula ia
mulai kenal satu persatu anak Hukum. Sikapnya yang mudah bergaul membuat ia
juga diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas anak-anak Hukum.
Sebagai anak Ekonomi dan punya pengalaman organisasi lebih
banyak dibanding teman-teman Lina, membuatnya sering memberikan wawasan baru
bagi anak-anak Hukum angkatan Lina. Di sini juga ia menjadi kenal Lira, yang
sama seperti teman Lina yang lain, sekedar kenal dengannya. Lira sering ikut
datang karena statusnya sebagai pacar Boy, salah satu pentolan angkatan Lina.
Tidak ada perhatian khusus Andi kepada Lira, kecuali tentu saja,
sebagai laki-laki normal, dadanya yang super. Meski bersikap biasa kepada Lira
dan cenderung bersikap sama terhadap teman Lina yang lain, kelebihan pada tubuh
Lira kerap membuatnya tak kuasa melirik lebih dalam, terutama saat Lira memakai
baju yang memamerkan lekuk tubuhnya secara sempurna, apalagi kulit Lira putih
bersih dan mulus.
Perkenalan lebih terjadi saat Lina meminta Andi mengantarnya ke
kost Lira karena perlu meminjam bahan kuliah. Saat itu pun Andi masih belum
sadar Lira itu siapa, dan baru paham setelah disebutkan pacar Boy. Meminjam
buku menjadi waktu bertamu yang lebih lama setelah Andi dan Lira ternyata punya
selera musik yang sama. Obrolan itu masih dalam batas koridor pertemanan, hanya
bedanya setelah itu, Andi jadi lebih ingat siapa Lira, paling tidak namanya.
Lira sendiri sebetulnya bukan teman akrab Lina. Bisa dikatakan beda gank, tapi
hubungan mereka baik.
Aktifitas mengantar Lina ke kampus pun kini menjadi lebih
menyenangkan bagi Andi karena ia sering bertemu Lira. Namun, sekali lagi ini
sebatas karena mereka punya selera musik yang sama. Paling tidak, saat menunggu
Lina berurusan dengan orang lain, terutama di lingkungan organisasi mahasiswa
kampus, Andi punya teman ngobrol baru yang nyambung diajak ngobrol. Lina pun
merasa beruntung Andi mengenal Lira karena ia jadi lebih santai mengerjakan
sesuatu di kampus terutama jika ia minta Andi menunggunya.
Sampai tiba masa-masa sibuk di organisasi mahasiwa Hukum yaitu
pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Rapat-rapat sering digelar untuk
merumuskan strategi kampanye. Kasihan kepada Andi, pada suatu hari Lina tidak
minta ditunggu lagi oleh pacarnya itu, tapi ia minta dijemput lagi pukul empat
sore, dua jam setelah rapat dimulai. Andi pun memutuskan untuk menunggu di kost-an
salah satu teman yang kost di dekat kampus. Sayang, saat tiba di kost-kostan
tersebut temannya sedang keluar.
Tak habis akal ia menuju kost-an temannya yang lain. Namun,
jalan ke kost-an temannya itu melewati kost-an Lira. Dari jalan, yang hanya
berjarak sekitar 15 meter dari deretan kamar kost tersebut. Ia melihat Lira
keluar dari kamarnya hendak menjemur handuk. Andi melambatkan motornya dan
berharap Lira melihat. Dan, harapannya terkabul. Ia akhirnya memutuskan main di
kost Lira sembari menunggu Lina selesai rapat.
“Lina lagi rapat ya?”
Lira membuka pembicaraan sambil sibuk menata rambutnya yang basah. Ia mempersilakan Andi duduk di atas karpet karena di kamarnya memang tidak ada kursi. Semua perabot terletak di bawah termasuk sebidang meja kecil tempat Lira belajar.
Lira membuka pembicaraan sambil sibuk menata rambutnya yang basah. Ia mempersilakan Andi duduk di atas karpet karena di kamarnya memang tidak ada kursi. Semua perabot terletak di bawah termasuk sebidang meja kecil tempat Lira belajar.
“Iya. Loe kok ngga ikut Lir?”
“Males. Gue tau pasti lama. Lagian sekarang kan yang rapat pentolan aja.”
“Boy di sana juga?”
“Males. Gue tau pasti lama. Lagian sekarang kan yang rapat pentolan aja.”
“Boy di sana juga?”
“Iyalah, dia kan proyeknya. Masa’ dia ngga dateng. Ini juga gue lagi nungguin dia. Janjian ntar gue jemput jam enam, mau nonton.”
Andi baru sadar kalau ini adalah malam Minggu dan ia belum punya
rencana. Dari tadi pandangannya tidak lepas dari rambut ikal sebahu Lira yang
basah habis mandi. Ia hanya bisa menelan ludah melihat Lira yang seksi sekali
dalam kondisi seperti itu. Aroma yang cukup familiar baginya merebak dari
rambut Lira yang masih basah.
“Shampo loe shampo bayi ya, Deedee kan, rasa strawbery?”
“Hahaha, kecium ya, kok tau sih?
“Yah, elo Lir, gue kan juga pake Deedee. Cemen yah?”
“Buset, orang kayak loe shamponya Deedee? Lina yang mau apa emang elo yang suka?”
“Gue udah pake shampo itu sejak SMA,”
“Hihihi…, geli gue, lucu aja, liat loe shamponya Deedee,” ledek Lira sambil tertawa geli.
“Hahaha, kecium ya, kok tau sih?
“Yah, elo Lir, gue kan juga pake Deedee. Cemen yah?”
“Buset, orang kayak loe shamponya Deedee? Lina yang mau apa emang elo yang suka?”
“Gue udah pake shampo itu sejak SMA,”
“Hihihi…, geli gue, lucu aja, liat loe shamponya Deedee,” ledek Lira sambil tertawa geli.
Keduanya terdiam sesaat. Sampai tawa Lira berderai lagi.
“Kok
sama lagi sih. Kita emang udah jodoh ketemu kali nih. Jodoh jadi temen gitu
maksud gue.”
Lira berusaha meluruskan kalimatnya karena sadar perkataannya
bisa diartikan berbeda. Keduanya memang saling nyambung awalnya karena punya
selera musik yang sama.
“Mungkin kali ya…., loe bocor sih,” sahut Andi terkekeh.
Obrolan pun terus berlanjut mengalir seperti sungai. Lira yang
cerewet selalu punya bahan pembicaraan menarik demikian pula dengan Andi.
Uniknya obrolan tersebut selalu nyambung. Di tengah ngobrol Andi sekali-sekali
melirik dua tonjolan di dada Lira yang luar biasa ranum. Soal cewe, selera Andi
memang yang memiliki dada besar. Ia sudah bersyukur punya Lina yang berdada
lumayan berisi, namun melihat Lira, rasanya rugi kalau diabaikan, membuat
darahnya berdesir kencang.
Saat
melihat dari jalan tadi, Andi menemukan Lira hanya memakai kimono mandi dan
sedang menjemur handuk. Ia sempat diminta menunggu cukup lama oleh Lira karena
harus berpakaian dulu. Harapannya, Lira keluar dengan pakaian lebih tertutup,
tapi yang didapati adalah Lira hanya memakai tank top putih yang memamerkan
ceplakan branya dengan jelas hingga renda-renda di dalamnya berikut celana
pendek yang membuat 3/4 pahanya terbuka.
“Eh, Lir, gue mo nanya nih….”
“Apaan?”
“Tapi jawab jujur ya….”
“Apaan dulu??
“Ya ini gue mo nanya?.”
“Oke, jujur….”
“Anak-anak Hukum sebetulnya risih ngga sih gue sering ngumpul bareng mereka.”
“Angkatan gue??
“Iya.”
“Jujur kan?…Ngga, yakin gue. Eh, tapi maksudnya ngumpul karena loe nemenin Lina kan?”
“Iya.”
“Ya ngga sama sekali. Yang suka sama loe banyak kok.”
“Bener loe? Kalo cowo-cowonya gimana?”
“Ngga juga. Kenapa sih? Ya kalo ada paling yang dulu naksir Lina tapi keserobot elo?hahahaha….”
“Sialan loe?, serius nih gue.”
“Gue juga serius. Bener kok, percaya deh sama gue.”
“Mereka, terutama yang cewe, malah yang gue tau pada keki sama Lina.”
“Keki kenapa? emang salah gue apa?”
“Maksudnya keki soalnya Lina dapet cowo kayak elo.”
“Emang gue kenapa?”
“Ya?loe kan sabar banget tuh mau nungguin Lina, terus gabung sama kita-kita, maen bareng?”
“Gitu ya…?”
“Iya pak Andi. Nih ya, gue kasih bandingan: cowo gue yang dulu, itu sama sekali ngga mau gabung. Sebates nganterin gue aja. Sombong banget, kayak ngeliat apaan gitu kalo kita ngumpul. Ngga tau, pembawaan anak teknik kali ya, berasa pintar sedunia.”
“Apaan?”
“Tapi jawab jujur ya….”
“Apaan dulu??
“Ya ini gue mo nanya?.”
“Oke, jujur….”
“Anak-anak Hukum sebetulnya risih ngga sih gue sering ngumpul bareng mereka.”
“Angkatan gue??
“Iya.”
“Jujur kan?…Ngga, yakin gue. Eh, tapi maksudnya ngumpul karena loe nemenin Lina kan?”
“Iya.”
“Ya ngga sama sekali. Yang suka sama loe banyak kok.”
“Bener loe? Kalo cowo-cowonya gimana?”
“Ngga juga. Kenapa sih? Ya kalo ada paling yang dulu naksir Lina tapi keserobot elo?hahahaha….”
“Sialan loe?, serius nih gue.”
“Gue juga serius. Bener kok, percaya deh sama gue.”
“Mereka, terutama yang cewe, malah yang gue tau pada keki sama Lina.”
“Keki kenapa? emang salah gue apa?”
“Maksudnya keki soalnya Lina dapet cowo kayak elo.”
“Emang gue kenapa?”
“Ya?loe kan sabar banget tuh mau nungguin Lina, terus gabung sama kita-kita, maen bareng?”
“Gitu ya…?”
“Iya pak Andi. Nih ya, gue kasih bandingan: cowo gue yang dulu, itu sama sekali ngga mau gabung. Sebates nganterin gue aja. Sombong banget, kayak ngeliat apaan gitu kalo kita ngumpul. Ngga tau, pembawaan anak teknik kali ya, berasa pintar sedunia.”
Lira nyerocos tapi dari sorot matanya terlihat ia sangat serius.
“Dulu
gue tuh sering nahan hati soalnya cowo gue itu diomongin terus sama temen-temen
gue. Sombong lah, belagu lah. Ya mereka sih ngomongnya baik-baik, minta gue
ajak dia bergabung. Tapi cowo gue ngga mau gimana. Jadi serba salah kan?”
“Anak teknik? Dani maksud loe?”
“Betul pak! Dani. Mungkin juga karena ketuaan kali ya? Tapi ngga tau ah! Nah, ketika loe masuk dan mau mencoba berbaur. Temen-temen gue, ngga cewe ngga cowo, jelas seneng. Apalagi loe bisa nyambung. Yang cowo respek sama loe, yang cewe,….hihihi, demen.”
“Anak teknik? Dani maksud loe?”
“Betul pak! Dani. Mungkin juga karena ketuaan kali ya? Tapi ngga tau ah! Nah, ketika loe masuk dan mau mencoba berbaur. Temen-temen gue, ngga cewe ngga cowo, jelas seneng. Apalagi loe bisa nyambung. Yang cowo respek sama loe, yang cewe,….hihihi, demen.”
Lira sengaja hanya sampai kata itu. Sebetulnya ia ingin bilang
ke Andi bahwa anak-anak, cewe-cewe tentunya, banyak yang naksir Andi.
“Demen
apaan?” Andi berusaha memaksa Lira memperjelas omongannya sambil tergelak.
“Ya demen…ih, loe GR ya?” kata Lira sambil menunjuk Andi.
“GR apaan? kan gue cuman minta diperjelas,”
“Nih ya, ada satu temen gue yang bilang berharap banget loe putus sama Lina. Katanya, gue mau deh, biar bekas temen juga…tuh…”
“Yang bener loe? Siapa?”
“Ngga usah gue kasih tau. Kalo perasaan loe peka, loe pasti tau deh! Eh, bener tuh, dalem hati loe pasti seneng juga kan disenengin cewe-cewe….hahaha.”
“Sialan loe!” balas Andi sambil terkekeh.
“Ya demen…ih, loe GR ya?” kata Lira sambil menunjuk Andi.
“GR apaan? kan gue cuman minta diperjelas,”
“Nih ya, ada satu temen gue yang bilang berharap banget loe putus sama Lina. Katanya, gue mau deh, biar bekas temen juga…tuh…”
“Yang bener loe? Siapa?”
“Ngga usah gue kasih tau. Kalo perasaan loe peka, loe pasti tau deh! Eh, bener tuh, dalem hati loe pasti seneng juga kan disenengin cewe-cewe….hahaha.”
“Sialan loe!” balas Andi sambil terkekeh.
Tanpa sadar, Andi mendorong paha kiri Lina. Sejak perkenalan
pertama mereka saat ngumpul bersama teman-teman yang lain sepuluhan bulan yang
lalu. Baru kali ini mereka benar-benar saling bersentuhan secara fisik. Meski
sebuah sentuhan tanpa maksud apa-apa, tak kurang Lira tertegun sejenak. Syaraf
sensorik di pahanya seperti mengalirkan sesuatu yang menbuatnya berdesir.
Hampir tidak ada yang tahu, bagian yang didorong dan disentuh Andi justru
bagian paling sensitif pada Lira, bagian yang mampu mengalirkan perasaan erotik
dalam diri cewe berumur 20 tahun itu.
Lira berusaha tidak memandang mata Andi, tapi ia tak kuasa
menahannya. Rangkaian kejadian yang hanya berlangsung sekitar satu detik itu
seperti membuat tubuhnya mengalirkan darah demikian cepat.
“Eh, Lir, sorry ya kalo terlalu keras. Ngga sakit kan?”
Kali ini Lira malah berharap Andi kembali menyentuhnya. Desiran
akibat sentuhan tak sengaja tadi benar-benar membuatnya merasakan sensasi yang
selama ini belum pernah ia rasakan. Tapi, ia berusaha mengendalikan diri.
Pahanya yang merinding tersentuh tangan Andi berusaha ia tutupi.
“Ngga kok Ndi, ngga papa, cuma kaget.”
“Aduh,
gue jadi ngga enak. Bukan maksud gue mau lancang ke loe kok, Lir reflek aja.”
“Iya gue tau,” Lira berusaha menahan agar mulutnya tidak mengatakan bahwa bagian yang Andi sentuh adalah daerah paling sensitif dari tubuhnya.
“Iya gue tau,” Lira berusaha menahan agar mulutnya tidak mengatakan bahwa bagian yang Andi sentuh adalah daerah paling sensitif dari tubuhnya.
Andi benar-benar jadi tidak enak dan salah tingkah. Lira bukan
tidak menyadari hal tersebut. Ia kini paham, Andi memang bukan tipe cowo yang
suka merayu perempuan, bukan cowo yang suka pegang-pegang perempuan
sembarangan. Memang tidak salah teman-teman di kampusnya banyak yang suka pada
Andi. Sikapnya gentleman banget, sama sekali tidak terlihat dibuat-buat. Dan,
kenyataannya Andi memang benar-benar menyesal telah berlaku kasar, menurut
ukurannya, kepada seorang perempuan. Ia adalah laki-laki yang paling tidak bisa
berbuat kasar pada perempuan.
“Gue
juga termasuk yang dongkol sama Lina, kenapa gue justru nyambung sama
cowo-nya…hahaha,” Lira berusaha mencairkan suasana dengan melontarkan joke yang
sejujurnya ngga lucu.
Andi pun tertawa meski masih agak dipaksa. Ia benar-benar merasa
bersalah karena tanpa terkontrol menyentuh paha Lira terlalu dalam. Maksudnya
hanya pengakuan ‘kekalahan’ karena didesak soal banyak perempuan yang
menyenanginya. Sejujurnya ia juga suka Lira karena ia anggap perempuan yang
suka bicara tanpa basa basi, apalagi dengan orang yang ia rasa bisa membuatnya
nyaman. Sikapnya itu membuat Andi merasa lebih dekat dengannya, meski dengan
dasar suka sebagai teman.
Dari
sisi laki-laki, Andi juga terkesiap dengan sentuhannya itu. Ia jadi menyadari
Lira memiliki tubuh yang kencang dengan kulit yang halus. Benar-benar membuat
kelaki-lakiannya bangkit. Ingin rasanya berbuat lebih dari itu. Tapi ia tidak
tahu harus bagaimana. Ia juga sadar, situasi seperti ini sudah cukup sebagai
tanda bahaya bagi dua insan berlainan jenis yang berada dalam satu ruangan.
Hanya ia juga tak kuasa dan tak mengerti bagaimana menghentikannya. Langsung
pergi, jelas akan membuat Lira marah, ia bisa menangkap bahwa Lira tidak
menginginkan itu.
Masih
diliputi perasaan tak menentu dan membuatnya tertegun seperti patung, Andi
terkejut ketika Lira sudah menjulurkan tangan dan meraih tangannya. Tapak
tangannya digenggam kedua tangan Lira dan diarahkan ke bibirnya. Dalam keadaan
terbuka, Lira menciumi perlahan-lahan permukaan telapak tangan kanannya. Andi
benar-benar tegang bercampur kaget. Ia tahu itu sudah lebih dari sekedar
pertanda Lira menginginkan sesuatu, lebih dari sekedar sentuhan tanpa sengaja.
Lira pun bukan tanpa maksud seperti itu. Ia sadar antara dirinya dan Andi baru
benar-benar kenal beberapa bulan belakangan. Tapi, akal sehatnya tak kuasa
menahan keinginannya untuk disentuh lebih dalam oleh Andi.
Andi benar-benar bimbang. Ia tahu, Lira sudah membuka gerbang
dan kini dialah yang harus memainkan bola. Semua ada di tangannya. Di antara
bimbang untuk meneruskan, yang artinya ia dan Lira sudah melanggar komitmen
pada pasangan masing-masing, atau menghentikan, yang artinya ia bisa kehilangan
kesempatan merasakan sesuatu yang selama ini sering membuat badannya bergetar
dan hanya ia lampiaskan pada Lina, tangannya seperti bergerak sendiri membelai
pipi kiri Lira. Jantung Andi berdegup kencang, bukan lagi takut Lira akan
menolak, tapi sadar ia telah membuat sebuah pilihan penuh resiko tapi pasti
sangat menyenangkan.
Lira
tersenyum. Merasakan belaian lembut jemari Andi di pipinya. Andi pun bergerak
menyisir leher dan tengkuk Lira. Sampai di punggung, tangan kirinya ikut
merangkul Lira dan seketika keduanya sudah berpelukan. Lira membenamkan seluruh
tubuhnya ke Andi. Pelukannya bahkan lebih kuat dari Andi dan pantatnya ia geser
mendekat. Keduanya masih duduk di lantai beralaskan sebuah karpet tebal
berwarna merah. Andi mengangkat wajah Lira perlahan.
Ia bisa
melihat Lira tersenyum bahagia merasakan kehangatan tersebut. Andi sadar, ia
melakukannya bukan untuk mengejar perasaan Lira, tapi lebih pada nafsu.
Nalurinya sebagai laki-laki berkata bahwa ini adalah kesempatan merasakan
nikmatnya tubuh seksi Lira yang selama ini sudah ia kagumi. Dalam hati ia terus
membatin untuk tidak tanggung-tanggung dan ragu. Ia bertekad menunjukkan pada
Lira bahwa ia memang laki-laki sejati. Sambil mulai menjilati daun telinga
Lira, Andi berusaha membisikkan kata-kata rayuan ke telinga Lira.
Glek!
Mulutnya justru seperti terkunci. Semuanya sangat sulit untuk dikatakan.
Balasan Lira hanya sebuah erangan manja berikut usapan halus disekujur punggung
Andi. Tanpa ragu ia mendekatkan bibirnya yang merekah menyentuh bibir Andi.
Halus, lembut dan perlahan penuh perasaan, keduanya saling mengulum bibir
lawannya. Berpagutan dan saling bertukar lidah membuat suasana semakin hangat.
“Ndi…,” Lira berusaha mengontrol dirinya. Ia ingin terus
merasakan belaian laki-laki yang dikaguminya itu.
Andi
tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia paham ini adalah titik kebimbangan
Lira. Memaksa Lira menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya sama saja
berpeluang menghentikan semuanya. Ia terus mencium Lira penuh kehangatan.
Tangannya mulai menggerayangi sisi kiri tubuh Lira dan berbalik ke atas menuju
sebuah bongkah daging keinginan setiap laki-laki. Ia mulai dengan meraba
permukaannya halus dan meremasnya pelan. Persis seperti yang ia lakukan pada
Wita, sahabatnya, beberapa tahun silam. Perbuatan berdasarkan naluri yang
membuat ia dan Wita hampir mengakhiri persahabatan erat yang mereka bangun
sejak masuk kuliah, runtuh hanya bersisa nafsu.
Andi
seperti merasakan kembali sensasi itu. Sensasi bercumbu dengan perempuan yang
rela menyerahkan tubuhnya secara total pada dirinya. Sesuatu yang justru tidak
ia rasakan saat melakukannya pertama kali dengan Lina. Status berpacaran
membuat mereka mudah melakukan apapun seperti ciuman, pelukan, bahkan rabaan.
Andai dulu ia mengabaikan pertanyaan Wita apakah mereka benar melakukan hal
tersebut, ia dan Wita saat ini pasti sudah tak ubahnya dua insan yang saling
mengejar nafsu. Tidak ada lagi keindahan persahabatan dan keagungan sebuah
kedekatan yang tidak dilandasi nafsu, murni sebuah kasih sayang dua manusia yang
saling membutuhkan.
Tapi dulu tindakannya tepat. Karena, ia dan Wita lebih
membutuhkan hubungan tanpa berlandaskan nafsu birahi. Walaupun akhirnya ia dan
Wita menghentikan semuanya sebelum keduanya bersatu dalam sebuah persetubuhan,
perlu waktu berbulan-bulan untuk membangun kembali landasan yang telah mereka
hancurkan sendiri.
Kini, terhadap Lira, semuanya berbeda. Tidak ada halangan untuk
melakukannya saat ini. Benar atau salah, itu soal nanti, karena saat ini
nafsulah yang melandasi hubungan dirinya dengan Lira. Lira bukan teman
dekatnya. Sejak awal ia tertarik pada Lira karena tubuh Lira yang menggoda
iman. Kalau kemudian ia menjadi dekat dengan Lira karena sesuatu hal, itu tak
ubahnya alat untuk masuk ke dalam perasaan Lira.
Remasannya
ke dada Lira semakin kuat. Tanpa ragu, ia menyisipkan jarinya dari sisi atas
untuk merasakan langsung lembutnya bongkahan indah itu. Lira mengerang dan
berusaha mendekap Andi lebih kuat. Tangan Andi meremasnya makin kuat dan
semakin ia merasakan betapa kencangnya dada Lira. Kencang, halus dan terawat.
Ia pun kagum kepada Lira yang menyadari bahwa bagian tubuhnya yang sedang remas
Andi adalah daya tarik utama dirinya, terbukti dari hasil perawatan yang
dilakukannya itu. Sembari tangan kanannya meremas dada Lira, dan lidahnya
menjilati leher Lira. Tangan kirinya membuka pengait bra di belakang. Sekali
terbuka, kedua tangannya menyusup dari bawah dan mengangkat pakaian Lira
melewati leher.
Dan
sekejab ia langsung bisa melihat bukit besar menantang itu langsung di depan
matanya. Sejenak ia kembali mengagumi keindahan yang terpampang di depan
matanya itu. Dua bongkah daging yang sejak setahun lalu membuat dirinya kerap
tak bisa tidur. Tak berlama-lama puting susu Lira sudah menjadi sasaran
mulutnya. Kuluman bibir, gigitan kecil plus sapuan lidah membuat Lira terlonjak
tak bisa menahan diri. Badannya menegang setiap Andi menghisap putingnya. Ingin
rasanya Andi mengecup kuat area di kulit yang menutupi tonjolan dada Lira, tapi
ia sadar hal tersebut akan mempersulit posisi Lira. Apalagi Lira memohon dengan
suara lirih.
“Jangan ada…bekasnya…Ndi….”
Dua
bukit besar itu seperti mainan baru bagi Andi. Ia juga sering merasakannya dari
Lina, tapi yang disodorkan Lira dua kali lebih nikmat. Lina juga keras dan
kencang, tapi tidak sebesar Lira. Besar tapi masih proporsional. Ia bisa
merasakan puting Lira menyentuh telinganya saat ia berusaha membenamkan
kepalanya ke sela-sela di antara dua bukit tersebut.
Erangan pelan mulai terdengar keras keluar dari mulut Lira.
Nafas Lira mulai memburu dan matanya terpejam. Mulutnya sedikit terbuka dan
setiap isapan Andi di putingnya mengeras, kepalanya terlonjak ke belakang.
Tangannya hanya bisa menekan kuat punggung Andi. Kendali dirinya benar-benar
sudah hilang tertutup kenikmatan isapan dan sapuan lidah Andi di kedua
payudaranya. Bahkan angin dingin khas kota Bandung yang kencang dari luar sudah
tak terasa lagi di kulitnya.
Tak
hanya Lira yang terlena, Andi pun semakin bernafsu menggarap buah dada Lira
yang menggairahkan itu. Sensasinya seperti mendapatkan sebuah mainan baru. Ia
menjelahi setiap titik buah dada Lira tanpa terlewatkan. Ia ingin tahu reaksi
apa yang diberikan Lira setiap ia menjelajah setiap permukaan buah dada itu.
Keduanya sedikit tersentak ketika pintu kamar Lira tertutup
sendiri tertiup angin kencang dari luar. Andi terdiam dan memandangi Lira
sesaat.
“Geblek, lupa ditutup….”
Andi langsung bangkit dan memeriksa keadaan di luar dari
jendela, apakah ada mata-mata tersembunyi yang menyaksikan perbuatan mereka.
“Kunci Ndi…, sekalian korden…”
Sebut Lira dengan suara parau dan lemah.
Lira langsung menggamit lengan Andi dan memeluk laki-laki itu
dan menempelkan keningnya ke dada bidang penuh bulu itu. Menunduk, ia bisa
melihat puting buah dadanya menempel di atas perut Andi.
“Ndi…, tolong…,”
Ia
melepaskan tangan Andi yang mengusap-usap halus punggungnya. Tangan kanannya
membimbing tangan Andi ke arah selangkangannya. Ia merasakan sendiri sedikit
demi sedikit kewanitaannya mulai basah mengalirkan cairan hangat. Ia tahu
persis telah dihinggapi nafsu.
Sejenak Lira was-was. Ia takut Andi melakukannya tindakan bodoh
seperti laki-laki lain yang tidak peduli fase-fase seksualitas wanita. Ia ingin
dilayani juga sebagai makhluk yang juga memiliki nafsu. Selama ini, yang ia
alami hanya melayani keinginan laki-laki tanpa ada balasan dari laki-laki itu.
Tapi kekhawatirannya segera lenyap saat Andi menyambut bimbingan
tangannya dan mulai aktif menggerayangi daerah kewanitaannya. Dimulai dengan
usapan lembut di atas daerah vaginanya yang masih tertutup dua lapisan, celana
dan celana dalam. Dilanjutkan gosokan sedikit keras yang menekan alat
genitalnya. Sekali lagi, saat Andi menyentuh paha bagian dalamnya, darahnya
berdesir kencang, nafsunya semakin melonjak.
Aliran
darah seketika seperti mengalir deras di tengah-tengah selangkangannya. Andi
pun tak mau berlama-lama menunggu. Sekali tarik, ia meloloskan celana pendek
dan celana dalam yang membuat Lira makin tak berdaya telanjang bulat. Tangan
Andi mulai mengusap-usap klitoris dan bagian luar vaginanya. Rasanya seperti
melayang setiap sapuan jemari Andi mengenai alat kelaminnya itu. Dipadu
permainan lidah di putingnya, Lira semakin lemah tak berdaya. Lututnya terasa
lemas yang membuat Andi semakin mudah menjelajahi daerak kemaluannya karena
menjadi terbuka.
Tak tahan
melakukannya sambil berdiri, Lira memundurkan tubuhnya dan menjatuhkan badannya
ke ranjang. Lututnya ditekuk dan kedua pahanya ia buka lebar-lebar. Andi
melepas sendiri kaus yang dikenakannya dan tak menyia-nyiakan pemandangan indah
bibir-bibir vagina berwarna coklat muda yang terpampang di depannya. Bulu-bulu
kemaluan Lira sangat terawat karena terlihat dari cukuran yang rapi. Bulu-bulu
itu hanya tersisa di atas klitoris dan panjangnya tidak ada yang melebihi satu
milimeter.
Sambil memeluk pinggang Lira dengan tangan kiri, ia mulai
memainkan jari kanannya di seluruh permukaan kewanitaan Lira. Pengalaman dengan
Lina mengajarkannya untuk tidak langsung memasukkan jari ke dalam vagina. Ia
lebih mementingkan usapan di klitoris. Dengan ibu jari dan jari tengah, ia
membuka kulit penutup klitoris. Jari telunjuknya mulai meraba-raba permukaan
klitoris yang menyembul berwarna merah muda. Lonjakan pantat Lira terasa kuat
setiap ia mengusap klitoris itu dibarengi erangan keras dari mulut Lira. Lira
meremas-remas sendiri buah dadanya. Ia menahan kenikmatan luar biasa yang
dirasakannya.
Puas
jemarinya memainkan klitoris Lira, lidahnya mulai bergabung. Setiap jilatan
sanggup membuat Lira menjerit. Kedua pahanya berusaha menjepit kepala Andi yang
membuat Andi semakin ganas memainkan lidahnya. Sesekali permainan itu ia gabung
dengan isapan keras klitoris Lira. Tak usah ditanya reaksi Lira karena
perempuan muda itu semakin berisik mengeluarkan erangan dari mulutnya.
Rasanya memang gila permainan mereka, karena jika erangan Lira
terdengar sampai keluar, entah apa yang akan terjadi.
Andi sudah mengarahkan lidahnya turun menuju vagina Lira ketika
Lira menahan tubuh Andi dan bangkit meraih kancing celana Andi dan melepasnya.
Bersama celana dalam, satu sorongan ke bawah langsung menjulurkan batang
kemaluan Andi yang sudah mengacung sejak tadi. Lira tahu, apa yang mereka
lakukan adalah perbuatan bersama dan kini gilirannya membelai, mencium,
menjilat, dan meremas milik Andi. Tak canggung ia menggenggam penis Andi yang
mengacung keras. Kedua tangannya mengenggam bersama, terasa besar dan penuh penis
itu memenuhinya.
Satu kocokan, kini giliran Andi yang terpaksa memejamkan mata
merasakan nikmatnya genggaman tangan halus nan hangat itu. Dari bawah, Lira
melirik ke atas dan tersenyum kepada Andi yang berlutut di kasur. Ia paham arti
senyum balasan Andi. Tanpa berlama-lama lagi, ia lumat batang tersebut di dalam
mulutnya. Sedikit gigitan, ia jilat seluruh permukaannya yang mengkilat itu.
Urat-urat di sekujur penis Andi semakin membuat nafsunya memuncak. Ingin
rasanya segera merasakannya merayap di dinding vaginanya. Andi terengah
merasakan isapan dan kulumannya. Masih ada sedikit rasa dongkol pada Lina,
kenapa temannya itu yang bisa mendapatkan laki-laki yang mampu menggetarkan
hati setiap wanita itu.
Di
tengah usahanya memasukkan seluruh batang kemaluan Andi kemulutnya, Lira hampir
tersedak karena ujung kemaluan Andi menyentuh pangkal rongga mulutnya sementara
di luar masih tersisa. Ia semakin bernafsu mengulum penis ini. Pelan tapi pasti
ia keluar masukkan pen†s itu di mulutnya. Lidahnya ia sentuhkan ke ujung penis
yang kokoh itu. Ia paham laki-laki amat senang diperlakukan seperti itu.
Terlihat
dari paha Andi yang semakin terbuka membuat pen†snya makin mengacung kencang.
Seketika ia melihat penis Andi, Lira langsung merasakan rangsangan semakin
besar dalam dirinya. Tanpa ragu ia berusaha memberikan pelayanan sempurna pada
Andi, laki-laki yang sanggup membuatnya panas dingin meski hanya beradu
pandang. Ia ingin Andi merasakan kenikmatan terdalam pelayanan perempuan.
Lira
memang tidak salah karena Andi pun mulai merasakan apa yang diharapkannya. Baru
kali ini Andi merasakan perlakuan total perempuan selain Lina terhadap dirinya.
Apalagi saat Lira mulai menjilati dan mengulum kantung buah zakarnya. Semuanya
terasa berbeda, benar-benar sensasi yang memabukkan. Selain merasakan nikmatnya
kuluman dan isapan Lira, pemandangan indah sekaligus ia dapatkan. Posisi Lira
yang merangkak setengah menunduk membuat bongkahan pantatnya menjulang ke atas.
Pasti nikmat membenamkan penisnya ke kemaluan Lira sekaligus menggenggam dan
mengusap pantat yang padat dan berisi itu.
Lira
merasa belum cukup ketika Andi menarik lengannya. Tapi, ia mengikuti saja
keinginan pujaan barunya itu dan menyambut kecupan hangat Andi di bibirnya. Ia
merebahkan tubuhnya sembari menarik Andi. Lira sudah tahu kelakuan laki-laki.
Jika sudah menarik dan merebahkan tubuh perempuan berarti laki-laki itu sudah
ingin melakukan penetrasi.
Namun, dugaannya meleset. Andi justru merebahkan badannya di
sisi Lira. Berbaring miring, Andi mengisap lagi buah dadanya. Lira semakin
kagum akan laki-laki yang satu ini, benar-benar penuh kendali diri. Ia semakin
kaget ketika jemari Andi mulai bermain lagi di sekitar kemaluannya. Kali ini
usapannya sedikit keras dan cepat menggosok klitorisnya. Lira menggelinjang
menerima perlakuan Andi. Benar-benar laki-laki penuh misteri, pikirnya.
Laki-laki sempurna, pikir Lira menyadari betapa beruntungnya ia
berhasil mendapatkan Andi seperti sekarang. Bisa mendapatkan lagi sesuatu yang
dulu hilang direnggut kejamnya Dani terhadap dirinya. Kalau saja ia tahu Dani
hanya mempermainkannya saat itu, tidak akan ia mau menyerahkan semua
kehormatannya kepada laki-laki brengsek pengecut itu. Rasanya muak hatinya
mendengar semua orang membicarakan perkawinan Dani saat ia baru dua bulan
memadu kasih dengan laki-laki keparat itu.Untung Boy hadir sebagai penyelamat.
Ia sayang pada laki-laki ini, tapi kadang perasaannya tak tega melihat
kebaikkan hati Boy.
Tapi
kali ini ia ingin total merasakan kehangatan Andi. Kekagumannya membuat ia
semakin senang akan apa yang dilakukan Andi padanya saat ini. Menikmati usapan
jemari Andi yang cepat itu membuatnya ia sanggup melupakan semua pikirannya
pada dua laki-laki yang telah sempat mengisi relung hatinya.
Di tengah lonjakan-lonjakan kecil menikmati permainan Andi,
tiba-tiba ia merasakan sekujur tubuhnya sebuah rambatan energi tiada tara yang
membuat sejenak dirinya seperti melayang. Suara-suara di sekitarnya seketika
seperti lenyap, hanya terasa desiran tiada tara yang membuat tubuh sempat
terbujur kaku sejenak dan berikutnya terlonjak-lonjak demikian kuat yang
semakin lama semakin melemah frekuensi dan intensitasnya. Matanya terpejam, ia
baru saja merasakan sensasi terbesar yang belum pernah sekalipun ia rasakan
dengan laki-laki lain.
Liang
vaginanya pun terasa berdenyut lebih kuat dan saat semuanya belum mereda, Andi
sudah menindih tubuhnya. Ia bisa merasakan bobot tubuh Andi terutama di bagian
bawah pinggangnya. Tangan Andi sudah tegak di sisi buah dada Lira kekar
menopang badannya sendiri. Ia bisa merasakan bagian tubuh bawah Andi
bergerak-gerak berusaha mengarahkan acungan penisnya. Lira pun langsung meraih
penis nan kokoh itu dan membimbingnya ke ujung vaginanya.
Andi tersenyum dan Lira membalasnya dengan senyuman manis
diiringi anggukan penuh kepasrahan tanpa paksaan. Terasa Andi mendorong kuat
pantatnya dan Lira juga bisa merasakan rengsekan batang kemaluan Andi di
dinding vaginanya. Sungguh halus dan penuh perasaan Andi memasukkan penisnya ke
vagina Lira. Perlahan cairan di dalam vagina melumasi permukaan penis Andi. Tak
ada rasa sakit sama sekali meski penis tersebut lebih besar ketimbang milik
Dani dan Boy. Itu karena Andi melakukannya tanpa terburu-buru dan tanpa
memaksa.
Mulai terasa perih ia menarik kembali penisnya sedikit dan
membenamkannya lagi sampai akhir seluruh pen†snya dilumat vagina Lira. Sodokan
pertama pen†s tersebut masuk seluruhnya sanggup menyentuh bagian dalam vag†na
Lira yang belum pernah tersentuh sebelumnya. Lira pun merasakan sekali lagi
kenikmatan luar biasa itu. Apalagi, Andi tidak langsung memompa pantatnya
cepat-cepat dan keras. Pertama masuk penuh, ia menahannya dan memandangi wajah
Lira dan kali ini ditambah sebuah kecupan mesra. Lira seperti diawang-awang
diperlakukan seperti itu. Ia merasa dirinya demikian berharga di hadapan Andi,
Andi sendiri merasa telah memenangi sebuah peperangan. penisnya
yang sudah bersarang di vagina Lira adalah sebuah tanda babak baru hubungannya
dengan Lira yang tidak akan mudah dikembalikan seperti sedia kala. Bersatunya
kedua tubuh mereka adalah sebuah ikatan emosi yang hanya bisa dirasakan oleh
Andi dan Lira, tak seorangpun bisa merasakan itu.
Setelah itu, mulailah Andi menggerakkan pantatnya mengangkat dan
menekan yang membuat pen†snya keluar masuk bergesekan dengan liang vagina Lira.
Hangat dan lembut bisa Andi rasakan lewat sekujur penisnya dari dalam vagina
Lira.
Lira menyambut setiap gerakan Andi dengan jepitan dan gerakan
kecil pantatnya. Dari mulutnya keluar erangan yang semakin lama semakin keras
dan cepat berirama. Melihat Lira terpejam dan mengerang dengan mulut yang
sedikit terbuka sambil mendongakkan kepala membuat Andi makin bernafsu. Lira
semakin seksi dalam kondisi seperti itu. Lehernya yang putih dan guncangan kuat
pada buah dadanya membuat Andi semakin ingin membenamkan penisnya dalam-dalam
di vagina Lira.
Apalagi setiap ujung penisnya menyentuh pangkal vagina Lira.
Rasanya sungguh tiada tara. Derit ranjang mulai terdengar seiring semakin
kuatnya sodokan Andi. Tapi mereka sudah tidak peduli. Lira bukan tidak
menyadari seseorang pasti ada yang mendengar deritan tersebut di bawah. Apalagi
kalau teman kost yang menempati kamar di bawahnya sedang berada di kamar. Tapi
ia yakin semua temannya akan maklum.
Semakin kuat dan cepat sodokan Andi membuat Lira merasakan lagi
desakan rasa luar biasa yang akan tiba. Ia hanya bisa mencengkram punggung Andi
keras-keras ketika desiran itu semakin kuat dan mencapai puncak. Kepalanya
benar-benar mendongak ke atas hingga kedua bola matanya hanya terlihat tinggal
putihnya. Setelah sampai, sekali lagi ia merasakan tubuhnya ringan dan aliran
darah mengalir deras ke arah vaginanya. Dinding vaginanya berdenyut kuat hingga
Andi juga bisa merasakannya.
Andi langsung menghentikan gerakannya membiarkan penisnya
merasakan cengkraman kuat yang terjadi hanya beberapa detik itu. Tindakan Andi juga
membuat Lira merasakan kenikmatan luar biasa. Kali ini terasa lebih nikmat
karena denyutan vag†nanya tertahan penis Andi yang sedang membenami kemaluannya
itu. Semakin banyak saja kekaguman Lira pada Andi. Tahu kapan ia akan merasakan
puncak kenikmatan dan menghentikan sodokan membuat Lira bisa merasakan
sepenuhnya kenikmatan tersebut. Sebuah teknik bercinta yang baru kali ini Lira
rasakan.
“Andi…,nikmat sekali…,”
“Andi…,nikmat sekali…,”
Lira memeluk Andi kuat-kuat dan menciumi pipi dan pundak
laki-laki itu. Sekali lagi Andi tersenyum membalas Lira.
“Enak?”
“Banget!” Jawab Lira singkat dan tegas.
“Gaya lain…?”
Lira langsung mengangguk dan menunggu aba-aba Andi gaya apa yang diinginkan Andi.
“Enak?”
“Banget!” Jawab Lira singkat dan tegas.
“Gaya lain…?”
Lira langsung mengangguk dan menunggu aba-aba Andi gaya apa yang diinginkan Andi.
Andi membalik badan Lira dan mengangkat badan bagian bawah Lira
dengan memeluk pinggang dari belakang. Lira langsung berdebar-debar begitu tahu
Andi ingin melakukan gaya doggy. Missionari saja sudah sanggup mencapai pangkal
vaginanya, apalagi doggy.
Tak menunggu lama Andi langsung memasukkan penisnya. Lira
menunduk sambil menggigit bibirnya merasakan seluruh penis Andi terbenam makin
dalam di vaginanya. Pantatnya terangkat tinggi yang membuat Andi semakin tak
bisa mengendalikan birahinya. Kali ini Andi langsung mendorong dengan cepat dan
Lira mengikuti irama dengan mendorong pantatnya ke belakang. Keduanya sama-sama
merasakan kenikmatan yang lebih dalam.
Masuk hitungan belasan menit menyodok vagina Lira, belum ada
tanda-tanda dorongan Andi melemah. Sebaliknya justru makin kuat, membuat Lira
makin bernafsu. Tetesan peluh mulai membasahi keduanya, namun baik Lira dan
Andi justru makin bersemangat. Lira, yang bisa dua kali beruntun merasakan
kenikmatan puncak saat disodok Andi dari belakang justru semakin ingin merenguk
terus kenikmatan itu. Pantat dan pinggangnya makin bergerak liar membuat Andi tak
mampu menahan lenguhannya.
Tiba-tiba ganti Lira yang berinisiatif. Ia lepaskan penis Andi
dari vaginanya dan mendorong Andi sampai terlentang. Ia langsung memanjat tubuh
Andi dan duduk di atas acungan pen†s Andi yang masih kokoh berdiri. Melihat
Lira bergerak naik turun, Andi tak kuasa untuk tidak meremas buah dada Lira
yang terguncang-guncang. Telapaknya yang besar berusaha meraup seluruh
permukaan buah dada itu, tapi tidak pernah berhasil. Remasannya makin kuat
membuat Lira makin mempercepat gerakannya.
Sekali lagi Lira harus mengaku kalah. Karena meski ia telah
mencoba berbagai goyangan yang dipadu dengan gerakan naik turunnya, justru ia
yang kembali merasakan desakan kenikmatan dari liang vag†nanya. Lira langsung
ambruk menindih Andi yang sudah siap menerimanya dengan pelukan mesra dan
kecupan hangat di ubun-ubunnya.
“Kamu kuat banget Ndi…”
“Kamu di bawah lagi ya…?”
“Kamu di bawah lagi ya…?”
Lira mengangguk lemah dan menggulingkan badannya ke sisi kanan
Andi.
Sebelum Andi memasukkan lagi penisnya ke vagina Lira, Lira
memberikan sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada laki-laki manapun yaitu
memasukkan penis tersebut ke mulutnya. Sebelumnya ia tidak mau mengulum penis
yang sudah masuk ke vaginanya. Tapi, untuk Andi, yang telah memberikannya
kenikmatan tiada tara, ia lakukan itu.
Puas mengulum dan menjilati penis yang dipenuhi lendir sisa
persetubuhan mereka, Lira kembali merebahkan dirinya dan menyuruh Andi memulai
lagi aksinya. Andi langsung bergerak dan dorongan seperti saat pertama mereka
memulainya yaitu perlahan dan terus semakin lama semakin kuat dan cepat. Lira
sudah pasrah kalau ia harus sekali lagi merasakan orgasme, tapi baru ia
berpikirbegitu, tiba-tiba sodokan Andi terasa lebih keras dari sebelumnya.
Sesaat kemudian Andi mengerang panjang dan menyodokkan penisnya
sangat kuat beberapa kali. Lira pun bisa merasakan hangatnya muncratan sperma
Andi di dalam vaginanya. Andi masih terus menyodok terputus-putus dan semakin
melemah. Sperma Andi juga Lira rasakan mengalir keluar setiap Andi menyodokkan
lagi pen†snya. Setelah benar-benar selesai, Andi pun ambruk menindih Lira. Andi
terdiam sesaat di atas buah dada idamannya itu merasakan betapa nikmat
persetubuhannya dengan Lira.
Lira mengusap lembut kepala Andi penuh kehangatan.
“Puas Ndi…?”
Andi hanya mengangguk. Badannya terasa lemas. Lira tersenyum
bahagia mendapatkan jawaban Andi. Paling tidak, tekadnya membuat Andi merasakan
kenikmatan tertinggi berhasil ia lakukannya.
“Lir, nikmatnya benar-benar ngga ada yang nyamain…”
“Kamu juga hebat Ndi. Baru kali ini aku ngerasain orgasme….”
“Kamu juga hebat Ndi. Baru kali ini aku ngerasain orgasme….”
Keduanya pun duduk berdampingan di sisi ranjang. Lira merebahkan
kepalanya di pundak Andi. Sambil membakar rokok, Andi merangkul Lira. Keduanya
hanya bisa terdiam dan sama-sama tidak percaya apa yang baru saja terjadi di
antara mereka.
Lira masih tidak percaya ia telah melakukan hubungan seks dengan
Andi, pacar Lina, teman satu angkatannya. Meski ia memang sudah kagum pada Andi
sejak pertama berkenalan, tapi akhirnya sampai berhubungan intim dengan Andi,
adalah sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Andi, walaupun ia juga tertarik pada Lira diawali oleh
ketertarikan fisik, tetap saja apa yang baru saja ia alami benar-benar di luar
dugaannya. Apalagi Lira seperti menyambut keinginan terpendam Andi itu yang
sebetulnya ia simpan dalam-dalam. Ia kenal Boy dan tahu bagaimana Boy selalu
menerima sarannya dalam hal aktifitas di kampus. Ia juga tahu Boy sangat
menghormatinya terutama sebagai senior meski beda fakultas.
Dalam diamnya, Lira tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya
Lina yang terkenal emosional di kampus. Serupa dengan Lira, Andi juga sulit
membayangkan apa yang akan terjadi pada Boy jika ia tahu apa yang dilakukannya
dengan Lira. Boy memang pendiam dan tenang, tapi Andi tahu Boy adalah orang
yang keras.
Andi mengeratkan rangkulannya pada Lira. Lira pun membalasnya
diikuti kecupan di bibir. Tapi Andi tak membalasnya yang membuat Lira bingung.
“Kenapa…?”
Andi menggeleng sambil tersenyum dan mengecup kening Lira dan
mendekap Lira lebih dalam.
“Yuk ke kampus…,” ajak Andi sambil melepas pelukannya.
Lira mengangguk sambil tersenyum. Berpakaian, kedua lantas
keluar kamar bersikap biasa. Andi lebih dulu menuju motornya di lantai bawah.
“Bareng aja…,” sahut Andi.
“Oke!”
“Oke!”
Waktu saat itu menunjukkan pukul 4.15 sore. Keduanya tak sadar
telah dua jam bercumbu dan berhubungan intim. Kalau sesuai janji, Andi
sebetulnya sudah terlambat. Dan memang benar, saat tiba di kampus FH, anak-anak
yang rapat sudah duduk-duduk di koridor kampus.
“Bareng Lira?” Tanya Lina tanpa curiga.
“Iya, tadi ketemu di jalan, ya sekalian aja.”
“Tunggu bentar ya, 10 menit lagi.”
“Oke, aku tunggu di sini ya.”
“Iya, tadi ketemu di jalan, ya sekalian aja.”
“Tunggu bentar ya, 10 menit lagi.”
“Oke, aku tunggu di sini ya.”
Di tempatnya duduk, Andi melihat Lira berdiri di samping Boy.
Boy masih sibuk membahas beberapa masalah dengan teman-temannya. Lira pun
melirik ke arah Andi dan memberikan sebuah senyum yang manis. Keduanya memang
harus kembali bersikap normal, tapi di hati kecil mereka, baik Andi dan Lira
sama-sama berharap kejadian yang mereka alami terulang lagi?




Post a Comment